Oleh : Sumiati J, S.Sos.I., M.Si
Setiap tanggal 20 Mei, seluruh rakyat Indonesia memperingati
Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Sejarah Harkitnas ditandai dengan
berdirinya sekolah formal pertama untuk pribumi di Indonesia, yakni Boedi
Oetomo. Inilah sekolah perdana untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat
Indonesia lewat pendidikan. Di sekolah inilah pertama kalinya diajarkan
nasionalisme. Banyak tokoh politik Indonesia di awal-awal kemerdekaan lahir
dari sekolah yang didirikan oleh Dr. Soetomo ini. Wajar apabila Pemerintah Indonesia menetapkan
20 Mei sebagai Harkitnas.
Hal yang sangat penting dari Harkitnas adalah kata
kebangkitan. Kata kebangkitan berasal dari kata dasar, bangkit. Dalam Kamus
Bahasa Indonesia, bangkit bisa diartikan, bangun. Bisa juga bangun (hidup)
kembali, dan timbul atau terbit. Kalau diartikan dalam Bahasa Melayu Pontianak,
bangkit bisa berarti mayat hidup. Bisa saya sederhanakan, bangkit berarti
sebelumnya jatuh, tenggelam, gelap, lalu berdiri lagi, timbul lagi, terang
lagi. Ada masa yang kelam sebelumnya, lalu berubah menjadi terang. Bangkit dari
keterpurukan. Bangkit dari kegelapan. Bangkit dari kebodohan. Bangkit dari
kemunduran, dan sebagainya. Di kata bangkit mengandung semangat, daya juang,
daya dobrak, dan keberanian.
Kaitannya dengan perempuan, untuk saat ini perempuan memang
belum bisa sepenuhnya disejajarkan dengan kaum laki-laki.Walaupun demikian,
peran serta perempuan sudah banyak mengisi segala sektor yang ada di
masyarakat. Di dunia politik, Undang-Undang mensyaratkan harus 30 persen diisi
oleh perempuan. Di bidang pemerintahan, Indonesia pernah dipimpin oleh Megawati
Soekarno Putri. Di bidang ekonomi, banyak perempuan terlibat bisnis, dan tak
jarang menjadi CEO. Pokoknya, di bidang apa saja, sudah boleh diisi oleh
perempuan. Untuk saat ini, kaum perempuan boleh berbangga bila dibandingkan
sejumlah negara yang banyak memposisikan perempuan sebagai ibu rumah tangga,
ngurus anak, dan melayani suami saja, serta tidak boleh beraktivitas di luar
rumah.
Pemerintah yang menggalakkan kesetaraan gender, memang patut
dibanggakan oleh kaum hawa. Kesetaraan tersebut membuat kaum perempuan bisa
masuk ke segala lini kehidupan bernegara dan berbangsa. Namun, sejauh ini,
upaya tersebut masih belum maksimal. Saya melihat, masih banyak instansi baik
swasta maupun negeri, melihat perempuan kaum yang lemah. Keputusan-keputusan
penting di daerah ini banyak yang tidak melibatkan perempuan. Perwakilan
perempuan seolah-olah belum dianggap penting.
Sebagai contoh, dalam pengambilan keputusan untuk membuat
Peraturan Daerah (Perda), jarang perempuan dilibatkan. Kalaupun dilibatkan
hanya sebatas “penghias” belaka. Lihat jabatan ketua di DPRD, tidak ada yang
perempuan. Untuk ketua komisi saja, tidak ada perempuan. Padahal, perempuan ada
juga duduk di Dewan. Apakah hal ini disengaja, atau melihat perempuan yang di
legislatif tidak berkualitas? Tentunya perlu diperdebatkan jika pertanyaan itu
diajukan. Siapapun yang duduk di Dewan adalah orang terpilih. Bayangkan, dari
sekian banyak rakyat Kalbar, hanya terpilih 55 orang saja. Itu tandanya bahwa
siapapun yang duduk di DPRD Kalbar, termasuklah perempuan adalah orang pilihan.
Kenyataannya, perempuan tidak mendapat tempat di rumah rakyat itu.
Belum lagi di
pemerintahan provinsi, hanya segelintir
perempuan saja yang mengisi jabatan penting. Kalau kita hitung 30 persen
keterwakilan perempuan, tidak cukup. Begitu juga kalau turun ke bawah,
jabatan
kepala bidang juga masih didominasi kaum laki-laki. Namun, kita juga
bangga dengan Pemkot Pontianak yang sudah memberikan kesempatan
seluas-luasnya
kepada birokrat perempuan. Hal ini ditandai dengan banyaknya perempuan
menjadi
kepala dinas. Bahkan, di Kementerian Agama yang selama ini “kurang
berpihak”
pada perempuan, sekarang mulai memperhatikan peran perempuan itu
sendiri.
Sebagai bukti, untuk pertama kali Kepala Kantor Kementerian Agama diisi
oleh
perempuan, yakni Kepala Kantor Kementerian Agama Kubu Raya, Dra Hj
Isriyah.
Sebagai kaum perempuan, kami sebenarnya tidak banyak
menuntut. Perlu diketahui, laki-laki dan perempuan di mata Tuhan itu sama. Yang
berbeda hanyalah jenis kelamin. Soal kualitas, pendidikan, kemampuan, boleh
diadu. Menjadi persoalan adalah kesempatan untuk perempuan yang banyak tak
diberikan. Saya yakin, ketika kesempatan itu diberikan, kaum perempuan baik di
politik maupun pemerintahan, kualitasnnya tidak akan jauh beda dengan kaum
laki-laki. Saya berharap, tokoh-tokoh politik maupun pejabat teras di
pemerintah, slogan kesetaraan gender jangan hanya slogan saja, melainkan harus
diimplementasikan.
Dalam tulisan ini juga saya mengimbau kepada perempuan,
jangan hanya banyak menuntut. Kita perlihatkan bahwa kita juga memiliki
kemampuan. Masuklah ke organisasi politik, organisasi pemuda,organisasi
perempuan, LSM, atau organisasi apa saja yang bisa membuat kita terberdayakan.
Kalau kita tidak aktif berorganisasi, bagaimana kita mau berjuang untuk kiprah
kita di segala bidang? Selain itu, saya berharap, pemerintah juga memperhatikan
peran perempuan. Berikanlah mereka kesempatan seluas-luasnya untuk memimpin,
bukan selalu dijadikan staf.
Kalau perempuan terus meningkatkan kemampuan, saya yakin
Harkitnas juga menjadi momentum untuk kebangkitan kiprah perempuan di negeri
ini. Sebaliknya, kalau perempuan masih disibukkan dengan pribadi, sampai
kapanpun perempuan dipandang “lemah” oleh kaum adam. Mari bangkit sekarang
dengan meningkatkan SDM di segala bidang. Bangkitlah wahai kaumku, Selamat
Harkitnas!
Penulis adalah
Pelaksana Administrasi Seksi PAI Kemenag Kota Pontianak, Sekretatis DWP Kemenag
Kota Pontianak, Sekretaris II BKMT Kota Pontianak, Sekretaris PMQ Kota
Pontianak.