Selasa, 31 Maret 2009

Jangan Hanya TNI

Rosadi Jamani

Dalam istilah olahraga, ada ungkapan, mempertahankan itu jauh lebih sulit dari merebutnya. Begitu juga dengan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Saat wilayah itu kita rebut dari Belanda, kita mengeluarkan seluruh kekuatan. Sekarang, NKRI dari Sabang sampai Merauke, dari Ketapang sampai Sambas harus kita pertahankan mati-matian dari negara-negara yang berusaha merebutnya.

Ketika dalam posisi merebut, kita bersatu padu mengusir Belanda. Walaupun hanya mengandalkan “bambu runcing” kita berhasil mengusir Belanda dari bumi pertiwi. Dunia mengakui Indonesia mendapatkan kemerdekaan bukan karena hadiah, melainkan dari sebuah perjuangan keras.

Kemerdekaan itu sudah lama kita nikmati. Sekarang, kita sibuk membangun negeri ini. Di tengah kita asyik membangun, Malaysia diam-diam memanfaatkan kelengahan kita. Pulau Ligitan dan Sipadan dicaploknya dengan upaya politik tingkat tinggi. Ketika itu, kita baru kaget dan grasak-grusuk mempertahankan daerah itu. Namun, sudah terlambat. Dengan perasaan sedih dan tidak terima, kita tidak berdaya, dua pulau itu sudah menjadi milik negeri jiran kita.
Di tengah masih berduka, Malaysia mencoba mengutak-atik blok Ambalat. Untung saja, kita “tidak sedang tidur”. Kalau masih “tidur” seperti dulu, bisa-bisa blok tersebut kembali lepas. Di sini membuktikan bahwa mempertahankan wilayah NKRI jauh lebih sulit dari pada merebutnya.

Khusus di Kalbar, ada dua daerah yang sempat menjadi sengketa antara Malaysia dan Indonesia. Dua daerah itu adalah Gosong Niger dan Camar Bulan. Kita masih sedikit beruntung, dua daerah itu belum sempat “diperkirakan” negeri beribukota Kuala Lumpur itu. Jika sempat diperkarakan sampai ke Mahkamah Internasional, kita tidak tahu seperti apa nasibnya.
Sudah siapkah kita apabila pihak Malaysia mengajukan dua daerah itu sampai ke Mahkamah Internasional? Siap tidak siap, kita harus mempertahankan dua daerah itu. Kita tidak mau ada sejengkal tanah dicaplok negeri jiran itu. Sayangnya, upaya mempertahankan itu masih didominasi Tentara Negara Indonesia (TNI). Memang, TNI itu tugas utamanya mempertahankan NKRI dari anasir negara lain. Tapi, tidak cukup hanya TNI sendirian. Kasihan!

TNI telah membuat 15 pos penjagaan di sepanjang garis perbatasan. Keempat pos tersebut adalah Pos Temajuk, Biawak, Jagoi Babang, Entikong, Segumun, Sungai Tekam, Sungai Beruang, Kampung Jasa, Semareh, Nanga Bayan, Enteli, Nanga Kantuk, Lubuk Antu, Nanga Badau, dan Lanjak. Pos tersebut dinilai masih belum cukup. Masih banyak daerah yang belum memiliki pos sehingga masih rawan untuk disusupi negara lain. Untuk terus mengharapkan TNI menjaga garis batas itu jelas tidak mungkin. Dalam kondisi tersebut masyarakat dan pemerintah daerah harus ikut terlibat.

Pihak TNI hanya mengharapkan kepada masyarakat di sepanjang garis perbatasan untuk melakukan aktivitas okupasi (occupation activity). Misalnya, menanam lada, tanam karet atau jenis perkebunan lainnya. Dengan adanya aktivitas itu merupakan cara paling terbaik menjagai wilayah NKRI. Jangan sampai ada daerah di perbatasan dibiarkan kosong tanpa ada aktivitas. Itu bisa membuka peluang bagi Malaysia untuk ditarget masuk ke wilayahnya. Memang, untuk menggarap lahan di perbatasan itu bukan pekerjaan mudah. Butuh perjuangan dan kerja keras tingkat tinggi. Masalahnya, hampir tidak ada infrastruktur yang dibangun pemerintah. Di sini, warga perbatasan benar-benar dituntut mengedepankan rasa cinta NKRI.

Pemerintah daerah juga tidak boleh tinggal diam. Fasilitas pendidikan, kesehatan, bantuan perkebunan, pertanian dan perikanan juga diarahkan untuk warga perbatasan. Jangan sampai warga perbatasan justru “dianaktirikan”. Ketika itu daerah perbatasan dianaktirikan, itu adalah satu kelemahan mempertahankan NKRI. Jadi, semua harus berbuat, tidak hanya TNI sendirian. Departemen Pendidikan, Kesehatan, Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Kelautan, Perikanan dan Agama juga ikut memikirkan mempertahankan wilayah perbatasan agar tetap kokoh.*

Minggu, 29 Maret 2009

Care terhadap Konflik

Rosadi Jamani

Semua orang Kalbar atau seluruh umat di muka bumi ini pasti tidak senang konflik. Semuanya ingin hidup damai, tenteram dan aman. Keinginan tersebut merupakan sifat alamiah manusia. Tapi, percayakah anda bahwa di antara umat manusia itu ada orang yang senang juga dengan konflik. Soalnya, di balik konflik tersebut ada keuntungan yang berlimpah. Tidak masalah harus mengorbankan puluhan, ratusan atau ribuan nyawa manusia, tapi keuntungan di balik itu jauh lebih besar.

Sebagai contoh kecil, konflik antara Iraq dengan Amerika Serikat. Bagi rakyat Iraq, konflik tersebut sangat menyengsarakan. Tapi, bagi sebagian kalangan Amerika Serikat itu bisa mendatangkan keuntungan luar biasa. Maksudnya, di balik konflik itu ada sisi kerugian dan keuntungan. Itu sebabnya, ada orang-orang memang senang dengan konflik tersebut.
Lantas bagaimana dengan Kalbar? Negeri ini masih dicap sebagai zona merah atau daerah konflik. Kalbar sudah sering mengalami konflik etnis. Sudah ribuan nyawa melayang akibat konflik tersebut. Padahal, kalau dilihat dari akar masalahnya, hanya persoalan sepele. Persoalan kecil, tapi bisa menyebabkan konflik horizontal yang menyebabkan ribuan nyawa melayang. Konflik tersebut tidak bisa dilupakan rakyat Kalbar. Secara umum, rakyat negeri ini tidak lagi menginginkan konflik itu terjadi lagi. Sebab, hidup dalam suasana konflik sangat tidak mengenakan. Yang ada hanya ketakutan, saling mencurigai, omongan tidak jauh dari hidup dan mati, senjata, perang, menyerang dan diserang, dan sebagainya. Tidur tidak nyenyak. Tidak ada lagi anak-anak main di luar rumah.

Semuanya ingin hidup damai dan tenteram. Sebab, hidup dalam suasana tenteram sangat mengasyikkan. Tidak takut bekerja malam hari. Tidur bisa nyenyak. Anak-anak bebas bermain di mana saja. Mau pergi ke mana saja tidak perlu ada yang ditakutkan. Hidup benar-benar indah dan enak.

Sayang, di tengah kita menikmati ketenteraman itu, justru banyak orang tidak peduli (care) terhadap konflik. Banyak orang justru tidak peduli untuk merawat ketenteraman yang sedang kita nikmati sekarang. Ketenteraman dan kedamaian itu bukanlah datang dari Tuhan. Itu bukanlah hadiah dari pihak luar. Ketenteraman dan kedamaian itu kita ciptakan sendiri. Tentunya kita tidak mau ketenteraman dan kedamaian yang sudah diciptakan berubah menjadi konflik lagi. Untuk itu, kedamaian dan ketenteraman itu harus kita rawat. Kita harus care terhadap persoalan itu.

Kita angkat topi dan mengucapkan terima kasih kepada Timo Kivimaki pemerhati konflik internasional dari Finlandia. Dia telah mencurahkan pikiran, tenaga dan waktu demi Kalbar agar negeri ini jangan lagi terlibat konflik. Analisisnya, Kalbar akan terlibat lagi konflik berdarah apabila tidak ada komunikasi antar etnis. Dia tidak menginginkan komunikasi itu semu, hanya di permukaan saja. Dia menginginkan komunikasi terjalin berdasarkan kesadaran tinggi untuk merawat perdamaian dan ketenteraman.

Timo sudah sering ke Kalbar untuk mengingatkan tokoh-tokoh di negeri ini betapa pentingnya merawat perdamaian itu. Jangan sampai para tokoh lupa akan hal itu, lalu sibuk dengan urusan mencari keuntungan semata. Pemerintah juga diingatkan agar care terhadap konflik itu. Jangan anggap remeh setiap konflik yang muncul. Walaupun skalanya kecil, tapi dari yang kecil itu bisa menjadi besar apabila dibiarkan dan tidak diperhatikan.

Kita juga berterima kasih kepada guru besar Untan, Prof Dr Syarif Ibrahim Alqadrie, M Sc. Dia juga orang peduli terhadap konflik. Dia terus berbuat agar Kalbar tidak lagi dilanda konflik. Hasil disertasinya, pada tahun 2020, Kalbar kembali dilanda konflik besar. Ada siklus 30 tahunan di mana negeri di lintasan Khatulistiwa ini dilanda konflik. Dia sangat khawatir akan hal itu. Itu sebabnya, dia dan rekan-rekannya sangat intens agar siklus konflik yang akan diprediksi muncul pada tahun 2010 tidak akan terjadi.

Bagaimana agar tidak muncul? Jalin komunikasi setiap lembaga etnis. Pemerintah diminta menjadi yang terdepan untuk mengkomunikasikan ke setiap lembaga etnis. Para tokoh etnis tidak mengedepankan rasa kecurigaan kepada etnis lain. Mari kita bangun Kalbar dengan tidak lagi mengedepankan etnis. Itu semua sumber konflik yang sewaktu-waktu bisa saja terjadi. Mari!

Selasa, 24 Maret 2009

Ayo! Selamatkan Camar Wulan

Rosadi Jamani

Kampung Camar Wulan di Desa Temajo Kecamatan Paloh Kabupaten Sambas terancam dicaplok pemerintah Malaysia. Masalahnya, Indonesia tidak memiliki dokumen jelas mengenai kepemilikan kampung itu. Satu-satunya bukti bahwa Indonesia merasa memiliki daerah hanyalah pada aktivitas pertanian tahun 1982. Bukti tertulis, kita tidak ada. Menurut Rousdy Said, apabila Malaysia mengajukan Camar Wulan ke Mahkamah Internasional, Indonesia diprediksi akan kalah. Jika itu terjadi, Camar Wulan sama nasibnya dengan Pulau Sipadan dan Ligitan.

Apa yang bisa kita lakukan terhadap Camar Wulan? Pihak TNI memiliki cara tersendiri agar Camar Wulan menjadi milik Indonesia. Mereka pernah menyuruh 20 kepala keluarga (KK) untuk membuka lahan seluas 1.500 ribu hektare di kampung tersebut tahun 1982. Tujuannya, agar daerah itu berdasarkan fakta di lapangan telah dikelola oleh warga Indonesia. Seluruh bukti aktivitas 20 KK telah didokumentasikan secara lengkap. Menurut pihak TNI, aktivitas pertanian seperti itu merupakan salah satu bukti kepemilikan Indonesia.

Cuma, masih ada keraguan, apakah bukti aktivitas itu bisa meyakinkan Mahkamah Internasional? Sejauh ini tidak ada pihak yang berani memastikan dengan bukti aktivitas itu bisa membuat Indonesia menang apabila berpekara dengan Malaysia. Tetap saja, dokumen kepemilikan daerah itu menjadi acuan utama.

Kita masih ingat Sipadan dan Ligitan itu bisa dicaplok Malaysia, karena Indonesia katanya memiliki dokumen. Tapi, ketika Mahkamah Internasional minta dokumen itu, Indonesia tak mampu menghadirkannya. Camar Wulan kasusnya mirip. Katanya, ada dokumen yang dimiliki Indonesia. Tapi, sampai saat ini tidak ada pihak mengaku memiliki dokumen tersebut.
Indonesia berada di posisi lemah. Hanya mengandalkan bahwa di kampung itu pernah ada aktivitas pertanian yang dilakukan warga Indonesia. Tapi, cukupkah semua itu. Tidak ada salahnya, pesohor di negeri ini berpikir jernih untuk mempertahankan daerah itu menjadi milik Indonesia. Kalau tidak decision maker (si pembuat keputusan) memikirkan itu, siapa lagi? Tidak mungkin tukang becak yang sibuk hanya mencari sesuap nasi setiap harinya. Tidak mungkin juga para petani di Paloh yang lebih memikirkan makan sehari-hari. Tidak mungkin para nelayan yang hanya bekerja menyambung hidup.

Pemprov Kalbar beserta jajarannya, TNI AD, polisi serta unsur pemerintah lainnya untuk memikirkan Camar Wulan. Jangan sampai apa yang kita khawatirkan itu benar-benar terjadi. Kita saat ini masih sedikit lega, karena pemerintah Malaysia belum beraksi atas kampung itu.
Bisakah kita menjamin Malaysia tidak mencaplok Camar Wulan? Tidak ada yang bisa meraba atau memprediksi seperti apa sikap pemerintah Malaysia. Yang jelas, negara jiran itu pernah mencaplok daerah kita. Ini adalah sejarah yang kemungkinan besar akan terjadi lagi. Untuk sementara, mungkin saja pemerintah Malaysia menunggu momen tepat. Sekarang, mungkin bukan waktu tepat untuk mengajukan Camar Wulan ke Mahkamah Internasional. Suatu saat, entah itu di masa kita atau anak cucu kita, persoalan Camar Wulan diperkirakan akan mencuat lagi.

Ketika itu mencuat, dan Malaysia benar-benar mengajukan Camar Wulan ke Mahkamah Internasional, apa yang bisa kita lakukan? Mungkin tidak ada, selain hanya pasrah menunggu keputusan Mahkamah Internasional itu. Sebab, kita memang tidak memiliki bukti kuat (berupa dokumen). Mumpung, pemerintah Malaysia belum beraksi terhadap Camar Wulan, ada baiknya pemerintah Indonesia untuk bertindak cepat dan tepat demi menyelamatkan daerah itu. Kita memang tidak tahu persis seperti apa cara cepat dan tepat untuk menyelamatkan Camar Wulan. Kita hanya yakin, pemerintah pusat pasti memiliki cara tersendiri untuk hal itu.

Sebagai orang Kalbar, kita tidak rela sejengkal tanah pindah ke Malaysia. Negeri ini didapatkan bukan sebuah hadiah, melainkan lewat perjuangan berdarah-darah. Mari kita selamatkan Camar Wulan dari pencaplokan Malaysia!*

Senin, 23 Maret 2009

Persoalan Laut

Rosadi Jamani

Bupati Sambas, Burhanudin A Rasyid pernah mengatakan, potensi ikan di Laut Cina Selatan atau persisnya di perairan Sambas adalah yang terbesar di Asia Tenggara. Banyak investor mengincar ikan di laut tersebut. Sayang, Kalbar masih belum mampu memaksimalkan potensi maha besar itu.

Kemudian, tentara laut sering menangkap nelayan asing (Thailand) mencuri ikan di perairan kita. Berkali-kali ditangkap, kapal disita, tapi nelayan asing itu sepertinya tidak pernah kapok. Mereka setiap saat menunggu celah untuk bisa menguras hasil laut kita.
Belum lagi cerita pulau Gosong Niger yang disengketakan Indonesia dengan Malaysia di sempadan laut Kalbar dengan Sarawak. Persoalan tersebut sewaktu-waktu mencuat dan mengancam hubungan kedua negara. Namun, kita pada umumnya tak mengetahui secara jelas seperti apa hukum atau aturan main dari undang-undang kelautan.

Selain itu, kita juga sering mendengar sengketa antara nelayan tradisional dengan modern. Nelayan yang hanya menggunakan pukat melawan nelayan menggunakan pukat harimau. Persoalan tersebut sewaktu-waktu juga terjadi. Banyak lagi persoalan laut yang tidak diketahui secara luas oleh masyarakat. Persoalan yang paling besar, laut kita dikepung oleh kekuatan asing.

Kita harus mengakui, tidak banyak orang kita atau sumber daya manusia (SDM) Kalbar yang menguasai persoalan kelautan. Maklum saja, perhatian tentang kelautan itu baru ada di masa pemerintahan Presiden Gus Dus yang mendirikan Departemen Kelautan. Jangankan Kalbar, untuk ukuran Indonesia sangat sedikit SDM yang menguasai soal kelautan. Akibatnya, pulau Sipadan dan Ligitan harus rela diserahkan ke Malaysia. Kasus Ambalat sempat merenggangkan hubungan Indonesia Malaysia. Semua itu bentuk dari lemahnya penguasaan SDM Indonesia terhadap kelautan.

Kalbar menyimpan potensi konflik kelautan sangat tinggi. Soalnya, Kalbar memiliki wilayah laut sangat luas dari Ketapang terus melewati Kayong Utara, Kubu Raya, Kabupaten Pontianak, Bengkayang, Singkawang dan Sambas. Di Ketapang, laut Kalbar berbatasan dengan Kalteng. Di utara, laut Kalbar berbatasan dengan Malaysia. Menuju laut lepas, perairan Kalbar berbatasan dengan Bangka Belitung, DKI Jakarta, serta negara Thailand, Singapura, Cina, Vietnam. Kalau Kalbar tidak menguasai laut secara penuh terhadap persoalan laut itu, kita khawatir konflik kelautan bisa muncul sewaktu-waktu. Yang kita khawatirkan, saat terjadi konflik, posisi Kalbar selalu dirugikan akibat tidak menguasai persoalan laut itu.

Kalbar berikut kabupaten/kota yang memiliki laut memang sudah ada dinas kelautan. Namun, soal penguasaan hukum kelautan dirasakan masih miskin. Dinas tersebut harus banyak lagi belajar soal hukum tersebut. Masalahnya, di Indonesia orang yang mengerti dan paham soal undang-undang kelautan itu memang masih langka.

Seminar nasional tentang hukum maritime atau kelautan di Balai Petitih, 23 Maret 2009 merupakan sebuah jawaban jitu bagi Kalbar untuk sedikit menguasai bidang tersebut. Narasumber yang dihadirkan merupakan pakar kelautan ternama Indonesia. Salah satunya Prof Hasyim Jallal merupakan ahli kelautan Indonesia paling ternama. Dia hadir untuk berbagi ilmu dengan orang Kalbar serta peserta dari berbagai provinsi di Indonesia. Sejumlah doktor di bidang kelautan juga hadir untuk memberikan pencerahan mengenai kelautan. Sungguh sangat beruntung Kalbar bisa menjadi tuan rumah seminar nasional itu. Kita berharap, orang-orang Kalbar yang mengikuti seminar itu bisa diandalkan untuk menjaga potensi kelautan. Siapa lagi yang diharapkan untuk menjaga laut kita kalau tidak kita sendiri. Tentu sangat tidak kita harapkan, peserta yang mengikuti seminar itu hanya sekadar ikut-ikutan atau meramaikan. Ilmu yang didapatkan tidak diterapkan untuk menjaga laut Kalbar. Semoga tidak ada peserta seperti itu.

Seminar nasional tersebut sebuah langkah tepat untuk menjawab segala persoalan kelautan di Kalbar atau secara nasional. Kita berharap setelah seminar tersebut, apabila ada konflik mengenai laut, orang Kalbar semakin cerdas untuk menyelesaikannya berdasarkan aturan yang ada. Kita juga berharap, potensi laut yang sangat melimpah itu bisa diekplorasi untuk kesejahteraan rakyat Kalbar.*

Kenapa Mark Up Sulit Diungkap?

Rosadi Jamani

Dalam dunia birokrasi pemerintah, mark up (penggelembungan) anggaran sesuatu hal yang “lumrah”. Siapa pun pejabatnya, sebagian besar pernah melakukan mark up. Anehnya, sampai saat ini belum ada pejabat bisa diseret ke pengadilan. Mereka seperti “kebal” hukum. Kejaksaan seperti tidak berdaya ketika berhadapan dengan mark up. Padahal, membuktikan mark up tersebut sangat mudah. Misalnya, di dalam laporan keuangan, pembelian satu unit komputer Rp 10 juta. Kuitansi dari toko pembelian komputer itu ada, lengkap dengan cap basahnya. Coba, cek ke pasar, dengan jenis dan spesifikasi sama, harga komputer itu pasti jauh di bawah itu. Paling-paling hanya Rp 6 juta. Berarti ada empat juta sisa dari pembelian komputer itu. Itu baru satu unit komputer, bagaimana kalau 10 unit komputer, tentu untungnya lebih besar lagi.

Begitu juga dengan barang lain, misalnya pembelian lemari. Dalam laporan ditulis Rp 5 juta. Ada kuitansi resmi dari toko mebel. Tapi, begitu dicek di toko mebel yang lain, lemari tersebut hanya berharga Rp 3 juga. Berarti ada sisa Rp 2 juta yang bisa dimasukkan ke kantong pribadi. Itu semua hanya contoh kecil dari praktik mark up. Setiap pembelian barang menggunakan APBD, bisa dipastikan ada praktik mark up di dalamnya. Istilah umum di dunia birokrasi, kalau tidak di-mark up, tidak ada keuntungan. Hanya gigit jari. “Masa’ capek-capek ngurus pembelian dan administrasi tidak ada untungnya,” kata umum pegawai di lingkungan pemerintah.

Biasanya, keuntungan dari mark up itu tidak dimakan sendirian. Pegawai dalam satu bidang bisa mendapatkan keuntungan dari mark up itu. Keuntungannya juga dimakan bersama-sama. Antara atasan dengan bawahan berbeda nilai nominalnya. Kalau tidak ada yang kebagian, pegawai itu dikhawatirkan akan “bernyanyi”. Hal tersebut tentu berbahaya bagi posisi atasan. Tapi, kalau semua menikmati keuntungan mark up itu, akan sulit mengusut penyimpangan dari mark up di bidang tersebut.

Lebih hebat lagi, pemilik toko bisa dikondisikan. Seluruh harga yang ada di kuitansi ditulis berdasarkan pesanan aparat pemerintah itu. Pemilik toko akan banyak mendapatkan keuntungan, karena aparat itu belanja dalam jumlah besar, serta menjadi langganan tetap. Semua bisa diatur mengikuti selera aparat pemerintah. Kuitansi tersebut sangat diperlukan ketika ada pemeriksaan. Ketika diperiksa oleh BPK atau inspektorat, kuitansi tersebut menjadi bukti fisik riil yang tidak diragukan lagi.

BPK maupun inspektorat selama ini hanya memeriksa pengeluaran anggaran serta bukti fisik dari pengeluaran itu. Jarang kita mendengar BPK melakukan pemeriksaan keuangan dengan melihat fisik barang yang dibeli, serta mengecek ke toko di mana barang itu dibeli. Lalu, membandingkan harga barang itu ke toko lain. Kalau perbedaan harga tidak mencolok, mungkin itu masih dianggap wajar. Tapi, kalau perbedaan harga itu sangat mencolok, pastilah ada penggelembungan harga. BPK semestinya melakukan pengecekan sampai ke toko pembelian dan membandingkannya ke toko lain. Kita yakin, dengan model pemeriksaan seperti itu, sangat kecil kemungkinan terjadinya mark up.

Selama pemeriksaan hanya di atas meja serta memeriksa kuitansi-kuitansi pengeluaran anggaran saja, praktik mark up sulit dihilangkan. Apalagi kalau BPK itu bisa “dijinakkan”. Mereka datang diinapkan di hotel mewah dan dilayani dengan baik. Lalu, pemeriksaan cukup di hotel saja. Setelah itu, pulang dengan membawa “oleh-oleh” dari pihak yang diperiksa. Kemudian, dinyatakan laporan keuangan tidak ada penyimpangan. Selesailah semua pemeriksaan keuangan. Mark up yang dirancang dengan rapi, tidak ada lagi persoalan dan dinyatakan sah. Aparat pemerintah yang melakukan mark up akan mengurut dada, terlepas dari penyimpangan. Mereka pun menyatakan, uang hasil mark up itu juga sah dan bukan korupsi.

Seperti itu kira-kira praktik mark up secara umum di lingkungan pemerintah. Sangat sulit untuk dihapuskan selama pemeriksaan keuangan tidak mencocokkan dengan toko tempat pembelian barang serta toko lainnya. BPK mesti anti korupsi dan anti suap. Ketika BPK masih silau dengan uang, mark up juga semakin sulit dihapuskan.*

Sabtu, 21 Maret 2009

Sebenarnya, Siapa Pelaku Money Politic?

Oleh: Rosadi Jamani

Tepuk tangan pasti dilakukan dengan dua belah tangan. Tidak mungkin dikatakan tepuk tangan, kalau hanya satu belah tangan saja. Sama halnya dengan money politic, pasti ada pemberi dan penerima. Kalau hanya memberi, tidak ada penerima, money politic tidak jadi. Sebaliknya, kalau hanya ada penerima, tidak ada pemberi, money politic juga tidak terjadi.

Pada 18 Maret 2009, di Kantor PTPN XIII Pontianak, saya terlibat pembicaraan dengan seorang dosen Teknik Untan soal Pemilu 9 April. Walaupun dia orang teknik, tapi senang ngomongin politik. Satu hal yang menjadi sorotannya mengenai money politic.
“Dalam anggapan umum di masyarakat, money politic itu dilakukan caleg. Mereka membagi-bagikan uang ke masyarakat agar namanya dipilih pada saat pencoblosan. Jadi, caleg yang aktif membagikan uang ke masyarakat. Sementara masyarakat pasif hanya menerima,” jelas dosen itu. Saya pun mengangguk-angguk menandakan bahwa dosen itu memiliki pemikiran menarik soal politik.

“Saya melihat, anggapan tersebut sudah tidak berlaku lagi. Sekarang yang aktif justru masyarakat. Mereka banyak mendatangi caleg minta bantuan. Caleg justru banyak menghindar. Jadi, bukan hanya caleg yang melakukan money politic, tapi juga masyarakat,” jelas dosen itu.
Dijelaskannya, praktik money politic dilakukan oleh dua pihak. Pihak pertama adalah pemberi materi bisa berupa uang, material bangunan, pakaian, beras, kain sarung, buku atau apa saja benda yang bisa memengaruhi pemilih. Pihak pertama dalam memberikan materi bisa secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung berarti si pemberi sendiri yang memberikan materi itu. Tidak langsung berarti si pemberi akan menggunakan jasa orang lain untuk membagikan materinya. Pihak kedua adalah yang menerima. Pihak penerima sudah pasti masyarakat yang memiliki hak pilih. Money politic pasti ada transaksinya. Transaksi itu tidak akan terjadi apabila salah satu pihak tidak ada.

“Caleg mau membagikan uang, tapi orang mau dikasih tidak ada atau tidak mau, money politic tidak terjadi. Sebaliknya, masyarakat mau minta sumbangan, tapi calegnya tidak ada atau pelit, money politic juga tidak akan terjadi. Money politic terjadi apa kedua belah pihak mau sama mau, atau senang sama senang,” jelas dosen itu.

Saya ingin garis bawahi pernyataan dosen itu bahwa money politic tidak hanya dilakukan caleg tapi juga masyarakat, walaupun itu masih tanda kutip. Fenomena masyarakat mengincar caleg untuk dimintai sumbangan sudah lama berlangsung. Apalagi menjelang Pemilu 2009, di mana sistemnya menggunakan suara terbanyak, membuat banyak warga menjadikan caleg sebagai target untuk mencari keuntungan. Banyak caleg diuber-uber dari siang sampai malam hanya untuk mendapatkan uang bensin, uang rokok atau sumbangan. Berbagai macam dalih mereka lakukan agar caleg bisa mengeluarkan uang dari kantongnya. Fenomena masyarakat menguber caleg untuk dimintai materi tersebut, inilah yang dikatakan dosen itu praktik money politic.

Pada Kamis, 20 Maret 2009 lalu, tetangga saya bercerita adanya orang suruhan dari seorang caleg yang door to door merayu agar memilih caleg yang ditawarkannya. “Orang itu mengucapkan assalamu’alaikum ketika hendak masuk. Saya persilakan masuk dan duduk di kursi. Diapun langsung mengeluarkan kartu nama dan profile caleg agar saya memilihnya pada 9 April. Dia merayu dengan menggunakan dalil-dalil agama,” cerita tetangga di samping rumah.
“Orang itu mengatakan bahwa caleg itu orang kite (satu kelurahan, red). Anak Pak…(maaf rahasia). Tidak salah kalau kite pileh die 9 April nanti. Diapun mencatat nama saya beserta istri dan jumlah anak saya. Di dalam buku catatan itu sudah banyak nama warga gang kite. Tidak kurang lima menit, orang itu pamitan seraya menitipkan kartu dan profil caleg,” papar tetangga sambil nebas rumput di antara rumah saya dan rumahnya.

Lanjut tetangga, ketika orang itu hendak pamitan, dia bertanya, apakah ada uangnya? “Oh…maaf, Pak! Tak ade uang. Kite hanya menyampaikan pesan saja. Kalau bapak tertarik dengan caleg yang saya tawarkan, silakan pilih. Kalau pun tidak, kite tak ada persoalan. Pemilu itukan rahasia, Pak!” katanya. “Karena tidak ada uangnya, untuk apa dipilih. Lebih baik milih yang ngasih uang, tentu ada untungnya,” kata tetangga itu kepada saya.

Diapun menceritakan kenapa harus meminta uang. Dulu, orang sering datang ke rumahnya apabila ada Pemilu atau Pilkada. Mungkin karena tetangga itu terlihat miskin (kalau melihat ukuran rumah) membuat politisi tertarik untuk menaklukkannya. “Setiap Pemilu atau Pilkada, orang datang ke rumah silih berganti. Mereka merayu agar memilih caleg atau calon kepala daerah. Di antara yang datang, umumnya ada yang ngasih uang. Kalau rata-rata ngasih Rp 20 ribu, lumayan. Rezeki tak boleh ditolak,” ujarnya.

Dari cerita tersebut, seandainya tetangga saya menolak, tidak mau dikasih uang, praktik money politic tidak akan terjadi. Berhubung yang menawarkan uang dan yang menerima suka sama suka, terjadilah praktik money politic. Siapa yang disalahkan dari cerita tersebut? Jelas keduanya. Tidak bisa disalahkan pihak yang memberi uang, tapi juga yang menerima.
Money politic tidak ada bedanya dengan suap atau sogok. Suap dilakukan untuk menutupi sebuah kasus agar jangan dibuka ke publik. Atau, suap dilakukan untuk memperlancar sebuah pekerjaan. Dalam dunia hukum, antara pihak yang menyuap dengan yang disuap, sama. Keduanya bisa dijerat hukum dan diadili di pengadilan. Dalam agama juga demikian, antara yang nyogok dengan yang disogok, sama-sama berdosa dengan ancaman neraka. Modus praktik money politic secara substansial, sama. Pihak pemberi uang ingin agar namanya dicontreng 9 April. Sementara pihak penerima diharapkan tidak pindah ke lain hati ketika sudah menerima uang tersebut. Kalau mengikuti kaidah hukum, si pemberi dan penerima uang, bisa diseret ke pengadilan. Mengikuti kaidah agama, keduanya juga diancam hukuman maha berat, masuk neraka.

Saya hanya ingin mengatakan bahwa praktik money politic dalam even Pemilu tidak bisa dihindarkan. Dipastikan praktik yang paling ditakuti di pesta demokrasi itu akan marak terjadi. Caleg yang berkantong tebal diduga kuat akan melakukan praktik tersebut. Soalnya, money politic masih dipandang cara paling jitu, mudah, singkat dan keefektivannya bisa mencapai 80 persen untuk menaklukkan pemilih. Anggapan orang, “Siapa sih yang tidak mau dengan uang. Atau, caleg A belum jadi Dewan saja sudah ngasih uang, apalagi sudah duduk. Sekarang saja caleg B hanya jualan “kecap”, apalagi sudah duduk, untuk apa dipilih, lebih baik yang ngasih uang dipilih”. Omongan pemilih terutama di kampung-kampung masih diamalkan. Itu sebabnya, praktik money politic diperkirakan akan marak di kampung-kampung. Praktik itu akan terlihat jelas mendekati hari pencontrengan. Perang amplop (isinya uang) diprediksi tidak bisa dihindari.
Selama ini, praktik money politic, selalu yang disalahkan adalah caleg. Padahal, si penerima uang (pemilih) juga layak untuk disalahkan. Pemilih yang dengan mudah menerima uang dari caleg, sama berdosanya dengan si pemberi. Selama masih ada orang mau menerima bahkan suka minta-minta uang dari caleg menjelang pencontrengan, praktik money politic sangat-sangat sulit dihapuskan. Salah satu cara menghapuskan money politic dalam setiap hajatan politik, jangan terima uang atau jenis materi dari caleg atau calon kepala daerah. Menerima itu berarti menyuburkan money politic. Mari berantas money politic dengan tidak menerima uang, baju kaus, beras, semen, material bangunan menjelang pesta demokrasi! (Silakan tanggapi ke email: gue_ros2222@yahoo.com atau ke http://renunganpelangi.blogspot.com)

Kamis, 19 Maret 2009

Badai Politik di Tengah Kampanye

Rosadi Jamani

Seluruh parpol maupun caleg saat ini sedang berkoar-koar merebut simpati pemilih. Caleg dari tingkat pusat sampai kabupaten semua turun demi sebuah ambisi besar, ingin menjadi wakil rakyat. Persaingan dan pertarungan antar caleg pasti seru. Jangan heran, di tengah persaingan itu ada yang memakai berbagai cara untuk meraih sebuah kemenangan. Bahkan, tidak jarang pula saling menjatuhkan dengan berbagai taktik dan trick. Dalam dunia politik, saling menjatuhkan, saling sikut, saling hantam adalah sesuatu yang lumrah.

Terkait isu utang 55 anggota DPRD Kalbar yang hangat diberitakan adalah bagian dari sebuah trick menjatuhkan popularitas sesama caleg. Para penghuni gedung megah di A Yani I samping SPBU itu semuanya adalah caleg. Mereka masih berambisi untuk naik lagi. Mereka sudah punya popularitas dan kekuatan finansial. Bagi caleg pendatang baru, kehadiran 55 caleg di kancah kampanye Pemilu 2009, merupakan pesaing paling berat untuk dikalahkan. Segala celah akan dicari untuk menjatuhkan nama baik 55 wakil rakyat itu. Salah satu isu paling gres untuk menjatuhkan nama baik 55 anggota Dewan itu adalah persoalan utang.

Mereka sebentar lagi akan meletakkan jabatan sebagai wakil rakyat. Ketika mereka mengakhiri masa pengabdiannya, segala utang di lembaga legislatif itu harus dilunasi. Jika tidak, mereka akan diseret ke meja hijau sebagai tersangka korupsi. Celah itu ada. Seluruh anggota Dewan ternyata memiliki utang cukup besar dan rasanya berat dikembalikan.

Bagi lawan politik 55 anggota Dewan itu, isu utang menjadi hangat. Mereka terus menyebarkan isu tersebut dengan harapan popularitas 55 caleg itu anjlok. Pemilih diajak berpikir, untuk apa memilih wakil rakyat yang akan menjadi calon tersangka korupsi. Seandainya mereka duduk, paling beberapa bulan saja sudah harus meringkuk di balik jeruji. Untuk apa pilih caleg seperti itu, lebih baik pilih caleg yang bersih. Kira-kira demikian isu lawan politik 55 anggota Dewan ketika berhadapan dengan pemilih. Mereka akan diserang dengan isu utang tersebut.

Bagi pemilih yang cerdas, pasti akan berpikir panjang ketika mendengar isu tidak sedap itu. Dia akan menggunakan otak dan hatinya untuk menentukan sebuah pilihan. Dalam otaknya, ketika menentukan pilihan itu pasti terbayang, apakah caleg yang akan dipilih itu baik atau tidak. Apakah caleg yang akan dicontreng pernah korupsi atau tidak. Berbagai pertanyaan analisis akan muncul di otaknya sebelum menentukan pilihan. Dalam situasi seperti itu, isu-isu yang bertebaran selama kampanye ikut mempengaruhi. Apalagi kalau isu itu dikemas rapi dan bisa meyakinkan pemilih, pilihan pemilih cerdas pastilah kepada caleg yang bersih, caleg yang tidak memiliki utang kepada negara.

Cuma, pemilih cerdas, jumlahnya sangat terbatas. Kalau diibaratkan sebuah piramida, pemilih cerdas itu ada berada di puncak (jumlahnya sedikit). Sementara pemilih tradisional, pemilih yang tidak menggunakan akal pikiran, berada di bagian bawah piramida, dan jumlahnya paling dominan di setiap even pesta demokrasi. Dipastikan 55 anggota Dewan itu tidak terpengaruh dengan isu tersebut. Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu (cuek). Para wakil rakyat itu pasti tidak memedulikan isu yang sedang hangat dibicarakan masyarakat itu. Masalahnya, pemilih di tingkat bawah yang menjadi sasaran kampanye mereka pasti tidak mengetahui isu tersebut. Paling yang tahu hanya segelintir orang yang jumlahnya tidak terlalu signifikan.

Inilah potret politik di negeri ini. Politik memang tidak bisa dipisahkan dari sebuah isu. Pasti ada isu negatif yang dimainkan hanya untuk menjatuhkan lawan politik. Isu tersebut akan terus bergulir sampai menjelang masa pencontrengan. Bahkan, dalam beberapa hari ke depan, akan ada lagi isu-isu miring berseliuran di telinga pemilih. Akan ada caleg yang akan memompa isu negatif tersebut demi menaikkan nama baiknya.

Di balik pertarungan itu, tinggal pemilih yang menentukan. Kalau mengikuti idealisme Pemilu yang menghendaki langsung, umum, bebas dan rahasia (LUBER) ditambah lagi jujur dan adil (Jurdil), semua jawaban untuk menentukan caleg itu adalah pemilih. Kita tidak akan tahu seperti apa pikiran pemilih di bilik suara. Sekali lagi, isu sangat mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihan*.

Rabu, 18 Maret 2009

40 Ribu Hektare Sawit di Kubu Raya

Rosadi Jamani

Krisis keuangan global masih sedang berlangsung. Belum ada kegairahan signifikan diperlihatkan sejumlah perusahaan. Kebanyakan wait and see. Berharap krisis cepat berlalu. Perusahaan lebih banyak melakukan revitalisasi. Bahkan, ada yang ekstrem mem-PHK sejumlah karyawannya. Tapi, tidak dengan PT Perusahaan Nusantara (PTPN) XIII. Di tengah krisis global, justru melakukan ekspansi atau perluasan kebun sawit. Ini membuktikan, perusahaan milik negara itu tidak terpengaruh dengan krisis tersebut.

Ke mana ekspansinya PTPN XIII? Daerah yang dipilih adalah Kabupaten Kubu Raya. Dengan demikian ada tiga kabupaten menjadi areal perkebunan sawit milik PTPN XIII, yakni Landak, Sanggau dan Kubu Raya. Di kabupaten ke-14 itu, PTPN XIII akan menggarap 40 ribu hektare lahan untuk dijadikan kebun kelapa sawit.

Satu hal menarik dari ekspansi tersebut, PTPN XIII akan menghidupkan Pelabuhan Teluk Melano yang pernah berjaya tahun 1970-an. Ini artinya, hasil perkebunan PTPN XIII akan diangkut tidak lagi lewat Pelabuhan Dwikora, melainkan Teluk Melano yang sekarang sudah masuk Kabupaten Kayong Utara.

Pelabuhan merupakan indikator utama ukuran kemajuan sebuah daerah. Daerah yang maju di Indonesia, pasti memiliki pelabuhan laut. Dengan pelabuhan, daerah itu akan terkoneksi dengan berbagai daerah lain. Dengan adanya koneksi tersebut membuat orang ramai mengunjungi daerah tersebut. Jika sawit 40 ribu hektare itu dimulai dan sudah menghasilkan, tidak hanya rakyat Kubu Raya menikmatinya, melainkan juga Kayong Utara. Itu artinya aktivitas ekonomi tidak lagi didominasi wilayah utara, tapi mulai bergeser ke selatan.

Investasi sawit 40 ribu hektare itu bisa dikatakan mega proyek. Pasti triliunan rupiah akan beredar di Kubu Raya. Akan ada ribuan tenaga kerja terserap. Akan ada ribuan lapangan kerja tersedia, mulai dari land clearing, tukang tanam, tukang pupuk, tukang angkut, tukang masak, tenaga administrasi, mandor, tenaga penelitian, dan sebagainya. Aktivitas ekonomi dipastikan akan hidup. Di tengah kegairahan itu, Kubu Raya yang selama dihadapkan ambruknya industri kayu akan kembali bergairah dengan ekspansi 40 ribu hektare sawit oleh PTPN XIII itu. Bayangan indah terhadap dunia investasi mulai tergambar jelas.

Namun, apakah rencana itu tidak akan menghadapi kendala? Kendala dan hambatan pasti ada. Kita sering mendengar, perusahaan sawit sering berurusan dengan petani dan masyarakat setempat. Kita juga sering mendengar alat berat milik perusahaan disandera warga. Kita juga pernah mendengar ada perusahaan yang diadat orang kampung. Kita juga sering mendengar perusahaan sawit didemo warga. Banyak cerita-cerita duka seputar investasi sawit tersebut.
PTPN XIII bukanlah pendatang baru di dunia perkebunan sawit. Perusahaan itu telah ada di Kalbar sejak tahun 1980-an. Bisa dikatakan PTPN XIII-lah adalah perusahaan pertama berinvestasi sawit di Kalbar. Sudah banyak asam garam telah dirasakan perusahaan itu. Mereka sering menghadapi berbagai tingkah polah petani dan masyarakat. Semua itu bisa dilalui sehingga eksis sampai saat ini.

Dari pengalaman yang cukup lama ini, PTPN XIII yakin, investasi 40 hektare di Kubu Raya akan berjalan lancar. Tentunya, segala hal dan kemungkinan telah mereka pikirkan dengan matang. Bahkan, sistem yang akan mereka terapkan di Kubu Raya itu berbeda dengan di Landak dan Sanggau. Sistem itu adalah hasil penyempurnaan dari segala kekurangan yang ada di Landak dan Sanggau. Salah satu yang akan mereka terapkan adalah pembinaan petani tidak lagi dilepas, melainkan langsung di bawah binaan PTPN XIII.

Konsep yang ditawarkan PTPN XIII itu memang menarik dan menjanjikan. Namun, itu semua perlu dibuktikan, apakah antara konsep dengan realitas nantinya sesuai harapan. Waktu yang akan membuktikannya. Satu point penting bagi PTPN XIII, menjawab krisis dengan ekspansi kebun. Tentunya itu sebuah langkah berani dan penuh perhitungan. Kita berharap, rencana itu bisa menggairahkan perekonomian Kubu Raya dan Kalbar umumnya. *

Selasa, 17 Maret 2009

Korupsi Menjadi Isu

Rosadi Jamani

Kampanye terbuka Pemilu legislatif 2009 sudah dua hari dimulai. Seluruh parpol dan calon legislatif (caleg) sudah bertarung di arena politik yang sebenarnya. Mereka tidak lagi malu-malu, melainkan buka-bukaan memperlihatkan seluruh kemampuannya di hadapan pemilih. Perang terbuka untuk memperebutkan suara pemilih tidak bisa lagi dihindarkan.

Di dalam perang, hanya satu yang ingin dicapai adalah kemenangan. Siapapun tidak menginginkan kekalahan. Sebab, kalah itu menyakitkan dan tidak diinginkan setiap orang. Hanya orang bodoh saja yang mengharapkan kekalahan. Untuk menggapai sebuah kemenangan butuh perjuangan dan kerja keras. Orang tidak akan menang apabila hanya berpangku tangan. Caleg tidak akan bisa merebut kemenangan kalau hanya berdiam diri di dalam rumah.
Salah satu hal terpenting dalam merebut kemenangan itu adalah isu. Caleg atau parpol yang pandai menjual isu di hadapan pemilih, dia bisa meraih kemenangan. Isu dalam Pemilu merupakan materi yang disampaikan caleg ke pemilih. Omongan apa yang paling menarik sehingga pemilih bisa kesengsem untuk memilih caleg yang menjual isu tersebut?

Isu tersebut berbagai macam. Caleg atau parpol pasti ada menjual isu putra daerah. Mereka berkoar-koar di hadapan pemilih, jangan pilih orang luar, pilihlah orang sendiri, pilihlah caleg yang berasal dari satu kampung, satu gang dan sebagainya. Caleg luar itu tidak jelas dan kalau dipilih itu sangat merugikan daerah. Soalnya, si caleg luar itu tidak tahu persis persoalan daerahnya. Ini hanya isu yang diperkirakan ramai dijual caleg.

Isu lain adalah etnis dan agama. Jangan dipilih caleg A, karena dia agamanya B. Jangan pilih si C karena dia sukunya D. Pilihlah yang satu agama dan suku agar nanti keluhan dari umat dan pemuka adat bisa cepat disampaikan lewat pemerintah. Kalau memilih caleg agama dan suku lain, prosesnya akan sulit.

Kemudian, isu yang diperkirakan primadona adalah korupsi. Pemilih paling tidak senang yang namanya “binatang” korupsi. Semua parpol dan caleg yang rata-rata masih bersih (muka baru) dipastikan akan mengusung isu korupsi untuk menggaet hati pemilih. Isu korupsi tersebut akan dijadikan modal penting untuk menghantam caleg incumbent (anggota Dewan aktif).

Caleg incumbent bisa dikatakan lawan paling berat caleg new comer (pendatang baru). Caleg muka lama sudah memiliki basis suara. Jasa-jasa mereka terhadap masyarakat sudah banyak. Popularitas nama di komunitasnya sangat tinggi. Soal kemampuan finansial, jangan diragukan. Hampir lima tahun menjadi wakil rakyat, tentu sudah banyak uang di kantongnya. Melawan incumbent tidak bisa dengan kemampuan finansial atau popularitas. Salah satu isu paling efektif menghadapi incumbent adalah isu korupsi.

New comer pasti menjajakan isu korupsi ke pemilih. Mereka akan berkampanye sebagai caleg yang bersih, tidak pernah terlibat korupsi. Sementara incumbent diduga banyak menyelewengkan uang rakyat. Indikator utamanya, rakyat masih banyak melarat. Kalau para incumbent jujur dan murni membela wakil rakyat, tentulah banyak rakyat terbantu dan menikmati hasil pembangunan. Pembangunan itu memang ada, tapi intensitas untuk rakyat sangat kecil. Sementara uang yang masuk ke kantor pejabat dan wakil rakyat lebih besar dari realisasi pembangunan itu sendiri. Kira-kira demikian isu korupsi yang akan diusung new comer untuk meruntuhkan popularitas incumbent.

Masih banyak lagi isu lain yang akan dijual caleg. Namun, isu korupsi diperkirakan akan dominan mewarnai kampanye kali ini. Harus diakui, korupsi telah menjadi momok paling dibenci masyarakat. Korupsi yang sampai sekarang masih merajalela terus menggerogoti sendi-sendi pemerintahan di daerah ini. Kita berharap, isu korupsi yang diusung tidak sekadar isu. Apabila terpilih harus komitmen untuk membersihkan diri dari praktik korupsi di lembaga legislatif. Jangan sampai, praktik korupsi seperti lari estapet atau kembali dilanjutkan caleg muka baru yang duduk di parlemen nanti.*

Senin, 16 Maret 2009

Kampanye Terbuka Dimulai

Rosadi Jamani

Seluruh partai politik (parpol) dan calon legislatif (caleg) mulai diizinkan menggelar kampanye terbuka, kemarin (16/3/2009). Kampanye tersebut ditandai dengan penandatanganan kesepakatan damai. Harapannya, selama kampanye digelar tidak terjadi konflik yang menjurus ke perbuatan pidana.

Dari gubernur, KPU, Panwaslu, kejaksaan, polisi dan tentara menyaksikan kesepakatan damai yang dilakukan pengurus parpol. Kesepakatan itu merupakan sebuah komitmen nyata bahwa masing-masing parpol sepakat melakukan kampanye berdasarkan aturan. Mereka berkomitmen untuk tidak saling menjelek-jelekkan, membawa isu SARA atau menimbulkan keresahan di masyarakat. Mereka berjanji tidak berbuat anarkis. Yang terpenting, mereka bersumpah untuk bersama-sama menyukseskan Pemilu.

Melihat kesepakatan damai itu sangat membuat kita lega dan tenang. Kalau seluruh parpol taat dan tunduk dengan kesepakatan yang telah dibuat itu, dijamin pesta demokrasi terbesar di Indonesia akan berjalan lancar, aman, damai dan tertib. Yang menjadi persoalan, siapa yang bisa menjamin kesepakatan damai itu bisa pegang.

Perlu diketahui, kesepakatan damai itu hanyalah sebuah komitmen moral. Kesepakatan itu bukan peraturan atau perjanjian yang memiliki sanksi. Parpol bisa saja melanggar kesepakatan damai itu tanpa harus kena sanksi. Kalaupun ada sanksi, paling sanksi moral yang tidak ada kerugian materiilnya. Itu sebabnya, banyak orang menyanksikan perihal kesepakatan damai itu. Itu hanya sebuah acara seremonial menjelang kampanye. Pemilu sebelumnya juga demikian. Kenyataan di lapangan, tetap saja ada parpol bermain curang untuk memperebutkan simpati pemilih.

Di dalam parpol itu berhimpun puluhan orang yang menjadi pengurusnya. Tidak semua pengurus parpol memahami dan mengerti bagaimana cara berpolitik yang benar dan mengikuti aturan. Ada yang mengerti dan paham, tapi jumlahnya hanya segelintir orang. Orang-orang yang tidak mengerti inilah yang kadang mengacaukan jalannya Pemilu. Orang seperti itu biasanya mengedepankan sikap emosional ketimbang rasional.

Kita patut mewaspadai politikus yang mengedepankan emosional (preman). Politikus seperti itu sering menyelesaikan persoalan dengan adu kekuatan dan kekerasan. Mereka ada di tengah kita. Pemilu akan berjalan lancar dan tertib apabila kontestannya adalah politikus santun yang mengedepankan rasional. Berpikir untuk persoalan lebih besar ketimbang memikirkan persoalan kecil yang tidak ada artinya.

Apakah ada politikus santun? Kita rasa ada. Tapi, jumlahnya sangat minim. Mereka adalah politisi yang benar-benar memperjuangkan tegaknya demokrasi. Mereka menginginkan Pemilu adalah sebuah sarana menuju kehidupan lebih baik dan sejahtera. Tujuan itulah yang ingin dicapai dari sebuah Pemilu. Kalau yang diributkan hanya persoalan baliho yang dirusak, bendera parpol yang dibakar (konflik horizontal), itu bukanlah politikus santun. Yang mesti diributkan, bagaimana Pemilu bisa membuat Indonesia dan daerah ini menuju arah yang lebih baik.
Kemudian, di masa kampanye terbuka, hal yang lazim parpol dan caleg akan obral janji. Akan ada ribuan janji yang diobral ke pemilih. Mereka pasti menjanjikan Kalbar yang lebih baik. Mereka juga pasti menawarkan konsep pemerintahan yang lebih baik. Lebih seru lagi, mereka juga pasti lapangan pekerjaan, peningkatan gaji, perbaikan jalan dan jembatan, peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan, dan sebagainya. Pokoknya, pemilih akan dibuai dengan ribuan janji yang bisa meninabobokan.

Pada kondisi seperti itu, tidak ada salahnya pemilih berhati-hati. Di saat kampanye terbuka inilah kesempatan bagi pemilih untuk menganalisis siapa caleg atau parpol yang layak dipilih. Lakukan check and recheck agar pilihan tidak salah. Pilihan itu bisa membawa konsekuensi bagi perjalanan daerah ini.

Kita berharap masyarakat tidak mengambil sikap masa bodoh, yakni menjadi anggota golongan putih (golput). Golput memang tidak bisa dihindarkan. Namun, tidak ada salahnya kita mengingatkan pemilih untuk menggunakan hak suaranya. Sebab, demokrasi yang sedang kita nikmati sekarang buah dari partisipasi pemilih. Kita tidak mungkin kembali ke sistem negara otoriter. Mari kita rawat demokrasi ini dengan menyalurkan hak suara agar jalannya lebih sempurna lagi.*

Minggu, 15 Maret 2009

Meninggalkan Utang

Rosadi Jamani

Hampir lima tahun mengabdi untuk pemerintah dan rakyat, itulah bagian dari tugas utama anggota DPRD Kalbar. Mereka telah mendedikasikan tenaga, pikiran dan waktu hanya untuk kebaikan daerah ini. Jasa mereka cukup banyak. Upaya untuk meluruskan jalannya pemerintahan juga telah mereka lakukan. Segala nama baik itu bisa tercoreng apabila utang tidak dibayar. Utang itu bukan antara personal dengan personal, melainkan antara anggota Dewan dengan pemerintah. Banyak uang pemerintah (dalam jumlah miliaran) yang belum dikembalikan para wakil rakyat itu.

Ketika para wakil rakyat itu belum menjadi anggota Dewan, mereka adalah rakyat biasa. Ketika ada momen Pemilu 2004, mereka berjuang dengan mengerahkan seluruh kemampuan untuk bisa menjadi wakil rakyat. Tidak hanya tenaga dan pikiran dikerahkan, melainkan juga uang dalam jumlah ratusan juta untuk bisa duduk di parlemen. Lalu, mereka terpilih menjadi wakil rakyat. Setelah itu dilantik dan jadilah mereka anggota legislatif yang bertugas untuk mengontrol, ikut menyusun anggaran dan membuat peraturan.

Kehadiran mereka di parlemen berawal dari niat yang bersih dan suci. Di pundak mereka ada beban tugas maha berat yakni menyampaikan aspirasi rakyat. Apa yang mereka suarakan sama dengan menyuarakan rintihan dan keluhan rakyat. Apa yang mereka perjuangkan adalah berdasarkan kehendak rakyat. Semangat inilah yang mewarnai kinerja para wakil rakyat selama duduk di lembaga legislatif. Sebuah tugas mulia di tengah pemerintahan yang belum berpihak sepenuhnya pada kesejahteraan rakyat.

Sayang, menjelang detik-detik berakhirnya tugas sebagai wakil rakyat, mereka semestinya bisa membuat rakyat bangga, tapi justru sebaliknya. Mereka akan meninggalkan utang dalam jumlah besar. Untuk dibayar saat ini rasanya tidak mungkin, mengingat mereka sedang menghadapi puncaknya pesta demokrasi 2009. Tentunya, mereka lebih memikirkan urusan mau duduk lagi di parlemen ketimbang membayar utang.

Tradisi meninggalkan utang itu sungguh sangat mencoreng citra wakil rakyat yang terhormat. Mereka mestinya meninggalkan gedung megah di bilangan A Yani I dengan kepala tegak (bangga), tapi justru akan keluar dengan kepala tertunduk. Harus diingat, utang tetaplah utang. Kalau agama Islam, orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan utang, tidak akan masuk surga sampai utang itu dibayar. Yang menjadi persoalan, utang itu berasal dari uang rakyat (negara).

Berutang dengan personal, urusannya gampang dan mudah menyelesaikannya. Tapi, utang yang ada di pundak para wakil rakyat itu adalah utang dengan negara. Bagaimanapun uang yang telah dimakan, harus dikembalikan. Jika tidak dikembalikan, itu berarti sebuah temuan penyimpangan. Pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bisa merekomendasikannya sebagai perkara korupsi ke kejaksaan.

Sekarang, pilih mana, mau bayar utang atau menjadi terdakwa korupsi. Jalan paling aman adalah utang itu harus dibayar. Apalagi Ketua DPRD Kalbar, Zulfadhli telah memerintahkan agar utang itu harus dibayar sebelum masa jabatan berakhir. Kalau utang itu bayar sebelum meninggalkan gedung Dewan, itu merupakan sebuah kehormatan. Rakyat akan memberikan applause, karena wakilnya telah merampungkan seluruh tugas dan kewajibannya dengan baik. Mereka layak keluar dengan kepala tegak. Tapi, kalau sampai masa jabatan itu berakhir, utang juga belum dibayar, urusannya bukan lagi lembaga legislatif, melainkan kejaksaan. Mereka harus siap-siap menjadi tersangka korupsi.

Ketika mereka sudah jadi tersangka korupsi, sudah tidak ada lagi power (kekuatan) di belakangnya. Mereka sudah menjadi rakyat biasa. Dalam kondisi seperti ini, aparat hukum tidak akan lagi segan-segan untuk menggarapnya sebagai tersangka korupsi. Sekarang, jawaban itu ada di masing-masing wakil rakyat. Pilih bayar utang atau siap-siap menjadi tersangka korupsi.*

Sabtu, 14 Maret 2009

Hanya Memperebutkan Sebuah Kehormatan

Oleh Rosadi Jamani

Abraham Maslow (1954) pernah mengatakan, puncak dari hierarki keinginan manusia itu adalah self actualization (aktualisasi diri). Saya bisa artikan lain dari self actualization itu adalah sebuah kehormatan. Siapa sih orang yang senang dihina, dicaci maki atau dilecehkan? Semua ingin dihormati, disanjung, dipuji dan diangkat-angkat. Kehormatan merupakan puncak dari sebuah keinginan manusia.

Orang mau menjadi Ketua RT, karena ingin kehormatan. Orang mau jadi pimpinan perusahaan, juga karena ingin mendapatkan kehormatan. Orang mau menjadi presiden, karena ingin sebuah kehormatan. Begitu juga kalau orang ingin menjadi anggota legislatif, karena mendambakan sebuah kehormatan. Tapi, jangan salah, jangan sampai gila hormat, bahaya! Atau kalau perempuan, jangan sampai hilang kehormatannya, bisa heboh orang sekampung.

Saya ingin fokus kepada keinginan orang untuk menjadi anggota legislatif atau wakil rakyat. Kebetulan Pemilu tinggal 27 hari lagi, di mana ribuan caleg berebut, bersaing dan berseteru untuk menjadi wakil rakyat. Saat ini ribuan caleg itu sudah mengeluarkan seluruh kemampuannya. Uang, tenaga, pikiran dan waktu diramu menjadi satu untuk bisa merebut satu kursi di parlemen. Lantas, dari perjuangan caleg yang habis-habisan itu, sebenarnya apa yang ingin mereka capai? Saya jawab, mereka sedang mencari sebuah kehormatan. Dengan menjadi Dewan, derajat pasti terangkat. Banyak orang akan hormat. Biasa dipanggil nama saja, tiba-tiba dipanggil, Pak! Biasa duduk di belakang apabila ada hajatan, lalu didudukkan di kursi paling depan. Dulu biasa menunggu, sekarang malah banyak ditunggu orang. Dulu biasa minta uang, sekarang malah dimintai uang. Semua itu adalah kehormatan yang menjadi idaman ribuan caleg.
Pada Rabu, 11 Maret 2009 lalu, saya lagi tidur siang. Maklum, kerja malam, jadi tidurnya sering siang hari. Tiba-tiba hand phone (HP) berdering nyaring sampai membuat saya kaget dan terbangun. Saya berpegas dan mengambil HP yang sedang berdering di atas meja rias. Saya lihat di layar monitor HP, nama anggota Dewan yang kebetulan kawan dekat. Dengan nada sedikit lemas (maklum baru bangun tidur), saya jawab panggilan dari kawan itu. “Hallo, kawan, ape cerite?” tanya saya. “Baru bangun tidur, ya?” tanyanya balik. “Ya, maklum tiap malam begadang. Gimane?” tanya saya lagi.

“Begini kawan, saya sebentar lagi nikah. Saya lagi ada kesulitan, nih! Tadak ade beduit. Kalau ente ade uang, bolehlah dipinjamkan,” pinta kawan saya itu. Mendengar permintaan itu, saya kaget. Dalam hati saya bertanya, “Anggota Dewan minjam duit sama wartawan, apa ndak salah?” Saya tidak bertanya, berapa mau minjam uang. Soalnya, memang tidak ada uang banyak untuk dipinjamkan. Tidak mungkin anggota Dewan minjam Rp 100 atau 200 ribu. Kalau sebanyak itu, saya pasti bisa. Dalam pikiran saya, dia pasti akan minjam di atas Rp 2 juta, karena even yang dihadapi adalah pernikahan, masa perpindahan dari lajang ke suami. Saya tidak punya uang sebanyak itu dalam waktu cepat.

“Kawan, terus terang, saya sedang mempersiapkan orang rumah (istri, red) untuk kuliah lagi. Butuh biaya besar. Mohon maaf, kalau tidak bisa minjamin,” kata saya. “Oh, gitu, ya. Okelah, sayapun tak memaksa. Kalau begitu sorry-lah nganggu tidur,” katanya. “Tak apa-apa, maaf, ya! Nanti di pesta perkawinan saya datang, selamat, ya!” kata saya lagi sambil memutuskan komunikasi lewat udara itu. Sayapun baring lagi, lalu merenungkan hasil pembicaraan di HP itu. Lagi-lagi saya bertanya dalam hati, “Dewan mau minjam uang dengan wartawan, apa ndak terbalik?”

Dewan dan wartawan adalah mitra kerja. Gaji seorang anggota Dewan jelas di atas rata-rata gaji seorang wartawan. Kalau diibaratkan, perbedaan gaji wakil rakyat dengan pemburu berita, seperti langit dan bumi. Sangat jauh perbedaannya. Itu sebabnya, ada sejumlah wartawan yang ikut-ikutan jadi caleg mau menjadi Dewan juga. Tapi, kenapa Dewan harus minjam duit ke wartawan. Apakah gaji, tunjangan, insentif, komisi, can tepi yang jumlahnya jutaan itu tidak cukup untuk biaya nikah sehingga harus ngutang? Wartawan walaupun gajinya kecil, tidak pernah ngutang jika mau nikah. Semua dibayar cash. Walaupun pestanya di rumah (kecil-kecilan), tidak di gedung, tapi urusan nikah tidak ngutang. Tidak ngutang adalah sebuah kehormatan buat wartawan. Orang yang meminjamkan uang pastilah lebih terhormat dari yang minjam. Karena, ketika proses pinjam-meminjam itu, si peminjam pasti “menyembah” si punya uang agar diberikan pinjaman. Kadang harus menjaminkan sertifikat rumah, STNK mobil atau motor dan sebagainya hanya untuk mendapatkan pinjaman dari si punya uang.

Ngutang itu memang bukan perbuatan terlarang atau dosa. Saya juga pernah ngutang, begitu juga pembaca sekalian. Yang menjadi persoalan apabila utang itu tidak dibayar. Ketika minjam, pasang wajah sedih dan nestapa. Ketika ditagih, banyak menghindar. Ditunggu di rumahnya, tak datang-datang. Bahkan, sering ngumpat. Orang yang dikejar utang atau memiliki utang di sana-sini, pastilah bukan orang terhormat. Orang terhormat itu pastilah selalu dipuji orang karena kebaikannya. Sementara orang yang dikejar-kejar utang, si pemilik uang pasti akan melancarkan sumpah serapah tak karuan. Tidak peduli siapapun dia, kalau ngutang tak dibayar-bayar pastilah dipandang rendah oleh si pemilik uang.

Awal Februari 2009, saya mampir ke ruang kerja salah satu pimpinan Dewan (maaf dirahasiakan). Saya ada sedikit keperluan menyangkut roda organisasi. Di ruangan itu, tidak hanya saya, melainkan beberapa kawan-kawannya. Termasuklah orang-orang dekatnya. Tiba-tiba pintu ruangan itu diketuk orang dari luar. Ternyata, yang akan masuk adalah orang kepercayaannya. “Bang, saya mau ke Toko….(dirahasiakan) mau fotokopi surat ,” katanya kepada pimpinan Dewan itu. “Jangan, di Toko…. itu. Cari toko lain saja. Soalnya, di toko itu utang saya banyak, belum dibayar. Malu-lah, cari toko lain saja,” kata wakil rakyat itu. “Bang, di toko itu yang paling bagus kualitasnya dan murah,” jawab orang itu lagi. “Ya, udahlah. Begini aja, kalau pemilik toko itu nanya, bilang saya berada di Lamongan,” jawab Dewan itu.
Sudah ngutang tak dibayar-bayar, bohong lagi. Saya tak habis pikir dengan pimpinan Dewan itu. Dari penglihatan luar saya, Dewan itu orang kaya dan pasti memiliki tabungan ratusan juta bahkan miliaran. Rumah gede dan megah, memiliki dua mobil pribadi. Dugaan saya itu meleset jauh. Seorang pimpinan Dewan memiliki utang di toko kecil, lantas di mana letak kehormatannya? Pemilik toko itu pasti sangat berharap agar Dewan itu cepat membayar utangnya. Seorang pedagang pastilah harus punya modal, uang yang siap digulirkan untuk membeli barang dagangan berikutnya. Dia pasti kecewa, Dewan yang terlihat hebat di permukaan itu, tapi punya utang tak dibayar-bayar. Dia pasti bercerita ke relasi-relasinya bahwa pimpinan Dewan itu, payah. “Kalau nanti dia mau ngutang, minta dibayar di muka, cash!” kira-kira demikian omongan si pedagang itu.

Pagi Jumat (13/3/2009) kemarin, saya juga dikagetkan dering HP saat sedang tidur. Dengan mata sedikit tertutup, saya melihat di monitor HP panggilan seorang teman. Dia kawan satu kampus, bukan caleg tapi seorang businessman. Karena namanya sudah terekam, saya langsung tekan tombol jawaban. “Ape cerite, kawan?” Dia tahu saya baru bangun tidur dan mohon maaf karena mengganggu. Saya bilang tak masalah, kebetulan waktunya bangun. Lalu, saya tanyakan apa maksud dan tujuannya. “Begini kawan, saya ada bisnis perumahan. Saya perlu uang cepat. Kalau ente ada uang bisa dipinjamkan. Saya ada garansi sertifikat tanah. Dalam tempo dua bulan saya lunasi,” kata kawan itu dengan nada serius.

Sebelum menjawab itu, saya bilang bahwa sebelumnya ada anggota Dewan mau minjam uang juga. Saya bilang, tidak ada uang banyak. Tapi, dia berusaha meyakinkan saya agar bisa meminjamkan uang. Namun, saya berusaha untuk menghindar, karena soal meminjamkan uang, saya selalu konsultasi dengan istri. Saya harus menghormati istri karena dia bagian dari keluarga yang tidak bisa seenaknya dibelakangi. Kawan saya itu akhirnya memaklumi. Lalu, dia bertanya, “Tahu, ndak berapa saya mau minjam uang sama ente?” tanyanya. Saya jawab, tidak tahu. “Saya mau minjam seratus,” katanya. “Mau minjam seratus, maksudnya seratus ribu. Kalau begitu, tak usah minjam, saya kasih saja ente,” ujar saya bercanda. “Bukan seratus ribu, tapi seratus juta,” ujar kawan itu. Mendengar dia mau minjam Rp 100 juta, saya benar-benar kaget. “Ape ente bilang mau minjam Rp 100 juta, ente jangan ngolok. Mane ade ana duit sebanyak itu. Puluhan tahun jadi wartawan-pun tak mungkin dapatkan uang sebanyak itu,” kata saya.

Selanjutnya, diapun tak melanjutkan lobinya dan memohon maaf telah mengganggu tidur saya. Lagi-lagi saya merenung. Seorang pengusaha minjam uang ke wartawan Rp 100 juta. Apa tidak salah? Saya melihat ada sedikit pergeseran pandangan di mata masyarakat bahwa wartawan terbilang orang kaya. Saya tidak tahu apakah ini benar atau tidak, yang jelas faktanya seperti itu. Namun, wartawan sama dengan karyawan di perusahaan lain yang digaji berdasarkan standar undang-undang tenaga kerja. Mereka umumnya memang tidak kaya (relatif), tapi tidak juga miskin.

Banyak cerita dari kawan-kawan, Dewan atau pengusaha secara umum banyak memiliki utang. Apakah itu utang di bank, di toko atau sama kawan-kawannya. Orang yang berutang pastilah orang yang kekurangan modal atau uang. Orang yang memiliki uang, pasti tidak mau ngutang. Lantas, Dewan yang gajinya besar dan menjadi idam-idaman ribuan caleg, tapi kenapa justru banyak memiliki utang? Apakah utang itu bagian dari kehormatan seorang wakil rakyat. Jelas tidak. Ngutang bukanlah sebuah kehormatan. Orang dinilai terhormat ketika ngutang, begitu ada uang cepat dibayar, bukan dialihkan ke keperluan lain. Lebih terhormat lagi apabila Dewan tidak memiliki utang atau mengutangkan sebagian gajinya untuk kesejahteraan konstituennya. Silakan gapai kehormatan dengan cara tidak ngutang. (silakan tanggapi lewat email: rosadi@equator-news.com atau ke http://renunganpelangi.blogspot.com)

Jumat, 13 Maret 2009

Makam Mandor antara Ada dan Tiada

Rosadi Jamani


Seluruh rakyat Kalbar pasti tahu sejarah paling besar adalah tragedi pembantaian Mandor. Ada ratusan cerdik pandai Kalbar yang jasadnya ditanam di Makam Juang Mandor. Tidak salah apabila Pemprov Kalbar menjadikan peristiwa Mandor sebagai Hari Bergabung Daerah. Kemudian, di sekolah-sekolah para siswa juga diajarkan bahwa di Mandor itu banyak cendekiawan, tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia , para raja yang kepalanya dipacung oleh tentara Jepang. Ada yang mengatakan, tragedi itu dinamakan genocide. Sama seperti tentara Serbia membantai warga Bosnia di Eropa. Suku Tutsi dibantai suku Hutu di Rwanda Afrika.
Kawasan Makam Juang Mandor itu telah ditetapkan sebagai cagar alam dan cagar budaya oleh pemerintah. Siapapun tidak boleh mengutik-utik kawasan itu untuk kepentingan pribadi. Dengan ditetapkan sebagai cagar alam dan budaya itu agar kawasan itu tetap lestari dan bernilai sejarah tinggi. Tujuannya, agar generasi akan datang menikmati kawasan itu tetap asli dan bersejarah. Sayang, harapan tersebut sepertinya sulit untuk diwujudkan.

Beberapa tahun lalu, kawasan itu nyaris digarap oleh pekerja tambang liar yang mencari emas. Ada beberapa lahan makam yang sudah disentuh penambang. Sampai sekarang bekas galian lahan itu masih bisa ditemukan. Bahkan, jalan yang menghubungkan makam nyaris putus oleh pertambangan liar itu.

Sekarang muncul lagi upaya warga untuk menggarap lahan makam itu dengan menanaminya kepala sawit. Sekitar satu hektare lahan makam yang sudah dicaplok siap-siap untuk ditanami. Pemilik lahan berdalih, tidak ada niat untuk mencaplok lahan. Pembakaran lahan itu tidak sengaja. Namun, fakta di lapangan menunjukkan lain. Pembakaran lahan (land clearing) sudah masuk ke kawasan makam untuk ditanami sawit. Pemerintah dituding telah “membiarkan” pelestarian kawasan makam itu. Penjaga makam telah melapor ada pencaplokan lahan, tapi respons pemerintah daerah dingin. Sampai akhirnya berita pencaplokan lahan terekspos di media massa , barulah pemerintah tahu bahwa di belakang kawasan itu terjadi upaya pencaplokan lahan oleh warga.

Kalaupun belum ditanami sawit, hampir 1 hektare lahan itu sudah rata dengan tanah. Berarti ada ribuan batang kayu yang sudah dibabat atau dibakar. Hal ini yang sangat disayangkan. Padahal, itu merupakan cagar alam di mana kelestarian tumbuh-tumbuhan yang ada di dalamnya mesti terjaga dengan baik. Satu batang pohonpun tidak boleh ditebang.

Kita mempertanyakan keseriusan Pemprov Kalbar dan Pemkab Landak menjaga kawasan bernilai sejarah tinggi itu. Yang kita saksikan, Pemprov maupun Pemkab Landak baru memperhatikan kawasan itu kalau tiba Hari Berkabung Daerah (HBD). Seluruh kepala daerah diundang, para pejabat tinggi, wakil rakyat, pengusaha, tokoh masyarakat, keturunan keluarga korban diundang untuk memperingati HDB di sana. Mereka datang beramai-ramai sehingga kawasan makam penuh dengan manusia. Di sana ada upaya pengalungan bunga, baca doa dan tabur bunga. Diperkirakan setengah hari saja, acara tersebut selesai. Orang yang ramai itupun kembali ke rumahnya masing-masing. Setelah itu, kawasan makam kembali sepi dan tinggallah penjaga makam sendirian. Tahun berikutnya begitu lagi. Jadi, Pemprov Kalbar perhatian dengan Mandor hanya setahun sekali.

Padahal, perhatian itu mesti lebih. Tidak mesti satu tahun hanya sekali, tapi kapan saja. Masalahnya, kawasan itu telah menjadi magnet orang-orang di sekitarnya untuk dijadikan lahan mencari keuntungan. Masalah, hanya di kawasan makam itu masih terjaga kelestarian hutan dan kekayaan alamnya. Sementara di sekelilingnya sudah hancur akibat pertambangan emas liar. Jika pemerintah daerah lengah, bisa saja kawasan itu menjadi hancur oleh mereka yang hanya tidak peduli pada cagar budaya dan cagar alam.

Pemprov Kalbar dan Pemkab Landak mesti memiliki komitmen tinggi untuk menjaga kawasan makam tidak dijamah oleh mereka yang mencari keuntungan pribadi. Jika ini tidak dilakukan, Makam Juang Mandor antara ada dan tiada. Ada tapi tidak diurus. Dikatakan tidak ada, setiap tahun ada upacara HBD.*

Selasa, 10 Maret 2009

Kejari Mulai Betabiat

Rosadi Jamani


Ketika Gubernur Kalbar terlambat mengeluarkan surat izin pemeriksaan terhadap sejumlah anggota DPRD Kabupaten Pontianak dan Kubu Raya yang terlibat korupsi Yayasan Bestari (YB), Kejaksaan Negeri (Kejari) Mempawah cenderung menyalahkan lembaga itu. Mereka lambat “menggarap” koruptor YB gate, karena lambatnya surat itu turun. Sekarang, surat izin itu sudah lama turun. Justru Kejari yang mulai betabiat (bertingkah). Semestinya salah satu lembaga pemburu koruptor itu sudah memanggil wakil rakyat terlibat YB gate. Kenyataannya, sampai saat ini para wakil rakyat itu tenang-tenang saja, seolah-olah tidak ada Kejari.

Sangat wajar apabila banyak elemen masyarakat mencurigai Kejari sudah “masuk angin”. Tidak salah apabila pengamat hukum mencurigai kasus YB gate sudah diintervensi kekuatan politik. Akibatnya, Kejari menjadi “mandul” dan tidak lagi bergigi seperti di awal-awal munculnya YB gate jilid II itu. Saat di awal, Kejari begitu gagah dan lantang akan menyikat pelaku YB. Tidak pandang bulu, siapapun dia yang telah menggerogoti uang negara harus dijebloskan ke penjara. Ucapan itu memang sedikit terbukti dengan dijebloskannya dua koruptor ke penjara.

Ketika penjeblosan dua koruptor itu, banyak masyarakat memberikan applause bahwa Kejari Mempawah tidak lagi seperti yang dulu-dulu. Kejari Mempawah sekarang produk baru dengan paradigma baru yang ingin membersihkan image buruknya di masa lalu. Namun, applause yang diberikan warga itu sedikit demi sedikit mulai luntur. Ini seiring dengan belum adanya pemanggilan anggota DPRD Kabupaten Pontianak dan Kubu Raya yang terlibat YB itu. Padahal, penguasa provinsi ini (gubernur) telah lama memberikan lampu hijau. Tapi, kenapa Kejari justru anteng-anteng saja dan tidak segera melakukan aksi penggarapan koruptor?

Jika dalam waktu dekat, Kejari masih tenang-tenang saja, image lembaga hukum itu yang mulai naik itu kembali anjlok. Masyarakat kembali memandang Kejari tidak ada bedanya dengan yang dulu-dulu. Masyarakat juga akan membenarkan bahwa Kejari itu akan garang dan berwibawa ketika berhadapan dengan orang kecil (miskin). Giliran berhadapan dengan ketua partai politik, pejabat tinggi tinggi, Kejari ketakutan, mengeluarkan keringat dingin dan begegar. Kejari seolah-seolah diciptakan hanya untuk “menggarap” orang-orang kecil yang tidak memiliki power.

Bola panas itu ada di tangan Kejari. Masyarakat Kalbar sedang menunggu, menonton dan menyaksikan tingkah polah Kejari. Jangan dikira masyarakat diam atau hanya menonton saja akrobatik Kejari. Jika Kejari memang tidak melakukan apa-apa untuk menyelesaikan kasus YB gate, kita yakin pasti ada masyarakat yang berontak. Pasti ada masyarakat yang akan berjuang kuat agar kasus YB gate benar-benar tuntas. Kalau memang tidak mempan di Kejari, masih ada Kejaksaan Tinggi (Kejati) yang berkedudukan di Pontianak. Jika di Kejati juga seirama dengan bawahannya, masih ada Mahkamah Agung (MA). Kita yakin di MA inilah keadilan itu bisa didapatkan. Soalnya, kasus YB gate jilid II itu juga berawal dari dikeluarkannya Keputusan MA No 1838 K/Pid/2005.

Kita memang tidak boleh sedikitpun “memejamkan” mata terhadap persoalan YB gate. Kita khawatir, di saat kita memejamkan mata (lengah), aparat hukum yang ada di dalam Kejari itu justru bermain mata. YB gate semestinya cepat digarap menjadi lambat dan berlarut-larut. Inilah yang tidak kita inginkan, di mana kasus korupsi semestinya cepat ditangani, justru terkesan dimain-mainkan. Kita akan terus memelototi Kejari Mempawah agar tidak betabiat!

Sabtu, 07 Maret 2009

Jangan Anggap Sepele Peranan Istri

Oleh Rosadi Jamani

Pemilu legislatif 9 April memasuki masa-masa penentuan. Kalau diibaratkan sepeda motor, sekarang parpol dan caleg sudah menggunakan gigi tiga. Tinggal satu gigi lagi, yakni gigi empat (kampanye terbuka) di mana seluruh peserta pesta demokrasi akan mengeluarkan seluruh jurus dan ajiannya. Pertarungan tidak lagi setengah-tengah, melainkan sudah mengerahkan seluruh kemampuan (all out).
Di tengah pertarungan super berat itu, calon legislatif (caleg) pasti menyatukan dan merapatkan seluruh kekuatan. Pundi-pundi suara tidak boleh satupun dibiarkan tersisa. Tidak bisa lagi lengah. Kalau lengah sedikit saja, caleg lain siap menerkam pundi suara itu. Kondisi ini membuat psikologis seorang caleg dalam konsentrasi tinggi. Otaknya selalu berpikir dan bertanya-tanya. Apakah baliho yang sudah dipanjang di pinggir jalan itu bisa meyakinkan siapa saja yang lewat. Apakah ribuan kartu nama yang sudah disebar bisa meyakinkan rakyat. Apakah bantuan puluhan sak semen, kayu belian dan belasan truk tanah kuning benar-benar membuat warga kampung A memilihnya. Otak caleg akan berputar kencang mengevaluasi seluruh cara, strategi dan taktik yang telah dilancarkan.
Tidak hanya otak yang berputar, tenaga juga diporsir. Biasa pukul 21.00 WIB sudah tidur, sekarang pukul 02.00 subuh baru tidur. Pagi-pagi sudah bangun dan bersiap-siap masuk ke kampung B. Siangnya harus mentraktir seluruh tim sukses makan. Sorenya tetap gentayangan ke kampung-kampung. Tiba di rumah pukul 20.00. Di rumah sudah menunggu warga yang menawarkan bantuan siap membantu perolehan suara dengan catatan ada kompensasi uang. Setelah itu, membicarakan strategi dan taktik untuk esoknya. Sampai pukul 02.00 baru bisa tidur. Dalam kasus ini waktu untuk keluarga menjadi sedikit. Biasa ada waktu untuk ngantar anak sekolah atau ngantar istri ke pengajian menjadi tidak ada lagi. Waktu benar-benar dicurahkan untuk menggalangkan suara pemilih.
Kerja keras sudah dilakukan, tapi apakah ada jaminan bisa terpilih menjadi Dewan? Sampai sekarang, saya belum pernah mendapatkan formulasi atau rumusan jitu yang memastikan seorang caleg bisa duduk di kursi legislatif. Yang ada hanya keyakinan. “Saya pasti terpilih jadi Dewan,” ucapan caleg yang penuh optimisme. Tapi, belum tentu keyakinan itu bisa menjadi kenyataan. Tetap saja keragu-raguan muncul dalam benak caleg. Yakin memang ada, tapi ragu bisa terpilih justru lebih besar.
“Saya sudah menghabiskan dana Rp 50 juta. Dana itu kebanyakan untuk membuat atribut kampanye. Sisanya untuk uang bensin kepada teman-teman yang membantu perjuangan saya. Ada juga bantuan orang mereka yang sering datang ke rumah serta bantuan untuk jalan gang dan rumah ibadah. Saya juga telah menyiapkan Rp 50 juta lagi untuk kampanye terbuka,” kata caleg untuk Dapil Kalbar 4 yang kebetulan teman saat masih SLTA dulu.
Teman saya ini dari sama-sama sekolah memang memiliki otak bisnis. Di sekolah saja dia sering menawarkan barang apa saja untuk bisa dijadikan uang. Tamat sekolah, kami berpisah. Ternyata, dia lebih concern ke dunia bisnis. Sekarang dia jadi pengusaha kayu. Kebetulan di daerahnya masih banyak kayu. Di samping bisnis kayu, dia juga memiliki lima buah truk untuk mengangkut material pembuatan jalan. Banyak juga tanah kavlingan. Saya bisa katakan, dia sudah jadi orang kaya. Makan tidak lagi kekurangan, rumah besar, memiliki mobil, punya tiga anak.
“Kenapa bisa tertarik menjadi caleg?” tanya saya. “Saya setiap hari kerjaannya memang mencari uang. Ingin juga merasakan jadi wakil rakyat. Kebetulan anak buah dan kawan-kawan sering mendorong agar saya menjadi caleg. Soal partai tinggal pilih saja. Saat pencalegkan hampir setiap hari pengurus partai datang ke rumah. Hati saya menjadi takluk dan memberanikan diri menjadi caleg,” papar kawan itu.
Bagaimana rasanya setelah menjadi caleg? “Sebenarnya saya sedikit menyesal. Tapi, mundur juga tidak bisa. Terpaksa lanjut. Yang membuat menyesal, karena tidak ada pemasukan uang. Yang ada, uang keluar terus. Setiap hari orang datang ke rumah yang ujungnya minta ongkos bensin. Kadang, saya menghindar. Nomor HP saja sudah tiga kali ganti,” ceritanya.
Bagaimana dengan istri dan anak-anak? “Terus terang, saya sering bertengkar dengan istri. Jadi caleg memang sibuk, ternyata istri lebih sibuk lagi. Maklum, setiap hari dan malam, dia harus membuatkan kopi, menyiapkan makanan untuk tamu saya. Inilah yang kadang dimarahkannya. Yang dimarahkannya lagi soal pengeluaran uang. Sebelum caleg, banyak uang masuk dan dibukukan oleh istri. Setelah jadi caleg, uang yang masuk lebih besar dari yang keluar,” paparnya.
Lantas, bagaimana sekarang? “Sudah telanjur, perjuangan tetap diteruskan. Saya meyakinkan istri, kalau terpilih jadi Dewan, bukan saya saja yang bangga, tapi juga istri, anak-anak, keluarga dan tetangga. Jadi, mohon pengertiannya agar saya enak berjuang. Itu selalu saya yakinkan ke istri. Diapun juga pasrah. Tapi, hebatnya istri, sejumlah tabungan tidak boleh diganggu untuk keperluan kampanye. Katanya, untuk jaga-jaga apabila tak terpilih,” jawab kawan saya itu.
Apakah ada permintaan istri yang lain apabila tak terpilih? “Dia minta jangan lagi pernah terjun ke politik. Saya bilang setuju dan berjanji tidak akan masuk lagi ke dunia politik. Walaupun sudah berjanji, tapi istri masih tidak respect. Dia lebih banyak di rumah mengurus anak-anak ketimbang bantu saya mensosialisasikan diri ke masyarakat,” ujar kawan dengan raut muka sedikit lesu.
Saya ingin menggarisbawahi cerita kawan itu bahwa keluarga atau dukungan istri sangat diperlukan dalam dunia politik. Saya masih ingin betapa gigih dan seiya-sekatanya Rosalina A Md ketika Muda Mahendrawan berjuang untuk menjadi Bupati Kubu Raya. Rosalina tidak kalah aktif dengan suaminya. Dia juga gigih kampanye masuk kampung keluar kampung untuk memopulerkan suami. Kalau diibaratkan kaki, Muda bermain dan melangkah dengan dua kaki. Kekuatan dan potensi istrinya berperan besar bagi kelangsungan karier politik Muda. Bisa dibayangkan ketika itu apabila Rosalina cuek bebek terhadap apa yang dilakukan suaminya. Tamu yang datang silih berganti siang malam, kalau istri yang tidak pengertian bisa merepotkan Muda. Begitu juga dengan keuangan, kalau bukan istri yang ikut mengatur, bisa kacau.
Peranan istri dan keluarga sangat besar pengaruhnya bagi kelangsungan politik seorang politikus. Politikus yang hebat, pasti melibatkan peran istri dalam menunjang karier. Maksudnya, istri jangan disimpan di rumah. Seorang istri itu pasti memiliki keluarga, kenalan, teman pengajian, teman di PKK, teman di sawah, teman waktu sekolah, teman arisan. Berikan peran besar kepada istri agar teman-temannya itu bisa mendukung suaminya di Pemilu 2009.
Cuma, kalau terpilih jadi Dewan, jangan mengkhianati istri. Banyak rumah tangga legislator hancur berantakan karena mengkhianati istri. Begitu sudah banyak duit, banyak dapat fasilitas, sering bepergian ke luar daerah (studi banding), istri dan anak sering dilupakan. Legislator suka “jajan”, suka main perempuan di luar rumah sudah tidak asing lagi. Inilah tipe wakil rakyat yang lupa diri. Saya dan pembaca sekalian pasti tidak berharap, caleg yang sedang bertarung memperebutkan kursi parlemen itu lupa diri ketika sudah menduduki kursi itu. Wakil rakyat harus benar-benar menjadi wakil untuk masyarakatnya. Jangan salah gunakan kepercayaan rakyat. *

Jumat, 06 Maret 2009

Jurus Jitu Minta Kesejahteraan

Rosadi Jamani

Sabar itu ada batasnya. Mungkin itulah yang dirasakan masyarakat Kecamatan Puring Kencana Kabupaten Kapuas Hulu. Warga perbatasan ini sudah sering minta perbaikan infrastruktur jalan, pendidikan dan kesehatan tapi tak dihiraukan pemerintah daerah. Musrenbang Kecamatan sering digelar, tapi hanya seremonial belaka. Mereka kecewa lalu melayangkan surat ke pemerintah pusat minta kesejahteraan. Apabila tidak dihiraukan juga, mereka lebih baik keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan bergabung ke Malaysia.

Ancaman tersebut membuat aparat pemerintah pusat kebakaran jenggot. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) langsung mengirim anak buahnya ke perbatasan. Danrem dan Dandim juga dibuat kelabakan. Mereka mengecek ke lapangan, apakah benar warga Puring Kencana ingin keluar dari NKRI?

Menurut keterangan orang pusat itu, katanya tidak benar orang Puring Kencana mau misah dari ibu pertiwi. Mereka hanya minta kesejahteraan saja. Di sana memang ada sekolah, Puskesmas tapi kondisinya memprihatinkan. Ada juga jalan, tapi hancur. Sangat wajar apabila mereka lebih banyak berinteraksi dan bertransaksi dengan tetangganya, warga Malaysia. Tapi, kalau untuk keluar dari NKRI, itu tidak benar. Kira-kira demikian keterangan versi orang pusat itu.
Boleh-boleh saja berkata demikian. Kalau kita melihat substansi dari persoalan itu adalah masalah kesejahteraan (prosperity). Mereka sudah lama minta diperhatikan oleh pemerintah. Tidak hanya di Puring Kencana, tapi hampir seluruh kawasan perbatasan juga merasakan hal sama. Mereka lebih senang menjual hasil bumi ke Malaysia. Bahkan, untuk mendapatkan pelayanan kesehatan juga lebih senang ke negeri jiran itu. Apakah mereka bisa disalahkan, di saat pemerintah negeri ini tidak peduli terhadap kehidupan mereka?

Mereka tidak bisa disalahkan. Mereka hanya ingin mendapatkan hidup yang lebih baik. Justru yang pantas disalahkan adalah pemerintah yang memiliki wewenang dan kebijakan untuk memajukan daerah perbatasan. Pemerintah selalu mengampanyekan, daerah perbatasan akan dijadikan beranda depan Indonesia. Tapi, itu hanya untuk nyenang-nyenangin warga perbatasan saja. Buktinya, mereka semakin hari jauh dari kesejahteraan. Kirim surat ke pemerintah pusat menyatakan keluar dari NKRI adalah puncak dari kekecewaan mereka. Itu juga menunjukkan daerah perbatasan memang tidak diperhatikan dan tidak dibenahi. Kalau memang di Puring Kencana itu ada sentuhan pembangunan yang serius, tidak mungkin mereka harus nekat mengirim surat ke pusat.

Persoalan Puring Kencana tersebut hanya contoh kecil betapa pemerintah tidak peduli dengan daerah perbatasan. Yang justru dihebohkan, pergeseran patok batas negara. Kalau ada patok bergeser atau batas wilayah masuk ke wilayah Malaysia, pemerintah pusat bukan main ributnya. Bala tentara pun dikerahkan untuk memeriksa pergeseran patok itu. Siang malam mereka menelusuri patok demi patok. Tapi, giliran orang-orang di perbatasan itu menderita tidak bisa menjual hasil bumi, menderita tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan, menderita tidak bisa menyekolahkan anaknya, pemerintah yang katanya peduli rakyat itu, justru menutup mata.

Bagaimana sebaiknya untuk warga Puring Kencana? Mereka tidak bisa disalahkan. Cara terbaik agar mereka tidak berniat keluar dari NKRI, sejahterakan kawasan perbatasan.*

Kamis, 05 Maret 2009

Jasa Guru yang Tak Bisa Dilupakan

Rosadi Jamani

Muhammad Nasir, Kepala SMPN 03 Batu Ampar meninggal dunia ketika sedang mengikut Musyawarah Kerja Kepala Sekolah di Rasau Jaya, 4 Maret 2009. Seluruh elemen pendidikan di Kabupaten Kubu Raya berduka. Pejuang pendidikan yang telah banyak memberikan jasa kepada orang itu meninggal dalam tugas. Sebuah kematian yang diidamkan oleh siapa saja, sangat menyejukkan, meninggalkan berbagai kebaikan dan jasa kepada orang lain. Muhammad Nasir memang telah tiada, namun jasa, nasihat, pemikiran tetap akan dikenang oleh siapa saja yang pernah diajar olehnya.

Guru bisa dikatakan profesi paling mulia di dunia ini. Lewat tangan, didikan dan bimbingan seorang gurulah yang menyebabkan ada orang pintar di dunia ini. Lewat kiprah gurulah ada orang hebat, orang cerdas, orang tersohor di dunia ini. Bisa dibayangkan jika dunia ini tidak ada guru, pasti “gelap gulita”. Yang ada hanya orang-orang bodoh, preman, penjahat, koruptor, pembunuh, dan profesi jahat lainnya.

Guru adalah orang yang mengajarkan nilai, norma, moral dan idealisme kebaikan lainnya. Kalau ada guru mengajarkan keburukan, mengajak anak didiknya berbuat jahat, itu bukan guru namanya, melainkan otaknya penjahat. Apakah ada guru seperti itu? Pasti ada, yaitu bosnya penjahat.

Kalau kita melihat fenomena di dunia pendidikan, kenapa banyak siswa terlibat kejahatan, berantem, tawuran, suka bolos, merokok, pesta seks, pecandu narkoba, urak-urakan, main play station di saat jam sekolah. Apakah gurunya juga demikian? Sekali lagi, tidak ada guru yang mengajarkan siswanya perbuatan-perbuatan tidak bermoral. Lantas, siapa yang mengajarkan siswa berbuat amoral itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, banyak hal atau dimensi yang diperhatikan.

Ada guru datang ke sekolah, lalu mengajar, setelah apa yang diajarkan habis (berdasarkan kurikulum), tugasnya selesai dan kembali ke rumah. Persoalan ada siswa paham atau tidak, itu bukan urusan si guru tersebut. Tiba waktunya ujian. Kalau siswa mendapatkan nilai di atas tujuh, berarti siswa itu bagus. Kalau dapat dinilai di bawah itu, berarti siswa itu bodoh. Jadi, penilaian siswa baik atau tidak berdasarkan nilai kuantitatif itu. Masalah nilai, apakah siswa di luar itu kelakuannya bagus atau tidak, itu bukan urusan guru lagi. Guru hanya menjalankan tugas di dalam kelas. Di luar itu, bukan tanggung jawab guru lagi. Guru seperti inilah yang dinamakan hanya sekadar menggugurkan kewajiban saja.

Kita khawatir banyak guru yang hanya menggugurkan kewajiban saja. Mereka memang aktif ngajar, tapi tidak peduli terhadap kelakuan atau akhlak siswanya. Masalahnya, akhlak itu tidak ada diajarkan di sekolah.

Semestinya, guru tidak sekadar transfer of knowledge (memindahkan ilmu pengetahuan) tapi juga transfer of value (memindahkan nilai). Kalau hanya sekadar memindahkan ilmu pengetahuan sangat gampang. Kalau dulu anak-anak disuruh mencatat pelajar dari bab I sampai bab terakhir. Lalu, apa yang dicatat itu disuruh hafalkan. Sekarang, anak-anak disuruh mengkopi pelajar dari laptop guru ke flash disk, lalu dipelajari di rumah. Kalau masih kurang, bisa cari di internet. Yang dikejar hanyalah nilai kuantatif. Alangkah baiknya, dalam transfer of knowledge itu disisipkan transfer of value. Siswa juga diajarkan budi pekerti, akhlak yang baik dan moralitas. Kita siswa menguasai ilmu pengetahuan, dia juga menguasai nilai kebaikan. Tujuannya, agar ilmu yang didapatkan bisa dimanfaatkan untuk kebaikan orang lain. Kita berharap, guru mengutamakan mengajarkan nilai kepada siswanya. Guru yang baik pasti akan selalu dikenang oleh siswanya maupun orang lain. *

Selasa, 03 Maret 2009

Kemesraan TNI dan TDM

Rosadi Jamani


Indonesia dan Malaysia pernah terlibat konfrontasi atau perang di wilayah perbatasan Kalbar- Sarawak. Banyak korban melayang peristiwa berdarah itu. Peristiwa itu bisa dikatakan sejarah kelam dua mantan negara jajahan Belanda dan Inggris itu. Untung saja peristiwa itu tidak berlanjut sampai sekarang. Yang terjadi sekarang, kedua negara memperlihatkan kemesraan yang kuat baik di tingkat regional maupun internasional. Kemesraan ini dilatarbelakangi kesamaan budaya, bertetangga dan sama-sama anggota ASEAN.

Kemesraan lebih nyata diperlihatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Tentara Darat Malaysia (TDM). Kedua lembaga yang sama-sama membawa senjata itu sering menggelar latihan bersama. Ternyata, kemesraan itu belum lengkap apabila tidak dilihat langsung oleh wartawan. Akhir Februari lalu, belasan wartawan dari Kalbar dan Kaltim yang tergabung dalam wartawan Malindo diundang secara khusus oleh Markas Besar TMD ke Kuching Sarawak. Di negeri jiran itu para wartawan itu meminta menjadi mata, telinga dan perasaan rakyat Kalbar untuk melihat dari dekat patroli perbatasan.

Selama ini TDM merasa tidak senang dengan pemberitaan wartawan-wartawan asal Kalbar dan Kaltim yang cenderung menyudutkan negaranya soal perbatasan. Apabila ada persoalan di perbatasan, justru Malaysia yang sering disalahkan. Padahal, menurut pengakuan TDM, tidak semua persoalan itu datang dari rakyatnya. Agar persoalan itu jernih, dibawalah belasan wartawan untuk melihat seperti apa patroli TDM di perbatasan.

Tidak hanya TDM sendirian berpatroli, mereka juga sering melakukan patroli bersama dengan TNI. Jika ada persoalan di perbatasan, misalnya ada penyelundupan, pergeseran patok perbatasan dan lain sebagainya akan diselesaikan secara bersama. Jadi, tidak ada celah bagi kedua negara bersitegang hanya gara-gara perbatasan. Yang sering memanaskan persoalan perbatasan itu hanyalah wartawan. Inilah alasan para wartawan itu diborong ke perbatasan. Dengan harapan, tidak ada lagi tulisan wartawan yang memojokkan Malaysia.

Sejauh ini, apa yang dilaporkan wartawan dari garis sempadan itu memang tidak ada yang jelek. Semua bagus dan memang tidak ada persoalan. Diperlihatkan juga dalam gambar betapa TDM memperlakukan dengan baik orang Kalbar yang masuk ke negaranya. Diperlihatkan juga kemesraan TDM dengan personel TNI. Seolah-olah di garis perbatasan itu terlihat adem ayem.
Namun, benarkah apa yang diperlihatkan TDM memang demikian? Kita khawatir kemesraan yang diperlihatkan TDM itu hanya semu. Terlihat baik dan manusiawi hanya karena ada wartawan saja. Apalagi para wartawan itu diundang, tentulah sudah dipersiapkan segala sesuatunya sejak lama. Mereka juga paham seperti apa memperlakukan wartawan.

Harus diingat, sentimen anti Malaysia masih ada. Apalagi warga Malaysia sering memperlakukan tidak manusiawi para TKW asal Kalbar. Selain itu, kasus Sipadan dan Ligitan yang sudah menjadi milik Malaysia adalah kisah lama yang menjadi dendam rakyat Indonesia. Kita khawatir di balik kemesraan itu justru ada niat tersembunyi yang nantinya merugikan Indonesia lagi. Boleh saja wartawan Kalbar disenangkan selama di Malaysia, tapi soal nasionalisme dan keprihatinan rakyat Kalbar yang sering diperlakukan tidak manusiawi, tidak akan hilang, tidak akan ditutup-tutupi. Wartawan Kalbar tetap akan membela nama baik Kalbar.*

Senin, 02 Maret 2009

Jalan Trans Kalimantan

Rosadi Jamani

Di Pulau Jawa sudah lama dibangun jalan menghubungkan dari Jawa Timur sampai ke Jakarta. Begitu pula di Pulau Sumatra dari Lampung sampai Aceh sudah lama terhubung dengan jalan darat. Begitu juga dari Menado sampai Makasar di Pulau Sulawesi juga sudah lama memiliki jalan antar provinsi. Sementara Pulau Kalimantan, sampai saat ini belum juga terhubung-hubung empat provinsi yang mendiami pulau terbesar di Indonesia ini.

Ada kesan Pulau Kalimantan korban diskriminasi pembangunan. Padahal, kalau mau jujur, Pulau Kalimantan termasuk paling besar menyumbang devisa untuk negara. Sebut saja Kaltim provinsi paling kaya di Indonesia. Kalsel terkenal dengan kayu, intan dan hasil tambangnya. Kalteng terkenal dengan perkebunannya. Begitu juga Kalbar terkenal dengan hasil tambang dan perkebunan serta berbatasan langsung dengan Malaysia. Empat provinsi tersebut sangat kaya akan sumber daya alam. Anehnya, kenapa jalan trans Kalimantan tidak rampung-rampung?
Pemerintah pusat memang setengah hati untuk memperhatikan kemajuan Kalimantan. Yang selalu diperhatikan hanyalah Pulau Jawa. Jalan di pulau itu tidak hanya di darat tapi sudah di atas tanah (jembatan layang). Jembatan tidak hanya menghubungkan dua sisi sungai, tapi sudah sisi dua kota. Sementara di Kalimantan, untuk membangun jembatan di atas sungai kecil saja sulitnya minta ampun. Pemerintah pusat masih memandang sebelah mata potensi pulau ini. Orang pusat hanya memandang Kalimantan kaya akan sumber alamnya dan perlu disedot. Keuntungannya dibawa ke Jakarta.

Berita mengenai ditunjuknya Gubernur Kalbar, Drs. Cornelis, MH sebagai koordinator pembangunan jalan trans Kalimantan memang sangat menggembirakan. Itu artinya, Kalbar mendapatkan kepercayaan penuh untuk merampung mega proyek tersebut. Sesuai statement Ketua Forum Pembangunan Regional Kalimantan, Teras Narang bahwa tahun ini seluruh jalan trans Kalimantan rampung. Ini artinya tugas penting bagi Cornelis untuk merampungkan jalan yang sudah lama menjadi idaman masyarakat Pulau Borneo.

Bisa dibayangkan, betapa kuat dan hebatnya Kalimantan apabila empat provinsi bisa terhubung dengan jalan darat. Kalbar yang selama ini paling terisolasi akan mudah berkomunikasi dengan saudaranya di Kalteng, Kalsel dan Kaltim. Begitu juga sebaliknya. Apalagi sudah ada Forum Pembangunan Regional Kalimantan akan semakin memberikan kekuatan bagi masyarakat Borneo untuk meyakinkan pemerintah pusat.

Jadi, orang Kalbar kalau mau ke Kaltim tidak perlu lagi harus pesan tiket ke Jakarta lalu terbang menuju Kaltim. Orang Kalbar cukup pesan tiket bis dari Pontianak menuju Balikpapan. Namun, ini masih bayangan. Mudah-mudahan dengan rampungnya jalan trans Kalimantan, impian tersebut bisa terwujud.

Kekuatan memang harus dilakukan oleh empat gubernur di Pulau Kalimantan. Untuk menghadapi orang pusat, tidak bisa sendirian. Orang pusat yang minim dari Pulau Kalimantan pastilah akan memprioritaskan daerahnya dulu. Lihat saja proyek-proyek besar, Kalimantan hanya kebagian paling sedikit. Kita harus akui, kekuatan lobi anak negeri Kalimantan sangat lemah di tingkat pusat. Ini mestinya menjadi pemikiran dan tantangan orang-orang Kalimantan agar pengambil keputusan di sana lebih memperhatikan Borneo. *

Minggu, 01 Maret 2009

Keadilan di PN Bengkayang

Rosadi Jamani

Untuk pertama kalinya Pengadilan Negeri (PN) Bengkayang menyidangkan kasus korupsi. Tidak tanggung-tanggung yang disidang sejumlah anggota DPRD Bengkayang periode 1999-2004. Bahkan, salah satu anggotanya yang saat ini menjadi wakil bupati, juga ikut disidang. Bisa dikatakan, PN itu menggarap sidang besar yang mendapat perhatian luas masyarakat Bengkayang dan Kalbar.

Muncul pertanyaan besar di tingkat masyarakat, apakah PN akan benar-benar adil menyidangkan kasus korupsi itu? Hanya tinggal menunggu waktu untuk mengetahui seperti apa jawabannya. Jawaban dari sidang itu, antara dua, divonis bersalah atau divonis bebas. Sekarang, muncul lagi pertanyaan, apakah mungkin PN Bengkayang mampu menjatuhkan vonis bersalah untuk orang-orang hebat itu?

Kalau untuk rakyat kecil, kita semua tahu PN pasti tak pandang bulu. Apalagi rakyat kecil itu memang tidak berduit, dan tidak ada pembelaan dari pengacara. Hanya dia sendiri membela nasibnya. Orang-orang seperti ini menjadi santapan empuk bagi PN secara tegas tanpa ragu-ragu menjatuhkan vonis bersalah. Tapi, giliran orang berduit, hakim sering ragu dan penuh kehatian-hatian menjatuhkan vonis. Apalagi yang disidang itu pejabat tinggi, tokoh politik yang memiliki massa ribuan, hakim bisa takut dan was-was.

Tapi, itu PN yang dulu di mana hakimnya hidup dalam suasana ketidakpastian hukum. Sekarang, penegakan hukum yang sudah menemukan jati dirinya, sangat sulit bagi hakim mempermainkan hukum. Hakim sekarang pastilah menjunjung tinggi keadilan. Orang-orang yang telah melahap uang rakyat harus divonis berat. Orang-orang yang merugikan negara harus dijebloskan ke penjara. Tidak ada ampun buat tikus-tikus rakyat yang telah menggerogoti negeri ini.

Itu hanya harapan agar hakim yang menyidangkan perkara korupsi di Bengkayang itu benar-benar memihak kepada rakyat. Seandainya, hakim justru memvonis bebas, dengan alasan bukti tidak ada, saksi lemah, atau apa yang dilakukan sesuai prosedur, rakyat pasti kecewa. Hakim dipastikan menjadi bulan-bulanan media massa. Kasus pembebasan itu tidak berhenti begitu saja. Pasti ada orang melaporkan hakim tidak pro rakyat itu ke Mahkamah Agung (MA). Jika sudah demikian, para hakim yang memvonis bebas itu kredibilitas dan reputasinya sebagai penegak hukum akan hancur. Kalau sudah hancur, tidak ada lagi gunanya mengabdi bagi negara, lebih baik berhenti saja jadi hakim. Ini hanya bicara seandainya. Kita berharap, hakim yang di Bengkayang itu bukanlah tipe hakim bejat seperti itu.

Kita terus memantau proses sidang kasus korupsi di Bengkayang itu. Kita tidak mau ada konspirasi jahat di balik sidang tersebut. Sebab, sudah bukan rahasia mafia peradilan itu ada. Maksudnya, sebuah kasus hukum yang melibatkan orang besar, sangat mudah rentan terhadap praktik mafia peradilan. Ada orang yang mendesain di belakang itu semua. Praktiknya sangat sulit dipantau publik, tapi bisa dirasakan. Kerjanya sangat halus dan rapi. Dirancang seolah-olah tidak melanggar hukum. Butuh uang besar untuk mendesain pekerjaan ini. Di sinilah orang kecil kenapa tidak berkutik ketika sudah diadili di pengadilan. Dia murni membela dirinya sendiri tanpa melibatkan orang lain.

Semoga saja dugaan miring seperti itu tidak terjadi. Hukum yang berjalan di Bumi Sebalo benar-benar berada di jalurnya. Hakim tidak bisa dipengaruhi. Jaksa bekerja profesional. Pengacara juga demikian. Jika semua jujur dengan pekerjaannya, kita yakin keadilan dalam kasus ini bisa dirasakan rakyat Bengkayang.*