Senin, 27 Mei 2013

Kebangkitan Nasional Untuk Perempuan

Oleh : Sumiati J, S.Sos.I., M.Si
Setiap tanggal 20 Mei, seluruh rakyat Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Sejarah Harkitnas ditandai dengan berdirinya sekolah formal pertama untuk pribumi di Indonesia, yakni Boedi Oetomo. Inilah sekolah perdana untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat Indonesia lewat pendidikan. Di sekolah inilah pertama kalinya diajarkan nasionalisme. Banyak tokoh politik Indonesia di awal-awal kemerdekaan lahir dari sekolah yang didirikan oleh Dr. Soetomo ini.  Wajar apabila Pemerintah Indonesia menetapkan 20 Mei sebagai Harkitnas.
Hal yang sangat penting dari Harkitnas adalah kata kebangkitan. Kata kebangkitan berasal dari kata dasar, bangkit. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, bangkit bisa diartikan, bangun. Bisa juga bangun (hidup) kembali, dan timbul atau terbit. Kalau diartikan dalam Bahasa Melayu Pontianak, bangkit bisa berarti mayat hidup. Bisa saya sederhanakan, bangkit berarti sebelumnya jatuh, tenggelam, gelap, lalu berdiri lagi, timbul lagi, terang lagi. Ada masa yang kelam sebelumnya, lalu berubah menjadi terang. Bangkit dari keterpurukan. Bangkit dari kegelapan. Bangkit dari kebodohan. Bangkit dari kemunduran, dan sebagainya. Di kata bangkit mengandung semangat, daya juang, daya dobrak, dan keberanian.
Kaitannya dengan perempuan, untuk saat ini perempuan memang belum bisa sepenuhnya disejajarkan dengan kaum laki-laki.Walaupun demikian, peran serta perempuan sudah banyak mengisi segala sektor yang ada di masyarakat. Di dunia politik, Undang-Undang mensyaratkan harus 30 persen diisi oleh perempuan. Di bidang pemerintahan, Indonesia pernah dipimpin oleh Megawati Soekarno Putri. Di bidang ekonomi, banyak perempuan terlibat bisnis, dan tak jarang menjadi CEO. Pokoknya, di bidang apa saja, sudah boleh diisi oleh perempuan. Untuk saat ini, kaum perempuan boleh berbangga bila dibandingkan sejumlah negara yang banyak memposisikan perempuan sebagai ibu rumah tangga, ngurus anak, dan melayani suami saja, serta tidak boleh beraktivitas di luar rumah.
Pemerintah yang menggalakkan kesetaraan gender, memang patut dibanggakan oleh kaum hawa. Kesetaraan tersebut membuat kaum perempuan bisa masuk ke segala lini kehidupan bernegara dan berbangsa. Namun, sejauh ini, upaya tersebut masih belum maksimal. Saya melihat, masih banyak instansi baik swasta maupun negeri, melihat perempuan kaum yang lemah. Keputusan-keputusan penting di daerah ini banyak yang tidak melibatkan perempuan. Perwakilan perempuan seolah-olah belum dianggap penting.
Sebagai contoh, dalam pengambilan keputusan untuk membuat Peraturan Daerah (Perda), jarang perempuan dilibatkan. Kalaupun dilibatkan hanya sebatas “penghias” belaka. Lihat jabatan ketua di DPRD, tidak ada yang perempuan. Untuk ketua komisi saja, tidak ada perempuan. Padahal, perempuan ada juga duduk di Dewan. Apakah hal ini disengaja, atau melihat perempuan yang di legislatif tidak berkualitas? Tentunya perlu diperdebatkan jika pertanyaan itu diajukan. Siapapun yang duduk di Dewan adalah orang terpilih. Bayangkan, dari sekian banyak rakyat Kalbar, hanya terpilih 55 orang saja. Itu tandanya bahwa siapapun yang duduk di DPRD Kalbar, termasuklah perempuan adalah orang pilihan. Kenyataannya, perempuan tidak mendapat tempat di rumah rakyat itu.
Belum lagi di pemerintahan provinsi, hanya segelintir perempuan saja yang mengisi jabatan penting. Kalau kita hitung 30 persen keterwakilan perempuan, tidak cukup. Begitu juga kalau turun ke bawah, jabatan kepala bidang juga masih didominasi kaum laki-laki. Namun,  kita juga bangga dengan Pemkot Pontianak  yang sudah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada birokrat perempuan. Hal ini ditandai dengan banyaknya perempuan menjadi kepala dinas. Bahkan, di Kementerian Agama yang selama ini “kurang berpihak” pada perempuan, sekarang mulai memperhatikan peran perempuan itu sendiri. Sebagai bukti, untuk pertama kali Kepala Kantor Kementerian Agama diisi oleh perempuan, yakni Kepala Kantor Kementerian Agama Kubu Raya, Dra Hj Isriyah.
Sebagai kaum perempuan, kami sebenarnya tidak banyak menuntut. Perlu diketahui, laki-laki dan perempuan di mata Tuhan itu sama. Yang berbeda hanyalah jenis kelamin. Soal kualitas, pendidikan, kemampuan, boleh diadu. Menjadi persoalan adalah kesempatan untuk perempuan yang banyak tak diberikan. Saya yakin, ketika kesempatan itu diberikan, kaum perempuan baik di politik maupun pemerintahan, kualitasnnya tidak akan jauh beda dengan kaum laki-laki. Saya berharap, tokoh-tokoh politik maupun pejabat teras di pemerintah, slogan kesetaraan gender jangan hanya slogan saja, melainkan harus diimplementasikan.
Dalam tulisan ini juga saya mengimbau kepada perempuan, jangan hanya banyak menuntut. Kita perlihatkan bahwa kita juga memiliki kemampuan. Masuklah ke organisasi politik, organisasi pemuda,organisasi perempuan, LSM, atau organisasi apa saja yang bisa membuat kita terberdayakan. Kalau kita tidak aktif berorganisasi, bagaimana kita mau berjuang untuk kiprah kita di segala bidang? Selain itu, saya berharap, pemerintah juga memperhatikan peran perempuan. Berikanlah mereka kesempatan seluas-luasnya untuk memimpin, bukan selalu dijadikan staf.
Kalau perempuan terus meningkatkan kemampuan, saya yakin Harkitnas juga menjadi momentum untuk kebangkitan kiprah perempuan di negeri ini. Sebaliknya, kalau perempuan masih disibukkan dengan pribadi, sampai kapanpun perempuan dipandang “lemah” oleh kaum adam. Mari bangkit sekarang dengan meningkatkan SDM di segala bidang. Bangkitlah wahai kaumku, Selamat Harkitnas!
Penulis adalah Pelaksana Administrasi Seksi PAI Kemenag Kota Pontianak, Sekretatis DWP Kemenag Kota Pontianak, Sekretaris II BKMT Kota Pontianak, Sekretaris PMQ Kota Pontianak.