BURUH DAN WARTAWAN
Pernah di dalam rapat, bos saya ngomel-ngomel. "Kalian itu bukan buruh. Melainkan pekerja intelektual. Yang namanya buruh, itu kerja sampai delapan jam sehari. Kalau kalian kan tidak kerja sampai delapan jam," kata bos saya marah-marah melihat ada kinerja wartawannya yang menurun.
Benarkah? Saya mencoba untuk mencari tahu, apakah wartawan itu bisa disamakan dengan buruh. Saya buka undang-undang tenaga kerja. Di dalamnya tidak menyebutkan buruh atau wartawan. Yang ada hanya karyawan. Di situ diatur mengenai hak dan kewajiban seorang karyawan dalam sebuah perusahaan. Hak dia mendapatkan gaji, asuransi kesehatan, tunjangan hari tua, hak cuti, lembur diatur. Kewajibannya, bekerja selama delapan jam. Lebih dari itu dianggap lembur dengan kompensasi yang telah ditentukan.
Saya teringat saat bekerja di sebuah perusahaan Korea di Kawasan Industri Cikarang. Waktu itu saya bekerja sebagai tenaga las. Ada tiga ship kerja. Kadang saya masuk dari pukul pagi sampai sore. Kadang juga dari Sore sampai subuh. Dari subuh sampai siang hari. Begitu seterusnya. Makan dikasih satu kali. Dapat gaji dan lembur bila ada kelebihan jam kerja. Saya pikir mungkin itulah buruh. Artinya, saya pernah jadi buruh. Kebetulan yang demo saat ini memang kebanyakan dari karyawan pabrik atau perusahaan.
Lalu, tahun 2001 saya mulai bekerja sebagai wartawan di Harian Equator, sekarang Harian Rakyat Kalbar. Waktu awal jadi wartawan, dari pagi saya harus mencari berita sampai sore hari. Sekitar pukul empat sore, saya listing berita. Ada rapat kecil sama redaktur untuk menggali materi berita. Kalau ada materi kurang, saya diminta lagi turun ke lapangan untuk melengkapi materi tersebut. Lalu, naik lagi ke kantor. Barulah ngetik berita sampai pukul 20.00. Usai ngetik berita, kembali rapat redaksi untuk menentukan berita apa yang mesti diliput esoknya.
usai rapat, barulah bisa kembali ke rumah. Di rumah, handphone harus selalu aktif. Bila ada kejadian seperti kebakaran, pembunuhan, atau hal besar lainnya, harus siap turun tak peduli jam berapapun. Redaktur akan marah bila tak turun. Begitu seterusnya. Saya beranggapan ketika itu, waktu kerja wartawan tidak menentu. Bisa lebih dari delapan jam seperti halnya buruh pabrik.
Kalau buruh pabrik masuk kerja diawali dulu dengan absensi (bisa pakai mesin ceklek atau sekarang pakai scan jari). Kalau wartawan tidak pakai itu ketika memulai kerja. Dia dianggap masuk bila ada ngeliput di lapangan. Namanya juga liputan, waktunya tidak menentu. Kadang harus menunggu berjam-jam untuk mewawancarai narasumber yang sudah dipesan redaktur. Kadang harus berpergian jauh untuk sebuah kasus.
Lantas, di mana persamaan antara buruh dan wartawan? Persamaannya sama-sama bekerja di sebuah perusahaan. Perusahaan itu sama-sama punya izin, NPWP, terdaftar di Kemenkumham. Kemudian, sama-sama memakai undang-undang tenaga kerja yang sama.
Dimana letak perbedaannya? Kalau buruh pabrik lama kerjanya jelas (delapan jam), punya gaji pokok, tunjangan keluarga, uang makan, asuransi kesehatan, tunjangan hari tua (pensiun). Itu bagi perusahaan yang jelas, menerapkan UU tenaga kerja. Bagi perusahaan mane duli UU tenage kerje, kadang buruhnya hanya dapat gaji pokok dan uang makan. Selebihnya, tak jelas. Suke-suke die (perusahaan macam ni banyak di Kalbar). Untuk wartawan yang bekerja di perusahaan yang jelas, waktu kerjanya tak menentu. Bisa dikatakan 24 jam. Ada gaji pokok, uang makan, asuransi kesehatan, uang pensiun (ini bagi yang organik). Ada juga wartawan (kontrak) kerja "24 jam", dapat gaji pokok (kebanyakan di bawah UMP), dapat uang makan (ada hanya 10 ribu, 15 ribu per hari), tak ada asuransi kesehatan, apa age uang pensiun. Hidup wartawan macam ini kadang nelangsa. Kalau hanya ngarapkan gaji dan uang makan, tak bakalan kaya-kaya. Jangan salahkan wartawan macam ini bila mau menerima amplop (isinya kadang 50 ribu, 100 ribu, paling banyak 200 ribu).
Belum lagi kalau melihat wartawan bodrex (saya tak tahu dari mana istilah ini muncul), wartawan WTS (wartawan tanpa surat kabar). Gaya macam wartawan hebat, pakai topi bertuliskan jurnalis, kartu pers digantung di saku depan, bawa kamera, baju seragam. Tahukah kalian, wartawan yang sering berkeliaran di mana saja ini, bekerja tak begaji. Gaji mereka mengharapkan amplop yang nilainya Rp 50 ribu, bahkan dikasih Rp 20 ribu pun mau. Tipe wartawan macam ini cukup banyak. Hebatnya, mereka tahu pejabat-pejabat yang korup, suka selingkuh. Hebatnya, kadang mereka punya data-data akurat (entar dari mana mereka dapatkannya). Data-data itulah dijadikan mereka sebagai bahan untuk "meras". Jangan heran, ada wartawan WTS ini kehidupannya lebih mapan dibanding wartawan jelas.
Kembali soal buruh dan wartawan. Ucapan bos saya, wartawan itu adalah pekerja intelektual. Kalau istilah itu memang benar, semestinya kehidupan wartawan jauh lebih sejahtera. Sebab, mereka bukanlah buruh pabrik yang mengandalkan tenaga, bukan intelektualnya. Sementara wartawan harus bekerja dengan intelektualitasnya. Tak hanya sekadar memporsir tenaga (ke sana ke mari kalau nguber narasumber), melainkan juga intelektualitasnya. Saat menuangkan berita dalam bentuk narasi, di situlah intelektual seorang wartawan bekerja. Berita itu akan dibentuk dan diolah berdasarkan tingkat intelektual wartawan. Jangan heran bila ada berita, diliput banyak wartawan, begitu besoknya terbit, ada berita yang enak dicara, ada juga tak enak dan membosankan. Padahal, objek beritanya sama. Di sinilah letak intelektual seorang wartawan bermain.
Buruh memang bekerja lebih mengandalkan tenaga. Sebagai contoh, buruh pabrik di bagian nyortir kepala udang, dari pagi sampai sore, kerjanya itu saja. Ada buruh kerjanya tukang ngepak, dari pagi sampai sore, ngepak jak kerjenye. Sementara wartawan, kerjanya penuh dinamika. Apa yang dialaminya hari ini, pasti berbeda dengan apa yang akan dikerjakannya esok. Kadang penuh tantangan, ancaman, teror, bahkan kekerasan fisik. Namun, ada juga enaknya, sering diajak jalan-jalan ke luar daerah bahkan luar negeri.
Melihat persamaan dan perbedaan itu, sudah semestinya wartawan itu tingkat kesejahteraannya lebih tinggi dari buruh yang ada di pabrik. Kenyataannya, sampai saat ini banyak wartawan hidupnya nelangsa. Yang sudah bekerja lebih dari 10 tahun, ada masih tinggal di rumah mertua. Ngontrak rumah. Motor itu tak itu. Tak bise holiday. Ke dokter umum atau Puskesmas. Anaknya hanya mampu disekolah tingkat SLTA, untuk kuliah banyak mikernye.
Sejauh ini, jangan bermimpi wartawan bisa punya rumah gedung (kamar lebih dari tiga), punya mobil, rumah sakit kelas VIP, bisa holiday setiap tahun. Anak bisa sekolah tinggi. Kalaupun ada wartawan yang kaya raya, itu bukan karena pendapatan dari perusahaan medianya, melainkan bisnis di luar. Harus diakui, banyak wartawan harus "ngecan" di luar tugasnya. Hal ini lebih didasarkan untuk mencukupi berbagai kebutuhan yang besar. Ada wartawan "ngecan" jualan pulsa, jualan telur, order spanduk (percetakan), rental mobil, belukar tanah dan rumah, dan sebagainya. Semua itu karena ingin mencari sesuatu yang lebih.
Menyikapi Mayday, atau Hari Buruh Sedunia, sudah menjadi kelaziman, seluruh buruh turun ke jalan. Mereka pasti menuntut kenaikkan upah. Persoalan ini terus berlangsung setiap tahun. Mereka hanya minta kenaikkan upah. Seandainya upah mereka dinaikkan oleh perusahaannya, saya yakin tak ada lagi demo. Kenyataannya, perusahaan "pekak lantak". Pemerintah sepertinya lebih suka membela perusahaan (maklum ade duitnya) ketimbang buruh. Pemerintah "akan peduli" bila buruh sudah marah-marah, anarkis, dan ngobrak-abrik kantor wakil rakyat.
Di tengah aksi buruh itu, pasti ada wartawan yang meliput. Usai diliput, esoknya pun keluar berita, "Buruh Demo Tuntut Upah Naik". Si wartawan itu nyadar, bahwa dia juga bagian dari orang yang diatur dalam UU tenaga kerja. Nasib mereka, upah mereka, tunjangan mereka, jauh lebih "anjlok" dari buruh yang mereka masukkan berita itu. Ironi, ya! Yaah..maok diapekanlah, mereka tak berdaya. Naseb orang lain diperjuangkan (lewat berita), sementara naseb mereke sorang, tak dihiraukan. Hebatkan! Itulah wartawan.
Selasa, 30 April 2013
Kamis, 25 April 2013
Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi
Syaikh Achmad Khotib
Al-Syambasi
Dari Wikipedia bahasa
Indonesia, ensiklopedia bebas
Syeikh Ahmad Khatib
Sambas adalah seorang ulama yang mendirikan perkumpulan Tarekat Qodiriyah wa
Naqsyabandiyah. Perkumpulan Tarekat ini merupakan penyatuan dan pengembangan
terhadap metode dua Tarekat sufi besar. yakni Tarekat Qadiriyah dan Tarekat
Naqsyabandiyah.
Daftar isi
1 Kehidupan Awal
2 Peran dan Karya
3 Ajaran
4 Pandangan Filosofis
Kehidupan Awal
Ahmad Khatib Sambas
dilahirkan di daerah Kampung Dagang, Sambas, Kalimantan Barat, pada bulan
shafar 1217 H. bertepatan dengan tahun 1803 M. dari seorang ayah bernama Abdul
Ghaffar bin Abdullah bin Muhammad bin Jalaluddin. Ahmad Khatib terlahir dari
sebuah keluarga perantau dari Kampung Sange’. Pada masa-masa tersebut, tradisi
merantau memang masih menjadi bagian dari cara hidup masyarakat di Kalimantan
Barat.
Sebagai sebuah daerah
yang dibangun oleh Raja Tengah, keturunan dari Raja Brunei Darussalam, pada
tahun 1620 M. dan menobatkan diri sebagai sebuah kerajaan sepuluh tahun
kemudian. Maka wilayah Sambas adalah daerah yang telah memiliki ciri-ciri
kemusliman khusus sejak Raden Sulaiman yang bergelar Muhammad Tsafiuddin
dinobatkan sebagai Sultan Sambas pertama.
Pada waktu itu, rakyat
Sambas hidup dari garis agraris dan nelayan. Hingga ditandatanganinya
perjanjian antara Sultan Muhammad Ali Tsafiuddin (1815-1828) dengan
pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1819 M. Perjanjian ini membentuk
sebuah pola baru bagi masyarakat Sambas yakni, perdagangan maritim.
Dalam suasana
demikianlah, Ahmad Khatib Sambas menjalani masa-masa kecil dan masa remajanya.
Di mana sejak kecil, Ahmad khatib Sambas diasuh oleh pamannya yang terkenal
sangat alim dan wara’ di wilayah tersebut. Ahmad Khatib Sambas menghabiskan masa
remajanya untuk mempelajari ilmu-ilmu agama, ia berguru dari satu guru-ke guru
lainnya di wilayah kesultanan Sambas. Salah satu gurunya yang terkenal di
wilayah tersebut adalah, H. Nuruddin Musthafa, Imam Masjid Jami’ Kesultanan
Sambas.
Karena terlihat
keistimewaannya terhadap penguasaan ilmu-ilmu keagamaan, Ahmad Khatib Sambas
kemudian dikirim oleh orang tuanya untuk meneruskan pendidikannya ke Timur
Tengah, khususnya ke Makkah. Maka pada tahun 1820 M. Ahmad Khatib Sambas pun
berangkat ke tanah suci untuk menuntaskan dahaga keilmuannya. Dari sini
kemudian ia menikah dengan seorang wanita Arab keturunan Melayu dan menetap di
Makkah. Sejak saat itu, Ahmad Khatib Sambas memutuskan untuk menetap di Makkah
sampai wafat pada tahun 1875 M.
Sebagian besar penulis
Eropa membuat catatan salah, ketika mereka menyatakan bahwa sebagian besar
Ulama Indonesia bermusuhan dengan pengikut sufi. Hal terpenting yang perlu
ditekankan adalah bahwa Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah sebagai seorang Ulama
(dalam arti intelektual), yang juga sebagai seorang sufi (dalam arti pemuka
thariqat) serta seorang pemimpin umat yang memiliki banyak sekali murid di
Nusantara. Hal ini dikarenakan perkumpulan Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah
yang didirikannya, telah menarik perhatian sebagian masyarakat muslim
Indonesia, khususnya di wilayah Madura, Banten, dan Cirebon, dan tersebar luas
hingga ke Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam.
Peran dan Karya
Perlawanan yang dilakukan
oleh suku Sasak, pengikut Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah yang dipimpin
oleh Syeikh Guru Bangkol juga merupakan bukti yang melengkapi pemberontakan
petani Banten, bahwa perlawanan terhadap pemerintahan Belanda juga dipicu oleh
keikutsertaan mereka pada perkumpulan Tarekat yang didirikan oleh Syeikh Ahmad
Khatib Sambas ini.
Tarekat Qodiriyah wa
Naqsyabandiyah mempunyai peranan penting dalam kehidupan muslim Indonesia,
terutama dalam membantu membentuk karakter masyarakat Indonesia. Bukan semata
karena Syaikh Ahmad Khatib Sambas sebagai pendiri adalah orang dari Nusantara,
tetapi bahwa para pengikut kedua Thariqat ini adalah para pejuang yang dengan
gigih senantiasa mengobarkan perlawanan terhadap imperialisme Belanda dan terus
berjuang melalui gerakan sosial-keagamaan dan institusi pendidikan setelah
kemerdekaan.
Ajarah Syeikh Ahmad
Khatib Sambas hingga saat ini dapat dikenali dari karya Fathul Arifin yang
merupakah notulensi dari ceramah-ceramahnya yang ditulis oleh salah seorang
muridnya, Muhammad Ismail bin Abdurrahim. Notulensi ini dibukukan di Makkah
pada tahun 1295 H. kitab ini memuat tentang tata cara, baiat, talqin, dzikir,
muqarobah dan silsilah Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah.
Buku inilah yang hingga
saat ini masih dijadikan pegangan oleh para mursyid dan pengikut Tarekat
Qodiriyah wa Naqsyabandiyah untuk melaksanakan prosesi-prosesi peribadahan
khusus mereka. Dengan demikian maka tentu saja nama Syeikh Ahmad Khatib Sambas
selalu dikenang dan di panjatkan dalam setiap doa dan munajah para pengikut
Thariqah ini.
Walaupun Syeikh Ahmad
Khatib Sambas termasyhur sebagai seorang tokoh sufi, namun beliau juga
menghasilkan karya dalam bidang ilmu fikih yang berupa manusrkip risalah
Jum’at. Naskah tulisan tangan ini dijumpai tahun 1986, bekas koleksi Haji
Manshur yang berasal dari Pulau Subi, Kepulauan Riau. Demikian menurut Wan
Mohd. Shaghir Abdullah, seorang ulama penulis asal tanah Melayu. Kandungan
manuskrip ini, membicarakan masalah seputar Jum’at, juga membahas mengenai
hukum penyembelihan secara Islam.
Pada bagian akhir naskah
manuskrip, terdapat pula suatu nasihat panjang, manuskrip ini ditutup dengan
beberapa amalan wirid Beliau selain amalan Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah.
Karya lain (juga berupa
manuskrip) membicarakan tentang fikih, mulai thaharah, sholat dan
penyelenggaraan jenazah ditemukan di Kampung Mendalok, Sungai Kunyit, Kabupaten
Pontianak, Kalimantan Barat, pada 6 Syawal 1422 H/20 Desember 2001 M. karya ini
berupa manuskrip tanpa tahun, hanya terdapat tahun penyalinan dinyatakan yang
menyatakan disalin pada hari kamis, 11 Muharam 1281.
Sedangkan mengenai masa
hidupnya, sekurang-kurangnya terdapat dua buah kitab yang ditulis dalam bahasa
Arab oleh orang Arab, menceritakan kisah ulama-ulama Mekah, termasuk di
dalamnya adalah nama Syeikh Ahmad Khatib Sambas. Kitab yang pertama, Siyar wa
Tarajim, karya Umar Abdul Jabbar. Kitab kedua, Al-Mukhtashar min Kitab Nasyrin
Naur waz Zahar, karya Abdullah Mirdad Abul Khair yang diringkaskan oleh
Muhammad Sa'id al-'Amudi dan Ahmad Ali.
Umar Abdul Jabbar,
menyebut bulan Safar 1217 H (kira-kira bersamaan 1802 M.) sebagai tanggal
lahirnya demikian pun Muhammad Sa’id al-Mahmudi. Namun mengenai tahun wafatnya
di Mekah, terdapat perbedaan. Abdullah Mirdad Abul Khair menyebut bahwa Syeikh
Ahmad Khatib wafat tahun 1280 H. (kira-kira bersamaan 1863 M.), tetapi menurut
Umar Abdul Jabbar, pada tahun 1289 H. (kira-kira bersamaan 1872 M.).
Tahun wafat 1280 H. yang
disebut oleh Abdullah Mirdad Abul Khair sudah pasti ditolak, karena berdasarkan
sebuah manuskrip Fathul Arifin salinan Haji Muhammad Sa'id bin Hasanuddin, Imam
Singapura, menyebutkan bahwa Muhammad Sa'ad bin Muhammad Thasin al-Banjari
mengambil tariqat (berbaiat) dari gurunya, Syeikh Ahmad Khatib sedang berada di
Makkah menjalani khalwat. Manuskrip ini menyebutkan bahwa baiat ini terjadi
pada hari Rabu ketujuh bulan Dzulhijjah, tahun 1286 H. Jadi berarti pada
tanggal 7 Dzulhijah 1286 H. Syeikh Ahmad Khathib Sambas masih hidup. Oleh
tanggal wafat Syeikh Ahmad Khatib Sambas, yang wafat tahun 1289 H. yang disebut
oleh Umar Abdul Jabbar lebih mendekati kebenaran.
Ajaran
Ajaran Syeikh Ahmad
Khatib Sambas adalah Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah memiliki ajaran yang
diyakini kebenarannya, terutama dalam hal-hal kesufian. Beberapa ajaran yang
merupakan pandangan para pengikut tarekat ini bertalian dengan masalah tarekat
atau metode untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Metode tersebut diyakini
paling efektif dan efisien. Karena ajaran dalam tarekat ini semuanya didasarkan
pada Al-Qur'an, Al-Hadits, dan perkataan para 'ulama arifin dari kalangan
Salafus shalihin.
Tarekat Qodiriyah wa
Naqsyabandiyah mempunyai peranan penting dalam kehidupan muslim Indonesia. Dan
yang sangat penting adalah membantu dalam membentuk karakter masyarakat
Indonesia. Bukan karena Syekh Ahmad Khatib Sambas sebagai pendiri adalah orang
lokal (Indonesia) tetapi para pengikut kedua Tarekat ini ikut berjuang dengan
gigih terhadap imperialisme Belanda dan terus berjuang melalui gerakan
sosial-keagamaan dan institusi pendidikan setelah kemerdekaan.
Survey tentang sejarah
Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah mempunyai hubungan yang erat
dengan pembangunan masyarakat Indonesia. Thariqat ini merupakan salah satu
keunikan masyarakat muslim Indonesia, bukan karena alasan yang dijelaskan di
atas, tetapi praktek-praktek Thariqat ini menghiasi kepercayaan dan budaya
masyarakat Indonesia.
Tarekat Qodiriyah wa
Naqsyabandiyah secara substansial merupakan aktualisasi seluruh ajaran Islam
(Islam Kaffah); dalam segala aspek kehidupan. Tujuan Tarekat Qodiriyah wa
Naqsyabandiyah adalah tujuan Islam itu sendiri. Menurut sumber utamanya,
Alquran, Islam sebagai agama diturunkan untuk membawa umat manusia ke jalan
yang lurus, jalan keselamatan yang bermuara pada kesejahteraan di dunia dan
kebahagiaan di akhirat (hasanah fi al-dunya dan hasanah fil al-akhirat).
Pandangan Filosofis
Pandangan filosofis
Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah mengenai hubungan kemasyarakatan, baik
dengan sesama muslim mahupun dengan yang bukan muslim, dapat dilihat dalam
bagian uraian Tanbih berikut:
1. Terhadap orang-orang
yang lebih tinggi dari kita, baik zahir maupun batin, harus kita hormati,
begitulah seharusnya hidup rukun saling menghargai.
2. Terhadap sesama yang
sederajat dengan kita dalam segala-galanya jangan sampai terjadi persengketaan,
sebaliknya harus bersikap rendah hati bergotong- royong dalam melaksanakan
perintah Agama maupun Negara, jangan sampai terjadi perselisihan dan
persengketaaan, kalau-kalau kita terkena firmanNya “Adzabun Alim” yang artinya
duka nestapa untuk selama-lamanya dari dunia hingga akhirat;
3. Terhadap orang-orang
yang keadaannya di bawah kita, janganlah menghinanya atau berbuat tidak senonoh
bersika angkuh, sebaliknya harus bersikap belas kasihan dengan kesadaran, agar
mereka merasa senang dan gembira hatinya harus dituntun dan dibimbing dengan
nasihat yang lemah lembut yang akan memberi keinsafan dalam menginjak jalan
kebajikan;
4. Terhadap fakir miskin,
harus kasih sayang, ramah tamah serta bermanis budi, bersikap murah tangan,
mencerminkan bahwa kita sadar. Coba rasakan diri kita pribadi, betapa pedihnya
jika dalam keadaan kekurangan.
UNU Kalbar Sedang Bangun Gedung
UNU Kalbar Sedang Bangun
Gedung
Pontianak. Komitmen PWNU
Kalbar untuk mendirikan Perguruan Tinggi memperlihatkan wujudnya. Sebagai bukti
saat ini organisasi yang diketuai M Zeet Hamdy Assovie sedang membangun kampus Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Kalbar.
"Ya, kita memang sedang
membangun dua kampus untuk UNU Kalbar. Kampus pertama di Sungai Jawi. Kampus
kedua di Gang Jeruk," kata Sekretaris Panitia, Jasmin Haris SPd M Pd, di sekretariatnya, kemarin (20/4).
Dijelaskan Jasmin, kampus
pertama di Sungai Jawi merupapakan kantor PWNU Kalbar. Kebetulan kantor itu
cukup besar. Lalu, sebagian ruangan dijadikan kampus.
"Kampus kedua di Gang
Jeruk. Gedung itu merupakan tempat bimbingan belajar Mecca. Lalu, dijadikan
kampus," paparnya.
Gedung yang sedang dibangun
itu sifatnya sementara. Apabila kemampuan finansial sudah dimiliki, gedung
perkuliahan dibangun secara permanen.
"Kita sudah mendapatkan
hibah tanah dari Pemkab Pontianak. Hibah itulah nantinya untuk kampus UNU.
Sambil menunggu kita merehab gedung yang ada untuk kampus UNU," jelas guru
SMA ini.
Untuk tahun ini, UNU Kalbar
masih memperiapkan gedung perkuliaha, rektorat, dan ruang dosen. Bila tak ada
halangan tahun depan, UNU Kalbar akan membuka pendaftaran mahasiswa perdana.
Untuk menuju pembukaan, pihak panitia terus melakukan persiapan.
"Kita juga tak mau
buru-buru. Yang penting izin untuk UNU sudah keluar. Sekarang, kita berupaya
persiapan pembukaan UNU harus sebaik mungkin. Bagaimanapun UNU adalah lembaga
pencetak SDM berkualitas untuk Kalbar," kata pria kelahiran Ngabang ini.
Untuk Juara, Safrayani Mohon Doa
* Masuk Empat Besar Nasional
Untuk Juara, Safrayani Mohon Doa
Pontianak. Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP
PKK) Kecamatan Pontianak Kota patut berbangga. Soalnya, dalam Lomba Pemanfaatan
Tanaman Obat Keluarga (TOGA), PKK yang diketuai oleh Safrayani berhasil masuk
empat besar tingkat nasional. Selangkah lagi mau juara nasional, Safrayani
berharap doa dari seluruh Masyarakat Kalbar.
“Tinggal selangkah lagi untuk menjadi juara tingkat nasional. Untuk itu,
kami mohon dukungan dan doa seluruh Masyarakat Kalbar. Kita bertekad bisa juara
nasional,” harap Safrayani di kediamannya, kemarin (21/4).
Perjuangan Yani-sapaan akrabnya menuju tingkat nasional, bukanlah
mudah. Dia bersama seluruh anggota TP PKK Kecamatan Pontianak Kota dan TP PKK
Kelurahan Darat Skip bekerja bahu-membahu dan kompak. Bahkan, sampai saat ini,
para pengurus terus berjuang.
“Yang jelas juara itu belum di tangan. Pada bulan Mei depan baru
dilakukan penilaian. Makanya, saya dan seluruh pengurus PKK terus berjuang
sampai impian untuk menjadi juara nasional bisa kita dapatkan,” tekad Yani didampingi
sang suami, Junaidi, Camat Pontianak Kota.
Sebelumnya, Yani dengan PKK-nya berhasil meraih juara pertama untuk
tingkat Kalbar. Mereka berhasil menyisihkan kelompok PKK dari tingkat
kabupaten/kota se Kalbar. Dengan juara tersebut, PKK Pontianak Kota berhasil
menjadi wakil Kalbar di tingkat nasional.
Dijelaskan Yani, lomba Pemanfaatan TOGA merupakan upaya dari PKK
mengajak masyarakat untuk memanfaatkan tanaman obat keluarga. Maksudnya,
masyarakat bisa menggunakan pekarangan rumah untuk menanam tumbuhan yang bisa
digunakan untuk obat. Masyarakat Kota Pontianak, khususnya Kecamatan Pontianak
Kota sudah lama melakukan hal tersebut. Tidak kurang 180 – an jenis tanaman yang bisa dimanfaatkan untuk
obat.
“Sebagai contoh, tapak dara itu bisa mengobati diabetes, hipertensi,
leukimia, asma, demam, radang perut. Belum lagi kumis kucing bisa mengobati
penyakit susah kencing, batu ginjal, kencing manis, sakit pinggang,” ungkap
wanita kelahiran Nusapati ini.
Yani melanjutkan, PKK Pontianak Kota sudah banyak melakukan
inventarisasi. Salah satunya juga tanaman untuk membuat liangtea. Semua orang
Kalbar tahu minuman liangtea, minuman yang tak hanya menyegarkan melainkan juga
bisa menurunkan panas dalam.
“Kita akan kembangkan tanaman untuk membuat liangtea. Kebetulan sudah
banyak warga Kecamatan Pontianak Kota menanam itu. Bahkan, kita menjadikan
liangtea sebagai ikon baru Kecamatan Pontianak Kota,” tekad alumni MAN 1
Pontianak ini.
Tanaman obat keluarga (Toga) sedang gencar disosialisasikan PKK
Kecamatan Pontianak Kota. Mereka berharap, masyarakat semakin menyadari bahwa
pekarangan rumah merupakan apotek hidup. Kesadaran masyarakat akan obat dari
tanaman juga makin tinggi, walau Pontianak agak mudah untuk mendapatkan obat.
“Untuk menuju juara nasional, sekarang kita mempersiapkan diri sebaik
mungkin. Kita melakukan inventarisasi tanaman obat dan gencar melakukan
sosialisasi pemanfaatan Toga. Mudah-mudahan harapan kita untuk menjadi juara
bisa terwujud,” harap Yani lagi.
Prestasi PKK Pontianak Kota tidak hanya tembus di tingkat nasional,
sebelumnya mereka berhasil menjuarai beberapa lomba di tingkat Provinsi Kalbar.
Diantaranya juara I Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Kemudian, juara I Posko PKK KB Kesehatan.
Pada Hari Keluarga Nasional lalu, PKK Pontianak Kota berhasil meraih
juara I Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera, Juara 1 KB Lestari 20 tahun ke atas, Juara 1 Sup
PPKBD. “Tak kurang ada enam juara berhasil kita rebut dalam Harganas itu. Semua
prestasi itu berkat dukungan Walikota, ibu Walikota, Camat Pontianak Kota,
rekan-rekan di PKK, dan seluruh pihak yang tak bisa saya sebut satu-persatu,” ujar
Yani. (+)
Langganan:
Postingan (Atom)