Minggu, 26 April 2009

Wakil Rakyat yang Tak Butuh Perhatian Rakyat

Oleh Rosadi Jamani

Saya ingat kata orang bijak, utang duit bisa dibayar, tapi utang budi dibawa mati. Maksudnya, utang uang itu bisa dibayar. Begitu utang dibayar, habis perkara. Sementara utang budi, tidak bisa dibayar dengan uang atau material lainnya. Ketika budi itu dibayar dengan uang, bukan lagi budi melainkan balas jasa. Contoh, ada orang dikeroyok, lalu ada orang lain berhasil menolong orang itu dari amukan massa. Orang yang dikeroyok itu pasti merasa utang budi. Ketika pertolongan itu dihargai dengan uang, si penolong minta uang, lalu yang ditolong memberikannya uang, dalam kasus ini tidak ada lagi balas budi. Yang ada hanya balas jasa.
Pada Pemilu 9 April lalu, hampir rata-rata calon legislatif (caleg) yang dipastikan duduk di kursi Dewan main money politic (politik uang). Mereka tidak lagi mengandalkan kualitas pribadi, melainkan memainkan politik uang untuk menaklukkan pemilih. Rata-rata caleg yang duduk di parlemen menghabiskan uang di atas Rp 200 juga. Bahkan, kabarnya ada yang miliaran rupiah. Uang tersebut paling menentukan seorang caleg bisa duduk. Tidak heran apabila pesta demokrasi 2009 bertabur dengan uang. Permainan money politic sangat gencar tanpa bisa diseret oleh Panwaslu ke Gakumdu.

“Terus terang saya menghabiskan kurang lebih Rp 750 juta saat kampanye lalu. Ketika masuk kampung, rata-rata masyarakat minta uang. Saya kasih uang dengan catatan harus mencontreng saya. Kalau tidak dikasih uang, mereka akan memilih caleg lain. Sudah dikasih uang, kadang saya tidak yakin saat pencontrengan memilih saya,” cerita seorang caleg dari partai besar yang dipastikan duduk di DPRD Kalbar. Kebetulan caleg itu teman dan sering melakukan komunikasi dengan saya. Sekarang dia merasa tenang, karena uang yang telah dihamburkannya membuahkan hasil.

“Saya telah banyak menghabiskan uang. Rata-rata pemilih yang memilih saya pernah mendapatkan uang dari saya. Itu artinya, saya telah membeli suara mereka. Dengan demikian, tidak ada lagi utang budi saya dengan pemilih,” kata caleg itu dengan raut muka tidak ada beban sambil menikmati segelas kopi panas di salah satu warung kopi di Mega Mall Pontianak.
Saya sedikit kaget dengan ungkapan, tidak ada lagi utang budi antara pemilih dengan yang dipilih, antara wakil rakyat dengan rakyatnya. Saya mencoba mencermati, ada benarnya ungkapan itu. Rakyat memilih caleg berdasarkan uang. Sementara caleg yang memang mengharapkan suara telah menghargai suara itu dengan uang. Ibarat dagang, ada barang ada uang. Barang yang sudah dibeli sah milik pembeli. Si penjual tidak bisa mengambil barang yang dibeli dari pembeli. Ketika transaksi jual beli berakhir, habis perkara. Ada barang, ada uang. Antara pembeli dan penjual itu tidak ada lagi beban. Sama-sama senang dan tidak boleh ada tuntutan di kemudian hari.

Untuk ungkapan tersebut saya aminkan. Fakta di lapangan memang demikian adanya. Rata-rata caleg harus mengeluarkan uang untuk bisa mendapatkan suara dari pemilih. Bagi caleg yang kedekut atau pelit mengeluarkan uang dari kantongnya hampir seluruhnya tidak terpilih. Jangankan yang kedekut, yang berabis (habis-habisan) saja banyak yang tidak duduk. Uang benar-benar menjadi faktor utama untuk menentukan caleg bisa menjadi wakil rakyat.
Lebih parah lagi, pemilih juga menginginkan uang. Tidak hanya caleg yang memberi uang, tapi pemilih juga bernafsu mendapatkan uang dari caleg. Caleg banyak uang, sementara pemilih juga banyak minta uang. Proses transaksi juga lancar dan cepat. Keduanya suka sama suka dan senang sama senang. Karena sama-sama senang, berarti tidak ada istilah balas budi. Caleg yang sudah duduk tidak memiliki ikatan moral dengan pemilih yang sudah dikasihnya uang. Begitu juga pemilih tidak boleh lagi menuntut yang macam-macam dengan wakil rakyat.

Apa jadinya kalau wakil rakyat sudah tidak memiliki ikatan dengan pemilihnya? Apa jadinya parlemen apabila tidak memiliki rasa kepedulian dengan rakyat? Pernyataan tersebut terus menggelayuti pikiran saya. Saya dan pembaca sekalian mungkin tidak bisa berbuat apa-apa terhadap persoalan itu. Wakil rakyat hasil Pemilu 2009 nanti sangat sulit diharapkan bisa membela kepentingan rakyat. Sebab, mereka sudah membayar suara rakyat. Rakyat juga tidak bisa mendikte atau mendesak wakil rakyat agar persoalan mereka diperjuangkan di parlemen. Sebab, mereka telah dibayar, dan itu artinya tidak ada kewajiban wakil rakyat membela nasib mereka. Dewan yang akan datang dipastikan lebih memikirkan urusan pribadi dan partainya saja.

Langkah pertama yang diambil wakil rakyat adalah memikirkan modal kampanye bisa kembali. Siapapun Dewannya pasti akan berusaha agar seluruh biaya kampanye sampai bisa duduk harus kembali. Ada yang mungkin berpikir, modal yang telah keluar biarkan saja. Yang penting sekarang bisa duduk di kursi parlemen itu adalah sebuah keuntungan besar. Duduk di kursi Dewan secara materi mungkin kecil, tapi secara politik dan sosial memberikan keuntungan besar. Dulu yang tidak dihormati, sekarang sudah menjadi orang terhormat. Dulu tidak pernah diundang, sekarang undangan datang silih berganti. Itu semua adalah sebuah keuntungan. Tapi, seberapa besar Dewan berpikir demikian. Umumnya, wakil rakyat lebih sibuk memikirkan keuntungan materi dari pada keuntungan non materi.

Lihat saja nanti, Dewan yang baru saja menjabat sebagai wakil rakyat, mereka akan ditawarkan kredit bank. Paling sedikit Rp 100 juta atau lebih dari itu. Uang kredit itu akan digunakan, pertama untuk mengamankan caleg-caleg satu partai yang tidak terpilih. Kedua, menyelesaikan seluruh utang di toko fotokopi, di tempat pembuatan baliho, utang dengan kawan-kawan dan sebagainya. Ketiga, membeli mobil baru. Keempat, rehab rumah. Perilaku Dewan seperti itu tidak bisa disalahkan. Mereka telah menikmati hasil jerih payahnya sendiri. Mereka telah berjuang sekuat tenaga agar bisa duduk di parlemen. Rakyat tidak bisa menyalahkannya, karena mereka tidak punya lagi ikatan atau balas budi dengan rakyat.

Apabila rakyat demo mendesak agar Dewan bisa memaksa eksekutif memperhatikan jalan rusak di daerahnya, lalu Dewan sekadar mendengar saja, mereka tidak bisa disalahkan. Apabila ada warga ngeluruk Dewan, minta pembangunan sekolah atau Puskesmas, lalu Dewan bilang siap menampung aspirasi itu, jangan disalahkan. Sebab, mereka tidak lagi memiliki kewajiban membela rakyat seperti itu. Masalahnya, suara rakyat itu sudah dibayar saat kampanye dulu. Tidak ada lagi balas budi atau kewajiban membela rakyat.

Mungkin apa yang saya tulis sedikit emosial atau tendesius. Namun, apa yang saya sampaikan itu didapatkan dari kesimpulan berbagai kalangan terhadap buruknya Pemilu 2009. Pesta demokrasi penuh dengan money politic. Lantas, apa yang bisa diharapkan dari sebuah proses yang buruk. Harapan kita satu-satunya hanyalah eksekutif yang mudah-mudahan pro rakyat. Semoga! *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar