Minggu, 26 April 2009

Wakil Rakyat yang Tak Butuh Perhatian Rakyat

Oleh Rosadi Jamani

Saya ingat kata orang bijak, utang duit bisa dibayar, tapi utang budi dibawa mati. Maksudnya, utang uang itu bisa dibayar. Begitu utang dibayar, habis perkara. Sementara utang budi, tidak bisa dibayar dengan uang atau material lainnya. Ketika budi itu dibayar dengan uang, bukan lagi budi melainkan balas jasa. Contoh, ada orang dikeroyok, lalu ada orang lain berhasil menolong orang itu dari amukan massa. Orang yang dikeroyok itu pasti merasa utang budi. Ketika pertolongan itu dihargai dengan uang, si penolong minta uang, lalu yang ditolong memberikannya uang, dalam kasus ini tidak ada lagi balas budi. Yang ada hanya balas jasa.
Pada Pemilu 9 April lalu, hampir rata-rata calon legislatif (caleg) yang dipastikan duduk di kursi Dewan main money politic (politik uang). Mereka tidak lagi mengandalkan kualitas pribadi, melainkan memainkan politik uang untuk menaklukkan pemilih. Rata-rata caleg yang duduk di parlemen menghabiskan uang di atas Rp 200 juga. Bahkan, kabarnya ada yang miliaran rupiah. Uang tersebut paling menentukan seorang caleg bisa duduk. Tidak heran apabila pesta demokrasi 2009 bertabur dengan uang. Permainan money politic sangat gencar tanpa bisa diseret oleh Panwaslu ke Gakumdu.

“Terus terang saya menghabiskan kurang lebih Rp 750 juta saat kampanye lalu. Ketika masuk kampung, rata-rata masyarakat minta uang. Saya kasih uang dengan catatan harus mencontreng saya. Kalau tidak dikasih uang, mereka akan memilih caleg lain. Sudah dikasih uang, kadang saya tidak yakin saat pencontrengan memilih saya,” cerita seorang caleg dari partai besar yang dipastikan duduk di DPRD Kalbar. Kebetulan caleg itu teman dan sering melakukan komunikasi dengan saya. Sekarang dia merasa tenang, karena uang yang telah dihamburkannya membuahkan hasil.

“Saya telah banyak menghabiskan uang. Rata-rata pemilih yang memilih saya pernah mendapatkan uang dari saya. Itu artinya, saya telah membeli suara mereka. Dengan demikian, tidak ada lagi utang budi saya dengan pemilih,” kata caleg itu dengan raut muka tidak ada beban sambil menikmati segelas kopi panas di salah satu warung kopi di Mega Mall Pontianak.
Saya sedikit kaget dengan ungkapan, tidak ada lagi utang budi antara pemilih dengan yang dipilih, antara wakil rakyat dengan rakyatnya. Saya mencoba mencermati, ada benarnya ungkapan itu. Rakyat memilih caleg berdasarkan uang. Sementara caleg yang memang mengharapkan suara telah menghargai suara itu dengan uang. Ibarat dagang, ada barang ada uang. Barang yang sudah dibeli sah milik pembeli. Si penjual tidak bisa mengambil barang yang dibeli dari pembeli. Ketika transaksi jual beli berakhir, habis perkara. Ada barang, ada uang. Antara pembeli dan penjual itu tidak ada lagi beban. Sama-sama senang dan tidak boleh ada tuntutan di kemudian hari.

Untuk ungkapan tersebut saya aminkan. Fakta di lapangan memang demikian adanya. Rata-rata caleg harus mengeluarkan uang untuk bisa mendapatkan suara dari pemilih. Bagi caleg yang kedekut atau pelit mengeluarkan uang dari kantongnya hampir seluruhnya tidak terpilih. Jangankan yang kedekut, yang berabis (habis-habisan) saja banyak yang tidak duduk. Uang benar-benar menjadi faktor utama untuk menentukan caleg bisa menjadi wakil rakyat.
Lebih parah lagi, pemilih juga menginginkan uang. Tidak hanya caleg yang memberi uang, tapi pemilih juga bernafsu mendapatkan uang dari caleg. Caleg banyak uang, sementara pemilih juga banyak minta uang. Proses transaksi juga lancar dan cepat. Keduanya suka sama suka dan senang sama senang. Karena sama-sama senang, berarti tidak ada istilah balas budi. Caleg yang sudah duduk tidak memiliki ikatan moral dengan pemilih yang sudah dikasihnya uang. Begitu juga pemilih tidak boleh lagi menuntut yang macam-macam dengan wakil rakyat.

Apa jadinya kalau wakil rakyat sudah tidak memiliki ikatan dengan pemilihnya? Apa jadinya parlemen apabila tidak memiliki rasa kepedulian dengan rakyat? Pernyataan tersebut terus menggelayuti pikiran saya. Saya dan pembaca sekalian mungkin tidak bisa berbuat apa-apa terhadap persoalan itu. Wakil rakyat hasil Pemilu 2009 nanti sangat sulit diharapkan bisa membela kepentingan rakyat. Sebab, mereka sudah membayar suara rakyat. Rakyat juga tidak bisa mendikte atau mendesak wakil rakyat agar persoalan mereka diperjuangkan di parlemen. Sebab, mereka telah dibayar, dan itu artinya tidak ada kewajiban wakil rakyat membela nasib mereka. Dewan yang akan datang dipastikan lebih memikirkan urusan pribadi dan partainya saja.

Langkah pertama yang diambil wakil rakyat adalah memikirkan modal kampanye bisa kembali. Siapapun Dewannya pasti akan berusaha agar seluruh biaya kampanye sampai bisa duduk harus kembali. Ada yang mungkin berpikir, modal yang telah keluar biarkan saja. Yang penting sekarang bisa duduk di kursi parlemen itu adalah sebuah keuntungan besar. Duduk di kursi Dewan secara materi mungkin kecil, tapi secara politik dan sosial memberikan keuntungan besar. Dulu yang tidak dihormati, sekarang sudah menjadi orang terhormat. Dulu tidak pernah diundang, sekarang undangan datang silih berganti. Itu semua adalah sebuah keuntungan. Tapi, seberapa besar Dewan berpikir demikian. Umumnya, wakil rakyat lebih sibuk memikirkan keuntungan materi dari pada keuntungan non materi.

Lihat saja nanti, Dewan yang baru saja menjabat sebagai wakil rakyat, mereka akan ditawarkan kredit bank. Paling sedikit Rp 100 juta atau lebih dari itu. Uang kredit itu akan digunakan, pertama untuk mengamankan caleg-caleg satu partai yang tidak terpilih. Kedua, menyelesaikan seluruh utang di toko fotokopi, di tempat pembuatan baliho, utang dengan kawan-kawan dan sebagainya. Ketiga, membeli mobil baru. Keempat, rehab rumah. Perilaku Dewan seperti itu tidak bisa disalahkan. Mereka telah menikmati hasil jerih payahnya sendiri. Mereka telah berjuang sekuat tenaga agar bisa duduk di parlemen. Rakyat tidak bisa menyalahkannya, karena mereka tidak punya lagi ikatan atau balas budi dengan rakyat.

Apabila rakyat demo mendesak agar Dewan bisa memaksa eksekutif memperhatikan jalan rusak di daerahnya, lalu Dewan sekadar mendengar saja, mereka tidak bisa disalahkan. Apabila ada warga ngeluruk Dewan, minta pembangunan sekolah atau Puskesmas, lalu Dewan bilang siap menampung aspirasi itu, jangan disalahkan. Sebab, mereka tidak lagi memiliki kewajiban membela rakyat seperti itu. Masalahnya, suara rakyat itu sudah dibayar saat kampanye dulu. Tidak ada lagi balas budi atau kewajiban membela rakyat.

Mungkin apa yang saya tulis sedikit emosial atau tendesius. Namun, apa yang saya sampaikan itu didapatkan dari kesimpulan berbagai kalangan terhadap buruknya Pemilu 2009. Pesta demokrasi penuh dengan money politic. Lantas, apa yang bisa diharapkan dari sebuah proses yang buruk. Harapan kita satu-satunya hanyalah eksekutif yang mudah-mudahan pro rakyat. Semoga! *

Minggu, 19 April 2009

Moralitas Wakil Rakyat

Rosadi Jamani

Tontonan memilukan, oknum anggota DPRD Kayong Utara, SG nyaris dihakimi massa karena membawa gadis di bawah umur. Inilah aib paling memalukan diperlihatkan wakil rakyat sepanjang tahun 2009. Tentunya, aib itu sangat mengejutkan dan membuat orang bertanya-tanya, apakah seperti itu perilaku wakil rakyat?

Ada orang mengatakan, SG itu adalah Dewan yang apes. Padahal, masih banyak perilaku anggota Dewan lebih parah dari itu. Cuma, tidak ketahuan saja. Para wakil rakyat itu paling pandai membungkus perbuatan aib. Istilah yang lazim di dunia legislatif, “pandai makan harus pandai bungkus”.

SG adalah satu dari sekian ribu wakil rakyat yang tidak mengindahkan moralitas agama maupun adat di masyarakat. Perilaku seorang wakil rakyat seperti itu memang tidak bisa dibenarkan. Siapapun orangnya pasti akan memberikan “kutukan” atau makian. Sebab, wakil rakyat yang semestinya memperjuangkan kesulitan rakyat, justru memanfaatkan kelemahan rakyatnya untuk mencari kesenangan pribadi. Tabiat wakil rakyat seperti itu apa yang bisa diharapkan untuk memperjuangkan nasib rakyat?

Dalam tataran idealisme, wakil rakyat itu adalah utusan rakyat. Mereka dipilih untuk memperjuangkan segala keluhan, keinginan, aspirasi dan kemauan rakyat. Lewat mulut merekalah (secara resmi) tuntutan rakyat bisa disampaikan ke pemerintah. Dengan tanggung jawab seperti itu, seorang legislator harus mengetahui seperti apa keinginan dan aspirasi rakyatnya. Untuk mengetahui itu, wakil rakyat harus menyatu dan berada di tengah rakyatnya.
Sebagai contoh, ada desa yang sampai saat ini masih terisolasi. Tidak ada jalan darat dan jembatan yang menjadi jalur transportasi ke desa itu. Kalaupun ada jalan darat, hanya jalan setapak atau jalan tikus. Kehidupan masyarakatnya di bawah garis kemiskinan. Mereka hanya mengandalkan hasil pertanian. Kondisi masyarakat seperti itu adalah tanggung jawab wakil rakyat untuk memperjuangkannya.

Perjuangan untuk membangun desa itu bisa dimulai dari Musrenbang tingkat kecamatan. Di sinilah wakil rakyat bisa memperjuangkan desa itu masuk dalam rencana pembangunan jangka pendek. Berhasil memperjuangkan di tingkat kecamatan, berjuang lagi di tingkat Musrenbang Kabupaten. Untuk mengawal desa itu masuk dalam prioritas pembangunan, sangat dibutuhkan perjuangan wakil rakyat. Apabila sudah masuk Musrenbang, langkah wakil rakyat selanjutnya adalah memperjuangkannya masuk RAPBD. Apabila tidak masuk RAPBD, di sinilah letak peran aktif wakil rakyat untuk berjuang sekuat tenaga agar desa itu masuk pembangunan. Apabila sudah masuk APBD, berarti perjuangan wakil rakyat itu membuahkan hasil. Kira-kira demikian idealisme tugas dan kewajiban anggota dewan terhadap rakyatnya.

Kenyataannya, banyak wakil rakyat justru tidak peduli dengan penderitaan atau kemauan rakyatnya. Sebagai contoh, saat Musrenbang tingkat kecamatan atau kabupaten, jarang wakil rakyat datang. Walaupun itu digelar oleh pihak eksekutif, tapi paling tidak di situlah wakil rakyat bisa memperjuangkan nasib rakyatnya. Sebab, hasil Musrenbang merupakan acuan utama untuk menggarap APBD.

Yang sering ditemukan juga, dalam menggarap RABPD saja banyak dewan yang tidak peduli. Memang ada yang serius menggarap itu, tapi jumlahnya terbatas. Kebanyakan justru tidak hadir di gedung Dewan alias ngantor. Mereka malah sibuk dengan urusan pribadinya di luar Dewan. Padahal, dalam penyusunan APBD, di situlah letak peran utama wakil rakyat untuk membantu rakyatnya sendiri. Dewan seperti itulah yang tidak peka terhadap penderitaan rakyat. Dewan seperti itulah yang diragukan moralitasnya.

Moralitas itu penting. Walaupun itu tidak diatur seperti apa bentuknya, tapi moralitas itu adalah ukuran kebaikan untuk seorang wakil rakyat. Dewan yang memiliki moralitas baik, dia pasti dekat dengan rakyatnya. Sebaliknya, Dewan yang hanya pura-pura memiliki moralitas, dia pasti lebih memikirkan kesenangan pribadi ketimbang peduli terhadap kesulitan rakyatnya sendiri. SG adalah pelajaran utama yang mesti dijadikan pelajaran oleh seluruh anggota Dewan yang lain. Tidak ada gunanya penyesalan kalau aib itu sudah terjadi. *

Pesta Demokrasi yang Bertabur Uang

Antara Golput dan Romantis
Oleh: Rosadi Jamani

Saya memperkirakan Pemilu 2009 yang baru saja berlalu lebih baik dari Pemilu 2004. Ternyata, perkiraan itu jauh meleset. Yang terjadi justru pesta demokrasi yang berakhir 9 April itu paling buruk sejak reformasi bergulir. Penilaian itu juga sudah diumumkan sejumlah tokoh nasional. Apa artinya? Berarti, demokrasi yang dibangun bukannya lebih baik tapi lebih buruk. Demokrasi yang semestinya semakin lebih baik, justru lebih buruk. Apakah mungkin untuk Pemilu 2014 menjadi lebih baik?

Pada 16 Maret lalu, sekitar pukul 19.19 saya mendapat SMS dari Ketua DPW Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Kalbar, Ahmadi Usman S Ag. Berikut kalimat dalam SMS itu, “Trims berita n do’anya Ros. Pemilu skrg mayoritas Golput: Golongan Pemilih Uang Tunai, dan bukan pemilih Romantis: Rokok, Makan, dan Minus Gratis sdh tak laku lagi, makenye byk yg bangkrut”. SMS itu saya balas dengan, “Ha…ha…ha…”. Maksudnya, lucu.

SMS itu tidak muncul begitu saja. Saya menilai, itu adalah sebuah kesimpulan bahwa pesta demokrasi untuk memilih wakil rakyat itu bertabur dengan uang (money politic). Walaupun saya bukan “pemain” di Pemilu itu, tapi saya bisa merasakan bahkan menyaksikan betapa pesta demokrasi itu jauh dari kualitas. Money politic merajalela tanpa ada pihak yang bisa mencegahnya. Lebih parah lagi, praktik money politic sudah menjadi budaya pesta demokrasi. Caleg terang-terangan mengumpani pemilih dengan uang. Begitu juga pemilih sibuk mendatangi caleg untuk dimintai uangnya. Jadi, praktik money politic tidak hanya dari caleg, melainkan dari pemilih juga.

Sebelumnya, saya pernah menulis dan berpendapat, jika praktik money politic sudah merajalela, untuk Pemilu 2014 tidak perlu lagi orang berakhlak, orang alim, orang berpendidikan tinggi dengan gelar panjang, orang bermoral, orang jujur atau embel-embel baik lainnya. Semua itu tidak ada gunanya untuk menarik simpati pemilih. Sebab, pemilih tidak butuh embel-embel baik itu. Mereka hanya butuh uang (money). Mereka akan memilih caleg yang memang banyak menghasilkan uang. Tulisan saya itu sedikit banyak menjadi kenyataan. Betapa uang bisa memporakporandakan basis partai tertentu yang sudah lama melakukan pembinaan.

“Sudah tidak ada artinya membina masyarakat. Saya bertahun-tahun memberikan perhatian di kampung itu. Sudah banyak uang saya sumbangkan. Ternyata, itu semua hancur dalam tempo dua hari menjelang pemilihan. Orang yang memilih saya hanya tiga orang. Ke depan, siapkan saja banyak uang, tak perlu ada pembinaan. Saat mau pencontrengan, sebarkan uang itu ke pemilih. Mereka pasti mau,” kesal salah satu caleg yang kebetulan teman saat di kampus.
Umumnya caleg kecewa dengan Pemilu yang baru saja berlalu. Di mana-mana ada kecurangan. Panwaslu yang semestinya jadi wasit, justru tidak berdaya. KPU yang berusaha menggelar Pemilu sebaik mungkin juga tidak berdaya. KPU hanya bisa pasrah menghadapi banyaknya pelanggaran.

Saya ingin mencuplik lagi sebuah kekecewaan dari seorang caleg asal Kabupaten Sekadau. Namanya tidak etis saya sebutkan. “Panwaslu sudah tidak ada artinya. Money politic ada di mana-mana, tidak bisa dihentikan. Untuk Pemilu akan datang, lebih baik kampanyekan money politic. Ayo, bertarung memperebutkan pemilih dengan money politic!” katanya dengan nada penuh kesal. Saya sedikit memahami ungkapan emosional itu. Caleg itu kalah dan tidak bisa duduk di kursi Dewan. Dia sudah banyak menghabiskan uang, tapi kalah berantakan oleh caleg yang memiliki uang lebih besar lagi. Satu hal yang ingin saya ambil, money politic benar-benar menjadi virus yang menggerogoti idealisme demokrasi kita. Demokrasi mengidap virus money politik yang sudah kronis. Sangat sulit untuk disembuhkan. Bahkan, saya bisa menyimpulkan money politic sudah menjadi budaya. Ini akan menjadi ancaman serius bagi perkembangan demokrasi di daerah ini dan Indonesia. Parahnya money politic tersebut membuat banyak kalangan meragukan kualitas wakil rakyat yang terpilih. Salah satunya, dosen ilmu politik Program Magister Ilmu Sosial Untan, Drs Gusti Suryansyah M Si. Kebetulan dia juga adalah dosen saya. Saya setuju dengan pendapatnya yang mengatakan bahwa kualitas wakil rakyat yang terpilih diragukan kualitasnya. Sebab, mereka duduk di kursi legislatif bukan karena kualitas pribadi, melainkan main duit.

Uang itu memang perlu dalam aktivitas politik. Tanpa uang, sebuah organisasi politik sulit berkembang. Tanpa uang juga, visi dan misi sebuah partai juga sulit dikampanyekan ke masyarakat. Begitu juga dengan caleg, tanpa uang mereka memang sulit mengampanyekan bahwa dirinya hebat dan berkualitas. Semuanya memang perlu uang. Apalagi di zaman yang menjunjung tinggi materialism sekarang ini, uang banyak dijadikan tujuan utama. Namun, uang juga bukan segala-galanya. Tidak semua mesti harus diukur dengan uang. Untuk menunjukkan kualitas pribadi tidak mesti harus dengan uang. Saya ingat pepatah orang tua kita dulu, orang baik ditempatkan di manapun tetap baik. Atau peribahasa, mutiara ditaruh di lumpur sekalipun tetap mutiara.

Lebih jelasnya saya contohkan kualitas pribadi yang phenomenal. Sebut saja almarhum Mamatma Gandhi mantan Presiden India. Sampai sekarang, nama Gandhi tetap dikenang di seluruh dunia. Kehebatannya diakui kawan dan lawan. Satu hal yang menarik dari Gandhi melawan penjajahan Inggris tanpa kekerasan. Untuk melawan sebuah ketidakberesan haruslah dengan cara yang terhormat, santun dan tidak menyakiti orang lain. Gandhi adalah miskin yang melawan dominasi Inggris yang begitu kuat. Tidak mungkin dilawan dengan kekuatan tenaga atau senjata. Tapi, di lewat tangan Gandhi yang hitam dan kurus, tanpa balutan pakaian mewah, hanya beralaskan sandal jepit, dia berhasil menyingkirkan Inggris dari India.

Mungkin terlalu jauh mengambil contoh Mahatma Gandhi dalam konteks pesta demokrasi Indonesia. Saya berani mengambil contoh, Muda Mahendrawan, Bupati Kubu Raya. Dia berhasil memenangkan Pilkada Kubu Raya tahun 2008 hanya bermodalkan kedekatan diri kepada rakyat. Dia mendapat gelar sebagai orang nomor satu di kabupaten ke-14 di Kalbar itu karena pilihan rakyat. Padahal, lawan politik yang dihadapinya orang hebat yang duitnya tidak berseri (saking banyaknya). Saat kampanye saja, dia tidak mendatangkan artis. Dia hanya bergerak mengikuti kehendak rakyat saja. Hasilnya, Muda terpilih sebagai bupati dengan meraih suara terbanyak mengungguli calon-calon yang lain. Dalam pesta demokrasi itu, yang bermain bukan money politic, melainkan kualitas pribadi. Orang memilih Muda bukan karena dia banyak duit, melainkan dia telah banyak berjasa dan berbuat untuk Kubu Raya.

Tapi, kualitas pribadi seorang politikus sulit dicari. Mungkin banyak di sekitar kita, tapi mereka umumnya tidak berduit. Sementara kualitas pribadi rendah bertabur uang, cukup banyak. Mereka-mereka inilah yang nantinya akan mewarnai peta politik di negeri ini. Jika sudah demikian, saya sangat pesimis negeri ini cepat maju, rakyatnya yang banyak miskin bisa keluar dari kemiskinan.

Apa yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan demokrasi dari kehancuran? Sangat sulit menjawabnya. Secara normatif bisa saya jawab, mendukung politisi yang berkualitas untuk duduk di parlemen. Walaupun sedikit, yang sedikit itu diharapkan bisa menjadi gula yang bisa “memaniskan” belanga politik di negeri ini.*

Teknologi 3 GT Mempertahankan NKRI

Potret Nelayan di Garis Perbatasan Laut Indonesia-Malaysia
Oleh Rosadi Jamani

Saya memulai tulisan ini dari pernyataan Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP) Departemen Kelautan dan Perikanan, Dr Ir Aji Sularso MMA menyatakan, Indonesia hanya memiliki 20 kapal pengawas untuk mengawasi panjang pantai 95.181 kilometer persegi (km²), laut kepulauan 2,3 juta km², laut territorial 0,8 juta km² dan luas laut zona ekonomi eksklusif 2,7 km². Jumlah kapal patroli itu jauh dari kata ideal. Sementara diperkirakan ada 500 kapal nelayan asing mencuri ikan di Indonesia dalam setiap tahunnya. “Apa yang bisa kita lakukan dengan jumlah kapal pengawas sebanyak itu untuk mengawasi nelayan asing yang jumlahnya sekitar 500 kapal mencuri ikan di laut kita yang luas,” ujar Aji Sularso dalam seminar nasional tentang kelautan dan perikanan di Balai Petitih Kantor Gubernur Kalbar, 23 Maret 2009 lalu.

Mendengar pernyataan itu, saya berkata dalam hati, wajar saja banyak kapal Thailand dan Malaysia yang ditangkap di perairan Kalbar. Untuk Kalbar, data dari Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Pontianak hanya memiliki sembilan kapal pengawas. Pengawasan itupun tidak sampai menjangkau perbatasan laut antara Indonesia-Malaysia yang berada di utara Kalbar, persisnya di Tanjung Datuk Desa Temajuk Kecamatan Paloh Kabupaten Sambas. “Kita tidak ada personel dan kapal untuk mengawasi perbatasan laut kita dengan Malaysia,” kata Kepala PSDKP Pontianak, Bambang Nugroho ketika dihubungi, Senin (13/4).
Lantas bagaimana cara Indonesia mengawasi perbatasan laut itu? TNI Angkatan Laut (TNI AL) paling bertanggung jawab terhadap penjagaan perbatasan laut itu. Di Tanjung Datuk memang ada Pos Angkatan Laut (Posal) dengan lima personel yang diganti setiap enam bulan sekali. Di Posal ini hanya dilengkapi speed board satu buah panjang lima meter dengan kecepatan 15 km/jam. Kemudian, ada juga teropong dan alat komunikasi jarak jauh. Setiap pukul 06.00 sampai 18.00 WIB komandan Posal yang berpangkat letnan dua akan melaporkan setiap aktivitas yang terjadi di perbatasan laut itu.

Ada juga personel dari Dinas Perhubungan Kalbar yang memasang monitor di Tanjung Datuk itu. Dulu, melalui monitor itu, aktivitas nelayan asing bisa diawasi. “Sayang, saya cek terakhir, monitor itu tidak lagi berfungsi. Satu-satunya sumber pengawasan kita hanya mengandalkan teropong dan informasi dari nelayan kita yang mencari ikan di laut,” kata Komandan Pangkalan Angkatan Laut (Danlanal) Pontianak, Kolonel Laut (P) Trikora Harjo di ruang kerjanya, belum lama ini.

Kondisi tersebut tentunya sangat mengkhawatirkan. Seperti itulah gambaran awal dari pikiran saya setelah mendengarkan pemaparan dari berbagai pihak yang berkompeten terhadap laut Indonesia. Untuk membuktikan itu, saya selama dua hari satu malam (27-28 Maret 2008) mengunjungi langsung Desa Temajuk, sebuah desa persis berbatasan darat dan laut dengan Sarawak Malaysia. Saya ingin melihat dari dekat seperti apa kehidupan warga desa yang 90 persen adalah nelayan. Untuk mencapai ke Desa Temajuk dari Pontianak diperkirakan 10-12 jam menggunakan sepeda motor. Jika menggunakan mobil, dari Pontianak hanya bisa sampai di Desa Sebubus Kecamatan Paloh Kabupaten Sambas. Setelah itu, harus menggunakan jasa ojek sepeda motor karena belum ada jalan aspal menuju Desa Temajuk. Satu-satunya jalan menuju Temajuk menggunakan jalan tepi pantai saat air surut. Atau, menggunakan kapal motor laut.
Satu hal yang membuat saya harus ke Temajuk, ingin membuktikan informasi dari P2SDKP bahwa nelayan Indonesia jauh tertinggal dari segi teknologi bila dibandingkan Thailand, Vietnam ataupun Malaysia. “Kalau soal teknologi, jika dibandingkan dengan Malaysia, kita kalah jauh. Nelayan kita hanya memiliki kapal rata-rata 2 GT (Gross Tonase, red) dengan mesin antara 3-5 PK. Sementara Malaysia rata-rata memiliki kapal 30-50 GT dengan mesin antara 300 - 500 PK, bahkan ada yang 1.500 PK,” jelas Aji Sularso dalam seminar nasional itu.

Kemudian, nelayan Malaysia juga sudah dilengkapi radar untuk mengetahui keberadaan ikan serta global positioning system (GPS). Sementara nelayan di perbatasan umumnya hanya mengandalkan instinct (naluri) atau melihat ciri-ciri alam untuk mengetahui keberadaan ikan. “Untuk sementara, nelayan kita sangat jauh dalam penguasaan teknologi perikanan,” tambah Aji Sularso.

Setelah sampai di Desa Temajuk, memang benar 90 persen warganya adalah nelayan. Ada sekitar 600 kepala keluarga (KK) tinggal di desa itu. Melihat kehidupan nelayan, secara umum tidak jauh berbeda dengan nelayan Indonesia yang rata-rata miskin. Di desa itu memang ada pasar kecil, tapi sepi. Ada sekolah dari tingkat sekolah dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA). Untuk pelayanan kesehatan ada Puskesmas dan Puskesmas Pembantu. Tidak ada bank dan listrik. Bila malam hari warga hanya mengandalkan mesin genset untuk penerangan, itupun hanya bertahan sampai pukul 00.00. Tidak ada jaringan telepon selular. Untung saja pelayanan air bersih, ada. Sumber airnya berasal dari gunung tidak jauh dari desa itu.

Di desa itu, interaksi warganya dengan warga Kampung Teluk Melano Sarawak Malaysia, cukup tinggi. Untuk ke Teluk Melano yang berbatasan langsung dengan Temajuk hanya butuh waktu 15 menit menggunakan sepeda motor. Saya coba masuk ke Teluk Melano menggunakan sepeda motor. Di perbatasan tidak ada pemeriksaan paspor atau identitas lainnya oleh tentara Malaysia. Orang Temajuk biasanya bebas ke Teluk Melano tanpa ada pemeriksaan. Dua warga beda negara itu dalam kehidupan sehari-hari adalah keluarga besar. Orang Teluk Melano bebas masuk ke Temajuk, begitu juga sebaliknya. Telah terjadi interaksi sosial, budaya dan ekonomi kedua daerah beda negara itu.

Di Teluk Melano, kehidupan warganya lebih baik dibanding warga Temajuk. Mereka hanya unggul pada ketersediaan listrik, telepon, sarana telekomunikasi. Bangunan sekolah dasar (SD)-nya saja empat tingkat dilengkapi sarana internet. Sementara SD di Temajuk, gedungnya tidak bertingkat, namun fisik bangunannya lumayan bagus. Cuma, tidak ada fasilitas internet. Warga di Teluk Melano juga rata-rata nelayan. Dari segi pendapatan, warga Teluk Melano jauh lebih tinggi dari nelayan di Desa Temajuk. Apa yang membedakannya? Padahal, laut tempat mereka menangkap ikan itu sama. Bedanya, hanya dipisahkan batas laut saja.

Untuk menjawab itu, saya bertanya langsung dengan salah satu tokoh nelayan Desa Temajuk, Karta. Dia mengatakan, nelayan di Temajuk kebanyakan hanya menggunakan kapal mesin 3 GT ke bawah dengan mesin antara 3-5 PK (umumnya mesin tempel). Pada era tahun 1990-an di saat bensin dan solar masih murah, jumlah kapal mencapai 60-an. “Sekarang, bensin dan solar di Temajuk Rp 7000 per liter. Jadi, jumlah kapal jauh susut sekitar 20-an saja,” jelas Karta kepada saya di kediamannya pada 28 Maret 2009 lalu.

“Kapal 6 GT juga ada, tapi hanya satu buah saja. Terus terang, untuk saat ini kehidupan nelayan di Temajuk sangat memprihatinkan. Mereka mencari ikan hanya sekadar menyambung hidup dan bayar utang. Jangan berharap hasil dari laut bisa kaya. Mereka memang dapat sekitar Rp 1 juta per bulan, tapi habis dipotong utang, bayar bensin dan solar,” keluh Karta didampingi sejumlah nelayan lainnya.

Mesin kapal yang mereka gunakan kebanyakan buatan Cina merk Yanmar 33 dan Dongfeng 30. Ada juga mesin tempel dengan kecepatan 5 PK. Dengan teknologi itu, mereka hanya bisa mencari ikan antara 4-5 mil dari garis pantai. Ikan yang mereka dapatkan seperti kakap merah, eron, kerapu, bawal dan mancung. Pada saat saya ke sana itu, nelayan sedang berburu ubur-ubur. Bahkan, ada juga udang lobster. Untuk menangkap udang lobster itu dengan cara menyelam dibantu kompresor.

Hanya itulah teknologi yang dimiliki nelayan Temajuk. Hal tersebut membuat pendapatan mereka tidak meningkat, bahkan cenderung menurun mengingat biaya operasional jauh lebih tinggi dibandingkan keuntungan dari laut. “Ikan yang kami dapatkan itu, biasanya dijual ke Malaysia. Caranya, menunggu keamanan laut lengah, lalu kami masuk ke Malaysia. Kalau sudah di Malaysia, transaksi ikan lancar dengan harga jauh lebih tinggi dibandingkan daerah kita,” tambah Asy’ari yang juga tokoh masyarakat Temajuk.

Walaupun harga ikan di Malaysia mahal, tapi kebutuhan hidup juga mahal di Temajuk. Di desa itu hampir seluruh kebutuhan pokok dipasok dari luar. Bahkan, untuk gas dan gula mereka beli dari Malaysia. Dari fakta inilah, potret nelayan di garis perbatasan Indonesia-Malaysia itu jauh tertinggal dan rata-rata masih miskin.

Sementara nelayan di Malaysia kehidupan mereka mapan dari segi ekonomi. Hal ini disebabkan, teknologi nelayan yang mereka gunakan cukup tinggi. Rata-rata kapal nelayan mereka 30-50 GT dengan mesin antara 300 - 500 PK, bahkan ada yang 1500 PK. Jangkauan mencari ikan tidak hanya di pesisir pantai, melainkan sudah ke laut lepas. Kemudian, sistem pemasaran ikan juga jauh lebih maju. Nelayan Teluk Melano begitu dapat ikan langsung memasarkannya ke pelabuhan ikan Sematan. Pelabuhan Sematan hanya butuh satu jam dari Teluk Melano pakai kapal laut. Pelabuhan itu merupakan pelabuhan ikan terbesar di Sarawak. Di sanalah banyak nelayan Indonesia terutama dari perairan Kalbar menjual ikannya.

Ada dugaan, nelayan Malaysia itu banyak mencuri ikan di perairan Kalbar? Menurut keterangan Pos Pengamanan Perbatasan (Pamtas) TNI Angkatan Darat, Letnan II Jaja Jamaluddin, kalau dulu mungkin benar ada nelayan Malaysia mencuri ikan di perairan Kalbar. “Untuk sekarang, rasanya sulit. Sebab, kami dari TNI AD, TNI AL dan Dinas Perhubungan selalu mengawasi garis perbatasan laut. Kita selalu melakukan koordinasi untuk pengawasan laut itu,” katanya kepada saya di kantornya di Desa Temajuk.

Namun, berbeda dengan keterangan Danlanal Pontianak, Trikora Harjo, bisa saja nelayan Malaysia mencuri ikan di perairan Kalbar. Mereka sudah menggunakan alat canggih yang bisa memantau pergerakan kapal patroli Indonesia yang sangat terbatas. “Kapal nelayan Malaysia bisa memonitor pergerakan kapal kita di garis perbatasan. Begitu kapal kita lengah, mereka bisa saja masuk ke perairan kita lalu menangkap ikan secara ilegal. Ketika ada patroli, mereka cepat masuk ke laut mereka,” kata Trikora.

Lemahnya teknologi pengawasan itu, membuat TNI AL intensif menjalin kerja sama dengan nelayan. Lantas, apakah nelayan memang ikut menjaga perbatasan laut dari nelayan asing? “Walaupun kami hidup miskin dan sering menjual ikan ke Malaysia, kami tidak terima apabila ada nelayan asing masuk ke wilayah kita. Dulu, pernah ada kapal nelayan Malaysia menggunakan pukat trawl masuk ke perairan kita. Kami kejar dengan kapal 5 PK. Tapi, mereka cepat kabur ke batas lautnya dan langsung memutuskan pukat trawlnya. Untuk sekarang, sudah lama tidak ada nelayan asing. Tidak tahulah, apakah mereka mencuri secara diam-diam atau tidak. Kamikan hanya bisa memantau paling hanya 5-8 mil saja,” beber Karta.

Saya melihat rasa nasionalisme nelayan di Temajuk itu sangat tinggi. Walaupun mereka umumnya miskin, tapi untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak diragukan. Padahal, di daerahnya ada dua persoalan batas negara yang belum selesai atau belum jelas. Pertama, mengenai pulau kecil Gosong Niger, sejauh ini masih diperebutkan Indonesia dan Malaysia. Versi Indonesia, Gosong Niger sah milik Indonesia. Tapi, sampai saat ini Malaysia juga belum mengakuinya itu milik Indonesia. Kedua, Kampung Camar Bulan tidak jauh dari Desa Temajuk juga masih sengketa. Sampai saat ini daerah itu belum bisa diakui resmi oleh Indonesia. Begitu juga Malaysia. Pemerintah lewat TNI AD dan AL meminta bantuan nelayan ikut menjaga dua daerah itu jangan sampai dicaplok Malaysia. Keberadaan nelayan di perbatasan menjadi garda terdepan untuk mempertahankan dua daerah itu masuk NKRI.
“Kami siap mempertahankan Gosong Niger dan Camar Bulan masuk NKRI dengan nyawa taruhannya. Warga di Temajuk sangat sensitif apabila Malaysia mengungkit-ungkit persoalan Gosong Niger dan Camar Bulan,” tekad Karta dengan berapi-api.

Apakah ada perhatian pemerintah daerah untuk kesejahteraan warga Desa Temajuk? Karta menjawab, memang ada bantuan dari Pemkab Sambas untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Bantuan itu berupa pukat 30 utas (gulungan) dengan mesin dongfeng 13 buah tahun 2003 lalu. “Kami dibantu pukat ukuran 5 inci. Itukan pukat kasar untuk ikan besar. Sebenarnya kami butuh pukat 2 - 3 inci. Ketika dioperasikan, hasilnya tidak seberapa, sementara dana operasionalnya sangat tinggi. Akhirnya, bantuan itu jadi mubazir. Sampai sekarang, nelayan di sini tetap menggunakan cara tradisional, tanpa ada teknologi canggih. Mereka mencari ikan hanya berdasarkan pengalaman saja. Apabila laut teduh, mereka mencari ikan. Apabila laut gelombang tinggi dan penuh badai, mereka tidak melaut. Di saat tidak melaut, mereka banyak berutang ke agen ikan atau tengkulak. Itu sebabnya, nelayan sulit keluar dari utang. “Sampai kapanpun utang kami sulit dibayar ke agen. Kalau tidak ngutang, anak dan istri kita mau makan apa. Sementara hasil laut, hanya mengandalkan di saat laut teduh saja. Kalau musim badai, kita tidak bisa apa-apa,” papar Karta.

Satu-satunya harapan mereka, pemerintah bisa membangun jalan darat dari Paloh menuju desa mereka. Dengan adanya akses jalan itu akan membuka seluruh potensi desa mereka. Potensi Temajuk selain kelautan dan perikanan juga ada potensi pertanian yang sampai saat ini belum dikembangkan. Jika itu dilakukan, di saat laut penuh badai, mereka bisa mengolah pertanian sambil menjaga wilayah batas NKRI. Pemerintah juga bisa menjadikan warga Desa Temajuk beralih dari nelayan tangkap menjadi nelayan budi daya. Sebab, laut di Temajuk sangat potensial untuk budi daya rumput laut, ikan kerapuk, udang dan sebagainya. Teknologi mencari ikan juga harus ditingkatkan. Dengan pemberdayaan itu dan melengkapi nelayan dengan teknologi mutakhir, nelayan pasti bangga dan merasa diperhatikan Indonesia. Apabila mereka diperhatikan, mereka juga memiliki tanggung jawab kuat untuk menjaga kedaulatan Indonesia.
Yang saya khawatirkan, walaupun nelayan itu memiliki tekad untuk tetap menjadi warga NKRI, tapi apakah itu bisa dijadikan jaminan? Saya khawatir, apabila pemerintah tidak peduli, mengabaikan tuntutan mereka, bukan tidak mungkin rasa nasionalisme mereka akan luntur. Saya masih ingat dengan warga perbatasan Kecamatan Puring Kencana Kabupaten Kapuas Hulu Kalbar pada Maret lalu mengirim surat ke pemerintah pusat akan keluar dari NKRI. Alasannya, sepele. Mereka merasa tidak diperhatikan Indonesia. Negara Malaysia justru lebih banyak memperhatikan mereka. Atas surat tersebut Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan mengutus langsung Deputi Pertahanan Negara bersama Danrem 121 Alambhana Wanawai dan Danlanud Supadio turun ke lapangan mengecek keinginan warga Puring Kencana itu. Walaupun pernyataan wakil pemerintah pusat itu membantah warga Puring Kencana keluar dari NKRI (Equator, 6 Maret), kenyataan di lapangan daerah perbatasan itu sangat jauh tertinggal dalam soal pembangunan.

Persoalan itulah yang dikhawatirkan. Bukan tidak mungkin warga Temajuk akan melakukan hal serupa dengan saudaranya di Puring Kencana untuk keluar dari NKRI karena tidak diperhatikan pemerintah pusat dan daerah. Cara terbaik agar warga Temajuk tetap betah dan senang mengaku “Aku Warga Negara Indonesia” perbaiki cara tangkap ikan dengan teknologi mutakhir agar bisa bersaing dengan tetangganya. Begitu juga teknologi budi daya ikan laut diberikan agar mereka tidak hanya mengandalkan tangkap ikan saja. Intinya, pemerintah pusat dan daerah memberikan perhatian serius kepada nelayan Temajuk agar mereka tetap bangga hidup di bawah bendera NKRI. *

Kamis, 16 April 2009

Korupsi Besar Mesti Ditangani Bersama

Rosadi Jamani

Kasus dugaan korupsi DAK Diknas Pendidikan Kota Pontianak saat ini sedang disidangkan di Pengadilan Negeri (PN). Tersangkanya sedang dipenjarakan oleh Kejari. Awalnya kasus itu sempat diragukan banyak orang. Paling habis begitu saja. Dugaan itu meleset, ternyata kasus itu diselesaikan berdasarkan hukum yang berlaku di negeri itu. Kenapa kasus yang melibatkan pejabat tinggi Kota Pontianak itu bisa diseret ke PN, karena lembaga anti korupsi menggarapnya secara taktis dan strategis.

Kasus itu mencuat karena adanya laporan dari lembaga anti korupsi. Semua data dikumpulkan. Segala saksi dimintai keterangan. Setelah semua bukti dan saksi lengkap, lalu disusun dalam bentuk laporan resmi dan diajukan ke Kejari Kota Pontianak. Ketika itu dilaporkan ke Kejari, lembaga hukum itu tidak perlu susah-susah untuk memprosesnya. Dari laporan yang lengkap itu, Kejari bisa bergerak cepat untuk menangkapi pihak yang diduga memakan uang rakyat itu. Seperti itulah kinerja lembaga anti korupsi yang telah berjuang demi menyelamatkan negeri ini dari bahaya korupsi. Kemudian, upaya menggarap kasus korupsi itu tidak dilakukan sendirian, melainkan secara bersama-sama. Kalau sendirian, kasus itu sulit terkuak. Itu sebabnya, setiap kasus korupsi yang mencuat di media massa telah melewati kajian mendalam secara bersama oleh sejumlah lembaga anti korupsi.

Beralih ke kasus dugaan mark up besar-besaran pembebasan lahan komplek Kantor Bupati Sekadau yang diduga merugikan negara mencapai Rp 20,5 miliar itu, telah mencuat di Equator sejak 15 Maret lalu. Kasus itu sebenarnya sudah lama dan sudah dilaporkan ke Polda Kalbar 18 Maret 2006 lalu. Cuma, sampai saat ini perkembangan kasus itu jalan di tempat, alias tidak jelas. Alasan Polda sangat banyak. Salah satunya, tidak adanya hasil audit BPKP.

Karena berlarut-larut kasus itu, hal ini menimbulkan keraguan dari sejumlah lembaga anti korupsi di Kalbar bahwa Polda tidak bisa menyelesaikan kasus besar. Keraguan itu menyebabkan sejumlah lembaga anti korupsi berembuk. Mereka mencari jalan terbaik untuk menyeret para koruptor itu ke penjara. Lalu, diambilah langkah melaporkan kasus itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pihak lembaga anti korupsi yang ada di Kalbar menyimpulkan, untuk menggarap kasus yang banyak melibatkan pejabat tinggi tidak bisa sendirian. Kasus itu mesti “dikeroyok” bersama-sama. Kemudian, mainnya juga tidak bisa lagi di Kalbar, melainkan di Jakarta. Di Kalbar sudah tidak bisa lagi diharapkan kasus itu bisa tuntas. KPK sudah menerima laporan kasus itu. Cuma, perlu ada langkah strategis yang mesti dilakukan agar kasus itu menjadi prioritas oleh KPK. Selain itu, kasus tersebut masih ditangani Polda. Lembaga anti korupsi berencana mendesak Kapolri menyerahkan kasus itu ke KPK. Tujuannya agar proses itu menjadi cepat. Untuk mendesak Kapolri atau KPK agar menjadikan kasus itu prioritas butuh perjuangan tingkat tinggi. Di sinilah perlu strategi yang sedang dirancang lembaga anti korupsi.

Harus kita akui, perjuangan untuk menjebloskan pejabat ke penjara sangat berat. Kenapa pencuri ayam dengan mudah dijebloskan ke penjara, sementara pejabat sulit? Pertanyaan itu sering muncul di masyarakat. Penyebabnya, pencuri ayam itu tak beduit, tak ada backing, tak ada preman dan tak ada power. Sementara pejabat itu memiliki segala kekuatan. Itu sebabnya, perjuangan untuk mengkerangkeng para pejabat tinggit perlu kerja ekstra dan keberanian luar biasa. Untuk memperjuangkan itu jelas tidak bisa sendirian.

Kita berkeyakinan, siapapun yang telah memakan uang rakyat, harus dipenjara. Kalau tidak tahun ini, tahun depan. Kasus itu sudah dilaporkan ke KPK, dan tidak mungkin KPK mem-peties-kannya. Sekarang, tugas dari lembaga anti korupsi mengawal kasus itu agar cepat diproses KPK. Kalau kasus itu tidak dikawal jelas akan memakan waktu lama. Perlu kesabaran menanti kasus itu agar cepat diproses KPK. Memang seperti itulah hukum di negeri ini, tidak ada yang cepat.*

Konspirasi Korupsi

Rosadi Jamani

Siapapun orangnya pasti tidak senang dengan pejabat korup. Rasa benci itu sayang hanya bisa diucapkan, tapi realisasi benci itu kadang tak jelas. Sebagai bukti, banyak pejabat melakukan korupsi, namun banyak orang hanya mengungkapkan benci, tapi sebenarnya tidak peduli. Kalau secara umum masyarakat peduli, kita yakin korupsi tidak akan tumbuh subur di negeri ini.
Kasus mark up pembebasan lahan untuk kompleks Kantor Bupati Sekadau bisa dijadikan contoh besar, betapa banyak orang tidak peduli dengan korupsi. Kasus yang diduga merugikan negara Rp 20,5 miliar itu telah dilaporkan ke Kejati dan Polda Kalbar tahun 2006. Semenjak dilaporkan itu sampai sekarang kasus itu tidak jelas di dua lembaga itu. Anehnya, dari 2006 sampai awal 2009 tidak ada lagi masyarakat yang peduli kasus itu. Seolah-olah di Sekadau tidak ada korupsi atau menjadi daerah bersih korupsi.

Memang kasus itu tidak sesederhana seperti pencuri ayam. Kalau pencuri ketangkap basah, proses hukumnya pasti cepat. Apalagi kalau pencuri itu memang kere (miskin) akan menjadi bulan-bulanan penegak hukum. Kasus mark up di Sekadau itu sangat berat untuk diungkap. Masalahnya, pihak yang terlibat bukan orang sembarangan seperti halnya pencuri ayam yang kere itu. Yang terlibat justru pejabat tinggi dan mantan pejabat. Bagi penegak hukum di daerah ini akan berpikir seribu kali untuk memulai mengungkap kasus itu. Kalau ditanya kenapa belum diproses, atau sudah sampai di mana penyelidikannya, pasti alasanya sedang mengumpulkan bukti dan saksi. Jawaban itu sangat klasik yang sebenarnya sebuah alasan untuk mengulur waktu. Dengan tujuan, masyarakat akan lupa dengan kasus itu.

Inilah yang dinamakan konspirasi korupsi tingkat tinggi. Para pejabat akan mudah melakukan interversi aparat penegak hukum. Sebaliknya bagi aparat penegak hukum senang dengan kasus seperti itu karena bisa mendulang keuntungan materi. Di permukaan kasus itu seolah-olah sedang diusut, padahal di dalamnya sudah ada konspirasi tingkat tinggi yang sulit dibaca publik.
Apakah masuk akal dari 2006 sampai sekarang Kejati dan Polda masih ngumpulkan bukti. Padahal, dua lembaga itu juga pernah memeriksa pelapor dan mengumpulkan bukti. Padahal, bukti itu sudah jelas dari pelapor. Di tengah situasi itu, karena pemeriksaan berlarut-larut, masyarakat menjadi lupa. Hal seperti inilah yang sangat diinginkan di balik konspirasi korupsi itu. Kalau masyarakat lupa atau sudah tidak peduli jelas itu sangat menguntungkan bagi pejabat bermental korup. Penegak hukum bisa ditaklukkan, dan masyarakat sangat mudah untuk dibuat lupa.

Di balik ketidakpedulian masyarakat itu, untung masih ada satu warga yang peduli. Dialah Alimuddin Noor. Merasa Kejati dan Polda tak bisa diharapkan untuk menegakkan hukum di Kalbar, dia melaporkan kasus itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta. Laporan itu ditanggapi. Buktinya dia sudah dua kali dipanggil KPKP untuk dimintai keterangan. Bahkan, dia juga sudah menyerahkan seluruh bukti autentik kasus mark up itu.

Sejauh ini, apa yang telah dilakukan Alimuddin memperlihatkan sebuah keberanian luar biasa. Sebab, orang yang dihadapinya bukan pencuri ayam kere melainkan para pejabat yang memiliki power, daya intervensi, bahkan preman. Alimuddin hanya ingin, pemakan uang rakyat harus dihukum dan dijebloskan ke penjara. Dia juga tidak ingin kasus serupa terulang lagi di Kalbar. Kita berharap keberanian itu mendapat dukungan dari seluruh Kalbar.

Alimuddin tidak bisa dibiarkan sendirian. Lembaga anti korupsi di Kalbar mesti ikut membantunya. Dia tidak mungkin sendirian untuk menyelesaikan kasus itu. Kasus yang merugikan negara lebih hebat dari Bupati Kutai Kaltim harus digarap secara sistematis dan penuh strategi. Tujuannya, agar penggarapan kasus itu benar-benar tepat sasaran dan berujung pada kejelasan siapa pelaku sebenarnya. Jika dilakukan secara sporadic, tanpa taktik dan strategi, kita khawatir kasus itu hanya mencuat di media saja, tanpa ada kejelasan. Kita berharap, semua peduli terhadap kasus itu agar negeri ini tidak lagi menjadi surganya para koruptor.*

Daftar Panjang Kecurangan Pemilu

Rosadi Jamani

Pascapencontrengan 9 April lalu, semestinya banyak orang cerita caleg terpilih sebagai wakil rakyat. Yang terjadi justru banyak orang cerita caleg stres, caleg habis modal, caleg bangkrut, caleg tinggalkan utang, dan sebagainya. Yang banyak diceritakan lagi soal kualitas Pemilu. Hampir sebagian orang sepakat bahwa Pemilu 2009 ini yang terburuk dan terbobrok pascareformasi. Bukti nyata pesta demokrasi tak berkualitas adalah banyaknya pelanggaran yang diadukan masyarakat ke Panwaslu. Bahkan, saat ini Gakumdu kebanjiran perkara pidana dan administrasi.

Sebelum Pemilu, banyak pemerhati demokrasi berharap lebih baik dibandingkan Pemilu sebelumnya. Harapan itu jauh meleset. Di samping banyaknya pelanggaran, partisipasi pemilih juga rendah. Penyebab utamanya banyak warga yang memiliki hak pilih tidak masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ribuan orang marah karena namanya tak masuk DPT. Namun, lembaga penyelenggara Pemilu cuek bebek. Persoalan tersebut tidak bisa dipandang remeh. Seluruh media mulai mengarahkan bidikan untuk menyorot persoalan tersebut. Ada keinginan kuat, Pemilu gagal harus diulang. Mungkin keinginan itu berlebihan, namun itu sebuah kesimpulan pragmatis yang juga tidak bisa dianggap remeh.

Jika kualitas penyelenggaraan Pemilu, lantas apa bisa diharapkan oleh rakyat dari pesta yang sudah menghabiskan uang negara di atas Rp 40 triliun itu? Kasihan rakyat. Rakyat Indonesia hanya menjadi korban dari pertarungan ambisi para politisi. Sebenarnya, rakyat sudah jenuh dengan persoalan politik yang hanya menguntungkan segelintir orang saja. Yang diinginkan masyarakat saat ini adalah perbaikan kualitas hidup. Persoalan dasar bangsa ini (kemiskinan, lapangan kerja, pendidikan, kesehatan) seperti terabaikan. Sementara politik dengan cost tinggi itu lebih menonjol ketimbang persoalan dasar itu.

Negeri ini sudah dipenuhi ambisi politik. Dunia politik sepertinya sebuah lapangan kerja yang menawarkan banyak keuntungan dan kemewahan. Dunia politik banyak membuat orang terkesima. Tidak heran apabila setiap ada hajatan politik begitu banyak antusias masyarakat. Padahal, antusias masyarakat itu adalah sesuatu yang semu di tengah kemiskinan. Jujur harus diakui, rakyat di tengah situasi sulit sekarang sangat membutuhkan perbaikan ekonomi, bukan politik. Politik memang perlu, namun janganlah berbelit-belit, berlarut-larut, dan berulang-ulang.

Dominasi politik yang begitu tinggi membuat masyarakat banyak terbuai dalam mimpi-mimpi politik. Dalam bayangan rakyat, menjadi Dewan itu gaji besar, banyak fasilitas, bisa beli mobil dan buat rumah mewah. Bahkan, jadi Dewan bisa menjadi tonggak menuju kekuasaan (kepala daerah). Mimpi-mimpi itulah yang banyak memengaruhi masyarakat. Jangan heran, saat pencalegkan dulu begitu tingginya orang mau menjadi caleg. Kalau diukur kualitas individu dan finansial, mereka umumnya rendah. Banyak tak miliki kerja alias pengangguran.

Kembali kepada kualitas Pemilu yang anjlok, persoalan tersebut semakin membuat negeri ini jauh dari keinginan rakyat. Ke depannya rakyat hanya dijejali dengan persoalan politik. Pemerintah juga sibuk ngurus politik. Pada akhirnya persoalan pembangunan mendapatkan porsi sedikit. Jika sudah demikian, negeri ini hanya unggul dalam politik. Sementara bidang ekonomi, pertahanan keamanan, pertanian, pendidikan, kesehatan, Indonesia rendah di tengah percaturan dunia internasional.

Kita sudah telanjur berdemokrasi. Mau tidak mau atau suka tidak suka, kita harus merawat demokrasi yang lebih banyak merugikan rakyat itu. Kita hanya bisa berharap, Pemilu serupa atau sejenis harus lebih baik lagi dan menjadikan Pemilu terburuk itu sebagai pelajaran utama. Setelah Pemilu legislatif, sebentar lagi Pemilu Presiden (Pilpres). Sepertinya, sejuta masalah juga sudah menanti. Banyak pihak menginginkan, Pilpres jangan dulu digelar sebelum semua persoalan menyangkut DPT atau segala bentuk kecurangan diselesaikan dulu. Jika itu tidak diselesaikan, Indonesia akan dihantui persoalan politik yang tidak menguntungkan rakyat. Jangan ulangi lagi kesalahan serupa!

Sabtu, 11 April 2009

Evaluasi untuk Lebih Dewasa atau Semakin Kerdil

Oleh: Rosadi Jamani

Pemilu 9 April baru saja berlalu. Walaupun Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum rampung menghitung suara, namun secara garis besar calon legislatif (caleg) dan partai politik (parpol) sudah mengetahui nasibnya. Bagi yang hampir dipastikan terpilih jadi wakil rakyat, pasti senang. Berarti segala pengorbanan dan perjuangannya selama ini berhasil. Segala strategi dan taktik yang dilancarkan benar-benar jitu. Sebaliknya, bagi yang sudah pasti tak terpilih sebagai anggota Dewan, pasti sedih bercampur frustrasi. Apa yang telah dilakukan, segala taktik dan strategi untuk menaklukkan pemilih berakhir sia-sia. Itulah yang dinamakan nasib politik. Pasti ada yang menang dan kalah.

Saya punya cerita menarik pasca pencontrengan 9 April itu. Sabtu (10/4) malam lalu, ada kawan datang bertamu ke kantor saya. Dia ada perlu dengan bagian iklan. Personel bagian iklan kebetulan lagi keluar sebentar. Sambil menunggu, dia menceritakan kisah kelakuan caleg pasca Pemilu.

“Ada dengar nggak, salah satu caleg di Jeruju Pontianak minta kembalikan semen,” katanya memulai cerita. “Tak ada tu, bang! Gimana cerita, kok ada caleg minta dikembalikan semen. Waduh, seru itu!” kata saya penuh penasaran.

“Caleg itu dari salah satu partai kecil. Sebelum pencontrengan, dia telah nyumbang 20 sak semen. Dia berjanji apabila terpilih, jumlah itu akan ditambah lagi. Warga di kompleks tempat dia nyumbangkan semen itu, jelas saja senang dapat 20 sak semen gratis,” paparnya.
“Lalu, gimana lagi ceritanya,” tanya saya lagi.

“Saat penghitungan suara kemarin (10/4, red) caleg itu sangat kecewa. Ternyata di TPS di kompleks perumahan itu, dia hanya mendapatkan suara di bawah angka 20. Padahal, di kompleks itu jumlah pemilihnya 500 suara lebih. Melihat kenyataan itu, caleg itu marah-marah. Dia minta kepada warga di kompleks itu agar semen 20 sak dikembalikan. Dia kecewa merasa dibohongi,” papar kawan itu.

“Buruk siku, caleg itu,” ujar saya. “Iya, memang buruk siku. Dasar caleg tak tahu diri. Jadi, sumbangan itu tak ikhlas. Itu contoh caleg yang punya niat tidak bagus. Untung saja tidak terpilih. Kalau terpilih, mungkin habis uang rakyat dikorupnya,” ujar kawan saya itu.

Perilaku politik seperti itu cukup banyak. Mereka ngebet ingin jadi wakil rakyat dengan cara instant (cepat). Disangkanya masyarakat sekarang begitu mudah untuk memberikan suaranya. Saya melihat, masyarakat sekarang semakin cerdas untuk menentukan pilihan. Kalau caleg suka pasang janji, sementara masyarakat tidak kalah hebat dalam berjanji. Begitu dikasih sumbangan, dari mulut mereka akan mudah berjanji, “Kami siap memilih bapak, yang penting 20 sak semen dulu!” Begitu caleg menyumbangkan 20 sak semen, saat itu juga masyarakat akan memberikan penilaian. “Soal milih itukan urusan pribadi, rahasia. Tidak bisa diminta begitu saja, walaupun telah memberikan sumbangan. Memilih itu soal hati”.

Sebuah cerita seru lagi, kawan seorang anggota Dewan yang juga caleg, pada 10 Maret pagi, menelepon saya. Sebelumnya saya memang ada sms mengenai peluangnya untuk duduk di kursi dewan lagi. “Untuk sementara suara saya sudah seribu lebih untuk suara pribadi. Kalau suara partai sudah dua ribu lebih. Suara itu masih bertambah karena masih banyak TPS yang belum masuk,” katanya. “Syukurlah, saya doakan, abang bisa duduk lagi,” jawab saya. “Cuma, saya sedikit kecewa dengan warga dua desa. Di dua desa itu potensi suaranya sekitar 600-an. Jauh sebelum kampanye, saya sudah bina. Banyak bantuan saya berikan untuk desa itu. Saya yakin, paling tidak separuh suara bisa saya dapatkan di dua desa itu. Pada saat penghitungan suara, saya hanya dapatkan belasan suara saja,” bebernya.

Kawan saya itu menjelaskan, pemberian materi atau sumbangan berbentuk apapun belum menjamin bisa mendapatkan suara pemilih. “Saya tidak tahu lagi, bagaimana kalau yang hanya ngomong saja. Kita yang sudah banyak mengeluarkan dana untuk menaklukkan desa itu, hanya dapat belasan suara saja. Apalagi yang hanya jual kecap,” ujarnya.

“Saya berpikir, dengan memberikan sumbangan adalah cara paling jitu menaklukkan pemilih. Ternyata itu juga meleset. Ternyata di desa itu lebih banyak memilih keluarganya yang kebetulan jadi caleg. Unsur primordialisme masih sangat tinggi. Sumbangan atau binaan bertahun-tahun itu bukan jaminan. Saya menyimpulkan, untuk menaklukkan pemilih yang lebih bagus adalah pandai memainkan isu primordialisme. Misalnya, harus putra asli daerah, orang kite, tetangga kite, keluarga kite, suku kite, satu agama dengan kite, dan sebagainya,” paparnya.
Ada juga cerita lain dari seorang caleg yang sedang menunggu perolehan suara. Dia masih harap-harap cemas, karena suara yang didapatkan belum membuatnya aman. Suara yang didapat sangat tanggung. Harapan dia hanya mengincar kursi terakhir. “Untuk aman, saya harus mendapatkan suara 1500. Sekarang, masih kurang dari seribu. Masih ada satu daerah yang belum masuk suaranya. Harapan saya tinggal itu. Mudah-mudahan dengan suara yang akan masuk, perolehan suara saya mencapai 1500 itu,” ceritanya.

“Bagaimana saat kampanye kemarin?” tanya saya. “Memang ada daerah yang banyak memilih saya. Cuma, ada daerah yang membuat saya kesal. Di desa itu sudah lama saya bina. Sebelum Pemilu, saya sudah bina. Banyak bantuan yang sudah saya berikan. Pada masa tenang kemarin itu, ada caleg dari partai besar melakukan serangan fajar. Jadi, basis saya itu habis. Saya hanya dapat dua suara saja,” paparnya lemas.

Banyak lagi cerita-cerita seru seputar Pemilu. Umumnya, banyak caleg yang telah dikibuli pemilih. Di depan caleg yang memberikan sumbangan, pemilih berjanji akan memilih, tapi begitu di bilik suara, justru yang dipilih caleg lain. Saya yakin ada ribuan caleg yang sudah dikibuli para pemilih. Silakan marah, tidak ada yang larang, kok! Silakan ambil sumbangan yang telah diberikan! Tidak ada yang mencegah. Itu juga hak caleg. Perlu diingat, sumbangan yang akan diambil itu akan menambah kebencian pemilih. Pada setiap even pesta demokrasi, pemilih akan selalu ingat dengan politikus seperti itu. Justru itu akan semakin membuat masyarakat cerdas. Saya rasa yang lebih baik adalah mengikhlaskan seluruh sumbangan. Paling tidak, walaupun tidak terpilih sebagai wakil rakyat, caleg itu sudah berbuat untuk rakyat. Mencari orang yang pandai menyenangkan rakyat saat ini sangat sulit. Membuat senang rakyat itu bagian dari upaya membuat negeri ini maju. Ikhlaskan yang sudah disumbangkan, jangan diungkit-ungkit lagi.

Saya menyarankan, ada baiknya bagi caleg yang tidak kebagian kursi legislatif, untuk melakukan evaluasi dan instrospeksi. Kalau masih percaya dengan Tuhan, itu bagian dari suratan nasib. Di balik semua itu pasti ada hikmahnya. Jadikan semua kegagalan itu untuk mencapai sebuah kesuksesan. Pemilu tidak hanya ada tahun 2009, tahun 2014 ada lagi. Jika memang ngebet jadi wakil rakyat, jadikan apa yang telah dilakukan sebagai pelajaran. Jadikan itu semua untuk lebih dewasa dalam berpolitik, jangan justru menjadi orang kerdil. Menjadi politisi itu tidak bisa instant, butuh waktu untuk lebih dewasa. *

Rabu, 08 April 2009

Hanya Ada Dua Pilihan

Rosadi Jamani


Pemilu legislatif 9 April baru saja usai. Saat ini seluruh calon legislatif (caleg) dan partai politik (parpol) harap-harap cemas menunggu penghitungan suara resmi dari KPU. Hasil dari penghitungan suara itu hanya ada dua jawaban, terpilih atau tidak terpilih. Kalau terpilih, syukur, gembira, senang dan bersemangat. Kalau tidak terpilih, bisa pasrah, stres, kapok, kecewa dan ngedumel tak tentu pasal.

Bagi pemilih, pasca pesta demokrasi itu juga ada dua jawaban. Jika caleg yang dipilih terpilih sebagai wakil rakyat, juga ikut senang dan gembira. Tapi, kalau tidak terpilih, biasa-biasa saja, tak ada beban. Tidak perlu marah atau ngedumel seperti halnya caleg yang kalah dalam pertarungan memperebutkan kursi parlemen. Seperti itulah impact dari pesta demokrasi. Pasti ada pengaruh psikologis yang ditimbulkan dari hajatan politik itu.

Momen Pemilu merupakan pembelajaran politik paling besar bagi masyarakat. Bagi caleg atau parpol, momen tersebut telah memberikan pelajaran paling berharga untuk dunia politik. Bagi caleg yang ingin menjadi politisi hebat dan ulung, pasti menjadikan peristiwa 9 April itu sebagai khazanah politik yang harus diambil pelajarannya. Walaupun tidak terpilih sebagai wakil rakyat, momen Pemilu akan terus menjadikannya lebih dewasa dalam berpolitik. Dia akan mengevaluasi diri, kenapa tidak terpilih. Apa saja penyebab tidak bisa melenggang ke rumah rakyat. Faktor apa saja yang menyebabkannya gagal? Evaluasi tersebut itu sangat penting agar pada Pemilu berikutnya agar dia jauh lebih siap dengan memerhatikan segala kekurangan pada Pemilu saat ini. Caleg seperti inilah nantinya akan menjadi wakil rakyat yang sangat diharapkan masyarakat atau caleg yang memberikan perubahan besar bagi daerahnya.

Sebaliknya, bagi caleg yang hanya berniat untuk mencari pekerjaan, apabila tidak terpilih, dia tidak akan mengevaluasi apa yang telah dilakukannya. Dia justru kecewa dan frustrasi. Dia tidak mengambil hikmah di balik apa yang telah diperjuangkannya. Dia bukannya dewasa dalam berpolitik, tapi malah menjadi orang kerdil. Orang-orang seperti inilah yang kadang membuat kisruh politik di negeri ini. Yang ditonjolkan tidak lagi otak, melainkan otot.

Selanjutnya, bagi yang terpilih menjadi wakil rakyat, momen besar yang baru saja berlalu itu hendaknya dijadikan pelajaran berharga. Lakukan evaluasi diri, kenapa bisa terpilih? Apa saja faktor yang menyebabkannya sukses meraih kursi di parlemen? Semua itu akan menjadi referensi bagi caleg yang gagal. Kemudian, harus diingat bagi caleg yang sukses menjadi wakil rakyat itu, terpilihnya anda itu baru awal dari perjuangan. Awal perjuangan untuk memperjuangkan segala kesulitan masyarakat. Bukan justru awal untuk mencari keuntungan. Di pundak wakil rakyat ada setumpuk beban kesulitan rakyat yang mesti diperjuangkan. Jika itu tidak dilakukan, pemilih anda pasti kecewa. Kekecewaan masyarakat itu bagian dari bencana demokrasi. Suatu saat nanti anda tidak dipilih lagi oleh rakyat atau rakyat tidak lagi mau memilih, itu konsekuensi yang mesti diterima oleh mereka yang terpilih menjadi Dewan.

Kita hanya berharap kepada caleg yang terpilih nanti tidak melupakan rakyat. Sudah cukuplah dengan Dewan yang lalu-lalu lebih banyak mementingkan urusan pribadi dan kelompoknya. Kita tidak ingin lagi memiliki Dewan yang sibuk menumpuk kekayaan pribadi ketimbang memerhatikan nasib rakyat di sekelilingnya yang lebih banyak miskin. Mereka memang berjuang atas nama rakyat, namun di otak mereka justru lebih banyak memerhatikan kepentingan pribadinya.

Dewan yang terpilih nanti benar-benar wakil rakyat. Dewan yang berjuang keras mengalokasikan anggaran untuk infrastruktur dasar masyarakat, kualitas pendidikan, pelayanan kesehatan yang prima dan anggaran untuk sosial. Dewan yang benar-benar bisa menjadi kontrol eksekutif, bukan malah jadi boneka eksekutif.

Kita juga mengharapkan Dewan yang inovatif membuat legislasi untuk meningkatkan pendapatan daerah yang berujung untuk kesejahteraan rakyat. Kita tidak menginginkan wakil rakyat yang pemalas, tidak mengerti apa yang mesti diperbuat di gedung rakyat itu. Banyak harapan masyarakat untuk wakil rakyat. Dari semua harapan itu, masyarakat hanya menginginkan wakil rakyat benar-benar berjuang untuk kepentingan rakyat saja.*

Selasa, 07 April 2009

Aktor YB Gate Jadi Tersangka

Rosadi Jamani

Proses hukum dugaan korupsi Yayasan Bestari (YB) Gate walaupun perlahan, namun pasti. Aktor YB sebagai mana tercantum dalam Putusan Mahkamah Agung (MA) nomor 1838 K/Pid/2005 yang berjumlah 41 orang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejari Mempawah. Di antara 41 orang itu, sudah dua orang dijebloskan ke penjara. Sisanya, ada sejumlah anggota DPRD yang masih aktif dan non aktif. Di antara yang menjadi tersangka itu rata-rata calon legislatif (caleg).

Dalam proses hukum, jadi tersangka berarti seluruh anggota Dewan terlibat YB itu siap-siap diperiksa secara intensif oleh kejaksaan. Biasanya, apabila sudah jadi status tersangka, kejaksaan boleh menahannya di balik jeruji. Seperti kasus besan Presiden SBY, Aulia Pohan, begitu ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, tidak beberapa lama dia langsung dijebloskan ke penjara. Itu untuk ukuran besan Presiden, KPK tidak takut untuk mengkerangkengnya. Sementara Kejari Mempawah sudah menetapkan para pengerat uang rakyat itu sebagai tersangka, anehnya belum ada tanda-tanda upaya untuk menahannya.

Persoalan tidak menahan tersangka, itu sudah menimbulkan kecurigaan besar di masyarakat. Jangan-jangan Kejari, takut. Jangan-jangan Kejari, sudah disogok. Jangan-jangan Kejari sengaja mempermainkan kasus itu demi keuntungan. Jangan-jangan Kejari sudah masuk angin. Jangan-jangan…jangan-jangan… Banyak lagi kecurigaan masyarakat yang berseliweran di warung kopi, di tempat umum dan di kantor-kantor.

Harus diakui, bola panas itu ada di Kejari. Perkembangan demi perkembangan soal YB Gate hanya Kejari yang tahu. Masyarakat hanya bisa menyaksikan dan menonton seperti apa Kejari menggarap kasus korupsi terbesar di tahun 2009 ini. Jika Kejari terbuka dan selalu menginformasikan ke media setiap progres yang mereka hasilkan, masyarakat pasti tahu dan paham alur cerita itu. Kecurigaan yang macam-macam terhadap Kejari tentu bisa diminimalisir. Sebaliknya, jika Kejari tertutup dan menjauh dari media, masyarakat juga tidak tahu seperti apa perkembangan YB gate itu. Kecurigaan masyarakat pasti akan membesar.

Harus diingat, pemberantasan korupsi itu tidak bisa berhasil apabila tidak melibatkan masyarakat. Kejari dalam hal ini jangan “sombong” terhadap masyarakat. Maksudnya, Kejari tidak bisa begitu saja meninggalkan masyarakat (pemerhati korupsi, lembaga anti korupsi dan media massa). Bagaimanapun, kinerja Kejari akan berjalan lurus kalau ada dukungan penuh masyarakat. Sebaliknya, apabila Kejari seolah-olah mampu sendirian memberantas korupsi, tanpa melibatkan masyarakat, yakinlah kampanye pemberantasan korupsi hanya mimpi di siang bolong.

Kejari harus mensyukuri ternyata banyak lembaga anti korupsi sangat serius memerhatikan kasus korupsi di negeri ini. Coba bayangkan kalau masyarakat tidak peduli terhadap korupsi, apa yang bisa dilakukan Kejari. Tidak bisa jauh-jauh, Kejari mungkin akan kesulitan untuk mencari saksi. Orang pasti tidak mau jadi saksi karena sudah tidak peduli dengan korupsi. Untung saja, masih banyak orang peduli terhadap pemberantasan tindak pidana yang paling dibenci rakyat itu.

Kasus YB gate itu telah menyedot perhatian banyak orang. Kejari satu-satunya lembaga yang menyidik keterlibatan para wakil rakyat itu menjadi sorotan tajam masyarakat. Setiap gerak-gerik oknum Kejari tidak luput dari perhatian masyarakat. Masyarakat hanya ingin agar YB gate tidak masuk angin. Kasus itu mesti mulus sampai ke pengadilan tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Sebagai masyarakat sangat berharap Kejari benar-benar berjalan di jalan yang lurus. Kejari tidak bisa dipengaruhi oleh siapa saja.

Selama Kejari tidak menahan para tersangka YB gate, saat itu muncul kecurigaan besar di tengah masyarakat. Sebaliknya, apabila Kejari berhasil menahan para tersangka, masyarakat akan memberikan pujian tinggi untuk lembaga hukum itu. Sungguh sangat sulit memberikan pujian terhadap lembaga hukum saat ini. Kita berharap, Kejari bisa meraih simpati masyarakat terhadap penanganan YB gate itu.*

Minggu, 05 April 2009

Ragam Money Politic Jelang Pemilu

*Antara Keuntungan dan Ancaman Esensi Demokrasi

Rosadi Jamani

Money politic (politik uang) aib pesta demokrasi di negeri ini. Panwaslu sangat benci dengan politik uang itu. Jika orang melaporkan bahwa ada caleg selembe melakukan money politic, Panwaslu pasti akan “menyikatnya”. Cuma, walaupun itu aib, banyak caleg melakukannya. Yang aneh, sampai saat ini tidak ada caleg ketangkap dan dipenjara gara-gara money politic.
Pada 27 Maret lalu, saya pulang kampung ke Simpang Empat Kecamatan Tangaran Kabupaten Sambas. Kangen dengan ibu, maklum sudah lama tak ketemu. Selain menjenguk ibu yang sudah uzur, saya juga ingin mengintip seperti apa suasana Pemilu jelang pencontrengan 9 April. Apakah suasananya sama dengan di kota atau tidak?

Begitu tiba di rumah, langsung kangen-kangenan dengan orang yang melahirkan saya. Setelah itu, saya ngobrol dengan abang dan kakak mengenai kampung yang sudah lama saya tinggalkan. Saya tidak sabar ingin tanyakan mengenai pesta demokrasi itu. “Gimane, suasana Pemilu di sitto’?” tanya saya dalam bahasa Sambas. Abang ipar saya kebetulan seorang satgas desa dan sangat memahami situasi politik di kampung. Diapun langsung menjelaskan seperti apa suasana Pemilu menjelang detik-detik penentuan seorang caleg.

“Macam-macam pe el (tingkah, red) caleg di sitto’. Ade yang suke janji-janji. Caleg macem iye daan kame’ kaleh (tak dihiraukan, red). Tapi, kalau caleg yang banyak bantu, kame’ bantu care’kan suare,” jawab abang ipar saya sambil mengisap rokok kreteknya.

Lalu, kakak saya menimpali. “Di kitte to’ (di kampung saya, red) udah sian agek gang jalannye tanah, semue udah be samin (semua jalan gang sudah bersemen, red). Samin iye dari caleg-caleg. Bahkan, baju PKK kame’ juga udah dibuatkan caleg. Termasuk perkakas pinggan mangkuk untuk nikahan banyak dibelikan caleg,” cerita kakak.

Saya kaget dan sedikit kagum dengan aktivitas caleg yang sudah membangun jalan gang dengan semen. Belum duduk menjadi wakil rakyat saja mereka sudah berbuat untuk rakyatnya. Kalau mengharapkan pemerintah, entah kapan jalan gang itu disemen. Mereka sudah banyak menghamburkan uang demi mendapatkan suara. Lantas, saya bertanya, apakah caleg yang sudah nyumbang semen itu akan dipilih pada 9 April nanti?

“Die udah bebuat untok kampong kitte. Die juga bukan urang laen, keluarga kitte juok. Kitte pileh die. Kalau die jodi Dewan, kan kitte juok yang bangga. Sabab, selama ittok yang jodi Dewan banyak dari kampong laen,” jelas abang ipar.

Lalu, kakak saya kembali menimpali. “Ade juok urang kitte minta dukungan suare, tapi suke mulok (bohong, red). Saat mauled Nabi dolo’ caleg urang kitte iye, notangkan penceramah dari Pontianak. Die janji, semue konsumsi ditanggungnye. Sekali udah laka’ mauled, sian duitnya. Udah tige minggu baru dibayarnye. Padahal, cume tige ratus ribu. Lalu, die janjikan kame baju seragam PKK. Sampai ke ittok mane bojunya, sian. Walaupun die urang kitte, untok ape dipileh, caleg iye kerewak (sombong, red),” cerita kakak.

Apa yang diceritakan abang ipar dan kakak saya itu hanya contoh kecil dari upaya caleg untuk mendapatkan suara di kampung. Caleg yang sudah nyumbang semen, baju PKK dan peralatan pernikahan itu adalah warga asli kampung saya. Dia hanya bekerja sebagai perantara TKI asal kampung saya ke Malaysia. Pendapatannya bisa diukur, tidak seberapa. Sementara caleg yang hanya pasang janji-janji itu memang lahir di kampung saya, tapi sudah lama menjadi warga Pontianak. Dia balik kampung minta dukungan warga. Soal pendapatan, caleg asal Pontianak itu jauh lebih besar dari caleg pembawa TKI itu. Yang membuat saya salut, walaupun pendapatannya tidak seberapa, tapi dia rela berkorban untuk warga desanya sendiri. Saya yakin, caleg perantara TKI itu berkata, “Saya sudah banyak nyumbang untuk orang kampung. Walaupun nanti tidak terpilih, paling tidak sumbangan itu adalah bagian dari amal saya”.

Saya juga yakin, praktik money politic itu tidak hanya di kampung saya saja, melainkan juga di kampung lainnya. Caleg yang pendapatan pas-pasan saja berani mengeluarkan seluruh kemampuan uangnya hanya untuk mendapatkan suara dari pemilih. Bagaimana dengan caleg kaya raya yang datang dari Jakarta dan Pontianak itu. Saya pastikan mereka lebih gila-gilaan memberikan sumbangan kepada orang kampung.

Ketika caleg itu nyumbang semen untuk jalan gang, peralatan pernikahan, baju seragam untuk ibu-ibu PKK atau pengajian, apakah itu merugikan? Kalau Panwaslu melihat, jelas hal itu sangat merugikan. Karena, aneka sumbangan itu mempengaruhi pemilih dengan materi. Pemilih diajak untuk tidak menggunakan akal sehat (hati nurani) untuk menentukan pilihannya. Semestinya masyarakat diajak menggunakan hati nurani dalam menentukan pilihan. Caranya, pemilih diajak untuk melihat kemampuan, wawasan, keilmuan, track record dan dedikasi caleg untuk rakyat. Kalau pemilih selalu dimanjakan dengan sumbangan, sementara persoalan kualitas caleg tidak diperhatikan, hal itu sangat membahayakan bagi iklim politik di negeri ini.

Tapi, bisakah orang kampung diajak menggunakan akal sehatnya dalam menentukan pilihan? Mungkin bisa, tapi jumlahnya sangat minim. Orang kampung (tidak semua) akan sangat senang kepada caleg yang memberikan sumbangan dari pada caleg yang hanya “jualan kecap”, ngomong doang. Saya yakin untuk persoalan ini, orang kota (secara umum) yang katanya rasional, juga sangat senang menerima sumbangan dari caleg ketimbang hanya jualan kecap.

Money politic saya katakan, di satu sisi itu ada positifnya bagi masyarakat. Bayangkan, jalan gang sudah banyak dibangun caleg. Banyak rumah ibadah rampung gara-gara duit caleg. Banyak juga orang miskin mendapatkan beasiswa untuk anaknya. Banyak orang sakit mendapatkan uluran tangan caleg. Ribuan orang yang susah beli baju mendapatkan baju gratis dari caleg. Belum lagi uang kopi, uang pulsa, uang rokok, uang lelah, dan jenis uang lainnya dari caleg yang sedikit banyak ikut meringankan beban hidup pemilih yang rata-rata miskin. Saya juga yakin banyak pemilih mendapatkan keuntungan dari aktivitas Pemilu. Dalam kondisi seperti itu, apakah money politic itu merugikan?

Namun, di sisi lain, maraknya aktivitas money politic yang susah ditangkap Panwaslu itu mengancam makna demokrasi itu sendiri. Caleg yang memanjakan pemilih dengan berbagai money politic itu akan menjadi bomerang untuk setiap hajatan demokrasi. Yang lebih parah lagi, ke depan untuk menjadi wakil rakyat, tidak perlu moral, tidak perlu titel panjang (berpendidikan tinggi), alim, nama baik, pintar, jujur, hebat. Yang diperlukan hanyalah uang yang banyak. Dengan uang, pemilih (secara umum) bisa dipengaruhi. Dalam kondisi ini, caleg hanya didominasi orang-orang berduit, tidak peduli duit itu datangnya dari mana, yang penting banyak duit.

Bahaya paling terbesar, penghuni rumah rakyat adalah segerombolan orang yang hanya berpikir mencari keuntungan untuk diri pribadi dan kelompoknya. Jangan terlalu berharap kepada mereka bisa membela kepentingan rakyat kecil. Yang ada di otaknya hanyalah keuntungan-keuntungan. Orang-orang yang bisa memberikan keuntungan kepada merekalah yang akan dibela.

Orang kampung yang kesusahan memasarkan komoditas pertanian, orang pinggiran yang jadi pengangguran, PKL yang banyak digusur, nelayan yang terjerat utang, buruh yang mendapatkan upah rendah, tidak perlu dibela karena tidak mendatangkan pemasukan untuk kantong mereka. Saya rasa, untuk ke depannya dengan praktik money politic yang merajalela itu membuat Pemilu hanya menghasilkan gerombolan orang pengeruk uang negara atau uang rakyat. Apa yang bisa kita lakukan di tengah situasi seperti itu? Golput mungkin akan terus menjadi pilihan pemilih. Walaupun golput itu tidak menyelesaikan persoalan bangsa, tapi golput itu muncul akibat ulah para politisi yang pandai obral janji, mengandalkan money politic mencari simpati. Begitu duduk jadi wakil rakyat justru lupa rakyat. Lihat saja faktanya, trend golput selalu meningkat setiap ada hajatan demokrasi. Contoh kecil, pada saat Pilwako Pontianak, di mana golput unggul telak atas pemenang Pilwako. Kalau setiap Pilkada atau Pemilu didominasi golput, esensi demokrasi menjadi hilang. Pesta demokrasi menjadi ajang dagelan atau panggung lawak yang hanya menghamburkan uang negara tak ada manfaatnya untuk rakyat.

Saya yang orang kecil ini juga bingung harus berbuat apa untuk menyelamatkan makna suci demokrasi dari tangan-tangan (caleg) berwatak curang itu. Berharap ke Panwaslu, tidak berdaya. Berharap ke polisi, nunggu laporan Panwaslu. Ke KPU, sibuk ngurus penghitungan suara. Ke Gubernur dan Bupati, bukan wewenangnya. Ke hakim, juga nunggu laporan kejaksaan. Ke kejaksaan, juga nunggu laporan Panwaslu. Lalu, ke siapa lagi kita harus berharap? Pasrah aja deh!*

Masa Tenang dan Serangan Fajar

Rosadi Jamani

Kalau ada dua orang berkelahi, lalu ada yang melerai dan pasti mengatakan, tenang…tenang…! Suasana yang tidak berisik, pasti ada mengatakan, suasana yang tenang. Maksudnya, tenang identik dengan tidak adanya hingar-bingar atau kebisingan. Hari ini (6/4) sampai 8 April depan adalah masa tenang bagi Pemilu legislatif. Di masa itu, caleg dan parpol tidak boleh lagi membuat hingar-bingar politik. Tidak boleh lagi pasang atribut kampanye, menyampaikan visi dan misi, dialogis, tebar pesona di media massa .

Masa tenang memberikan kesempatan masyarakat atau pemilih menggunakan akal sehatnya menentukan pilihan. Belasan hari mereka dijejali promosi caleg yang datang silih berganti. Belasan hari juga pemilih dihibur berbagai artis ibukota. Belasan hari juga mereka disuguhi ribuan janji. Di masa tenang ini, kesempatan bagi pemilih untuk menentukan siapa caleg dan parpol yang pantas untuk dipilih. Pastinya ada pertimbangan lebih dan kurang. Yang memiliki kelebihan tentunya yang akan dipilih.

Di masa tenang itu, caleg dan parpol harus masuk “dok”. Tak boleh lagi berkeliaran untuk “jual diri”. Berikanlah kesempatan bagi pemilih untuk menentukan siapa yang layak untuk dicontrengnya pada 9 April di bilik suara. Jangan lagi dipengaruhi mereka dengan janji kosong atau bukti nyata berupa amplop isinya Rp 20 ribu atau Rp 50 ribu (serangan fajar). Seperti itulah idealnya masa tenang. Semua harus tenang, tidak boleh ada yang “berisik”.

Namun, idealisme itu kadang hanya mudah untuk ditulis atau diucapkan dengan manis. Kenyataan di lapangan justru lain dari apa yang diharapkan. Justru banyak caleg dan parpol akan memanfaatkan momen masa tenang untuk mengeluarkan jurus terakirnya, serangan fajar. Soalnya, di saat pemilih sedang menentukan pilihan, jika dikasih uang Rp 20 ribu atau Rp 50 ribu, pilihan hampir dipastikan kepada si pemberi uang itu. Serangan fajar masih dianggap jurus paling efektif dan mematikan untuk menaklukkan hati pemilih. Praktik itu setiap ajang Pemilu maupun Pilkada selalu ada. Anehnya, sampai saat ini tidak satupun pelaku serangan fajar ketangkap Panwaslu. Serangan fajar selalu berinovasi dan sulit untuk dideteksi dengan mata telanjang. Serangan fajar hanya bisa dirasakan saja tanpa bisa dibuktikan pelakunya.

Pemilih kalangan bawah akan menjadi sasaran empuk serangan fajar. Pemilih itu ada di kampung-kampung yang sulit diawasi Panwaslu. Pemilih itu ada di pinggiran kota yang sulit dipantau Panwaslu. Orang yang melakukan serangan fajar itu, bukan orang bodoh. Mereka juga telah memperhitungkan segala kemungkinan. Seandainya ada orang ketangkap sedang melakukan serangan fajar, hanya orang itu saja dikenakan pidana. Ketika dicek nama orang itu di daftar tim kampanye, pasti tidak ada. Dalang dari pelaku money politic pasti akan membantah, tidak melakukan serangan fajar. “Itukan hanya oknum yang mungkin sengaja menjatuhkan nama baik saya,” kira-kira demikian omongan dalang pelaku serangan fajar.
Praktik serangan fajar itu sangat mudah dilakukan. Orang cukup dikasih uang Rp 20 ribu dan Rp 50 ribu, tinggal bisikan, contreng caleg A nomor urut sekian. Amplop diambil dan tinggal dimasukkan ke kantong. Prosesnya cepat dan sulit dideteksi. Praktiknya bisa dari rumah ke rumah, atau pemilih diundang ke sebuah hotel, di situlah terjadi pemberian uang.

Bagaimana cara mencegah serangan fajar? Kita setuju ada desa mengaktifkan kembali poskamling. Paling tidak untuk masa tenang itu. Aktifkan kecurigaan terhadap orang luar yang masuk ke kampung atau dalam satu kompleks di masa tenang. Jika mencurigakan, boleh diinterogasi, apa keperluannya. Bila ada orang mengasih uang, yang dikasih cepat lapor, jangan didiamkan!

Kemudian, jangan mengizinkan lagi pertemuan yang melibatkan orang ramai di malam hari. Sebab, pertemuan itu potensi besar untuk melakukan serangan fajar. Pastikan bahwa aparat desa dan petugas KPPS, PPS dan PPK benar-benar independent. Begitu juga dengan tokoh masyarakat atau simpul massa , pastikan mereka juga steril. Kalau ada di antara aparat desa atau tokoh masyarakat, sering bertamu dari rumah ke rumah, itu patut dicurigai telah melakukan serangan fajar. Mari kita jaga masa tenang ini benar-benar tenang dari aktivitas politik.*

Jumat, 03 April 2009

Mencerdaskan Warga Perbatasan

Kawasan perbatasan masih identik dengan ketertinggalan dan kemiskinan. Padahal, pemerintah sering mengatakan kawasan perbatasan itu adalah beranda depan Indonesia. Pemerintah sadar akan ketertinggalan itu. Salah satu upaya untuk memupus ketertinggalan itu, pemerintah berusaha membuat warga perbatasan cerdas lebih dahulu. Caranya, membangun Rumah Pintar (RP) di Entikong. RP ini tidak hanya menyediakan perpustakaan, tapi juga pengusaan komputer dan internet untuk warga perbatasan. Mencerdaskan warga perbatasan itulah visi dan misi pembangunan RP itu. Sebuah terobosan positif yang perlu mendapatkan dukungan semua pihak.

Sebenarnya terobosan itu jauh terlambat apabila dibandingkan Malaysia. Di negeri jiran itu, sudah lama masyarakatnya diperkenalkan dengan perpustakaan, komputer, internet dan media. Namun, itu lebih baik dari pada tidak sama sekali. Itu juga menunjukkan ada iktikad baik dari pemerintah untuk memperhatikan warga perbatasan. Cuma, apakah pembangunan RP itu pertama dan terakhir? Kita takutkan, RP itu hanya yang pertama setelah itu tidak ada lagi pembangunan lanjutannya. Bukan rahasia, banyak pembangunan di Indonesia hanya “hangat-hangat tahi ayam”. Awalnya saja hangat, setelah itu ujung-ujungnya mubazir. Apalagi sekarang mau Pemilu dan Pilpres, biasanya pemerintah begitu perhatian dengan rakyatnya. Setelah pesta demokrasi itu berlalu, perhatian untuk warga perbatasan biasanya kembali ke asal, tak dipedulikan.

Cerita perhatian pemerintah kepada warga perbatasan mungkin sudah tidak terhingga. Apalagi kalau ada orang pusat datang, ngomongnya selalu siap memperjuangkan orang perbatasan. Begitu mereka meninggalkan Kalbar, saat itu juga mereka melupakan orang-orang di garis sempadan itu. Buktinya, sampai saat ini orang-orang perbatasan masih tertatih-tatih menata hidunya di bawah naungan NKRI.

Kita masih belum melupakan warga Kecamatan Puring Kencana mengirimi orang pusat sepucuk surat tentang keinginannya keluar dari NKRI. Sebabnya, mereka tidak diperhatikan. Negeri jiran mereka lebih perhatian dengan negaranya sendiri. Walaupun itu dibantah oleh orang pusat, tapi itu fakta betapa sakitnya mereka tinggal di negeri sendiri. Puring Kencana hanya sebuah gambaran kecil betapa menderitanya orang perbatasan.

Harus diingat warga perbatasan itu tidak hanya ada di Entikong, Sajingan atau Badau. Kalau ditarik dari Temajuk Sambas sampai Lanjak Kapuas Hulu banyak ditemukan kampung-kampung yang hidupnya jauh dari kemajuan. Tidak ada listrik, jalan setapak, tidak ada sekolah, puskesmas, dan fasilitas pemerintah lainnya. Mereka kebanyakan belanja atau menggantungkan hidup dari negeri Malaysia. Jual sahang ke Malaysia. Jual karet juga ke Malaysia. Bahkan, jual tikar bidai saja juga ke Malaysia. Pokoknya, segala hasil bumi mereka jual ke negeri Sarawak itu. Begitu juga untuk belanja kebutuhan sehari-hari, mereka lebih banyak membelinya dari warung-warung orang Malaysia itu. Sampai-sampai mata uang juga lebih dominan ringgit ketimbang rupiah.

Kondisi seperti itu, siapa yang disalahkan? Jika disuruh memilih, mereka pasti memilih warga negara Malaysia saja ketimbang Indonesia. Hanya karena proses menjadi orang Malaysia sangat sulit saja membuat mereka tetap menjadi orang Indonesia. Seandainya di Malaysia bisa membuat KTP seperti di negeri ini (satu orang bisa tiga KTP), mereka mungkin sudah berebut menjadi orang Malaysia itu. Hanya itu saja yang membuat mereka jadi Indonesia. Padahal, secara substansial mereka sebenarnya sudah menjadi orang Malaysia.

Membicarakan ketertinggalan orang perbatasan itu memang tidak habisnya. Pemerintah pusat jika masih setengah-setengah memperhatikan pembangunan di garis sempadan itu, akan selamanya tertinggal. Warga perbatasan tidak hanya butuh RP, melainkan juga jalan yang bagus, jembatan yang kukuh, Puskesmas yang ada dokternya, listrik 24 jam, telepon, sekolah yang banyak gurunya serta kemudahan kredit untuk usaha. *

40 Persen Jalan Provinsi Rusak

Rosadi Jamani


Jangankan di hulu sana, di Kota Pontianak, ibukotanya Provinsi Kalbar banyak ditemukan jalan rusak. Tidak percaya, pergi saja di ujung Jalan Tanjung Raya II banyak ditemukan lubang dan gelombang. Apalagi di daerah hulu sana, kita bisa bayangkan seperti apa parahnya jalan. Kita ingin bertanya, kenapa persoalan jalan tersebut tidak pernah tuntas? Sudah berkali-kali ganti gubernur, tetap saja persoalan jalan tak habis-habisnya. Coba perhatikan, jalan yang rusak itu di situ-situ saja. Berkali-kali ditambal atau direhab, tahun berikutnya rusak lagi. Begitu seterusnya.

Kita ingin bertanya, sebenarnya siapa yang disalahkan atas kerusakan jalan itu? Apakah Gubernur, kontraktor, Dinas Pekerjaan Umum (DPU) atau pemerintah pusat yang setengah-setengah memberikan dana untuk Kalbar? Jalan provinsi itu didanai dengan APBD Kalbar dan APBN. Jumlahnya pasti lebih banyak bila dibandingkan membangun jalan kecamatan yang dibiayai APBD kabupaten. Dana besar biasanya akan menggambarkan kualitas perehaban atau pembangunan jalan itu. Coba perhatikan kualitas jalan provinsi dengan kecamatan, pasti lebih baik dari provinsi. Tapi, soal rusaknya, sama.

Ada cerita kontraktor soal pembangunan jalan itu. Dapat paket proyek pembangunan jalan kecamatan sepanjang 10 kilometer dengan dana sekian. Masyarakat tahu akan hal itu, lalu protes ke pemborong agar jalan itu dipanjangkan menjadi 15 kilometer. Dalam aturan tidak boleh memanjangkan 10 kilometer. Kalau dipanjangkan berarti biayanya ditambah lagi. Tapi, masyarakat memaksa agar jalan itu dipanjangkan. Pemborong itu bertanya, sekarang mau jalan itu dipanjangkan dengan konsekuensi kualitasnya jelek. Atau, tetap 10 kilometer atau kualitasnya bagus.

Biasanya, masyarakat akan memilih dipanjangkan agar semua bisa menikmati jalan itu. Kalau hanya 10 kilometer, berarti ada dusun yang tidak kena aspal. Yang lebih parah lagi, dalam kontrak 10 kilometer, lalu dikurangi dengan kualitas rendah. Fenomena pembangunan jalan di kecamatan dikerjakan oleh kontraktor nakal merupakan sesuatu yang lazim, sudah biasa. Anehnya, tidak satupun kontraktor bisa dijebloskan ke penjara akibat membangun jalan rusak itu.

Fenomena pembangunan jalan provinsi juga demikian. Untuk mendapatkan paket proyek jalan provinsi itu untuk kontraktor bukan berdasarkan belas kasihan Gubernur, melainkan lewat lobi tingkat tinggi. Untuk bisa lobi itu harus pakai biaya besar. Proses lelang yang katanya transparan itu hanya akal-akalan. Semua pemenang tender proyek itu sudah diatur. Untuk bisa mengatur itu, lagi-lagi perlu biaya. Begitu dapat proyek, banyak lagi biaya tak terduga harus disiapkan. Dari pejabat tinggi sampai tukang ketik surat harus diperhatikan oleh si pemenang tender. Belum lagi di lapangan, proyek yang dijalankan harus aman dari tangan-tangan jahil, untuk itu harus sewa preman. Tokoh-tokoh masyarakat di sekitar pembangunan jalan itu juga harus diamankan. Begitu proyek rampung, masih banyak lagi hal yang harus dikondisikan. Pengawas proyek, pemeriksa keuangan, bahkan lebih gila lagi ada media massa yang diamankan.

Akhirnya, proyek dengan nilai Rp 30 miliar, paling yang dapat terealisasi hanya Rp 20 miliar. Sisanya harus disisihkan untuk mengamankan seluruh pihak yang berkepentingan dengan proyek itu. Sementara dalam laporan, tetap Rp 30 miliar lengkap dengan data dan bukti-bukti keuangan. Jika kontraktor tidak “pelit”, tahun depan dia dapat lagi. Tapi, kalau “garam tukuk”, itulah proyek terakhirnya. Pada akhirnya, kontraktor harus pandai memenuhi segala kebutuhan pejabat tinggi. Praktik seperti itu sudah lazim dalam dunia jasa konstruksi. Kepala daerah juga menikmatinya. Akibat dari semua itu, kualitas pembangunan jalan sangat rendah. Lebih banyak dikerjakan asal-asalan ketimbang seriusnya.

Kita yakin persoalan jalan itu akan tuntas, apabila kepala daerah tidak mau menerima uang bagi hasil dari kontraktor. Begitu juga dengan kepala dinas dan cipta marga beserta anak buahnya. Kemudian, pengawasan harus ketat dan anti sopoi. Kalau masih ada pihak senang menerima uang sopoi dari kontraktor, akan selamanya jalan di negeri ini dalam kondisi hancur-hancuran.*