Minggu, 31 Mei 2009

Melihat Dunia Melayu di Ketapang

Melihat Dunia Melayu di Ketapang

Oleh Rosadi Jamani

Kota Ketapang telah menjadi saksi sejarah besar bagi Dunia Melayu. Di kota yang pernah berkuasa Kerajaan Tanjungpura itu menjadi tempat Deklarasi Lembaga Adat Melayu Serantau (LAMS) dan peresmian Rumah Melayu Ketapang. Satu hal menarik dari itu, hadirnya utusan dari Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.
Kali ini saya sedikit bercerita mengenai perjalanan ke Ketapang dari 28-31 Mei 2009. Bagi saya, Ketapang memang tidak asing karena bagian dari kabupaten di Kalbar. Bahkan, saya sedikit nostalgia ketika menyebut Ketapang. Tahun 2002 lalu saya pernah ke Ketapang naik pesawat. Waktu itulah, untuk pertama kalinya saya naik pesawat terbang bersama mantan Sekretaris PSSI Kalbar, Heri Aladin dan mantan Wakil Ketua PSSI, John RB Pangkey.
Ketika itu, saya masih menjadi wartawan olahraga. Diajak naik pesawat betapa senangnya. Saya tidak bisa melupakan peristiwa naik pesawat pertama kali itu, indah dan sulit dilupakan, dan bila dikenang menimbulkan senyum. Pada waktu itu juga, saya untuk pertama kali menginjakkan kaki di Bumi Ale-ale.
Pada Kamis, 28 Maret 2009 itu, untuk kedua kalinya saya menginjakkan tanah Ketapang. Kali ini tidak pakai pesawat, melainkan menggunakan kapal laut cepat (express). Untuk pertama kalinya juga saya naik express yang menyusuri laut dari muara Sungai Kapuas ke Dermaga Ketapang. Kalau dibandingkan naik pesawat dan express, jelas lebih enak naik pesawat. Yang membuat tidak enak naik express, memakan waktu lama. Kapal berangkat pukul 08.20 baru tiba di Ketapang pukul 14.55.
Satu hal lagi, penuh dengan penumpang (ever load). Melihat banyaknya penumpang, saya sempat was-was. Jangan-jangan kapal berkapasitas seratus penumpang lebih itu, karam. Saking was-wasnya saya sempat SMS Kapolda Kalbar bahwa kapal express over load penumpang, jika dipaksakan bisa karam. Begitu SMS terkirim, kapal tetap berangkat dengan penumpang yang berlebihan. Saya hanya bisa pasrah dan berdoa, mudah-mudahan selama perjalanan lancar. Alhamdulillah, doa saya terkabul, dalam perjalanan laut itu cuaca cerah dan tidak ada gelombang besar. Saya khawatir mabuk laut, ternyata tidak.
Tujuan saya ke Ketapang untuk menghadiri Deklarasi LAMS wilayah Laut Cina Selatan dan peresmian Rumah Melayu Ketapang. Hampir seluruh tokoh Melayu di Kalbar menghadiri acara tersebut. Di Ketapang inilah saya bisa melihat para tokoh Melayu Kalbar. Yang tidak bisa dilupakan, saya bisa bertemu dengan tokoh Melayu dunia dari Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam, serta Sumatra Utara, Riau, Kepulauan Riau dan Bangka Belitung.
Begitu tiba di Ketapang, saya dan kawan-kawan istirahat sebentar. Malam harinya, saya beserta seluruh utusan Melayu dijami Bupati Ketapang, H Morkes Effendi. Usai menikmati hidangan khas Ketapang, saya dan seluruh rombongan diminta menghadiri acara pemberian inai perkawinan anak Morkes Effendi di Rumah Melayu.
Begitu tiba di Rumah Melayu, saya kaget melihat rumah yang sangat megah. Saya hampir tidak percaya, di pinggiran Kota Ketapang berdiri rumah megah dengan arsitek khas Melayu. Kalau melihat Rumah Melayu di Pontianak, bisa dua kali lipat megahnya. Bahkan, menurut keterangan Ketua Gapena Malaysia, Prof Dr Tan Sri Ismail Hussein, Rumah Melayu Ketapang bisa dibilang termegah di dunia.
Saya taksir, rumah tersebut dibangun dengan biaya di atas Rp 5 miliar lebih. Ada kawan menaksir di atas Rp 20 miliar. Saya taksir segitu dengan asumsi tanah tempat berdirinya rumah tersebut adalah lahan tidur yang tidak begitu strategis. Kayu yang digunakan hampir seluruhnya didominasi kayu belian, dan di Ketapang kayu tersebut terbilang masih murah. Megah, besar, luas dan indah, itulah yang ada dalam benak saya. Saya dan kawan-kawan sempat berpikir, bagaimana nanti pemeliharaan rumah sebesar itu. Paling tidak butuh pembantu di atas 10 orang.
Paling tidak Ketapang telah berhasil menyambung mata rantai perjalanan sejarah Melayu. Dengan berdirinya rumah melayu tersebut akan menjadi simbol keberadaan Melayu di Kalbar dan dunia. Siapapun orangnya akan menyebut itu bahwa rumah itu adalah Rumah Melayu. Namun, ada sedikit sindiran dari pimpinan Melayu Online, Mahyudin Al Hudra, apalah artinya sebuah simbol kalau tidak ada ruhnya. Maksudnya, Rumah Melayu yang sangat megah itu apalah artinya kalau tidak ada aktivitas yang mengisinya.
Zaman telah berubah. Untuk menunjukkan eksistensi Melayu tidak mesti harus megah-megahan memperlihatkan simbol, melainkan harus menunjukkan kreavitas bagi pembangunan peradaban ke arah lebih baik. Saya masih ingat kata-kata Mahyudin itu.
Bahkan, Mahyudin sempat bertanya, apakah Rumah Melayu Ketapang yang sangat megah itu untuk tiga tahun ke depan, halamannya tidak ditumbuhi ilalang. Dia khawatir, membangunnya memang gampang, tapi pemeliharaan justru tidak mampu. Salah satu persoalan utama di Indonesia, pandai bangun, tapi tidak pandai memelihara. Berapa banyak rumah adat yang tidak terurus, terbengkalai, tembawang, dan justru menjadi rumah hantu (sepi). Bahkan, ada istana yang halamannya penuh rumput liar, lantai luarnya penuh dengan tahi ayam dan kambing.
Kalau Melayu terus mengedepankan simbol demi sebuah eksistensi, dikhawatirkan yang peduli terhadap kemelayuaan hanya kaum tua. Sementara yang muda-muda, justru tidak peduli. Masalahnya, ketika orang ngomong Melayu, dalam bayangkan anak muda ada tarian zapin, lomba pantun, syair, radat, gurindam 12, dan sebagainya. Semua itu berbau zaman doeloe. Yang namanya zaman doeloe, paling tidak disukai kaum muda Melayu. Lihat saja jika ada lomba tarian zapin, siapa saja yang nonton, paling orang-orang tua. Untuk itu, tokoh Melayu perlu melakukan melakukan perubahan dalam aktualisasi budaya Melayu mengikuti selera anak muda.
Mahyudin pernah melakukan eksperimen mengkolaborasikan zapin dengan hip hop. Respons anak muda Melayu sangat tinggi. Paling tidak, itu sebuah upaya untuk mendekatkan seni zaman doeloe dengan selera anak muda sekarang. Saya rasa, para tokoh Melayu di Kalbar harus berpikir, bagaimana anak-anak muda ikut peduli terhadap budayanya sendiri. Sebab, merekalah penerus generasi Melayu. Kalau anak muda sekarang justru tidak peduli dengan budayanya sendiri, dikhawatirkan apa yang diungkapkan Hang Tuah, takkan Melayu ditelan zaman, tidak ada wujudnya.
Di tengah pertemuan itu, saya banyak mendapatkan sesuatu yang baru dalam arus pemikiran. Untuk mempertahankan sebuah peradaban adalah dengan memperlihatkan kreavitas. Bukan kreavitas individual, melainkan aktivitas organisasi. Tanpa kreavitas, peradaban manapun suatu saat akan hilang. Peradaban itu akan ditelan zaman oleh peradaban baru yang lebih baik dan penuh kreavitas. Bagaimana cara membangun peradaban agar tetap eksis, hanya tiga cara, yakni memajukan dunia pendidikan, ekonomi, dan moral. Melayu atau etnis manapun di muka bumi itu akan hilang atau dimarjinalkan apabila berpendidikan rendah. Untuk maju harus berpendidikan tinggi.
Lalu, harus maju dalam bidang ekonomi (kaya). Penguasaan di bidang permodalan dan mengolah modal itu agar tetap bergulir dengan harapan bisa memberikan modal bagi dunia usaha. Contoh kongkret, di Kepulauan Riau mulai menerapkan program “Sejuta Melayu”.
Tokoh-tokoh Melayu yang dinilai kaya memberikan sumbangan Rp 1 juta ke lembaga adat Melayu. Lembaga tersebut lalu menggunakannya untuk bisnis atau dunia usaha. Jika orang Melayu memiliki banyak usaha, dan pada akhirnya bisa menciptakan lapangan kerja dan pendapatan yang berujung pada kesejahteraan. Jika orang Melayu sejahtera, apapun bisa dilakukan demi eksistensi Melayu itu sendiri. Kalau orang Melayu nya masih miskin, sering jadi kuli, apa yang bisa dilakukan dengan keadaan seperti itu. Tidak ada salahnya, orang Melayu di Kalbar meniru program tersebut.
Terakhir adalah moral. Melayu memang identik dengan Islam. Banyak orang Melayu yang justru tidak melaksanakan syariat Islam. Tidak heran, apabila banyak orang Melayu justru tidak mengenal budayanya sendiri dan lebih senang meniru sisi negatif budaya Barat. Itulah point penting yang bisa saya tangkap dari menghadiri pertemuan Dunia Melayu tingkat internasional di Ketapang.
Saya tidak bisa melupakan pertemuan itu. Di situlah saya bisa bertukar pikiran dengan tokoh Melayu dari Malaysia, Singapura, Brunei. Harus diakui, tiga negara itu, peradabannya jauh lebih maju dari Indonesia. Kenapa mereka maju, karena tiga hal tersebut. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, jika Kalbar ingin maju, harus memajukan sektor pendidikan, menguasai sektor ekonomi dan meningkatkan moralitas. Maaf tulisan saya kali ini sedikit primordialisme, namun secara umum persoalan etnis di Kalbar hampir sama.
Saya berharap, seluruh etnis di Kalbar bisa melakukan redefinisi terhadap pelestarian seni dan budaya. Untuk menujukkan peradaban lebih maju, tidak lagi sekadar simbol, melainkan harus dibarengi dengan kualitas pendidikan, penguasaan ekonomi dan moralitas.

Melihat Dunia Melayu di Ketapang

Oleh Rosadi Jamani

Kota Ketapang telah menjadi saksi sejarah besar bagi Dunia Melayu. Di kota yang pernah berkuasa Kerajaan Tanjungpura itu menjadi tempat Deklarasi Lembaga Adat Melayu Serantau (LAMS) dan peresmian Rumah Melayu Ketapang. Satu hal menarik dari itu, hadirnya utusan dari Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.

Kali ini saya sedikit bercerita mengenai perjalanan ke Ketapang dari 28-31 Mei 2009. Bagi saya, Ketapang memang tidak asing karena bagian dari kabupaten di Kalbar. Bahkan, saya sedikit nostalgia ketika menyebut Ketapang. Tahun 2002 lalu saya pernah ke Ketapang naik pesawat. Waktu itulah, untuk pertama kalinya saya naik pesawat terbang bersama mantan Sekretaris PSSI Kalbar, Heri Aladin dan mantan Wakil Ketua PSSI, John RB Pangkey.
Ketika itu, saya masih menjadi wartawan olahraga. Diajak naik pesawat betapa senangnya. Saya tidak bisa melupakan peristiwa naik pesawat pertama kali itu, indah dan sulit dilupakan, dan bila dikenang menimbulkan senyum. Pada waktu itu juga, saya untuk pertama kali menginjakkan kaki di Bumi Ale-ale.

Pada Kamis, 28 Maret 2009 itu, untuk kedua kalinya saya menginjakkan tanah Ketapang. Kali ini tidak pakai pesawat, melainkan menggunakan kapal laut cepat (express). Untuk pertama kalinya juga saya naik express yang menyusuri laut dari muara Sungai Kapuas ke Dermaga Ketapang. Kalau dibandingkan naik pesawat dan express, jelas lebih enak naik pesawat. Yang membuat tidak enak naik express, memakan waktu lama. Kapal berangkat pukul 08.20 baru tiba di Ketapang pukul 14.55.
Satu hal lagi, penuh dengan penumpang (ever load). Melihat banyaknya penumpang, saya sempat was-was. Jangan-jangan kapal berkapasitas seratus penumpang lebih itu, karam. Saking was-wasnya saya sempat SMS Kapolda Kalbar bahwa kapal express over load penumpang, jika dipaksakan bisa karam. Begitu SMS terkirim, kapal tetap berangkat dengan penumpang yang berlebihan. Saya hanya bisa pasrah dan berdoa, mudah-mudahan selama perjalanan lancar. Alhamdulillah, doa saya terkabul, dalam perjalanan laut itu cuaca cerah dan tidak ada gelombang besar. Saya khawatir mabuk laut, ternyata tidak.

Tujuan saya ke Ketapang untuk menghadiri Deklarasi LAMS wilayah Laut Cina Selatan dan peresmian Rumah Melayu Ketapang. Hampir seluruh tokoh Melayu di Kalbar menghadiri acara tersebut. Di Ketapang inilah saya bisa melihat para tokoh Melayu Kalbar. Yang tidak bisa dilupakan, saya bisa bertemu dengan tokoh Melayu dunia dari Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam, serta Sumatra Utara, Riau, Kepulauan Riau dan Bangka Belitung.
Begitu tiba di Ketapang, saya dan kawan-kawan istirahat sebentar. Malam harinya, saya beserta seluruh utusan Melayu dijami Bupati Ketapang, H Morkes Effendi. Usai menikmati hidangan khas Ketapang, saya dan seluruh rombongan diminta menghadiri acara pemberian inai perkawinan anak Morkes Effendi di Rumah Melayu.

Begitu tiba di Rumah Melayu, saya kaget melihat rumah yang sangat megah. Saya hampir tidak percaya, di pinggiran Kota Ketapang berdiri rumah megah dengan arsitek khas Melayu. Kalau melihat Rumah Melayu di Pontianak, bisa dua kali lipat megahnya. Bahkan, menurut keterangan Ketua Gapena Malaysia, Prof Dr Tan Sri Ismail Hussein, Rumah Melayu Ketapang bisa dibilang termegah di dunia.

Saya taksir, rumah tersebut dibangun dengan biaya di atas Rp 5 miliar lebih. Ada kawan menaksir di atas Rp 20 miliar. Saya taksir segitu dengan asumsi tanah tempat berdirinya rumah tersebut adalah lahan tidur yang tidak begitu strategis. Kayu yang digunakan hampir seluruhnya didominasi kayu belian, dan di Ketapang kayu tersebut terbilang masih murah. Megah, besar, luas dan indah, itulah yang ada dalam benak saya. Saya dan kawan-kawan sempat berpikir, bagaimana nanti pemeliharaan rumah sebesar itu. Paling tidak butuh pembantu di atas 10 orang.

Paling tidak Ketapang telah berhasil menyambung mata rantai perjalanan sejarah Melayu. Dengan berdirinya rumah melayu tersebut akan menjadi simbol keberadaan Melayu di Kalbar dan dunia. Siapapun orangnya akan menyebut itu bahwa rumah itu adalah Rumah Melayu. Namun, ada sedikit sindiran dari pimpinan Melayu Online, Mahyudin Al Hudra, apalah artinya sebuah simbol kalau tidak ada ruhnya. Maksudnya, Rumah Melayu yang sangat megah itu apalah artinya kalau tidak ada aktivitas yang mengisinya.
Zaman telah berubah. Untuk menunjukkan eksistensi Melayu tidak mesti harus megah-megahan memperlihatkan simbol, melainkan harus menunjukkan kreavitas bagi pembangunan peradaban ke arah lebih baik. Saya masih ingat kata-kata Mahyudin itu.

Bahkan, Mahyudin sempat bertanya, apakah Rumah Melayu Ketapang yang sangat megah itu untuk tiga tahun ke depan, halamannya tidak ditumbuhi ilalang. Dia khawatir, membangunnya memang gampang, tapi pemeliharaan justru tidak mampu. Salah satu persoalan utama di Indonesia, pandai bangun, tapi tidak pandai memelihara. Berapa banyak rumah adat yang tidak terurus, terbengkalai, tembawang, dan justru menjadi rumah hantu (sepi). Bahkan, ada istana yang halamannya penuh rumput liar, lantai luarnya penuh dengan tahi ayam dan kambing.

Kalau Melayu terus mengedepankan simbol demi sebuah eksistensi, dikhawatirkan yang peduli terhadap kemelayuaan hanya kaum tua. Sementara yang muda-muda, justru tidak peduli. Masalahnya, ketika orang ngomong Melayu, dalam bayangkan anak muda ada tarian zapin, lomba pantun, syair, radat, gurindam 12, dan sebagainya. Semua itu berbau zaman doeloe. Yang namanya zaman doeloe, paling tidak disukai kaum muda Melayu. Lihat saja jika ada lomba tarian zapin, siapa saja yang nonton, paling orang-orang tua. Untuk itu, tokoh Melayu perlu melakukan melakukan perubahan dalam aktualisasi budaya Melayu mengikuti selera anak muda.

Mahyudin pernah melakukan eksperimen mengkolaborasikan zapin dengan hip hop. Respons anak muda Melayu sangat tinggi. Paling tidak, itu sebuah upaya untuk mendekatkan seni zaman doeloe dengan selera anak muda sekarang. Saya rasa, para tokoh Melayu di Kalbar harus berpikir, bagaimana anak-anak muda ikut peduli terhadap budayanya sendiri. Sebab, merekalah penerus generasi Melayu. Kalau anak muda sekarang justru tidak peduli dengan budayanya sendiri, dikhawatirkan apa yang diungkapkan Hang Tuah, takkan Melayu ditelan zaman, tidak ada wujudnya.

Di tengah pertemuan itu, saya banyak mendapatkan sesuatu yang baru dalam arus pemikiran. Untuk mempertahankan sebuah peradaban adalah dengan memperlihatkan kreavitas. Bukan kreavitas individual, melainkan aktivitas organisasi. Tanpa kreavitas, peradaban manapun suatu saat akan hilang. Peradaban itu akan ditelan zaman oleh peradaban baru yang lebih baik dan penuh kreavitas. Bagaimana cara membangun peradaban agar tetap eksis, hanya tiga cara, yakni memajukan dunia pendidikan, ekonomi, dan moral. Melayu atau etnis manapun di muka bumi itu akan hilang atau dimarjinalkan apabila berpendidikan rendah. Untuk maju harus berpendidikan tinggi.

Lalu, harus maju dalam bidang ekonomi (kaya). Penguasaan di bidang permodalan dan mengolah modal itu agar tetap bergulir dengan harapan bisa memberikan modal bagi dunia usaha. Contoh kongkret, di Kepulauan Riau mulai menerapkan program “Sejuta Melayu”.
Tokoh-tokoh Melayu yang dinilai kaya memberikan sumbangan Rp 1 juta ke lembaga adat Melayu. Lembaga tersebut lalu menggunakannya untuk bisnis atau dunia usaha. Jika orang Melayu memiliki banyak usaha, dan pada akhirnya bisa menciptakan lapangan kerja dan pendapatan yang berujung pada kesejahteraan. Jika orang Melayu sejahtera, apapun bisa dilakukan demi eksistensi Melayu itu sendiri. Kalau orang Melayu nya masih miskin, sering jadi kuli, apa yang bisa dilakukan dengan keadaan seperti itu. Tidak ada salahnya, orang Melayu di Kalbar meniru program tersebut.

Terakhir adalah moral. Melayu memang identik dengan Islam. Banyak orang Melayu yang justru tidak melaksanakan syariat Islam. Tidak heran, apabila banyak orang Melayu justru tidak mengenal budayanya sendiri dan lebih senang meniru sisi negatif budaya Barat. Itulah point penting yang bisa saya tangkap dari menghadiri pertemuan Dunia Melayu tingkat internasional di Ketapang.

Saya tidak bisa melupakan pertemuan itu. Di situlah saya bisa bertukar pikiran dengan tokoh Melayu dari Malaysia, Singapura, Brunei. Harus diakui, tiga negara itu, peradabannya jauh lebih maju dari Indonesia. Kenapa mereka maju, karena tiga hal tersebut. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, jika Kalbar ingin maju, harus memajukan sektor pendidikan, menguasai sektor ekonomi dan meningkatkan moralitas. Maaf tulisan saya kali ini sedikit primordialisme, namun secara umum persoalan etnis di Kalbar hampir sama.

Saya berharap, seluruh etnis di Kalbar bisa melakukan redefinisi terhadap pelestarian seni dan budaya. Untuk menujukkan peradaban lebih maju, tidak lagi sekadar simbol, melainkan harus dibarengi dengan kualitas pendidikan, penguasaan ekonomi dan moralitas.

Minggu, 03 Mei 2009

Sebuah Perilaku Agama Dalam Dunia Politik

Oleh Rosadi Jamani

Orang taat beragama selalu diidentikan orang jujur, orang baik, memiliki akhlak yang baik, suka menolong, peduli dengan sesama, dan predikat baik lainnya. Biasanya, untuk menjadi orang baik, amalkanlah ajaran agama. Sebaliknya, orang yang jauh dari agama, jarang ibadah, sangat mudah menjadi orang jahat (kriminal). Sebab, orang tidak taat terhadap agamanya, dalam pergaulan sehari-hari tidak ada “rem” ketika ingin melakukan perbuatan jahat. Benarkah ungkapan demikian?

Kali ini saya masih menyorot persoalan Pemilu legislatif yang saat ini tinggal menunggu penetapan pemenang. Walaupun suhu politik tidak sepanas saat penghitungan suara, sekarang perlahan mulai dingin. Bagi yang menang (terpilih) sedang bersiap-siap menggelar acara syukuran. Sementara bagi yang kalah, rata-rata sudah mengakui kekalahan. Namun, di antara sekian ribu caleg itu masih ada caleg yang belum terima nasib kalahnya. Masih ada yang ngedumel, ngomong tak karuan. Caleg terpilih dianggapnya tidak jujur, main money politic, main intimidasi, dan sebagainya. Pokoknya, tidak ada yang benar dengan caleg yang September depan akan duduk di kursi panas.

“Saya hanya kecewa. Saya sudah banyak berbuat untuk umat. Ada masjid dari tak ada pintu, saya sumbang sampai ada pintu. Ada jalan gang, dari tanah sampai saya beton. Apa yang terjadi, saat penghitungan suara, di daerah yang masjidnya saya sumbang dan gang yang jalannya saya beton, hanya mendapatkan belasan suara. Padahal, di daerah itu bisa ratusan suara,” kata caleg kalah yang kebetulan teman akrab saat sama-sama aktif di dunia olahraga.

Satu hal yang disesalkan kawan saya itu, para pemilih itu umumnya taat beragama. Dia juga sering berinteraksi dengan mereka baik sebelum maupun saat kampanye. “Warga itu yang saya tahu sangat religius. Ternyata, itu juga bukan ukuran. Mereka tetap saja silau dengan uang. Betapa mudahnya caleg mempengaruhi mereka hanya dengan uang Rp 25 ribu. Jadi sumbangan perbaikan masjid dan bantuan semen itu kalah ampuh dibandingkan amplop isinya Rp 25 ribu yang diberikan malam menjelang pencontrengan,” beber kawan saya itu dengan raut muka serius.

Kenapa tidak melakukan money politic juga? “Uang kitakan banyak juga?” tanya saya. “Saya memang punya uang. Saya bisa saja ngasih mereka per orang Rp 50 ribu. Tapi, saya ini masih memiliki iman. Yang selalu saya ingat, yang menyuap dengan yang disuap itu, ganjarannya api neraka. Itulah yang membuat saya tidak bisa melakukan money politic,” jawabnya penuh nada religius. “Yang tak habis pikir, mereka yang rata-rata haji, bahkan ada di antaranya ustaz, juga terpengaruh hanya dengan uang Rp 25 ribu. Yang ustaz saja mau di-moneypolitic, apalagi mereka yang awam,” ujarnya sambil tersenyum.

Saya hanya ingin menarik satu kesimpulan sederhana, Pemilu yang digelar 9 April 2009 itu penuh dengan kecurangan. Tidak hanya caleg yang melakukan kecurangan, pemilih juga tidak kalah curangnya. Para pemilih lebih banyak memanfaatkan caleg hanya untuk mencari keuntungan materi. Yang menarik, pemilih sekaliber ustaz atau tokoh agama (tidak semua) saja banyak yang memilih karena uang. Itu yang saya tangkap dari ungkapan kawan itu.

Bicara soal perilaku beragama itu, jadi teringat saya saat kuliah di STAIN Pontianak dulu. Ada ungkapan dosen saya yang sulit dilupakan bahwa dalam beragama itu ada dua ciri khas. Pertama, ada umat beragama itu mengamalkan ajaran agamanya secara formalitas. Biasa juga disebut scribtualism. Mungkin sulit dipahami, tapi biar saya sederhanakan. Beragama secara formalitas atau scribtualism adalah beragama dengan mengedepankan simbol. Misalnya, rajin salat lima waktu, puasa, jika sudah pergi haji selalu pakai songkok putih, sering bawa tasbih, berpakaian Muslim, dan sebagainya. Dalam Islam itu, simbol tersebut mencerminkan ketakwaan seseorang. Orang yang sering menggunakan simbol itu diidentikan orang baik. Namun, ada juga orang Islam sering menggunakan simbol, tapi di belakang itu ternyata seorang koruptor, senang juga terima suap, tak peduli dengan tetangganya yang miskin, senang mengambil hak orang lain. Kita sering mendengar, ada orang yang sudah haji, rajin salat lima waktu, tiba-tiba ditangkap Kejaksaan atau KPK karena terlibat korupsi.

Yang kedua, beragama secara substantif. Orang yang beragama seperti ini hanya mengandalkan nilai. Dia tidak senang dengan formalitas. Berpakaian bebas (asal nutup aurat), walau sudah haji tapi tidak senang dengan identitas haji, salat lima waktu tak pakai riya’ (dilihatkan ke orang). Rumahnya juga tak ada simbol agama. Istri dan anaknya tak dipaksa harus pakai jilbab atau sekolah di madrasah. Dia jalani hidup beragama berdasarkan nilai baik. Nilai baik itu didapatkannya dari pergulatan pemikirannya serta nilai agama. Walaupun tak suka pakai simbol, tapi kelakuannya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Diajak korupsi tak mau, disuap juga ogah, suka menolong sesama dan tidak senang menyakiti orang lain. Walaupun penampilan tidak religus, tapi kelakuan lebih religius.

Beragama secara formalitas dan substantif banyak diamalkan orang di sekitar kita. Sebenarnya, tujuan dari beragama seperti sama, ingin mencari sebuah kebaikan (di mata manusia dan Tuhan). Walaupun beda dalam menerjemahkan, tapi keinginan untuk menjadi orang baik itu sama. Yang membedakan hanyalah niat. Niat tulus kalau sudah dikotori dengan hal dilarang agama, itu bisa berimplikasi jelek bagi perilaku. Contoh, caleg mencoba mempengaruhi ustaz dengan selembar uang Rp 50 ribu. Si ustaz bukannya menolak malah mengambil uang tersebut dengan niat untuk bisa beli voucher atau beli barang lain. Ustaz yang baik tentunya menolak uang suap itu. Kenyataannya, banyak orang mengaku ustaz seperti diceritakan kawan saya di atas itu justru banyak terpengaruh oleh money politic. Memang tidak semua orang mengakui ustaz berperilaku demikian, tapi ustaz seperti itu ada.

Itu sebuah keprihatinan. Seorang tokoh agama semestinya tetap menjunjung tinggal moralitas, menonjolkan akhlakul karimah serta selalu menebar kebaikan kepada orang lain. Situasi saat ini memang susah. Krisis keuangan global masih belum berakhir. Dalam kondisi seperti itu memang banyak orang perlu uang. Cuma, janganlah gara-gara uang Rp 50 ribu, reputasi ustaz dikotori, nama baik seorang tokoh agama ternoda. Siapa lagi yang bisa mengajarkan moralitas dan akhlak kalau bukan tokoh agama itu. Kalau tokoh agama juga sudah tidak lagi mengedepankan nilai kebaikan itu, lantas siapa lagi yang bisa diharapkan untuk menyelamatkan generasi muda dari dekadensi moral.

Lihat saja realitas saat ini, betapa generasi sangat mudah terpengaruh oleh budaya luar yang merusak ketimbang budayanya sendiri. Pesta seks, pengguna narkoba, minuman keras, dugem di diskotek merupakan budaya luar yang sangat digandrungi anak muda sekarang. Siapa yang bisa mengalihkan perhatian mereka untuk menjauhi dunia yang merusak itu? Sebenarnya, yang bisa melakukan itu adalah para ustaz atau tokoh agama. Cuma, kalau tokoh agamanya saja lebih mementingkan urusan pribadi ketimbang umatnya sendiri, apa yang bisa diharapkan. Saya hanya khawatir saja, ke depan dekadensi moral semakin parah dan sulit dibendung. Pada akhirnya, negeri ini hanya menghasilkan pemimpin, wakil rakyat yang lebih mengedepankan materialistic ketimbang moralitas. Persoalan tersebut terus merasuki seluruh lini, termasuk juga dunia politik.*