Besar Kemungkinan Kepala Daerah Korupsi
Oleh Rosadi Jamani
Apakah ada orang jujur di dunia ini? Jawabannya, ada. Tapi, sangat sedikit. Yang sedikit itu bukan pejabat, melainkan orang kecil, rakyat biasa atau orang awam. Itupun sangat sulit mendapatkannya.
Ungkapan itu saya dapatkan dari hasil obrolan dengan rekan-rekan pengusaha dan pemerhati korupsi di Hotel Kartika, 5 Mei 2009. Obrolan banyak menyorot kinerja kepala daerah. Kepala daerah lebih banyak meniupkan angin surga, sementara fakta di lapangan, masyarakat banyak miskin. Yang kaya raya tetaplah kepala daerah beserta kroninya.
Satu yang menarik perhatian saya dari obrolan itu, salah satu rekan itu kebetulan mantan calon bupati. Dia membeberkan soal hitung-hitungan gaji seorang kepala daerah. Gaji kepala daerah satu bulan berkisar Rp 15 juta. Itu sudah paling besar. Kalau setahun berarti gajinya mencapai Rp 180 juta. Kemudian, kalau dikalikan lima tahun, dia mendapatkan Rp 900 juta. Itu hitungan kasar. Jadi, tidak sampai Rp 1 miliar, kurang Rp 100 juta baru sampai satu miliar.
Kemudian, seorang kepala daerah pastilah banyak dapat tunjangan. Ada tunjangan rumah tangga, kesehatan, perjalanan dinas dan sebagainya. Dalam satu tahun biasanya Rp 1 miliar. Jika dikalikan lima tahun berarti tunjangan itu mencapai Rp 5 miliar. Apabila ditambahkan dengan gaji tadi, dalam lima tahun seorang kepala daerah hanya mendapatkan penghasilan Rp 5,9 miliar. Agar tidak payah menghitungnya, bulatkan saja jadi Rp 6 miliar. Itulah perhitungan kasar penghasilan seorang kepala daerah di daerah ini.
Teman itu bertanya, apakah ada orang dengan Rp 6 miliar bisa menjadi kepala daerah? Pertanyaan itu membuat hidup suasana obrolan. Ada menjawab, tidak mungkin. Sebab, ada kepala daerah sampai menghabiskan dana Rp 25 miliar. Kalau memang benar dana sebesar itu dihabiskan untuk bisa menjadi kepala daerah, berarti tekor dong! “Ya, tekor. Gaji plus tunjangan hanya Rp 6 miliar dalam tempo lima tahun. Sementara modal yang dikeluarkan Rp 25 miliar, berarti tak balik modal. Kalau tak balik modal, lantas apa yang mau diharapkan lagi. Cuma, anehnya seorang kepala daerah tetap saja melimpah harta,” jelas teman itu.
Jika memang ada kepala daerah menghabiskan dana di atas Rp 6 miliar, itu yang perlu dicurigai. Dia pasti akan berpikir keras, bagaimana agar dana sebesar itu balik modal. Bagaimana agar bisa balik modal? Salah satu caranya adalah melakukan korupsi. Tentunya, korupsi yang dilakukan tidak sembarangan, harus dengan akal bulus, licik dan licin serta tidak tersentuh oleh hukum.
“Kalian sering mendengar omongan orang birokrat, kita harus pandai meng-akal-kan APBD. Bagaimana caranya APBD bisa masuk ke kantong pribadi dengan dibungkus aturan. Seolah-olah tidak melanggar aturan, tapi substansialnya melanggar,” jelas teman yang satunya lagi.
Lalu, teman yang satunya menimpali, dalam sebuah proyek besar di atas Rp 2 miliar, apakah mungkin kepala daerah tidak mendapatkan jatah? Apakah mungkin kepala dinas atau pimpinan proyek tidak mendapat jatah dari Rp 2 miliar itu. “Dalam proyek besar, kepala daerah pasti dapat jatah. Cuma, mereka sangat ahli dan jago membungkusnya. Sampai saat ini, untuk ukuran Kalbar tidak ada institusi yang mampu membongkar persoalan itu. Kalaupun ada yang terbongkar, paling kena bendahara proyek, pimpinan proyek, dan kontraktor. Sementara para pejabat tinggi pasti tak tersentuh hukum,” papar teman.
Tapi, ada orang bermodalkan di bawah Rp 6 miliar, berarti kepala daerah itu tidak tekor. Ada keuntungan yang halal dinikmatinya. Sebaliknya, jika ada kepala daerah bermodalkan lebih dari Rp 6 miliar, tapi harta benda bukannya berkurang malah berlipat ganda, itu patut dicurigai korupsi. Cuma, yang menjadi persoalan lagi, untuk membuktikan seorang kepala daerah korupsi, atau menyeretnya ke meja hijau, bukan pekerjaan gampang. Butuh bukti dan saksi kuat, serta didukung aparat penegak hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Tapi, kalau penegak hukumnya sering kongkow-kongkow dengan kepala daerah, tidak banyak yang bisa diharapkan. Bisa-bisa setiap kasus korupsi yang menyeret kepala daerah hanya menjadi angin lalu atau sekadar isu.
“Untuk menumpuk kekayaan, seorang kepala daerah tidak mungkin mengandalkan gaji atau tunjangan, tok. Untuk mendapatkan kekayaan melimpah, biasa didapatkan dari fee (jatah, red) proyek besar, tanda tangan izin usaha dan mark up pembelian barang dan pembebasan tanah. Coba perhatikan kepala daerah yang dipenjara, paling berkisar dari hal tersebut. Namun, untuk menyeret sang kepala daerah ke meja hijau, sangat-sangat sulit. Butuh ekstra perjuangan, karena harus menghadapi preman, intimidasi, teror. Itu sebabnya, penggiat pemberatasan korupsi berpikir dua kali jika melaporkan kepala daerah korupsi ke kejaksaan,” urai teman saya itu.
Apakah semua kepala daerah melakukan korupsi? Semua teman-teman itu menjawab, tidak semua. Tapi, sebagian besar menjawab, iya. “Ngomong-ngomong, kepala daerah yang tidak korupsi itu, apakah ada?” tanya saya. “Ada,” jawab teman saya itu lantas menceritakan seorang kepala daerah yang hidup sederhana. “Akhir Mei lalu itu, saya pergi ke Ketapang dan bertemu dengan salah seorang bupati di Kalbar. Bupati itu sendirian tanpa ditemani seorang ajudan,” ceritanya.
“Terjadilah dialog antara saya dengan bupati itu. Salah satu yang bicarakan mengenai pandangan orang kepada kepala daerah yang dipersepsikan selalu banyak uang, rumah bagus dan sedan mewah. Mendengar ungkapan saya itu, bupati itu tertawa dan meluruskan ungkapan itu,” katanya. Lalu, teman saya itu melanjutkan dengan mengutip ucapan bupati itu. Bupati itu bilang, selama ini apa yang dimakan hanyalah mengandalkan gaji dan tunjangan yang memang diperbolehkan negara. Itu saja, tidak lebih. Soal proyek, dia tidak atur dan semuanya dikembalikan berdasarkan aturan. Orang bilang bupati banyak duit, memang benar pada saat gajian. Tapi, tidak beberapa lama setelah itu, gaji habis untuk memberikan sumbangan kepada orang yang datang silih berganti. “Orang mungkin tidak percaya kalau saya sering tak berduit. Karena, persepsi seorang bupati banyak duit memang sudah lama terbentuk. Bukti saya tidak punya uang, mobil pribadi saya saja sudah ditarik agen. Kenapa, karena saya tidak mampu membayar cicilannya,” ungkap bupati ditirukan teman saya itu.
“Satu hal menarik dari ungkapan bupati itu, makanlah uang yang halal. Kalau makan uang tak halal, tidur tidak akan nyenyak, karena dibayangi pemeriksaan kejaksaan atau KPK. Saya salut dengan bupati itu, mudah-mudahan apa yang diucapkannya memang benar,” papar teman itu.
Tipe kepala daerah seperti itu mungkin langka. Hal ini seiring semakin langkanya mencari orang jujur di dunia ini. Kepala daerah tidak terlibat kasus korupsi mungkin sangat langka saat ini. Sampai saat ini kita belum pernah mendengar atau melihat ada kepala daerah bersumpah tidak korupsi. Kita juga belum pernah mendengar ada kepala daerah mentasbihkan diri sebagai orang jujur. Saya mohon maaf jika tulisan itu ada yang membuat tersinggung kepala daerah. Maklum saja sekarang, orang mengkritik lewat email saja bisa dipenjarakan. Yang jelas tujuan saya baik, mengharapkan kepala daerah yang benar-benar antikorupsi secara riil. Bukan kepala daerah yang ngaku di depan umum antikorupsi, sementara di belakangnya justru menganjurkan orang korupsi. Satu kunci agar tidak korupsi, jujurlah pada diri sendiri dan Tuhan. (silakan tanggapi lewat email: gue_ros2222@yahoo.com atau ke http://renunganpelangi.blogspot.com)
Sabtu, 06 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar