Selasa, 30 April 2013

BURUH DAN WARTAWAN

Pernah di dalam rapat, bos saya ngomel-ngomel. "Kalian itu bukan buruh. Melainkan pekerja intelektual. Yang namanya buruh, itu kerja sampai delapan jam sehari. Kalau kalian kan tidak kerja sampai delapan jam," kata bos saya marah-marah melihat ada kinerja wartawannya yang menurun.

Benarkah? Saya mencoba untuk mencari tahu, apakah wartawan itu bisa disamakan dengan buruh. Saya buka undang-undang tenaga kerja. Di dalamnya tidak menyebutkan buruh atau wartawan. Yang ada hanya karyawan. Di situ diatur mengenai hak dan kewajiban seorang karyawan dalam sebuah perusahaan. Hak dia mendapatkan gaji, asuransi kesehatan, tunjangan hari tua, hak cuti, lembur diatur. Kewajibannya, bekerja selama delapan jam. Lebih dari itu dianggap lembur dengan kompensasi yang telah ditentukan.

Saya teringat saat bekerja di sebuah perusahaan Korea di Kawasan Industri Cikarang. Waktu itu saya bekerja sebagai tenaga las. Ada tiga ship kerja. Kadang saya masuk dari pukul pagi sampai sore. Kadang juga dari Sore sampai subuh. Dari subuh sampai siang hari. Begitu seterusnya. Makan dikasih satu kali. Dapat gaji dan lembur bila ada kelebihan jam kerja. Saya pikir mungkin itulah buruh. Artinya, saya pernah jadi buruh. Kebetulan yang demo saat ini memang kebanyakan dari karyawan pabrik atau perusahaan.

Lalu, tahun 2001 saya mulai bekerja sebagai wartawan di Harian Equator, sekarang Harian Rakyat Kalbar. Waktu awal jadi wartawan, dari pagi saya harus mencari berita sampai sore hari. Sekitar pukul empat sore, saya listing berita. Ada rapat kecil sama redaktur untuk menggali materi berita. Kalau ada materi kurang, saya diminta lagi turun ke lapangan untuk melengkapi materi tersebut. Lalu, naik lagi ke kantor. Barulah ngetik berita sampai pukul 20.00. Usai ngetik berita, kembali rapat redaksi untuk menentukan berita apa yang mesti diliput esoknya.

usai rapat, barulah bisa kembali ke rumah. Di rumah, handphone harus selalu aktif. Bila ada kejadian seperti kebakaran, pembunuhan, atau hal besar lainnya, harus siap turun tak peduli jam berapapun. Redaktur akan marah bila tak turun. Begitu seterusnya. Saya beranggapan ketika itu, waktu kerja wartawan tidak menentu. Bisa lebih dari delapan jam seperti halnya buruh pabrik.

Kalau buruh pabrik masuk kerja diawali dulu dengan absensi (bisa pakai mesin ceklek atau sekarang pakai scan jari). Kalau wartawan tidak pakai itu ketika memulai kerja. Dia dianggap masuk bila ada ngeliput di lapangan. Namanya juga liputan, waktunya tidak menentu. Kadang harus menunggu berjam-jam untuk mewawancarai narasumber yang sudah dipesan redaktur. Kadang harus berpergian jauh untuk sebuah kasus.

Lantas, di mana persamaan antara buruh dan wartawan? Persamaannya sama-sama bekerja di sebuah perusahaan. Perusahaan itu sama-sama punya izin, NPWP, terdaftar di Kemenkumham. Kemudian, sama-sama memakai undang-undang tenaga kerja yang sama.

Dimana letak perbedaannya? Kalau buruh pabrik lama kerjanya jelas (delapan jam), punya gaji pokok, tunjangan keluarga, uang makan, asuransi kesehatan, tunjangan hari tua (pensiun). Itu bagi perusahaan yang jelas, menerapkan UU tenaga kerja. Bagi perusahaan mane duli UU tenage kerje, kadang buruhnya hanya dapat gaji pokok dan uang makan. Selebihnya, tak jelas. Suke-suke die (perusahaan macam ni banyak di Kalbar). Untuk wartawan yang bekerja di perusahaan yang jelas, waktu kerjanya tak menentu. Bisa dikatakan 24 jam. Ada gaji pokok, uang makan, asuransi kesehatan, uang pensiun (ini bagi yang organik). Ada juga wartawan (kontrak) kerja "24 jam", dapat gaji pokok (kebanyakan di bawah UMP), dapat uang makan (ada hanya 10 ribu, 15 ribu per hari), tak ada asuransi kesehatan, apa age uang pensiun. Hidup wartawan macam ini kadang nelangsa. Kalau hanya ngarapkan gaji dan uang makan, tak bakalan kaya-kaya. Jangan salahkan wartawan macam ini bila mau menerima amplop (isinya kadang 50 ribu, 100 ribu, paling banyak 200 ribu).

Belum lagi kalau melihat wartawan bodrex (saya tak tahu dari mana istilah ini muncul), wartawan WTS (wartawan tanpa surat kabar). Gaya macam wartawan hebat, pakai topi bertuliskan jurnalis, kartu pers digantung di saku depan, bawa kamera, baju seragam. Tahukah kalian, wartawan yang sering berkeliaran di mana saja ini, bekerja tak begaji. Gaji mereka mengharapkan amplop yang nilainya Rp 50 ribu, bahkan dikasih Rp 20 ribu pun mau. Tipe wartawan macam ini cukup banyak. Hebatnya, mereka tahu pejabat-pejabat yang korup, suka selingkuh. Hebatnya, kadang mereka punya data-data akurat (entar dari mana mereka dapatkannya). Data-data itulah dijadikan mereka sebagai bahan untuk "meras". Jangan heran, ada wartawan WTS ini kehidupannya lebih mapan dibanding wartawan jelas.

Kembali soal buruh dan wartawan. Ucapan bos saya, wartawan itu adalah pekerja intelektual. Kalau istilah itu memang benar, semestinya kehidupan wartawan jauh lebih sejahtera. Sebab, mereka bukanlah buruh pabrik yang mengandalkan tenaga, bukan intelektualnya. Sementara wartawan harus bekerja dengan intelektualitasnya. Tak hanya sekadar memporsir tenaga (ke sana ke mari kalau nguber narasumber), melainkan juga intelektualitasnya. Saat menuangkan berita dalam bentuk narasi, di situlah intelektual seorang wartawan bekerja. Berita itu akan dibentuk dan diolah berdasarkan tingkat intelektual wartawan. Jangan heran bila ada berita, diliput banyak wartawan, begitu besoknya terbit, ada berita yang enak dicara, ada juga tak enak dan membosankan. Padahal, objek beritanya sama. Di sinilah letak intelektual seorang wartawan bermain.

Buruh memang bekerja lebih mengandalkan tenaga. Sebagai contoh, buruh pabrik di bagian nyortir kepala udang, dari pagi sampai sore, kerjanya itu saja. Ada buruh kerjanya tukang ngepak, dari pagi sampai sore, ngepak jak kerjenye. Sementara wartawan, kerjanya penuh dinamika. Apa yang dialaminya hari ini, pasti berbeda dengan apa yang akan dikerjakannya esok. Kadang penuh tantangan, ancaman, teror, bahkan kekerasan fisik. Namun, ada juga enaknya, sering diajak jalan-jalan ke luar daerah bahkan luar negeri.

Melihat persamaan dan perbedaan itu, sudah semestinya wartawan itu tingkat kesejahteraannya lebih tinggi dari buruh yang ada di pabrik. Kenyataannya, sampai saat ini banyak wartawan hidupnya nelangsa. Yang sudah bekerja lebih dari 10 tahun, ada masih tinggal di rumah mertua. Ngontrak rumah. Motor itu tak itu. Tak bise holiday. Ke dokter umum atau Puskesmas. Anaknya hanya mampu disekolah tingkat SLTA, untuk kuliah banyak mikernye.

Sejauh ini, jangan bermimpi wartawan bisa punya rumah gedung (kamar lebih dari tiga), punya mobil, rumah sakit kelas VIP, bisa holiday setiap tahun. Anak bisa sekolah tinggi. Kalaupun ada wartawan yang kaya raya, itu bukan karena pendapatan dari perusahaan medianya, melainkan bisnis di luar. Harus diakui, banyak wartawan harus "ngecan" di luar tugasnya. Hal ini lebih didasarkan untuk mencukupi berbagai kebutuhan yang besar. Ada wartawan "ngecan" jualan pulsa, jualan telur, order spanduk (percetakan), rental mobil, belukar tanah dan rumah, dan sebagainya. Semua itu karena ingin mencari sesuatu yang lebih.

Menyikapi Mayday, atau Hari Buruh Sedunia, sudah menjadi kelaziman, seluruh buruh turun ke jalan. Mereka pasti menuntut kenaikkan upah. Persoalan ini terus berlangsung setiap tahun. Mereka hanya minta kenaikkan upah. Seandainya upah mereka dinaikkan oleh perusahaannya, saya yakin tak ada lagi demo. Kenyataannya, perusahaan "pekak lantak". Pemerintah sepertinya lebih suka membela perusahaan (maklum ade duitnya) ketimbang buruh.  Pemerintah "akan peduli" bila buruh sudah marah-marah, anarkis, dan ngobrak-abrik kantor wakil rakyat.

Di tengah aksi buruh itu, pasti ada wartawan yang meliput. Usai diliput, esoknya pun keluar berita, "Buruh Demo Tuntut Upah Naik". Si wartawan itu nyadar, bahwa dia juga bagian dari orang yang diatur dalam UU tenaga kerja. Nasib mereka, upah mereka, tunjangan mereka, jauh lebih "anjlok" dari buruh yang mereka masukkan berita itu. Ironi, ya! Yaah..maok diapekanlah, mereka tak berdaya. Naseb orang lain diperjuangkan (lewat berita), sementara naseb mereke sorang, tak dihiraukan. Hebatkan! Itulah wartawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar