Oleh Rosadi Jamani
Orang taat beragama selalu diidentikan orang jujur, orang baik, memiliki akhlak yang baik, suka menolong, peduli dengan sesama, dan predikat baik lainnya. Biasanya, untuk menjadi orang baik, amalkanlah ajaran agama. Sebaliknya, orang yang jauh dari agama, jarang ibadah, sangat mudah menjadi orang jahat (kriminal). Sebab, orang tidak taat terhadap agamanya, dalam pergaulan sehari-hari tidak ada “rem” ketika ingin melakukan perbuatan jahat. Benarkah ungkapan demikian?
Kali ini saya masih menyorot persoalan Pemilu legislatif yang saat ini tinggal menunggu penetapan pemenang. Walaupun suhu politik tidak sepanas saat penghitungan suara, sekarang perlahan mulai dingin. Bagi yang menang (terpilih) sedang bersiap-siap menggelar acara syukuran. Sementara bagi yang kalah, rata-rata sudah mengakui kekalahan. Namun, di antara sekian ribu caleg itu masih ada caleg yang belum terima nasib kalahnya. Masih ada yang ngedumel, ngomong tak karuan. Caleg terpilih dianggapnya tidak jujur, main money politic, main intimidasi, dan sebagainya. Pokoknya, tidak ada yang benar dengan caleg yang September depan akan duduk di kursi panas.
“Saya hanya kecewa. Saya sudah banyak berbuat untuk umat. Ada masjid dari tak ada pintu, saya sumbang sampai ada pintu. Ada jalan gang, dari tanah sampai saya beton. Apa yang terjadi, saat penghitungan suara, di daerah yang masjidnya saya sumbang dan gang yang jalannya saya beton, hanya mendapatkan belasan suara. Padahal, di daerah itu bisa ratusan suara,” kata caleg kalah yang kebetulan teman akrab saat sama-sama aktif di dunia olahraga.
Satu hal yang disesalkan kawan saya itu, para pemilih itu umumnya taat beragama. Dia juga sering berinteraksi dengan mereka baik sebelum maupun saat kampanye. “Warga itu yang saya tahu sangat religius. Ternyata, itu juga bukan ukuran. Mereka tetap saja silau dengan uang. Betapa mudahnya caleg mempengaruhi mereka hanya dengan uang Rp 25 ribu. Jadi sumbangan perbaikan masjid dan bantuan semen itu kalah ampuh dibandingkan amplop isinya Rp 25 ribu yang diberikan malam menjelang pencontrengan,” beber kawan saya itu dengan raut muka serius.
Kenapa tidak melakukan money politic juga? “Uang kitakan banyak juga?” tanya saya. “Saya memang punya uang. Saya bisa saja ngasih mereka per orang Rp 50 ribu. Tapi, saya ini masih memiliki iman. Yang selalu saya ingat, yang menyuap dengan yang disuap itu, ganjarannya api neraka. Itulah yang membuat saya tidak bisa melakukan money politic,” jawabnya penuh nada religius. “Yang tak habis pikir, mereka yang rata-rata haji, bahkan ada di antaranya ustaz, juga terpengaruh hanya dengan uang Rp 25 ribu. Yang ustaz saja mau di-moneypolitic, apalagi mereka yang awam,” ujarnya sambil tersenyum.
Saya hanya ingin menarik satu kesimpulan sederhana, Pemilu yang digelar 9 April 2009 itu penuh dengan kecurangan. Tidak hanya caleg yang melakukan kecurangan, pemilih juga tidak kalah curangnya. Para pemilih lebih banyak memanfaatkan caleg hanya untuk mencari keuntungan materi. Yang menarik, pemilih sekaliber ustaz atau tokoh agama (tidak semua) saja banyak yang memilih karena uang. Itu yang saya tangkap dari ungkapan kawan itu.
Bicara soal perilaku beragama itu, jadi teringat saya saat kuliah di STAIN Pontianak dulu. Ada ungkapan dosen saya yang sulit dilupakan bahwa dalam beragama itu ada dua ciri khas. Pertama, ada umat beragama itu mengamalkan ajaran agamanya secara formalitas. Biasa juga disebut scribtualism. Mungkin sulit dipahami, tapi biar saya sederhanakan. Beragama secara formalitas atau scribtualism adalah beragama dengan mengedepankan simbol. Misalnya, rajin salat lima waktu, puasa, jika sudah pergi haji selalu pakai songkok putih, sering bawa tasbih, berpakaian Muslim, dan sebagainya. Dalam Islam itu, simbol tersebut mencerminkan ketakwaan seseorang. Orang yang sering menggunakan simbol itu diidentikan orang baik. Namun, ada juga orang Islam sering menggunakan simbol, tapi di belakang itu ternyata seorang koruptor, senang juga terima suap, tak peduli dengan tetangganya yang miskin, senang mengambil hak orang lain. Kita sering mendengar, ada orang yang sudah haji, rajin salat lima waktu, tiba-tiba ditangkap Kejaksaan atau KPK karena terlibat korupsi.
Yang kedua, beragama secara substantif. Orang yang beragama seperti ini hanya mengandalkan nilai. Dia tidak senang dengan formalitas. Berpakaian bebas (asal nutup aurat), walau sudah haji tapi tidak senang dengan identitas haji, salat lima waktu tak pakai riya’ (dilihatkan ke orang). Rumahnya juga tak ada simbol agama. Istri dan anaknya tak dipaksa harus pakai jilbab atau sekolah di madrasah. Dia jalani hidup beragama berdasarkan nilai baik. Nilai baik itu didapatkannya dari pergulatan pemikirannya serta nilai agama. Walaupun tak suka pakai simbol, tapi kelakuannya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Diajak korupsi tak mau, disuap juga ogah, suka menolong sesama dan tidak senang menyakiti orang lain. Walaupun penampilan tidak religus, tapi kelakuan lebih religius.
Beragama secara formalitas dan substantif banyak diamalkan orang di sekitar kita. Sebenarnya, tujuan dari beragama seperti sama, ingin mencari sebuah kebaikan (di mata manusia dan Tuhan). Walaupun beda dalam menerjemahkan, tapi keinginan untuk menjadi orang baik itu sama. Yang membedakan hanyalah niat. Niat tulus kalau sudah dikotori dengan hal dilarang agama, itu bisa berimplikasi jelek bagi perilaku. Contoh, caleg mencoba mempengaruhi ustaz dengan selembar uang Rp 50 ribu. Si ustaz bukannya menolak malah mengambil uang tersebut dengan niat untuk bisa beli voucher atau beli barang lain. Ustaz yang baik tentunya menolak uang suap itu. Kenyataannya, banyak orang mengaku ustaz seperti diceritakan kawan saya di atas itu justru banyak terpengaruh oleh money politic. Memang tidak semua orang mengakui ustaz berperilaku demikian, tapi ustaz seperti itu ada.
Itu sebuah keprihatinan. Seorang tokoh agama semestinya tetap menjunjung tinggal moralitas, menonjolkan akhlakul karimah serta selalu menebar kebaikan kepada orang lain. Situasi saat ini memang susah. Krisis keuangan global masih belum berakhir. Dalam kondisi seperti itu memang banyak orang perlu uang. Cuma, janganlah gara-gara uang Rp 50 ribu, reputasi ustaz dikotori, nama baik seorang tokoh agama ternoda. Siapa lagi yang bisa mengajarkan moralitas dan akhlak kalau bukan tokoh agama itu. Kalau tokoh agama juga sudah tidak lagi mengedepankan nilai kebaikan itu, lantas siapa lagi yang bisa diharapkan untuk menyelamatkan generasi muda dari dekadensi moral.
Lihat saja realitas saat ini, betapa generasi sangat mudah terpengaruh oleh budaya luar yang merusak ketimbang budayanya sendiri. Pesta seks, pengguna narkoba, minuman keras, dugem di diskotek merupakan budaya luar yang sangat digandrungi anak muda sekarang. Siapa yang bisa mengalihkan perhatian mereka untuk menjauhi dunia yang merusak itu? Sebenarnya, yang bisa melakukan itu adalah para ustaz atau tokoh agama. Cuma, kalau tokoh agamanya saja lebih mementingkan urusan pribadi ketimbang umatnya sendiri, apa yang bisa diharapkan. Saya hanya khawatir saja, ke depan dekadensi moral semakin parah dan sulit dibendung. Pada akhirnya, negeri ini hanya menghasilkan pemimpin, wakil rakyat yang lebih mengedepankan materialistic ketimbang moralitas. Persoalan tersebut terus merasuki seluruh lini, termasuk juga dunia politik.*
Minggu, 03 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
maaf aq copy punya bapak...
BalasHapus