Besar Kemungkinan Kepala Daerah Korupsi
Oleh Rosadi Jamani
Apakah ada orang jujur di dunia ini? Jawabannya, ada. Tapi, sangat sedikit. Yang sedikit itu bukan pejabat, melainkan orang kecil, rakyat biasa atau orang awam. Itupun sangat sulit mendapatkannya.
Ungkapan itu saya dapatkan dari hasil obrolan dengan rekan-rekan pengusaha dan pemerhati korupsi di Hotel Kartika, 5 Mei 2009. Obrolan banyak menyorot kinerja kepala daerah. Kepala daerah lebih banyak meniupkan angin surga, sementara fakta di lapangan, masyarakat banyak miskin. Yang kaya raya tetaplah kepala daerah beserta kroninya.
Satu yang menarik perhatian saya dari obrolan itu, salah satu rekan itu kebetulan mantan calon bupati. Dia membeberkan soal hitung-hitungan gaji seorang kepala daerah. Gaji kepala daerah satu bulan berkisar Rp 15 juta. Itu sudah paling besar. Kalau setahun berarti gajinya mencapai Rp 180 juta. Kemudian, kalau dikalikan lima tahun, dia mendapatkan Rp 900 juta. Itu hitungan kasar. Jadi, tidak sampai Rp 1 miliar, kurang Rp 100 juta baru sampai satu miliar.
Kemudian, seorang kepala daerah pastilah banyak dapat tunjangan. Ada tunjangan rumah tangga, kesehatan, perjalanan dinas dan sebagainya. Dalam satu tahun biasanya Rp 1 miliar. Jika dikalikan lima tahun berarti tunjangan itu mencapai Rp 5 miliar. Apabila ditambahkan dengan gaji tadi, dalam lima tahun seorang kepala daerah hanya mendapatkan penghasilan Rp 5,9 miliar. Agar tidak payah menghitungnya, bulatkan saja jadi Rp 6 miliar. Itulah perhitungan kasar penghasilan seorang kepala daerah di daerah ini.
Teman itu bertanya, apakah ada orang dengan Rp 6 miliar bisa menjadi kepala daerah? Pertanyaan itu membuat hidup suasana obrolan. Ada menjawab, tidak mungkin. Sebab, ada kepala daerah sampai menghabiskan dana Rp 25 miliar. Kalau memang benar dana sebesar itu dihabiskan untuk bisa menjadi kepala daerah, berarti tekor dong! “Ya, tekor. Gaji plus tunjangan hanya Rp 6 miliar dalam tempo lima tahun. Sementara modal yang dikeluarkan Rp 25 miliar, berarti tak balik modal. Kalau tak balik modal, lantas apa yang mau diharapkan lagi. Cuma, anehnya seorang kepala daerah tetap saja melimpah harta,” jelas teman itu.
Jika memang ada kepala daerah menghabiskan dana di atas Rp 6 miliar, itu yang perlu dicurigai. Dia pasti akan berpikir keras, bagaimana agar dana sebesar itu balik modal. Bagaimana agar bisa balik modal? Salah satu caranya adalah melakukan korupsi. Tentunya, korupsi yang dilakukan tidak sembarangan, harus dengan akal bulus, licik dan licin serta tidak tersentuh oleh hukum.
“Kalian sering mendengar omongan orang birokrat, kita harus pandai meng-akal-kan APBD. Bagaimana caranya APBD bisa masuk ke kantong pribadi dengan dibungkus aturan. Seolah-olah tidak melanggar aturan, tapi substansialnya melanggar,” jelas teman yang satunya lagi.
Lalu, teman yang satunya menimpali, dalam sebuah proyek besar di atas Rp 2 miliar, apakah mungkin kepala daerah tidak mendapatkan jatah? Apakah mungkin kepala dinas atau pimpinan proyek tidak mendapat jatah dari Rp 2 miliar itu. “Dalam proyek besar, kepala daerah pasti dapat jatah. Cuma, mereka sangat ahli dan jago membungkusnya. Sampai saat ini, untuk ukuran Kalbar tidak ada institusi yang mampu membongkar persoalan itu. Kalaupun ada yang terbongkar, paling kena bendahara proyek, pimpinan proyek, dan kontraktor. Sementara para pejabat tinggi pasti tak tersentuh hukum,” papar teman.
Tapi, ada orang bermodalkan di bawah Rp 6 miliar, berarti kepala daerah itu tidak tekor. Ada keuntungan yang halal dinikmatinya. Sebaliknya, jika ada kepala daerah bermodalkan lebih dari Rp 6 miliar, tapi harta benda bukannya berkurang malah berlipat ganda, itu patut dicurigai korupsi. Cuma, yang menjadi persoalan lagi, untuk membuktikan seorang kepala daerah korupsi, atau menyeretnya ke meja hijau, bukan pekerjaan gampang. Butuh bukti dan saksi kuat, serta didukung aparat penegak hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Tapi, kalau penegak hukumnya sering kongkow-kongkow dengan kepala daerah, tidak banyak yang bisa diharapkan. Bisa-bisa setiap kasus korupsi yang menyeret kepala daerah hanya menjadi angin lalu atau sekadar isu.
“Untuk menumpuk kekayaan, seorang kepala daerah tidak mungkin mengandalkan gaji atau tunjangan, tok. Untuk mendapatkan kekayaan melimpah, biasa didapatkan dari fee (jatah, red) proyek besar, tanda tangan izin usaha dan mark up pembelian barang dan pembebasan tanah. Coba perhatikan kepala daerah yang dipenjara, paling berkisar dari hal tersebut. Namun, untuk menyeret sang kepala daerah ke meja hijau, sangat-sangat sulit. Butuh ekstra perjuangan, karena harus menghadapi preman, intimidasi, teror. Itu sebabnya, penggiat pemberatasan korupsi berpikir dua kali jika melaporkan kepala daerah korupsi ke kejaksaan,” urai teman saya itu.
Apakah semua kepala daerah melakukan korupsi? Semua teman-teman itu menjawab, tidak semua. Tapi, sebagian besar menjawab, iya. “Ngomong-ngomong, kepala daerah yang tidak korupsi itu, apakah ada?” tanya saya. “Ada,” jawab teman saya itu lantas menceritakan seorang kepala daerah yang hidup sederhana. “Akhir Mei lalu itu, saya pergi ke Ketapang dan bertemu dengan salah seorang bupati di Kalbar. Bupati itu sendirian tanpa ditemani seorang ajudan,” ceritanya.
“Terjadilah dialog antara saya dengan bupati itu. Salah satu yang bicarakan mengenai pandangan orang kepada kepala daerah yang dipersepsikan selalu banyak uang, rumah bagus dan sedan mewah. Mendengar ungkapan saya itu, bupati itu tertawa dan meluruskan ungkapan itu,” katanya. Lalu, teman saya itu melanjutkan dengan mengutip ucapan bupati itu. Bupati itu bilang, selama ini apa yang dimakan hanyalah mengandalkan gaji dan tunjangan yang memang diperbolehkan negara. Itu saja, tidak lebih. Soal proyek, dia tidak atur dan semuanya dikembalikan berdasarkan aturan. Orang bilang bupati banyak duit, memang benar pada saat gajian. Tapi, tidak beberapa lama setelah itu, gaji habis untuk memberikan sumbangan kepada orang yang datang silih berganti. “Orang mungkin tidak percaya kalau saya sering tak berduit. Karena, persepsi seorang bupati banyak duit memang sudah lama terbentuk. Bukti saya tidak punya uang, mobil pribadi saya saja sudah ditarik agen. Kenapa, karena saya tidak mampu membayar cicilannya,” ungkap bupati ditirukan teman saya itu.
“Satu hal menarik dari ungkapan bupati itu, makanlah uang yang halal. Kalau makan uang tak halal, tidur tidak akan nyenyak, karena dibayangi pemeriksaan kejaksaan atau KPK. Saya salut dengan bupati itu, mudah-mudahan apa yang diucapkannya memang benar,” papar teman itu.
Tipe kepala daerah seperti itu mungkin langka. Hal ini seiring semakin langkanya mencari orang jujur di dunia ini. Kepala daerah tidak terlibat kasus korupsi mungkin sangat langka saat ini. Sampai saat ini kita belum pernah mendengar atau melihat ada kepala daerah bersumpah tidak korupsi. Kita juga belum pernah mendengar ada kepala daerah mentasbihkan diri sebagai orang jujur. Saya mohon maaf jika tulisan itu ada yang membuat tersinggung kepala daerah. Maklum saja sekarang, orang mengkritik lewat email saja bisa dipenjarakan. Yang jelas tujuan saya baik, mengharapkan kepala daerah yang benar-benar antikorupsi secara riil. Bukan kepala daerah yang ngaku di depan umum antikorupsi, sementara di belakangnya justru menganjurkan orang korupsi. Satu kunci agar tidak korupsi, jujurlah pada diri sendiri dan Tuhan. (silakan tanggapi lewat email: gue_ros2222@yahoo.com atau ke http://renunganpelangi.blogspot.com)
Sabtu, 06 Juni 2009
Besar Kemungkinan Kepala Daerah Korupsi
Oleh Rosadi Jamani
Apakah ada orang jujur di dunia ini? Jawabannya, ada. Tapi, sangat sedikit. Yang sedikit itu bukan pejabat, melainkan orang kecil, rakyat biasa atau orang awam. Itupun sangat sulit mendapatkannya.
Ungkapan itu saya dapatkan dari hasil obrolan dengan rekan-rekan pengusaha dan pemerhati korupsi di Hotel Kartika, 5 Mei 2009. Obrolan banyak menyorot kinerja kepala daerah. Kepala daerah lebih banyak meniupkan angin surga, sementara fakta di lapangan, masyarakat banyak miskin. Yang kaya raya tetaplah kepala daerah beserta kroninya.
Satu yang menarik perhatian saya dari obrolan itu, salah satu rekan itu kebetulan mantan calon bupati. Dia membeberkan soal hitung-hitungan gaji seorang kepala daerah. Gaji kepala daerah satu bulan berkisar Rp 15 juta. Itu sudah paling besar. Kalau setahun berarti gajinya mencapai Rp 180 juta. Kemudian, kalau dikalikan lima tahun, dia mendapatkan Rp 900 juta. Itu hitungan kasar. Jadi, tidak sampai Rp 1 miliar, kurang Rp 100 juta baru sampai satu miliar.
Kemudian, seorang kepala daerah pastilah banyak dapat tunjangan. Ada tunjangan rumah tangga, kesehatan, perjalanan dinas dan sebagainya. Dalam satu tahun biasanya Rp 1 miliar. Jika dikalikan lima tahun berarti tunjangan itu mencapai Rp 5 miliar. Apabila ditambahkan dengan gaji tadi, dalam lima tahun seorang kepala daerah hanya mendapatkan penghasilan Rp 5,9 miliar. Agar tidak payah menghitungnya, bulatkan saja jadi Rp 6 miliar. Itulah perhitungan kasar penghasilan seorang kepala daerah di daerah ini.
Teman itu bertanya, apakah ada orang dengan Rp 6 miliar bisa menjadi kepala daerah? Pertanyaan itu membuat hidup suasana obrolan. Ada menjawab, tidak mungkin. Sebab, ada kepala daerah sampai menghabiskan dana Rp 25 miliar. Kalau memang benar dana sebesar itu dihabiskan untuk bisa menjadi kepala daerah, berarti tekor dong! “Ya, tekor. Gaji plus tunjangan hanya Rp 6 miliar dalam tempo lima tahun. Sementara modal yang dikeluarkan Rp 25 miliar, berarti tak balik modal. Kalau tak balik modal, lantas apa yang mau diharapkan lagi. Cuma, anehnya seorang kepala daerah tetap saja melimpah harta,” jelas teman itu.
Jika memang ada kepala daerah menghabiskan dana di atas Rp 6 miliar, itu yang perlu dicurigai. Dia pasti akan berpikir keras, bagaimana agar dana sebesar itu balik modal. Bagaimana agar bisa balik modal? Salah satu caranya adalah melakukan korupsi. Tentunya, korupsi yang dilakukan tidak sembarangan, harus dengan akal bulus, licik dan licin serta tidak tersentuh oleh hukum.
“Kalian sering mendengar omongan orang birokrat, kita harus pandai meng-akal-kan APBD. Bagaimana caranya APBD bisa masuk ke kantong pribadi dengan dibungkus aturan. Seolah-olah tidak melanggar aturan, tapi substansialnya melanggar,” jelas teman yang satunya lagi.
Lalu, teman yang satunya menimpali, dalam sebuah proyek besar di atas Rp 2 miliar, apakah mungkin kepala daerah tidak mendapatkan jatah? Apakah mungkin kepala dinas atau pimpinan proyek tidak mendapat jatah dari Rp 2 miliar itu. “Dalam proyek besar, kepala daerah pasti dapat jatah. Cuma, mereka sangat ahli dan jago membungkusnya. Sampai saat ini, untuk ukuran Kalbar tidak ada institusi yang mampu membongkar persoalan itu. Kalaupun ada yang terbongkar, paling kena bendahara proyek, pimpinan proyek, dan kontraktor. Sementara para pejabat tinggi pasti tak tersentuh hukum,” papar teman.
Tapi, ada orang bermodalkan di bawah Rp 6 miliar, berarti kepala daerah itu tidak tekor. Ada keuntungan yang halal dinikmatinya. Sebaliknya, jika ada kepala daerah bermodalkan lebih dari Rp 6 miliar, tapi harta benda bukannya berkurang malah berlipat ganda, itu patut dicurigai korupsi. Cuma, yang menjadi persoalan lagi, untuk membuktikan seorang kepala daerah korupsi, atau menyeretnya ke meja hijau, bukan pekerjaan gampang. Butuh bukti dan saksi kuat, serta didukung aparat penegak hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Tapi, kalau penegak hukumnya sering kongkow-kongkow dengan kepala daerah, tidak banyak yang bisa diharapkan. Bisa-bisa setiap kasus korupsi yang menyeret kepala daerah hanya menjadi angin lalu atau sekadar isu.
“Untuk menumpuk kekayaan, seorang kepala daerah tidak mungkin mengandalkan gaji atau tunjangan, tok. Untuk mendapatkan kekayaan melimpah, biasa didapatkan dari fee (jatah, red) proyek besar, tanda tangan izin usaha dan mark up pembelian barang dan pembebasan tanah. Coba perhatikan kepala daerah yang dipenjara, paling berkisar dari hal tersebut. Namun, untuk menyeret sang kepala daerah ke meja hijau, sangat-sangat sulit. Butuh ekstra perjuangan, karena harus menghadapi preman, intimidasi, teror. Itu sebabnya, penggiat pemberatasan korupsi berpikir dua kali jika melaporkan kepala daerah korupsi ke kejaksaan,” urai teman saya itu.
Apakah semua kepala daerah melakukan korupsi? Semua teman-teman itu menjawab, tidak semua. Tapi, sebagian besar menjawab, iya. “Ngomong-ngomong, kepala daerah yang tidak korupsi itu, apakah ada?” tanya saya. “Ada,” jawab teman saya itu lantas menceritakan seorang kepala daerah yang hidup sederhana. “Akhir Mei lalu itu, saya pergi ke Ketapang dan bertemu dengan salah seorang bupati di Kalbar. Bupati itu sendirian tanpa ditemani seorang ajudan,” ceritanya.
“Terjadilah dialog antara saya dengan bupati itu. Salah satu yang bicarakan mengenai pandangan orang kepada kepala daerah yang dipersepsikan selalu banyak uang, rumah bagus dan sedan mewah. Mendengar ungkapan saya itu, bupati itu tertawa dan meluruskan ungkapan itu,” katanya. Lalu, teman saya itu melanjutkan dengan mengutip ucapan bupati itu. Bupati itu bilang, selama ini apa yang dimakan hanyalah mengandalkan gaji dan tunjangan yang memang diperbolehkan negara. Itu saja, tidak lebih. Soal proyek, dia tidak atur dan semuanya dikembalikan berdasarkan aturan. Orang bilang bupati banyak duit, memang benar pada saat gajian. Tapi, tidak beberapa lama setelah itu, gaji habis untuk memberikan sumbangan kepada orang yang datang silih berganti. “Orang mungkin tidak percaya kalau saya sering tak berduit. Karena, persepsi seorang bupati banyak duit memang sudah lama terbentuk. Bukti saya tidak punya uang, mobil pribadi saya saja sudah ditarik agen. Kenapa, karena saya tidak mampu membayar cicilannya,” ungkap bupati ditirukan teman saya itu.
“Satu hal menarik dari ungkapan bupati itu, makanlah uang yang halal. Kalau makan uang tak halal, tidur tidak akan nyenyak, karena dibayangi pemeriksaan kejaksaan atau KPK. Saya salut dengan bupati itu, mudah-mudahan apa yang diucapkannya memang benar,” papar teman itu.
Tipe kepala daerah seperti itu mungkin langka. Hal ini seiring semakin langkanya mencari orang jujur di dunia ini. Kepala daerah tidak terlibat kasus korupsi mungkin sangat langka saat ini.
Sampai saat ini kita belum pernah mendengar atau melihat ada kepala daerah bersumpah tidak korupsi. Kita juga belum pernah mendengar ada kepala daerah mentasbihkan diri sebagai orang jujur. Saya mohon maaf jika tulisan itu ada yang membuat tersinggung kepala daerah. Maklum saja sekarang, orang mengkritik lewat email saja bisa dipenjarakan. Yang jelas tujuan saya baik, mengharapkan kepala daerah yang benar-benar antikorupsi secara riil. Bukan kepala daerah yang ngaku di depan umum antikorupsi, sementara di belakangnya justru menganjurkan orang korupsi. Satu kunci agar tidak korupsi, jujurlah pada diri sendiri dan Tuhan.*
Apakah ada orang jujur di dunia ini? Jawabannya, ada. Tapi, sangat sedikit. Yang sedikit itu bukan pejabat, melainkan orang kecil, rakyat biasa atau orang awam. Itupun sangat sulit mendapatkannya.
Ungkapan itu saya dapatkan dari hasil obrolan dengan rekan-rekan pengusaha dan pemerhati korupsi di Hotel Kartika, 5 Mei 2009. Obrolan banyak menyorot kinerja kepala daerah. Kepala daerah lebih banyak meniupkan angin surga, sementara fakta di lapangan, masyarakat banyak miskin. Yang kaya raya tetaplah kepala daerah beserta kroninya.
Satu yang menarik perhatian saya dari obrolan itu, salah satu rekan itu kebetulan mantan calon bupati. Dia membeberkan soal hitung-hitungan gaji seorang kepala daerah. Gaji kepala daerah satu bulan berkisar Rp 15 juta. Itu sudah paling besar. Kalau setahun berarti gajinya mencapai Rp 180 juta. Kemudian, kalau dikalikan lima tahun, dia mendapatkan Rp 900 juta. Itu hitungan kasar. Jadi, tidak sampai Rp 1 miliar, kurang Rp 100 juta baru sampai satu miliar.
Kemudian, seorang kepala daerah pastilah banyak dapat tunjangan. Ada tunjangan rumah tangga, kesehatan, perjalanan dinas dan sebagainya. Dalam satu tahun biasanya Rp 1 miliar. Jika dikalikan lima tahun berarti tunjangan itu mencapai Rp 5 miliar. Apabila ditambahkan dengan gaji tadi, dalam lima tahun seorang kepala daerah hanya mendapatkan penghasilan Rp 5,9 miliar. Agar tidak payah menghitungnya, bulatkan saja jadi Rp 6 miliar. Itulah perhitungan kasar penghasilan seorang kepala daerah di daerah ini.
Teman itu bertanya, apakah ada orang dengan Rp 6 miliar bisa menjadi kepala daerah? Pertanyaan itu membuat hidup suasana obrolan. Ada menjawab, tidak mungkin. Sebab, ada kepala daerah sampai menghabiskan dana Rp 25 miliar. Kalau memang benar dana sebesar itu dihabiskan untuk bisa menjadi kepala daerah, berarti tekor dong! “Ya, tekor. Gaji plus tunjangan hanya Rp 6 miliar dalam tempo lima tahun. Sementara modal yang dikeluarkan Rp 25 miliar, berarti tak balik modal. Kalau tak balik modal, lantas apa yang mau diharapkan lagi. Cuma, anehnya seorang kepala daerah tetap saja melimpah harta,” jelas teman itu.
Jika memang ada kepala daerah menghabiskan dana di atas Rp 6 miliar, itu yang perlu dicurigai. Dia pasti akan berpikir keras, bagaimana agar dana sebesar itu balik modal. Bagaimana agar bisa balik modal? Salah satu caranya adalah melakukan korupsi. Tentunya, korupsi yang dilakukan tidak sembarangan, harus dengan akal bulus, licik dan licin serta tidak tersentuh oleh hukum.
“Kalian sering mendengar omongan orang birokrat, kita harus pandai meng-akal-kan APBD. Bagaimana caranya APBD bisa masuk ke kantong pribadi dengan dibungkus aturan. Seolah-olah tidak melanggar aturan, tapi substansialnya melanggar,” jelas teman yang satunya lagi.
Lalu, teman yang satunya menimpali, dalam sebuah proyek besar di atas Rp 2 miliar, apakah mungkin kepala daerah tidak mendapatkan jatah? Apakah mungkin kepala dinas atau pimpinan proyek tidak mendapat jatah dari Rp 2 miliar itu. “Dalam proyek besar, kepala daerah pasti dapat jatah. Cuma, mereka sangat ahli dan jago membungkusnya. Sampai saat ini, untuk ukuran Kalbar tidak ada institusi yang mampu membongkar persoalan itu. Kalaupun ada yang terbongkar, paling kena bendahara proyek, pimpinan proyek, dan kontraktor. Sementara para pejabat tinggi pasti tak tersentuh hukum,” papar teman.
Tapi, ada orang bermodalkan di bawah Rp 6 miliar, berarti kepala daerah itu tidak tekor. Ada keuntungan yang halal dinikmatinya. Sebaliknya, jika ada kepala daerah bermodalkan lebih dari Rp 6 miliar, tapi harta benda bukannya berkurang malah berlipat ganda, itu patut dicurigai korupsi. Cuma, yang menjadi persoalan lagi, untuk membuktikan seorang kepala daerah korupsi, atau menyeretnya ke meja hijau, bukan pekerjaan gampang. Butuh bukti dan saksi kuat, serta didukung aparat penegak hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Tapi, kalau penegak hukumnya sering kongkow-kongkow dengan kepala daerah, tidak banyak yang bisa diharapkan. Bisa-bisa setiap kasus korupsi yang menyeret kepala daerah hanya menjadi angin lalu atau sekadar isu.
“Untuk menumpuk kekayaan, seorang kepala daerah tidak mungkin mengandalkan gaji atau tunjangan, tok. Untuk mendapatkan kekayaan melimpah, biasa didapatkan dari fee (jatah, red) proyek besar, tanda tangan izin usaha dan mark up pembelian barang dan pembebasan tanah. Coba perhatikan kepala daerah yang dipenjara, paling berkisar dari hal tersebut. Namun, untuk menyeret sang kepala daerah ke meja hijau, sangat-sangat sulit. Butuh ekstra perjuangan, karena harus menghadapi preman, intimidasi, teror. Itu sebabnya, penggiat pemberatasan korupsi berpikir dua kali jika melaporkan kepala daerah korupsi ke kejaksaan,” urai teman saya itu.
Apakah semua kepala daerah melakukan korupsi? Semua teman-teman itu menjawab, tidak semua. Tapi, sebagian besar menjawab, iya. “Ngomong-ngomong, kepala daerah yang tidak korupsi itu, apakah ada?” tanya saya. “Ada,” jawab teman saya itu lantas menceritakan seorang kepala daerah yang hidup sederhana. “Akhir Mei lalu itu, saya pergi ke Ketapang dan bertemu dengan salah seorang bupati di Kalbar. Bupati itu sendirian tanpa ditemani seorang ajudan,” ceritanya.
“Terjadilah dialog antara saya dengan bupati itu. Salah satu yang bicarakan mengenai pandangan orang kepada kepala daerah yang dipersepsikan selalu banyak uang, rumah bagus dan sedan mewah. Mendengar ungkapan saya itu, bupati itu tertawa dan meluruskan ungkapan itu,” katanya. Lalu, teman saya itu melanjutkan dengan mengutip ucapan bupati itu. Bupati itu bilang, selama ini apa yang dimakan hanyalah mengandalkan gaji dan tunjangan yang memang diperbolehkan negara. Itu saja, tidak lebih. Soal proyek, dia tidak atur dan semuanya dikembalikan berdasarkan aturan. Orang bilang bupati banyak duit, memang benar pada saat gajian. Tapi, tidak beberapa lama setelah itu, gaji habis untuk memberikan sumbangan kepada orang yang datang silih berganti. “Orang mungkin tidak percaya kalau saya sering tak berduit. Karena, persepsi seorang bupati banyak duit memang sudah lama terbentuk. Bukti saya tidak punya uang, mobil pribadi saya saja sudah ditarik agen. Kenapa, karena saya tidak mampu membayar cicilannya,” ungkap bupati ditirukan teman saya itu.
“Satu hal menarik dari ungkapan bupati itu, makanlah uang yang halal. Kalau makan uang tak halal, tidur tidak akan nyenyak, karena dibayangi pemeriksaan kejaksaan atau KPK. Saya salut dengan bupati itu, mudah-mudahan apa yang diucapkannya memang benar,” papar teman itu.
Tipe kepala daerah seperti itu mungkin langka. Hal ini seiring semakin langkanya mencari orang jujur di dunia ini. Kepala daerah tidak terlibat kasus korupsi mungkin sangat langka saat ini.
Sampai saat ini kita belum pernah mendengar atau melihat ada kepala daerah bersumpah tidak korupsi. Kita juga belum pernah mendengar ada kepala daerah mentasbihkan diri sebagai orang jujur. Saya mohon maaf jika tulisan itu ada yang membuat tersinggung kepala daerah. Maklum saja sekarang, orang mengkritik lewat email saja bisa dipenjarakan. Yang jelas tujuan saya baik, mengharapkan kepala daerah yang benar-benar antikorupsi secara riil. Bukan kepala daerah yang ngaku di depan umum antikorupsi, sementara di belakangnya justru menganjurkan orang korupsi. Satu kunci agar tidak korupsi, jujurlah pada diri sendiri dan Tuhan.*
Minggu, 31 Mei 2009
Melihat Dunia Melayu di Ketapang
Oleh Rosadi Jamani
Kota Ketapang telah menjadi saksi sejarah besar bagi Dunia Melayu. Di kota yang pernah berkuasa Kerajaan Tanjungpura itu menjadi tempat Deklarasi Lembaga Adat Melayu Serantau (LAMS) dan peresmian Rumah Melayu Ketapang. Satu hal menarik dari itu, hadirnya utusan dari Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.
Kali ini saya sedikit bercerita mengenai perjalanan ke Ketapang dari 28-31 Mei 2009. Bagi saya, Ketapang memang tidak asing karena bagian dari kabupaten di Kalbar. Bahkan, saya sedikit nostalgia ketika menyebut Ketapang. Tahun 2002 lalu saya pernah ke Ketapang naik pesawat. Waktu itulah, untuk pertama kalinya saya naik pesawat terbang bersama mantan Sekretaris PSSI Kalbar, Heri Aladin dan mantan Wakil Ketua PSSI, John RB Pangkey.
Ketika itu, saya masih menjadi wartawan olahraga. Diajak naik pesawat betapa senangnya. Saya tidak bisa melupakan peristiwa naik pesawat pertama kali itu, indah dan sulit dilupakan, dan bila dikenang menimbulkan senyum. Pada waktu itu juga, saya untuk pertama kali menginjakkan kaki di Bumi Ale-ale.
Pada Kamis, 28 Maret 2009 itu, untuk kedua kalinya saya menginjakkan tanah Ketapang. Kali ini tidak pakai pesawat, melainkan menggunakan kapal laut cepat (express). Untuk pertama kalinya juga saya naik express yang menyusuri laut dari muara Sungai Kapuas ke Dermaga Ketapang. Kalau dibandingkan naik pesawat dan express, jelas lebih enak naik pesawat. Yang membuat tidak enak naik express, memakan waktu lama. Kapal berangkat pukul 08.20 baru tiba di Ketapang pukul 14.55.
Satu hal lagi, penuh dengan penumpang (ever load). Melihat banyaknya penumpang, saya sempat was-was. Jangan-jangan kapal berkapasitas seratus penumpang lebih itu, karam. Saking was-wasnya saya sempat SMS Kapolda Kalbar bahwa kapal express over load penumpang, jika dipaksakan bisa karam. Begitu SMS terkirim, kapal tetap berangkat dengan penumpang yang berlebihan. Saya hanya bisa pasrah dan berdoa, mudah-mudahan selama perjalanan lancar. Alhamdulillah, doa saya terkabul, dalam perjalanan laut itu cuaca cerah dan tidak ada gelombang besar. Saya khawatir mabuk laut, ternyata tidak.
Tujuan saya ke Ketapang untuk menghadiri Deklarasi LAMS wilayah Laut Cina Selatan dan peresmian Rumah Melayu Ketapang. Hampir seluruh tokoh Melayu di Kalbar menghadiri acara tersebut. Di Ketapang inilah saya bisa melihat para tokoh Melayu Kalbar. Yang tidak bisa dilupakan, saya bisa bertemu dengan tokoh Melayu dunia dari Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam, serta Sumatra Utara, Riau, Kepulauan Riau dan Bangka Belitung.
Begitu tiba di Ketapang, saya dan kawan-kawan istirahat sebentar. Malam harinya, saya beserta seluruh utusan Melayu dijami Bupati Ketapang, H Morkes Effendi. Usai menikmati hidangan khas Ketapang, saya dan seluruh rombongan diminta menghadiri acara pemberian inai perkawinan anak Morkes Effendi di Rumah Melayu.
Begitu tiba di Rumah Melayu, saya kaget melihat rumah yang sangat megah. Saya hampir tidak percaya, di pinggiran Kota Ketapang berdiri rumah megah dengan arsitek khas Melayu. Kalau melihat Rumah Melayu di Pontianak, bisa dua kali lipat megahnya. Bahkan, menurut keterangan Ketua Gapena Malaysia, Prof Dr Tan Sri Ismail Hussein, Rumah Melayu Ketapang bisa dibilang termegah di dunia.
Saya taksir, rumah tersebut dibangun dengan biaya di atas Rp 5 miliar lebih. Ada kawan menaksir di atas Rp 20 miliar. Saya taksir segitu dengan asumsi tanah tempat berdirinya rumah tersebut adalah lahan tidur yang tidak begitu strategis. Kayu yang digunakan hampir seluruhnya didominasi kayu belian, dan di Ketapang kayu tersebut terbilang masih murah. Megah, besar, luas dan indah, itulah yang ada dalam benak saya. Saya dan kawan-kawan sempat berpikir, bagaimana nanti pemeliharaan rumah sebesar itu. Paling tidak butuh pembantu di atas 10 orang.
Paling tidak Ketapang telah berhasil menyambung mata rantai perjalanan sejarah Melayu. Dengan berdirinya rumah melayu tersebut akan menjadi simbol keberadaan Melayu di Kalbar dan dunia. Siapapun orangnya akan menyebut itu bahwa rumah itu adalah Rumah Melayu. Namun, ada sedikit sindiran dari pimpinan Melayu Online, Mahyudin Al Hudra, apalah artinya sebuah simbol kalau tidak ada ruhnya. Maksudnya, Rumah Melayu yang sangat megah itu apalah artinya kalau tidak ada aktivitas yang mengisinya.
Zaman telah berubah. Untuk menunjukkan eksistensi Melayu tidak mesti harus megah-megahan memperlihatkan simbol, melainkan harus menunjukkan kreavitas bagi pembangunan peradaban ke arah lebih baik. Saya masih ingat kata-kata Mahyudin itu.
Bahkan, Mahyudin sempat bertanya, apakah Rumah Melayu Ketapang yang sangat megah itu untuk tiga tahun ke depan, halamannya tidak ditumbuhi ilalang. Dia khawatir, membangunnya memang gampang, tapi pemeliharaan justru tidak mampu. Salah satu persoalan utama di Indonesia, pandai bangun, tapi tidak pandai memelihara. Berapa banyak rumah adat yang tidak terurus, terbengkalai, tembawang, dan justru menjadi rumah hantu (sepi). Bahkan, ada istana yang halamannya penuh rumput liar, lantai luarnya penuh dengan tahi ayam dan kambing.
Kalau Melayu terus mengedepankan simbol demi sebuah eksistensi, dikhawatirkan yang peduli terhadap kemelayuaan hanya kaum tua. Sementara yang muda-muda, justru tidak peduli. Masalahnya, ketika orang ngomong Melayu, dalam bayangkan anak muda ada tarian zapin, lomba pantun, syair, radat, gurindam 12, dan sebagainya. Semua itu berbau zaman doeloe. Yang namanya zaman doeloe, paling tidak disukai kaum muda Melayu. Lihat saja jika ada lomba tarian zapin, siapa saja yang nonton, paling orang-orang tua. Untuk itu, tokoh Melayu perlu melakukan melakukan perubahan dalam aktualisasi budaya Melayu mengikuti selera anak muda.
Mahyudin pernah melakukan eksperimen mengkolaborasikan zapin dengan hip hop. Respons anak muda Melayu sangat tinggi. Paling tidak, itu sebuah upaya untuk mendekatkan seni zaman doeloe dengan selera anak muda sekarang. Saya rasa, para tokoh Melayu di Kalbar harus berpikir, bagaimana anak-anak muda ikut peduli terhadap budayanya sendiri. Sebab, merekalah penerus generasi Melayu. Kalau anak muda sekarang justru tidak peduli dengan budayanya sendiri, dikhawatirkan apa yang diungkapkan Hang Tuah, takkan Melayu ditelan zaman, tidak ada wujudnya.
Di tengah pertemuan itu, saya banyak mendapatkan sesuatu yang baru dalam arus pemikiran. Untuk mempertahankan sebuah peradaban adalah dengan memperlihatkan kreavitas. Bukan kreavitas individual, melainkan aktivitas organisasi. Tanpa kreavitas, peradaban manapun suatu saat akan hilang. Peradaban itu akan ditelan zaman oleh peradaban baru yang lebih baik dan penuh kreavitas. Bagaimana cara membangun peradaban agar tetap eksis, hanya tiga cara, yakni memajukan dunia pendidikan, ekonomi, dan moral. Melayu atau etnis manapun di muka bumi itu akan hilang atau dimarjinalkan apabila berpendidikan rendah. Untuk maju harus berpendidikan tinggi.
Lalu, harus maju dalam bidang ekonomi (kaya). Penguasaan di bidang permodalan dan mengolah modal itu agar tetap bergulir dengan harapan bisa memberikan modal bagi dunia usaha. Contoh kongkret, di Kepulauan Riau mulai menerapkan program “Sejuta Melayu”.
Tokoh-tokoh Melayu yang dinilai kaya memberikan sumbangan Rp 1 juta ke lembaga adat Melayu. Lembaga tersebut lalu menggunakannya untuk bisnis atau dunia usaha. Jika orang Melayu memiliki banyak usaha, dan pada akhirnya bisa menciptakan lapangan kerja dan pendapatan yang berujung pada kesejahteraan. Jika orang Melayu sejahtera, apapun bisa dilakukan demi eksistensi Melayu itu sendiri. Kalau orang Melayu nya masih miskin, sering jadi kuli, apa yang bisa dilakukan dengan keadaan seperti itu. Tidak ada salahnya, orang Melayu di Kalbar meniru program tersebut.
Terakhir adalah moral. Melayu memang identik dengan Islam. Banyak orang Melayu yang justru tidak melaksanakan syariat Islam. Tidak heran, apabila banyak orang Melayu justru tidak mengenal budayanya sendiri dan lebih senang meniru sisi negatif budaya Barat. Itulah point penting yang bisa saya tangkap dari menghadiri pertemuan Dunia Melayu tingkat internasional di Ketapang.
Saya tidak bisa melupakan pertemuan itu. Di situlah saya bisa bertukar pikiran dengan tokoh Melayu dari Malaysia, Singapura, Brunei. Harus diakui, tiga negara itu, peradabannya jauh lebih maju dari Indonesia. Kenapa mereka maju, karena tiga hal tersebut. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, jika Kalbar ingin maju, harus memajukan sektor pendidikan, menguasai sektor ekonomi dan meningkatkan moralitas. Maaf tulisan saya kali ini sedikit primordialisme, namun secara umum persoalan etnis di Kalbar hampir sama.
Saya berharap, seluruh etnis di Kalbar bisa melakukan redefinisi terhadap pelestarian seni dan budaya. Untuk menujukkan peradaban lebih maju, tidak lagi sekadar simbol, melainkan harus dibarengi dengan kualitas pendidikan, penguasaan ekonomi dan moralitas.
Kota Ketapang telah menjadi saksi sejarah besar bagi Dunia Melayu. Di kota yang pernah berkuasa Kerajaan Tanjungpura itu menjadi tempat Deklarasi Lembaga Adat Melayu Serantau (LAMS) dan peresmian Rumah Melayu Ketapang. Satu hal menarik dari itu, hadirnya utusan dari Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.
Kali ini saya sedikit bercerita mengenai perjalanan ke Ketapang dari 28-31 Mei 2009. Bagi saya, Ketapang memang tidak asing karena bagian dari kabupaten di Kalbar. Bahkan, saya sedikit nostalgia ketika menyebut Ketapang. Tahun 2002 lalu saya pernah ke Ketapang naik pesawat. Waktu itulah, untuk pertama kalinya saya naik pesawat terbang bersama mantan Sekretaris PSSI Kalbar, Heri Aladin dan mantan Wakil Ketua PSSI, John RB Pangkey.
Ketika itu, saya masih menjadi wartawan olahraga. Diajak naik pesawat betapa senangnya. Saya tidak bisa melupakan peristiwa naik pesawat pertama kali itu, indah dan sulit dilupakan, dan bila dikenang menimbulkan senyum. Pada waktu itu juga, saya untuk pertama kali menginjakkan kaki di Bumi Ale-ale.
Pada Kamis, 28 Maret 2009 itu, untuk kedua kalinya saya menginjakkan tanah Ketapang. Kali ini tidak pakai pesawat, melainkan menggunakan kapal laut cepat (express). Untuk pertama kalinya juga saya naik express yang menyusuri laut dari muara Sungai Kapuas ke Dermaga Ketapang. Kalau dibandingkan naik pesawat dan express, jelas lebih enak naik pesawat. Yang membuat tidak enak naik express, memakan waktu lama. Kapal berangkat pukul 08.20 baru tiba di Ketapang pukul 14.55.
Satu hal lagi, penuh dengan penumpang (ever load). Melihat banyaknya penumpang, saya sempat was-was. Jangan-jangan kapal berkapasitas seratus penumpang lebih itu, karam. Saking was-wasnya saya sempat SMS Kapolda Kalbar bahwa kapal express over load penumpang, jika dipaksakan bisa karam. Begitu SMS terkirim, kapal tetap berangkat dengan penumpang yang berlebihan. Saya hanya bisa pasrah dan berdoa, mudah-mudahan selama perjalanan lancar. Alhamdulillah, doa saya terkabul, dalam perjalanan laut itu cuaca cerah dan tidak ada gelombang besar. Saya khawatir mabuk laut, ternyata tidak.
Tujuan saya ke Ketapang untuk menghadiri Deklarasi LAMS wilayah Laut Cina Selatan dan peresmian Rumah Melayu Ketapang. Hampir seluruh tokoh Melayu di Kalbar menghadiri acara tersebut. Di Ketapang inilah saya bisa melihat para tokoh Melayu Kalbar. Yang tidak bisa dilupakan, saya bisa bertemu dengan tokoh Melayu dunia dari Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam, serta Sumatra Utara, Riau, Kepulauan Riau dan Bangka Belitung.
Begitu tiba di Ketapang, saya dan kawan-kawan istirahat sebentar. Malam harinya, saya beserta seluruh utusan Melayu dijami Bupati Ketapang, H Morkes Effendi. Usai menikmati hidangan khas Ketapang, saya dan seluruh rombongan diminta menghadiri acara pemberian inai perkawinan anak Morkes Effendi di Rumah Melayu.
Begitu tiba di Rumah Melayu, saya kaget melihat rumah yang sangat megah. Saya hampir tidak percaya, di pinggiran Kota Ketapang berdiri rumah megah dengan arsitek khas Melayu. Kalau melihat Rumah Melayu di Pontianak, bisa dua kali lipat megahnya. Bahkan, menurut keterangan Ketua Gapena Malaysia, Prof Dr Tan Sri Ismail Hussein, Rumah Melayu Ketapang bisa dibilang termegah di dunia.
Saya taksir, rumah tersebut dibangun dengan biaya di atas Rp 5 miliar lebih. Ada kawan menaksir di atas Rp 20 miliar. Saya taksir segitu dengan asumsi tanah tempat berdirinya rumah tersebut adalah lahan tidur yang tidak begitu strategis. Kayu yang digunakan hampir seluruhnya didominasi kayu belian, dan di Ketapang kayu tersebut terbilang masih murah. Megah, besar, luas dan indah, itulah yang ada dalam benak saya. Saya dan kawan-kawan sempat berpikir, bagaimana nanti pemeliharaan rumah sebesar itu. Paling tidak butuh pembantu di atas 10 orang.
Paling tidak Ketapang telah berhasil menyambung mata rantai perjalanan sejarah Melayu. Dengan berdirinya rumah melayu tersebut akan menjadi simbol keberadaan Melayu di Kalbar dan dunia. Siapapun orangnya akan menyebut itu bahwa rumah itu adalah Rumah Melayu. Namun, ada sedikit sindiran dari pimpinan Melayu Online, Mahyudin Al Hudra, apalah artinya sebuah simbol kalau tidak ada ruhnya. Maksudnya, Rumah Melayu yang sangat megah itu apalah artinya kalau tidak ada aktivitas yang mengisinya.
Zaman telah berubah. Untuk menunjukkan eksistensi Melayu tidak mesti harus megah-megahan memperlihatkan simbol, melainkan harus menunjukkan kreavitas bagi pembangunan peradaban ke arah lebih baik. Saya masih ingat kata-kata Mahyudin itu.
Bahkan, Mahyudin sempat bertanya, apakah Rumah Melayu Ketapang yang sangat megah itu untuk tiga tahun ke depan, halamannya tidak ditumbuhi ilalang. Dia khawatir, membangunnya memang gampang, tapi pemeliharaan justru tidak mampu. Salah satu persoalan utama di Indonesia, pandai bangun, tapi tidak pandai memelihara. Berapa banyak rumah adat yang tidak terurus, terbengkalai, tembawang, dan justru menjadi rumah hantu (sepi). Bahkan, ada istana yang halamannya penuh rumput liar, lantai luarnya penuh dengan tahi ayam dan kambing.
Kalau Melayu terus mengedepankan simbol demi sebuah eksistensi, dikhawatirkan yang peduli terhadap kemelayuaan hanya kaum tua. Sementara yang muda-muda, justru tidak peduli. Masalahnya, ketika orang ngomong Melayu, dalam bayangkan anak muda ada tarian zapin, lomba pantun, syair, radat, gurindam 12, dan sebagainya. Semua itu berbau zaman doeloe. Yang namanya zaman doeloe, paling tidak disukai kaum muda Melayu. Lihat saja jika ada lomba tarian zapin, siapa saja yang nonton, paling orang-orang tua. Untuk itu, tokoh Melayu perlu melakukan melakukan perubahan dalam aktualisasi budaya Melayu mengikuti selera anak muda.
Mahyudin pernah melakukan eksperimen mengkolaborasikan zapin dengan hip hop. Respons anak muda Melayu sangat tinggi. Paling tidak, itu sebuah upaya untuk mendekatkan seni zaman doeloe dengan selera anak muda sekarang. Saya rasa, para tokoh Melayu di Kalbar harus berpikir, bagaimana anak-anak muda ikut peduli terhadap budayanya sendiri. Sebab, merekalah penerus generasi Melayu. Kalau anak muda sekarang justru tidak peduli dengan budayanya sendiri, dikhawatirkan apa yang diungkapkan Hang Tuah, takkan Melayu ditelan zaman, tidak ada wujudnya.
Di tengah pertemuan itu, saya banyak mendapatkan sesuatu yang baru dalam arus pemikiran. Untuk mempertahankan sebuah peradaban adalah dengan memperlihatkan kreavitas. Bukan kreavitas individual, melainkan aktivitas organisasi. Tanpa kreavitas, peradaban manapun suatu saat akan hilang. Peradaban itu akan ditelan zaman oleh peradaban baru yang lebih baik dan penuh kreavitas. Bagaimana cara membangun peradaban agar tetap eksis, hanya tiga cara, yakni memajukan dunia pendidikan, ekonomi, dan moral. Melayu atau etnis manapun di muka bumi itu akan hilang atau dimarjinalkan apabila berpendidikan rendah. Untuk maju harus berpendidikan tinggi.
Lalu, harus maju dalam bidang ekonomi (kaya). Penguasaan di bidang permodalan dan mengolah modal itu agar tetap bergulir dengan harapan bisa memberikan modal bagi dunia usaha. Contoh kongkret, di Kepulauan Riau mulai menerapkan program “Sejuta Melayu”.
Tokoh-tokoh Melayu yang dinilai kaya memberikan sumbangan Rp 1 juta ke lembaga adat Melayu. Lembaga tersebut lalu menggunakannya untuk bisnis atau dunia usaha. Jika orang Melayu memiliki banyak usaha, dan pada akhirnya bisa menciptakan lapangan kerja dan pendapatan yang berujung pada kesejahteraan. Jika orang Melayu sejahtera, apapun bisa dilakukan demi eksistensi Melayu itu sendiri. Kalau orang Melayu nya masih miskin, sering jadi kuli, apa yang bisa dilakukan dengan keadaan seperti itu. Tidak ada salahnya, orang Melayu di Kalbar meniru program tersebut.
Terakhir adalah moral. Melayu memang identik dengan Islam. Banyak orang Melayu yang justru tidak melaksanakan syariat Islam. Tidak heran, apabila banyak orang Melayu justru tidak mengenal budayanya sendiri dan lebih senang meniru sisi negatif budaya Barat. Itulah point penting yang bisa saya tangkap dari menghadiri pertemuan Dunia Melayu tingkat internasional di Ketapang.
Saya tidak bisa melupakan pertemuan itu. Di situlah saya bisa bertukar pikiran dengan tokoh Melayu dari Malaysia, Singapura, Brunei. Harus diakui, tiga negara itu, peradabannya jauh lebih maju dari Indonesia. Kenapa mereka maju, karena tiga hal tersebut. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, jika Kalbar ingin maju, harus memajukan sektor pendidikan, menguasai sektor ekonomi dan meningkatkan moralitas. Maaf tulisan saya kali ini sedikit primordialisme, namun secara umum persoalan etnis di Kalbar hampir sama.
Saya berharap, seluruh etnis di Kalbar bisa melakukan redefinisi terhadap pelestarian seni dan budaya. Untuk menujukkan peradaban lebih maju, tidak lagi sekadar simbol, melainkan harus dibarengi dengan kualitas pendidikan, penguasaan ekonomi dan moralitas.
Melihat Dunia Melayu di Ketapang
Oleh Rosadi Jamani
Kota Ketapang telah menjadi saksi sejarah besar bagi Dunia Melayu. Di kota yang pernah berkuasa Kerajaan Tanjungpura itu menjadi tempat Deklarasi Lembaga Adat Melayu Serantau (LAMS) dan peresmian Rumah Melayu Ketapang. Satu hal menarik dari itu, hadirnya utusan dari Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.
Kali ini saya sedikit bercerita mengenai perjalanan ke Ketapang dari 28-31 Mei 2009. Bagi saya, Ketapang memang tidak asing karena bagian dari kabupaten di Kalbar. Bahkan, saya sedikit nostalgia ketika menyebut Ketapang. Tahun 2002 lalu saya pernah ke Ketapang naik pesawat. Waktu itulah, untuk pertama kalinya saya naik pesawat terbang bersama mantan Sekretaris PSSI Kalbar, Heri Aladin dan mantan Wakil Ketua PSSI, John RB Pangkey.
Ketika itu, saya masih menjadi wartawan olahraga. Diajak naik pesawat betapa senangnya. Saya tidak bisa melupakan peristiwa naik pesawat pertama kali itu, indah dan sulit dilupakan, dan bila dikenang menimbulkan senyum. Pada waktu itu juga, saya untuk pertama kali menginjakkan kaki di Bumi Ale-ale.
Pada Kamis, 28 Maret 2009 itu, untuk kedua kalinya saya menginjakkan tanah Ketapang. Kali ini tidak pakai pesawat, melainkan menggunakan kapal laut cepat (express). Untuk pertama kalinya juga saya naik express yang menyusuri laut dari muara Sungai Kapuas ke Dermaga Ketapang. Kalau dibandingkan naik pesawat dan express, jelas lebih enak naik pesawat. Yang membuat tidak enak naik express, memakan waktu lama. Kapal berangkat pukul 08.20 baru tiba di Ketapang pukul 14.55.
Satu hal lagi, penuh dengan penumpang (ever load). Melihat banyaknya penumpang, saya sempat was-was. Jangan-jangan kapal berkapasitas seratus penumpang lebih itu, karam. Saking was-wasnya saya sempat SMS Kapolda Kalbar bahwa kapal express over load penumpang, jika dipaksakan bisa karam. Begitu SMS terkirim, kapal tetap berangkat dengan penumpang yang berlebihan. Saya hanya bisa pasrah dan berdoa, mudah-mudahan selama perjalanan lancar. Alhamdulillah, doa saya terkabul, dalam perjalanan laut itu cuaca cerah dan tidak ada gelombang besar. Saya khawatir mabuk laut, ternyata tidak.
Tujuan saya ke Ketapang untuk menghadiri Deklarasi LAMS wilayah Laut Cina Selatan dan peresmian Rumah Melayu Ketapang. Hampir seluruh tokoh Melayu di Kalbar menghadiri acara tersebut. Di Ketapang inilah saya bisa melihat para tokoh Melayu Kalbar. Yang tidak bisa dilupakan, saya bisa bertemu dengan tokoh Melayu dunia dari Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam, serta Sumatra Utara, Riau, Kepulauan Riau dan Bangka Belitung.
Begitu tiba di Ketapang, saya dan kawan-kawan istirahat sebentar. Malam harinya, saya beserta seluruh utusan Melayu dijami Bupati Ketapang, H Morkes Effendi. Usai menikmati hidangan khas Ketapang, saya dan seluruh rombongan diminta menghadiri acara pemberian inai perkawinan anak Morkes Effendi di Rumah Melayu.
Begitu tiba di Rumah Melayu, saya kaget melihat rumah yang sangat megah. Saya hampir tidak percaya, di pinggiran Kota Ketapang berdiri rumah megah dengan arsitek khas Melayu. Kalau melihat Rumah Melayu di Pontianak, bisa dua kali lipat megahnya. Bahkan, menurut keterangan Ketua Gapena Malaysia, Prof Dr Tan Sri Ismail Hussein, Rumah Melayu Ketapang bisa dibilang termegah di dunia.
Saya taksir, rumah tersebut dibangun dengan biaya di atas Rp 5 miliar lebih. Ada kawan menaksir di atas Rp 20 miliar. Saya taksir segitu dengan asumsi tanah tempat berdirinya rumah tersebut adalah lahan tidur yang tidak begitu strategis. Kayu yang digunakan hampir seluruhnya didominasi kayu belian, dan di Ketapang kayu tersebut terbilang masih murah. Megah, besar, luas dan indah, itulah yang ada dalam benak saya. Saya dan kawan-kawan sempat berpikir, bagaimana nanti pemeliharaan rumah sebesar itu. Paling tidak butuh pembantu di atas 10 orang.
Paling tidak Ketapang telah berhasil menyambung mata rantai perjalanan sejarah Melayu. Dengan berdirinya rumah melayu tersebut akan menjadi simbol keberadaan Melayu di Kalbar dan dunia. Siapapun orangnya akan menyebut itu bahwa rumah itu adalah Rumah Melayu. Namun, ada sedikit sindiran dari pimpinan Melayu Online, Mahyudin Al Hudra, apalah artinya sebuah simbol kalau tidak ada ruhnya. Maksudnya, Rumah Melayu yang sangat megah itu apalah artinya kalau tidak ada aktivitas yang mengisinya.
Zaman telah berubah. Untuk menunjukkan eksistensi Melayu tidak mesti harus megah-megahan memperlihatkan simbol, melainkan harus menunjukkan kreavitas bagi pembangunan peradaban ke arah lebih baik. Saya masih ingat kata-kata Mahyudin itu.
Bahkan, Mahyudin sempat bertanya, apakah Rumah Melayu Ketapang yang sangat megah itu untuk tiga tahun ke depan, halamannya tidak ditumbuhi ilalang. Dia khawatir, membangunnya memang gampang, tapi pemeliharaan justru tidak mampu. Salah satu persoalan utama di Indonesia, pandai bangun, tapi tidak pandai memelihara. Berapa banyak rumah adat yang tidak terurus, terbengkalai, tembawang, dan justru menjadi rumah hantu (sepi). Bahkan, ada istana yang halamannya penuh rumput liar, lantai luarnya penuh dengan tahi ayam dan kambing.
Kalau Melayu terus mengedepankan simbol demi sebuah eksistensi, dikhawatirkan yang peduli terhadap kemelayuaan hanya kaum tua. Sementara yang muda-muda, justru tidak peduli. Masalahnya, ketika orang ngomong Melayu, dalam bayangkan anak muda ada tarian zapin, lomba pantun, syair, radat, gurindam 12, dan sebagainya. Semua itu berbau zaman doeloe. Yang namanya zaman doeloe, paling tidak disukai kaum muda Melayu. Lihat saja jika ada lomba tarian zapin, siapa saja yang nonton, paling orang-orang tua. Untuk itu, tokoh Melayu perlu melakukan melakukan perubahan dalam aktualisasi budaya Melayu mengikuti selera anak muda.
Mahyudin pernah melakukan eksperimen mengkolaborasikan zapin dengan hip hop. Respons anak muda Melayu sangat tinggi. Paling tidak, itu sebuah upaya untuk mendekatkan seni zaman doeloe dengan selera anak muda sekarang. Saya rasa, para tokoh Melayu di Kalbar harus berpikir, bagaimana anak-anak muda ikut peduli terhadap budayanya sendiri. Sebab, merekalah penerus generasi Melayu. Kalau anak muda sekarang justru tidak peduli dengan budayanya sendiri, dikhawatirkan apa yang diungkapkan Hang Tuah, takkan Melayu ditelan zaman, tidak ada wujudnya.
Di tengah pertemuan itu, saya banyak mendapatkan sesuatu yang baru dalam arus pemikiran. Untuk mempertahankan sebuah peradaban adalah dengan memperlihatkan kreavitas. Bukan kreavitas individual, melainkan aktivitas organisasi. Tanpa kreavitas, peradaban manapun suatu saat akan hilang. Peradaban itu akan ditelan zaman oleh peradaban baru yang lebih baik dan penuh kreavitas. Bagaimana cara membangun peradaban agar tetap eksis, hanya tiga cara, yakni memajukan dunia pendidikan, ekonomi, dan moral. Melayu atau etnis manapun di muka bumi itu akan hilang atau dimarjinalkan apabila berpendidikan rendah. Untuk maju harus berpendidikan tinggi.
Lalu, harus maju dalam bidang ekonomi (kaya). Penguasaan di bidang permodalan dan mengolah modal itu agar tetap bergulir dengan harapan bisa memberikan modal bagi dunia usaha. Contoh kongkret, di Kepulauan Riau mulai menerapkan program “Sejuta Melayu”.
Tokoh-tokoh Melayu yang dinilai kaya memberikan sumbangan Rp 1 juta ke lembaga adat Melayu. Lembaga tersebut lalu menggunakannya untuk bisnis atau dunia usaha. Jika orang Melayu memiliki banyak usaha, dan pada akhirnya bisa menciptakan lapangan kerja dan pendapatan yang berujung pada kesejahteraan. Jika orang Melayu sejahtera, apapun bisa dilakukan demi eksistensi Melayu itu sendiri. Kalau orang Melayu nya masih miskin, sering jadi kuli, apa yang bisa dilakukan dengan keadaan seperti itu. Tidak ada salahnya, orang Melayu di Kalbar meniru program tersebut.
Terakhir adalah moral. Melayu memang identik dengan Islam. Banyak orang Melayu yang justru tidak melaksanakan syariat Islam. Tidak heran, apabila banyak orang Melayu justru tidak mengenal budayanya sendiri dan lebih senang meniru sisi negatif budaya Barat. Itulah point penting yang bisa saya tangkap dari menghadiri pertemuan Dunia Melayu tingkat internasional di Ketapang.
Saya tidak bisa melupakan pertemuan itu. Di situlah saya bisa bertukar pikiran dengan tokoh Melayu dari Malaysia, Singapura, Brunei. Harus diakui, tiga negara itu, peradabannya jauh lebih maju dari Indonesia. Kenapa mereka maju, karena tiga hal tersebut. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, jika Kalbar ingin maju, harus memajukan sektor pendidikan, menguasai sektor ekonomi dan meningkatkan moralitas. Maaf tulisan saya kali ini sedikit primordialisme, namun secara umum persoalan etnis di Kalbar hampir sama.
Saya berharap, seluruh etnis di Kalbar bisa melakukan redefinisi terhadap pelestarian seni dan budaya. Untuk menujukkan peradaban lebih maju, tidak lagi sekadar simbol, melainkan harus dibarengi dengan kualitas pendidikan, penguasaan ekonomi dan moralitas.
Kota Ketapang telah menjadi saksi sejarah besar bagi Dunia Melayu. Di kota yang pernah berkuasa Kerajaan Tanjungpura itu menjadi tempat Deklarasi Lembaga Adat Melayu Serantau (LAMS) dan peresmian Rumah Melayu Ketapang. Satu hal menarik dari itu, hadirnya utusan dari Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.
Kali ini saya sedikit bercerita mengenai perjalanan ke Ketapang dari 28-31 Mei 2009. Bagi saya, Ketapang memang tidak asing karena bagian dari kabupaten di Kalbar. Bahkan, saya sedikit nostalgia ketika menyebut Ketapang. Tahun 2002 lalu saya pernah ke Ketapang naik pesawat. Waktu itulah, untuk pertama kalinya saya naik pesawat terbang bersama mantan Sekretaris PSSI Kalbar, Heri Aladin dan mantan Wakil Ketua PSSI, John RB Pangkey.
Ketika itu, saya masih menjadi wartawan olahraga. Diajak naik pesawat betapa senangnya. Saya tidak bisa melupakan peristiwa naik pesawat pertama kali itu, indah dan sulit dilupakan, dan bila dikenang menimbulkan senyum. Pada waktu itu juga, saya untuk pertama kali menginjakkan kaki di Bumi Ale-ale.
Pada Kamis, 28 Maret 2009 itu, untuk kedua kalinya saya menginjakkan tanah Ketapang. Kali ini tidak pakai pesawat, melainkan menggunakan kapal laut cepat (express). Untuk pertama kalinya juga saya naik express yang menyusuri laut dari muara Sungai Kapuas ke Dermaga Ketapang. Kalau dibandingkan naik pesawat dan express, jelas lebih enak naik pesawat. Yang membuat tidak enak naik express, memakan waktu lama. Kapal berangkat pukul 08.20 baru tiba di Ketapang pukul 14.55.
Satu hal lagi, penuh dengan penumpang (ever load). Melihat banyaknya penumpang, saya sempat was-was. Jangan-jangan kapal berkapasitas seratus penumpang lebih itu, karam. Saking was-wasnya saya sempat SMS Kapolda Kalbar bahwa kapal express over load penumpang, jika dipaksakan bisa karam. Begitu SMS terkirim, kapal tetap berangkat dengan penumpang yang berlebihan. Saya hanya bisa pasrah dan berdoa, mudah-mudahan selama perjalanan lancar. Alhamdulillah, doa saya terkabul, dalam perjalanan laut itu cuaca cerah dan tidak ada gelombang besar. Saya khawatir mabuk laut, ternyata tidak.
Tujuan saya ke Ketapang untuk menghadiri Deklarasi LAMS wilayah Laut Cina Selatan dan peresmian Rumah Melayu Ketapang. Hampir seluruh tokoh Melayu di Kalbar menghadiri acara tersebut. Di Ketapang inilah saya bisa melihat para tokoh Melayu Kalbar. Yang tidak bisa dilupakan, saya bisa bertemu dengan tokoh Melayu dunia dari Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam, serta Sumatra Utara, Riau, Kepulauan Riau dan Bangka Belitung.
Begitu tiba di Ketapang, saya dan kawan-kawan istirahat sebentar. Malam harinya, saya beserta seluruh utusan Melayu dijami Bupati Ketapang, H Morkes Effendi. Usai menikmati hidangan khas Ketapang, saya dan seluruh rombongan diminta menghadiri acara pemberian inai perkawinan anak Morkes Effendi di Rumah Melayu.
Begitu tiba di Rumah Melayu, saya kaget melihat rumah yang sangat megah. Saya hampir tidak percaya, di pinggiran Kota Ketapang berdiri rumah megah dengan arsitek khas Melayu. Kalau melihat Rumah Melayu di Pontianak, bisa dua kali lipat megahnya. Bahkan, menurut keterangan Ketua Gapena Malaysia, Prof Dr Tan Sri Ismail Hussein, Rumah Melayu Ketapang bisa dibilang termegah di dunia.
Saya taksir, rumah tersebut dibangun dengan biaya di atas Rp 5 miliar lebih. Ada kawan menaksir di atas Rp 20 miliar. Saya taksir segitu dengan asumsi tanah tempat berdirinya rumah tersebut adalah lahan tidur yang tidak begitu strategis. Kayu yang digunakan hampir seluruhnya didominasi kayu belian, dan di Ketapang kayu tersebut terbilang masih murah. Megah, besar, luas dan indah, itulah yang ada dalam benak saya. Saya dan kawan-kawan sempat berpikir, bagaimana nanti pemeliharaan rumah sebesar itu. Paling tidak butuh pembantu di atas 10 orang.
Paling tidak Ketapang telah berhasil menyambung mata rantai perjalanan sejarah Melayu. Dengan berdirinya rumah melayu tersebut akan menjadi simbol keberadaan Melayu di Kalbar dan dunia. Siapapun orangnya akan menyebut itu bahwa rumah itu adalah Rumah Melayu. Namun, ada sedikit sindiran dari pimpinan Melayu Online, Mahyudin Al Hudra, apalah artinya sebuah simbol kalau tidak ada ruhnya. Maksudnya, Rumah Melayu yang sangat megah itu apalah artinya kalau tidak ada aktivitas yang mengisinya.
Zaman telah berubah. Untuk menunjukkan eksistensi Melayu tidak mesti harus megah-megahan memperlihatkan simbol, melainkan harus menunjukkan kreavitas bagi pembangunan peradaban ke arah lebih baik. Saya masih ingat kata-kata Mahyudin itu.
Bahkan, Mahyudin sempat bertanya, apakah Rumah Melayu Ketapang yang sangat megah itu untuk tiga tahun ke depan, halamannya tidak ditumbuhi ilalang. Dia khawatir, membangunnya memang gampang, tapi pemeliharaan justru tidak mampu. Salah satu persoalan utama di Indonesia, pandai bangun, tapi tidak pandai memelihara. Berapa banyak rumah adat yang tidak terurus, terbengkalai, tembawang, dan justru menjadi rumah hantu (sepi). Bahkan, ada istana yang halamannya penuh rumput liar, lantai luarnya penuh dengan tahi ayam dan kambing.
Kalau Melayu terus mengedepankan simbol demi sebuah eksistensi, dikhawatirkan yang peduli terhadap kemelayuaan hanya kaum tua. Sementara yang muda-muda, justru tidak peduli. Masalahnya, ketika orang ngomong Melayu, dalam bayangkan anak muda ada tarian zapin, lomba pantun, syair, radat, gurindam 12, dan sebagainya. Semua itu berbau zaman doeloe. Yang namanya zaman doeloe, paling tidak disukai kaum muda Melayu. Lihat saja jika ada lomba tarian zapin, siapa saja yang nonton, paling orang-orang tua. Untuk itu, tokoh Melayu perlu melakukan melakukan perubahan dalam aktualisasi budaya Melayu mengikuti selera anak muda.
Mahyudin pernah melakukan eksperimen mengkolaborasikan zapin dengan hip hop. Respons anak muda Melayu sangat tinggi. Paling tidak, itu sebuah upaya untuk mendekatkan seni zaman doeloe dengan selera anak muda sekarang. Saya rasa, para tokoh Melayu di Kalbar harus berpikir, bagaimana anak-anak muda ikut peduli terhadap budayanya sendiri. Sebab, merekalah penerus generasi Melayu. Kalau anak muda sekarang justru tidak peduli dengan budayanya sendiri, dikhawatirkan apa yang diungkapkan Hang Tuah, takkan Melayu ditelan zaman, tidak ada wujudnya.
Di tengah pertemuan itu, saya banyak mendapatkan sesuatu yang baru dalam arus pemikiran. Untuk mempertahankan sebuah peradaban adalah dengan memperlihatkan kreavitas. Bukan kreavitas individual, melainkan aktivitas organisasi. Tanpa kreavitas, peradaban manapun suatu saat akan hilang. Peradaban itu akan ditelan zaman oleh peradaban baru yang lebih baik dan penuh kreavitas. Bagaimana cara membangun peradaban agar tetap eksis, hanya tiga cara, yakni memajukan dunia pendidikan, ekonomi, dan moral. Melayu atau etnis manapun di muka bumi itu akan hilang atau dimarjinalkan apabila berpendidikan rendah. Untuk maju harus berpendidikan tinggi.
Lalu, harus maju dalam bidang ekonomi (kaya). Penguasaan di bidang permodalan dan mengolah modal itu agar tetap bergulir dengan harapan bisa memberikan modal bagi dunia usaha. Contoh kongkret, di Kepulauan Riau mulai menerapkan program “Sejuta Melayu”.
Tokoh-tokoh Melayu yang dinilai kaya memberikan sumbangan Rp 1 juta ke lembaga adat Melayu. Lembaga tersebut lalu menggunakannya untuk bisnis atau dunia usaha. Jika orang Melayu memiliki banyak usaha, dan pada akhirnya bisa menciptakan lapangan kerja dan pendapatan yang berujung pada kesejahteraan. Jika orang Melayu sejahtera, apapun bisa dilakukan demi eksistensi Melayu itu sendiri. Kalau orang Melayu nya masih miskin, sering jadi kuli, apa yang bisa dilakukan dengan keadaan seperti itu. Tidak ada salahnya, orang Melayu di Kalbar meniru program tersebut.
Terakhir adalah moral. Melayu memang identik dengan Islam. Banyak orang Melayu yang justru tidak melaksanakan syariat Islam. Tidak heran, apabila banyak orang Melayu justru tidak mengenal budayanya sendiri dan lebih senang meniru sisi negatif budaya Barat. Itulah point penting yang bisa saya tangkap dari menghadiri pertemuan Dunia Melayu tingkat internasional di Ketapang.
Saya tidak bisa melupakan pertemuan itu. Di situlah saya bisa bertukar pikiran dengan tokoh Melayu dari Malaysia, Singapura, Brunei. Harus diakui, tiga negara itu, peradabannya jauh lebih maju dari Indonesia. Kenapa mereka maju, karena tiga hal tersebut. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, jika Kalbar ingin maju, harus memajukan sektor pendidikan, menguasai sektor ekonomi dan meningkatkan moralitas. Maaf tulisan saya kali ini sedikit primordialisme, namun secara umum persoalan etnis di Kalbar hampir sama.
Saya berharap, seluruh etnis di Kalbar bisa melakukan redefinisi terhadap pelestarian seni dan budaya. Untuk menujukkan peradaban lebih maju, tidak lagi sekadar simbol, melainkan harus dibarengi dengan kualitas pendidikan, penguasaan ekonomi dan moralitas.
Minggu, 03 Mei 2009
Sebuah Perilaku Agama Dalam Dunia Politik
Oleh Rosadi Jamani
Orang taat beragama selalu diidentikan orang jujur, orang baik, memiliki akhlak yang baik, suka menolong, peduli dengan sesama, dan predikat baik lainnya. Biasanya, untuk menjadi orang baik, amalkanlah ajaran agama. Sebaliknya, orang yang jauh dari agama, jarang ibadah, sangat mudah menjadi orang jahat (kriminal). Sebab, orang tidak taat terhadap agamanya, dalam pergaulan sehari-hari tidak ada “rem” ketika ingin melakukan perbuatan jahat. Benarkah ungkapan demikian?
Kali ini saya masih menyorot persoalan Pemilu legislatif yang saat ini tinggal menunggu penetapan pemenang. Walaupun suhu politik tidak sepanas saat penghitungan suara, sekarang perlahan mulai dingin. Bagi yang menang (terpilih) sedang bersiap-siap menggelar acara syukuran. Sementara bagi yang kalah, rata-rata sudah mengakui kekalahan. Namun, di antara sekian ribu caleg itu masih ada caleg yang belum terima nasib kalahnya. Masih ada yang ngedumel, ngomong tak karuan. Caleg terpilih dianggapnya tidak jujur, main money politic, main intimidasi, dan sebagainya. Pokoknya, tidak ada yang benar dengan caleg yang September depan akan duduk di kursi panas.
“Saya hanya kecewa. Saya sudah banyak berbuat untuk umat. Ada masjid dari tak ada pintu, saya sumbang sampai ada pintu. Ada jalan gang, dari tanah sampai saya beton. Apa yang terjadi, saat penghitungan suara, di daerah yang masjidnya saya sumbang dan gang yang jalannya saya beton, hanya mendapatkan belasan suara. Padahal, di daerah itu bisa ratusan suara,” kata caleg kalah yang kebetulan teman akrab saat sama-sama aktif di dunia olahraga.
Satu hal yang disesalkan kawan saya itu, para pemilih itu umumnya taat beragama. Dia juga sering berinteraksi dengan mereka baik sebelum maupun saat kampanye. “Warga itu yang saya tahu sangat religius. Ternyata, itu juga bukan ukuran. Mereka tetap saja silau dengan uang. Betapa mudahnya caleg mempengaruhi mereka hanya dengan uang Rp 25 ribu. Jadi sumbangan perbaikan masjid dan bantuan semen itu kalah ampuh dibandingkan amplop isinya Rp 25 ribu yang diberikan malam menjelang pencontrengan,” beber kawan saya itu dengan raut muka serius.
Kenapa tidak melakukan money politic juga? “Uang kitakan banyak juga?” tanya saya. “Saya memang punya uang. Saya bisa saja ngasih mereka per orang Rp 50 ribu. Tapi, saya ini masih memiliki iman. Yang selalu saya ingat, yang menyuap dengan yang disuap itu, ganjarannya api neraka. Itulah yang membuat saya tidak bisa melakukan money politic,” jawabnya penuh nada religius. “Yang tak habis pikir, mereka yang rata-rata haji, bahkan ada di antaranya ustaz, juga terpengaruh hanya dengan uang Rp 25 ribu. Yang ustaz saja mau di-moneypolitic, apalagi mereka yang awam,” ujarnya sambil tersenyum.
Saya hanya ingin menarik satu kesimpulan sederhana, Pemilu yang digelar 9 April 2009 itu penuh dengan kecurangan. Tidak hanya caleg yang melakukan kecurangan, pemilih juga tidak kalah curangnya. Para pemilih lebih banyak memanfaatkan caleg hanya untuk mencari keuntungan materi. Yang menarik, pemilih sekaliber ustaz atau tokoh agama (tidak semua) saja banyak yang memilih karena uang. Itu yang saya tangkap dari ungkapan kawan itu.
Bicara soal perilaku beragama itu, jadi teringat saya saat kuliah di STAIN Pontianak dulu. Ada ungkapan dosen saya yang sulit dilupakan bahwa dalam beragama itu ada dua ciri khas. Pertama, ada umat beragama itu mengamalkan ajaran agamanya secara formalitas. Biasa juga disebut scribtualism. Mungkin sulit dipahami, tapi biar saya sederhanakan. Beragama secara formalitas atau scribtualism adalah beragama dengan mengedepankan simbol. Misalnya, rajin salat lima waktu, puasa, jika sudah pergi haji selalu pakai songkok putih, sering bawa tasbih, berpakaian Muslim, dan sebagainya. Dalam Islam itu, simbol tersebut mencerminkan ketakwaan seseorang. Orang yang sering menggunakan simbol itu diidentikan orang baik. Namun, ada juga orang Islam sering menggunakan simbol, tapi di belakang itu ternyata seorang koruptor, senang juga terima suap, tak peduli dengan tetangganya yang miskin, senang mengambil hak orang lain. Kita sering mendengar, ada orang yang sudah haji, rajin salat lima waktu, tiba-tiba ditangkap Kejaksaan atau KPK karena terlibat korupsi.
Yang kedua, beragama secara substantif. Orang yang beragama seperti ini hanya mengandalkan nilai. Dia tidak senang dengan formalitas. Berpakaian bebas (asal nutup aurat), walau sudah haji tapi tidak senang dengan identitas haji, salat lima waktu tak pakai riya’ (dilihatkan ke orang). Rumahnya juga tak ada simbol agama. Istri dan anaknya tak dipaksa harus pakai jilbab atau sekolah di madrasah. Dia jalani hidup beragama berdasarkan nilai baik. Nilai baik itu didapatkannya dari pergulatan pemikirannya serta nilai agama. Walaupun tak suka pakai simbol, tapi kelakuannya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Diajak korupsi tak mau, disuap juga ogah, suka menolong sesama dan tidak senang menyakiti orang lain. Walaupun penampilan tidak religus, tapi kelakuan lebih religius.
Beragama secara formalitas dan substantif banyak diamalkan orang di sekitar kita. Sebenarnya, tujuan dari beragama seperti sama, ingin mencari sebuah kebaikan (di mata manusia dan Tuhan). Walaupun beda dalam menerjemahkan, tapi keinginan untuk menjadi orang baik itu sama. Yang membedakan hanyalah niat. Niat tulus kalau sudah dikotori dengan hal dilarang agama, itu bisa berimplikasi jelek bagi perilaku. Contoh, caleg mencoba mempengaruhi ustaz dengan selembar uang Rp 50 ribu. Si ustaz bukannya menolak malah mengambil uang tersebut dengan niat untuk bisa beli voucher atau beli barang lain. Ustaz yang baik tentunya menolak uang suap itu. Kenyataannya, banyak orang mengaku ustaz seperti diceritakan kawan saya di atas itu justru banyak terpengaruh oleh money politic. Memang tidak semua orang mengakui ustaz berperilaku demikian, tapi ustaz seperti itu ada.
Itu sebuah keprihatinan. Seorang tokoh agama semestinya tetap menjunjung tinggal moralitas, menonjolkan akhlakul karimah serta selalu menebar kebaikan kepada orang lain. Situasi saat ini memang susah. Krisis keuangan global masih belum berakhir. Dalam kondisi seperti itu memang banyak orang perlu uang. Cuma, janganlah gara-gara uang Rp 50 ribu, reputasi ustaz dikotori, nama baik seorang tokoh agama ternoda. Siapa lagi yang bisa mengajarkan moralitas dan akhlak kalau bukan tokoh agama itu. Kalau tokoh agama juga sudah tidak lagi mengedepankan nilai kebaikan itu, lantas siapa lagi yang bisa diharapkan untuk menyelamatkan generasi muda dari dekadensi moral.
Lihat saja realitas saat ini, betapa generasi sangat mudah terpengaruh oleh budaya luar yang merusak ketimbang budayanya sendiri. Pesta seks, pengguna narkoba, minuman keras, dugem di diskotek merupakan budaya luar yang sangat digandrungi anak muda sekarang. Siapa yang bisa mengalihkan perhatian mereka untuk menjauhi dunia yang merusak itu? Sebenarnya, yang bisa melakukan itu adalah para ustaz atau tokoh agama. Cuma, kalau tokoh agamanya saja lebih mementingkan urusan pribadi ketimbang umatnya sendiri, apa yang bisa diharapkan. Saya hanya khawatir saja, ke depan dekadensi moral semakin parah dan sulit dibendung. Pada akhirnya, negeri ini hanya menghasilkan pemimpin, wakil rakyat yang lebih mengedepankan materialistic ketimbang moralitas. Persoalan tersebut terus merasuki seluruh lini, termasuk juga dunia politik.*
Orang taat beragama selalu diidentikan orang jujur, orang baik, memiliki akhlak yang baik, suka menolong, peduli dengan sesama, dan predikat baik lainnya. Biasanya, untuk menjadi orang baik, amalkanlah ajaran agama. Sebaliknya, orang yang jauh dari agama, jarang ibadah, sangat mudah menjadi orang jahat (kriminal). Sebab, orang tidak taat terhadap agamanya, dalam pergaulan sehari-hari tidak ada “rem” ketika ingin melakukan perbuatan jahat. Benarkah ungkapan demikian?
Kali ini saya masih menyorot persoalan Pemilu legislatif yang saat ini tinggal menunggu penetapan pemenang. Walaupun suhu politik tidak sepanas saat penghitungan suara, sekarang perlahan mulai dingin. Bagi yang menang (terpilih) sedang bersiap-siap menggelar acara syukuran. Sementara bagi yang kalah, rata-rata sudah mengakui kekalahan. Namun, di antara sekian ribu caleg itu masih ada caleg yang belum terima nasib kalahnya. Masih ada yang ngedumel, ngomong tak karuan. Caleg terpilih dianggapnya tidak jujur, main money politic, main intimidasi, dan sebagainya. Pokoknya, tidak ada yang benar dengan caleg yang September depan akan duduk di kursi panas.
“Saya hanya kecewa. Saya sudah banyak berbuat untuk umat. Ada masjid dari tak ada pintu, saya sumbang sampai ada pintu. Ada jalan gang, dari tanah sampai saya beton. Apa yang terjadi, saat penghitungan suara, di daerah yang masjidnya saya sumbang dan gang yang jalannya saya beton, hanya mendapatkan belasan suara. Padahal, di daerah itu bisa ratusan suara,” kata caleg kalah yang kebetulan teman akrab saat sama-sama aktif di dunia olahraga.
Satu hal yang disesalkan kawan saya itu, para pemilih itu umumnya taat beragama. Dia juga sering berinteraksi dengan mereka baik sebelum maupun saat kampanye. “Warga itu yang saya tahu sangat religius. Ternyata, itu juga bukan ukuran. Mereka tetap saja silau dengan uang. Betapa mudahnya caleg mempengaruhi mereka hanya dengan uang Rp 25 ribu. Jadi sumbangan perbaikan masjid dan bantuan semen itu kalah ampuh dibandingkan amplop isinya Rp 25 ribu yang diberikan malam menjelang pencontrengan,” beber kawan saya itu dengan raut muka serius.
Kenapa tidak melakukan money politic juga? “Uang kitakan banyak juga?” tanya saya. “Saya memang punya uang. Saya bisa saja ngasih mereka per orang Rp 50 ribu. Tapi, saya ini masih memiliki iman. Yang selalu saya ingat, yang menyuap dengan yang disuap itu, ganjarannya api neraka. Itulah yang membuat saya tidak bisa melakukan money politic,” jawabnya penuh nada religius. “Yang tak habis pikir, mereka yang rata-rata haji, bahkan ada di antaranya ustaz, juga terpengaruh hanya dengan uang Rp 25 ribu. Yang ustaz saja mau di-moneypolitic, apalagi mereka yang awam,” ujarnya sambil tersenyum.
Saya hanya ingin menarik satu kesimpulan sederhana, Pemilu yang digelar 9 April 2009 itu penuh dengan kecurangan. Tidak hanya caleg yang melakukan kecurangan, pemilih juga tidak kalah curangnya. Para pemilih lebih banyak memanfaatkan caleg hanya untuk mencari keuntungan materi. Yang menarik, pemilih sekaliber ustaz atau tokoh agama (tidak semua) saja banyak yang memilih karena uang. Itu yang saya tangkap dari ungkapan kawan itu.
Bicara soal perilaku beragama itu, jadi teringat saya saat kuliah di STAIN Pontianak dulu. Ada ungkapan dosen saya yang sulit dilupakan bahwa dalam beragama itu ada dua ciri khas. Pertama, ada umat beragama itu mengamalkan ajaran agamanya secara formalitas. Biasa juga disebut scribtualism. Mungkin sulit dipahami, tapi biar saya sederhanakan. Beragama secara formalitas atau scribtualism adalah beragama dengan mengedepankan simbol. Misalnya, rajin salat lima waktu, puasa, jika sudah pergi haji selalu pakai songkok putih, sering bawa tasbih, berpakaian Muslim, dan sebagainya. Dalam Islam itu, simbol tersebut mencerminkan ketakwaan seseorang. Orang yang sering menggunakan simbol itu diidentikan orang baik. Namun, ada juga orang Islam sering menggunakan simbol, tapi di belakang itu ternyata seorang koruptor, senang juga terima suap, tak peduli dengan tetangganya yang miskin, senang mengambil hak orang lain. Kita sering mendengar, ada orang yang sudah haji, rajin salat lima waktu, tiba-tiba ditangkap Kejaksaan atau KPK karena terlibat korupsi.
Yang kedua, beragama secara substantif. Orang yang beragama seperti ini hanya mengandalkan nilai. Dia tidak senang dengan formalitas. Berpakaian bebas (asal nutup aurat), walau sudah haji tapi tidak senang dengan identitas haji, salat lima waktu tak pakai riya’ (dilihatkan ke orang). Rumahnya juga tak ada simbol agama. Istri dan anaknya tak dipaksa harus pakai jilbab atau sekolah di madrasah. Dia jalani hidup beragama berdasarkan nilai baik. Nilai baik itu didapatkannya dari pergulatan pemikirannya serta nilai agama. Walaupun tak suka pakai simbol, tapi kelakuannya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Diajak korupsi tak mau, disuap juga ogah, suka menolong sesama dan tidak senang menyakiti orang lain. Walaupun penampilan tidak religus, tapi kelakuan lebih religius.
Beragama secara formalitas dan substantif banyak diamalkan orang di sekitar kita. Sebenarnya, tujuan dari beragama seperti sama, ingin mencari sebuah kebaikan (di mata manusia dan Tuhan). Walaupun beda dalam menerjemahkan, tapi keinginan untuk menjadi orang baik itu sama. Yang membedakan hanyalah niat. Niat tulus kalau sudah dikotori dengan hal dilarang agama, itu bisa berimplikasi jelek bagi perilaku. Contoh, caleg mencoba mempengaruhi ustaz dengan selembar uang Rp 50 ribu. Si ustaz bukannya menolak malah mengambil uang tersebut dengan niat untuk bisa beli voucher atau beli barang lain. Ustaz yang baik tentunya menolak uang suap itu. Kenyataannya, banyak orang mengaku ustaz seperti diceritakan kawan saya di atas itu justru banyak terpengaruh oleh money politic. Memang tidak semua orang mengakui ustaz berperilaku demikian, tapi ustaz seperti itu ada.
Itu sebuah keprihatinan. Seorang tokoh agama semestinya tetap menjunjung tinggal moralitas, menonjolkan akhlakul karimah serta selalu menebar kebaikan kepada orang lain. Situasi saat ini memang susah. Krisis keuangan global masih belum berakhir. Dalam kondisi seperti itu memang banyak orang perlu uang. Cuma, janganlah gara-gara uang Rp 50 ribu, reputasi ustaz dikotori, nama baik seorang tokoh agama ternoda. Siapa lagi yang bisa mengajarkan moralitas dan akhlak kalau bukan tokoh agama itu. Kalau tokoh agama juga sudah tidak lagi mengedepankan nilai kebaikan itu, lantas siapa lagi yang bisa diharapkan untuk menyelamatkan generasi muda dari dekadensi moral.
Lihat saja realitas saat ini, betapa generasi sangat mudah terpengaruh oleh budaya luar yang merusak ketimbang budayanya sendiri. Pesta seks, pengguna narkoba, minuman keras, dugem di diskotek merupakan budaya luar yang sangat digandrungi anak muda sekarang. Siapa yang bisa mengalihkan perhatian mereka untuk menjauhi dunia yang merusak itu? Sebenarnya, yang bisa melakukan itu adalah para ustaz atau tokoh agama. Cuma, kalau tokoh agamanya saja lebih mementingkan urusan pribadi ketimbang umatnya sendiri, apa yang bisa diharapkan. Saya hanya khawatir saja, ke depan dekadensi moral semakin parah dan sulit dibendung. Pada akhirnya, negeri ini hanya menghasilkan pemimpin, wakil rakyat yang lebih mengedepankan materialistic ketimbang moralitas. Persoalan tersebut terus merasuki seluruh lini, termasuk juga dunia politik.*
Minggu, 26 April 2009
Wakil Rakyat yang Tak Butuh Perhatian Rakyat
Oleh Rosadi Jamani
Saya ingat kata orang bijak, utang duit bisa dibayar, tapi utang budi dibawa mati. Maksudnya, utang uang itu bisa dibayar. Begitu utang dibayar, habis perkara. Sementara utang budi, tidak bisa dibayar dengan uang atau material lainnya. Ketika budi itu dibayar dengan uang, bukan lagi budi melainkan balas jasa. Contoh, ada orang dikeroyok, lalu ada orang lain berhasil menolong orang itu dari amukan massa. Orang yang dikeroyok itu pasti merasa utang budi. Ketika pertolongan itu dihargai dengan uang, si penolong minta uang, lalu yang ditolong memberikannya uang, dalam kasus ini tidak ada lagi balas budi. Yang ada hanya balas jasa.
Pada Pemilu 9 April lalu, hampir rata-rata calon legislatif (caleg) yang dipastikan duduk di kursi Dewan main money politic (politik uang). Mereka tidak lagi mengandalkan kualitas pribadi, melainkan memainkan politik uang untuk menaklukkan pemilih. Rata-rata caleg yang duduk di parlemen menghabiskan uang di atas Rp 200 juga. Bahkan, kabarnya ada yang miliaran rupiah. Uang tersebut paling menentukan seorang caleg bisa duduk. Tidak heran apabila pesta demokrasi 2009 bertabur dengan uang. Permainan money politic sangat gencar tanpa bisa diseret oleh Panwaslu ke Gakumdu.
“Terus terang saya menghabiskan kurang lebih Rp 750 juta saat kampanye lalu. Ketika masuk kampung, rata-rata masyarakat minta uang. Saya kasih uang dengan catatan harus mencontreng saya. Kalau tidak dikasih uang, mereka akan memilih caleg lain. Sudah dikasih uang, kadang saya tidak yakin saat pencontrengan memilih saya,” cerita seorang caleg dari partai besar yang dipastikan duduk di DPRD Kalbar. Kebetulan caleg itu teman dan sering melakukan komunikasi dengan saya. Sekarang dia merasa tenang, karena uang yang telah dihamburkannya membuahkan hasil.
“Saya telah banyak menghabiskan uang. Rata-rata pemilih yang memilih saya pernah mendapatkan uang dari saya. Itu artinya, saya telah membeli suara mereka. Dengan demikian, tidak ada lagi utang budi saya dengan pemilih,” kata caleg itu dengan raut muka tidak ada beban sambil menikmati segelas kopi panas di salah satu warung kopi di Mega Mall Pontianak.
Saya sedikit kaget dengan ungkapan, tidak ada lagi utang budi antara pemilih dengan yang dipilih, antara wakil rakyat dengan rakyatnya. Saya mencoba mencermati, ada benarnya ungkapan itu. Rakyat memilih caleg berdasarkan uang. Sementara caleg yang memang mengharapkan suara telah menghargai suara itu dengan uang. Ibarat dagang, ada barang ada uang. Barang yang sudah dibeli sah milik pembeli. Si penjual tidak bisa mengambil barang yang dibeli dari pembeli. Ketika transaksi jual beli berakhir, habis perkara. Ada barang, ada uang. Antara pembeli dan penjual itu tidak ada lagi beban. Sama-sama senang dan tidak boleh ada tuntutan di kemudian hari.
Untuk ungkapan tersebut saya aminkan. Fakta di lapangan memang demikian adanya. Rata-rata caleg harus mengeluarkan uang untuk bisa mendapatkan suara dari pemilih. Bagi caleg yang kedekut atau pelit mengeluarkan uang dari kantongnya hampir seluruhnya tidak terpilih. Jangankan yang kedekut, yang berabis (habis-habisan) saja banyak yang tidak duduk. Uang benar-benar menjadi faktor utama untuk menentukan caleg bisa menjadi wakil rakyat.
Lebih parah lagi, pemilih juga menginginkan uang. Tidak hanya caleg yang memberi uang, tapi pemilih juga bernafsu mendapatkan uang dari caleg. Caleg banyak uang, sementara pemilih juga banyak minta uang. Proses transaksi juga lancar dan cepat. Keduanya suka sama suka dan senang sama senang. Karena sama-sama senang, berarti tidak ada istilah balas budi. Caleg yang sudah duduk tidak memiliki ikatan moral dengan pemilih yang sudah dikasihnya uang. Begitu juga pemilih tidak boleh lagi menuntut yang macam-macam dengan wakil rakyat.
Apa jadinya kalau wakil rakyat sudah tidak memiliki ikatan dengan pemilihnya? Apa jadinya parlemen apabila tidak memiliki rasa kepedulian dengan rakyat? Pernyataan tersebut terus menggelayuti pikiran saya. Saya dan pembaca sekalian mungkin tidak bisa berbuat apa-apa terhadap persoalan itu. Wakil rakyat hasil Pemilu 2009 nanti sangat sulit diharapkan bisa membela kepentingan rakyat. Sebab, mereka sudah membayar suara rakyat. Rakyat juga tidak bisa mendikte atau mendesak wakil rakyat agar persoalan mereka diperjuangkan di parlemen. Sebab, mereka telah dibayar, dan itu artinya tidak ada kewajiban wakil rakyat membela nasib mereka. Dewan yang akan datang dipastikan lebih memikirkan urusan pribadi dan partainya saja.
Langkah pertama yang diambil wakil rakyat adalah memikirkan modal kampanye bisa kembali. Siapapun Dewannya pasti akan berusaha agar seluruh biaya kampanye sampai bisa duduk harus kembali. Ada yang mungkin berpikir, modal yang telah keluar biarkan saja. Yang penting sekarang bisa duduk di kursi parlemen itu adalah sebuah keuntungan besar. Duduk di kursi Dewan secara materi mungkin kecil, tapi secara politik dan sosial memberikan keuntungan besar. Dulu yang tidak dihormati, sekarang sudah menjadi orang terhormat. Dulu tidak pernah diundang, sekarang undangan datang silih berganti. Itu semua adalah sebuah keuntungan. Tapi, seberapa besar Dewan berpikir demikian. Umumnya, wakil rakyat lebih sibuk memikirkan keuntungan materi dari pada keuntungan non materi.
Lihat saja nanti, Dewan yang baru saja menjabat sebagai wakil rakyat, mereka akan ditawarkan kredit bank. Paling sedikit Rp 100 juta atau lebih dari itu. Uang kredit itu akan digunakan, pertama untuk mengamankan caleg-caleg satu partai yang tidak terpilih. Kedua, menyelesaikan seluruh utang di toko fotokopi, di tempat pembuatan baliho, utang dengan kawan-kawan dan sebagainya. Ketiga, membeli mobil baru. Keempat, rehab rumah. Perilaku Dewan seperti itu tidak bisa disalahkan. Mereka telah menikmati hasil jerih payahnya sendiri. Mereka telah berjuang sekuat tenaga agar bisa duduk di parlemen. Rakyat tidak bisa menyalahkannya, karena mereka tidak punya lagi ikatan atau balas budi dengan rakyat.
Apabila rakyat demo mendesak agar Dewan bisa memaksa eksekutif memperhatikan jalan rusak di daerahnya, lalu Dewan sekadar mendengar saja, mereka tidak bisa disalahkan. Apabila ada warga ngeluruk Dewan, minta pembangunan sekolah atau Puskesmas, lalu Dewan bilang siap menampung aspirasi itu, jangan disalahkan. Sebab, mereka tidak lagi memiliki kewajiban membela rakyat seperti itu. Masalahnya, suara rakyat itu sudah dibayar saat kampanye dulu. Tidak ada lagi balas budi atau kewajiban membela rakyat.
Mungkin apa yang saya tulis sedikit emosial atau tendesius. Namun, apa yang saya sampaikan itu didapatkan dari kesimpulan berbagai kalangan terhadap buruknya Pemilu 2009. Pesta demokrasi penuh dengan money politic. Lantas, apa yang bisa diharapkan dari sebuah proses yang buruk. Harapan kita satu-satunya hanyalah eksekutif yang mudah-mudahan pro rakyat. Semoga! *
Oleh Rosadi Jamani
Saya ingat kata orang bijak, utang duit bisa dibayar, tapi utang budi dibawa mati. Maksudnya, utang uang itu bisa dibayar. Begitu utang dibayar, habis perkara. Sementara utang budi, tidak bisa dibayar dengan uang atau material lainnya. Ketika budi itu dibayar dengan uang, bukan lagi budi melainkan balas jasa. Contoh, ada orang dikeroyok, lalu ada orang lain berhasil menolong orang itu dari amukan massa. Orang yang dikeroyok itu pasti merasa utang budi. Ketika pertolongan itu dihargai dengan uang, si penolong minta uang, lalu yang ditolong memberikannya uang, dalam kasus ini tidak ada lagi balas budi. Yang ada hanya balas jasa.
Pada Pemilu 9 April lalu, hampir rata-rata calon legislatif (caleg) yang dipastikan duduk di kursi Dewan main money politic (politik uang). Mereka tidak lagi mengandalkan kualitas pribadi, melainkan memainkan politik uang untuk menaklukkan pemilih. Rata-rata caleg yang duduk di parlemen menghabiskan uang di atas Rp 200 juga. Bahkan, kabarnya ada yang miliaran rupiah. Uang tersebut paling menentukan seorang caleg bisa duduk. Tidak heran apabila pesta demokrasi 2009 bertabur dengan uang. Permainan money politic sangat gencar tanpa bisa diseret oleh Panwaslu ke Gakumdu.
“Terus terang saya menghabiskan kurang lebih Rp 750 juta saat kampanye lalu. Ketika masuk kampung, rata-rata masyarakat minta uang. Saya kasih uang dengan catatan harus mencontreng saya. Kalau tidak dikasih uang, mereka akan memilih caleg lain. Sudah dikasih uang, kadang saya tidak yakin saat pencontrengan memilih saya,” cerita seorang caleg dari partai besar yang dipastikan duduk di DPRD Kalbar. Kebetulan caleg itu teman dan sering melakukan komunikasi dengan saya. Sekarang dia merasa tenang, karena uang yang telah dihamburkannya membuahkan hasil.
“Saya telah banyak menghabiskan uang. Rata-rata pemilih yang memilih saya pernah mendapatkan uang dari saya. Itu artinya, saya telah membeli suara mereka. Dengan demikian, tidak ada lagi utang budi saya dengan pemilih,” kata caleg itu dengan raut muka tidak ada beban sambil menikmati segelas kopi panas di salah satu warung kopi di Mega Mall Pontianak.
Saya sedikit kaget dengan ungkapan, tidak ada lagi utang budi antara pemilih dengan yang dipilih, antara wakil rakyat dengan rakyatnya. Saya mencoba mencermati, ada benarnya ungkapan itu. Rakyat memilih caleg berdasarkan uang. Sementara caleg yang memang mengharapkan suara telah menghargai suara itu dengan uang. Ibarat dagang, ada barang ada uang. Barang yang sudah dibeli sah milik pembeli. Si penjual tidak bisa mengambil barang yang dibeli dari pembeli. Ketika transaksi jual beli berakhir, habis perkara. Ada barang, ada uang. Antara pembeli dan penjual itu tidak ada lagi beban. Sama-sama senang dan tidak boleh ada tuntutan di kemudian hari.
Untuk ungkapan tersebut saya aminkan. Fakta di lapangan memang demikian adanya. Rata-rata caleg harus mengeluarkan uang untuk bisa mendapatkan suara dari pemilih. Bagi caleg yang kedekut atau pelit mengeluarkan uang dari kantongnya hampir seluruhnya tidak terpilih. Jangankan yang kedekut, yang berabis (habis-habisan) saja banyak yang tidak duduk. Uang benar-benar menjadi faktor utama untuk menentukan caleg bisa menjadi wakil rakyat.
Lebih parah lagi, pemilih juga menginginkan uang. Tidak hanya caleg yang memberi uang, tapi pemilih juga bernafsu mendapatkan uang dari caleg. Caleg banyak uang, sementara pemilih juga banyak minta uang. Proses transaksi juga lancar dan cepat. Keduanya suka sama suka dan senang sama senang. Karena sama-sama senang, berarti tidak ada istilah balas budi. Caleg yang sudah duduk tidak memiliki ikatan moral dengan pemilih yang sudah dikasihnya uang. Begitu juga pemilih tidak boleh lagi menuntut yang macam-macam dengan wakil rakyat.
Apa jadinya kalau wakil rakyat sudah tidak memiliki ikatan dengan pemilihnya? Apa jadinya parlemen apabila tidak memiliki rasa kepedulian dengan rakyat? Pernyataan tersebut terus menggelayuti pikiran saya. Saya dan pembaca sekalian mungkin tidak bisa berbuat apa-apa terhadap persoalan itu. Wakil rakyat hasil Pemilu 2009 nanti sangat sulit diharapkan bisa membela kepentingan rakyat. Sebab, mereka sudah membayar suara rakyat. Rakyat juga tidak bisa mendikte atau mendesak wakil rakyat agar persoalan mereka diperjuangkan di parlemen. Sebab, mereka telah dibayar, dan itu artinya tidak ada kewajiban wakil rakyat membela nasib mereka. Dewan yang akan datang dipastikan lebih memikirkan urusan pribadi dan partainya saja.
Langkah pertama yang diambil wakil rakyat adalah memikirkan modal kampanye bisa kembali. Siapapun Dewannya pasti akan berusaha agar seluruh biaya kampanye sampai bisa duduk harus kembali. Ada yang mungkin berpikir, modal yang telah keluar biarkan saja. Yang penting sekarang bisa duduk di kursi parlemen itu adalah sebuah keuntungan besar. Duduk di kursi Dewan secara materi mungkin kecil, tapi secara politik dan sosial memberikan keuntungan besar. Dulu yang tidak dihormati, sekarang sudah menjadi orang terhormat. Dulu tidak pernah diundang, sekarang undangan datang silih berganti. Itu semua adalah sebuah keuntungan. Tapi, seberapa besar Dewan berpikir demikian. Umumnya, wakil rakyat lebih sibuk memikirkan keuntungan materi dari pada keuntungan non materi.
Lihat saja nanti, Dewan yang baru saja menjabat sebagai wakil rakyat, mereka akan ditawarkan kredit bank. Paling sedikit Rp 100 juta atau lebih dari itu. Uang kredit itu akan digunakan, pertama untuk mengamankan caleg-caleg satu partai yang tidak terpilih. Kedua, menyelesaikan seluruh utang di toko fotokopi, di tempat pembuatan baliho, utang dengan kawan-kawan dan sebagainya. Ketiga, membeli mobil baru. Keempat, rehab rumah. Perilaku Dewan seperti itu tidak bisa disalahkan. Mereka telah menikmati hasil jerih payahnya sendiri. Mereka telah berjuang sekuat tenaga agar bisa duduk di parlemen. Rakyat tidak bisa menyalahkannya, karena mereka tidak punya lagi ikatan atau balas budi dengan rakyat.
Apabila rakyat demo mendesak agar Dewan bisa memaksa eksekutif memperhatikan jalan rusak di daerahnya, lalu Dewan sekadar mendengar saja, mereka tidak bisa disalahkan. Apabila ada warga ngeluruk Dewan, minta pembangunan sekolah atau Puskesmas, lalu Dewan bilang siap menampung aspirasi itu, jangan disalahkan. Sebab, mereka tidak lagi memiliki kewajiban membela rakyat seperti itu. Masalahnya, suara rakyat itu sudah dibayar saat kampanye dulu. Tidak ada lagi balas budi atau kewajiban membela rakyat.
Mungkin apa yang saya tulis sedikit emosial atau tendesius. Namun, apa yang saya sampaikan itu didapatkan dari kesimpulan berbagai kalangan terhadap buruknya Pemilu 2009. Pesta demokrasi penuh dengan money politic. Lantas, apa yang bisa diharapkan dari sebuah proses yang buruk. Harapan kita satu-satunya hanyalah eksekutif yang mudah-mudahan pro rakyat. Semoga! *
Minggu, 19 April 2009
Moralitas Wakil Rakyat
Rosadi Jamani
Tontonan memilukan, oknum anggota DPRD Kayong Utara, SG nyaris dihakimi massa karena membawa gadis di bawah umur. Inilah aib paling memalukan diperlihatkan wakil rakyat sepanjang tahun 2009. Tentunya, aib itu sangat mengejutkan dan membuat orang bertanya-tanya, apakah seperti itu perilaku wakil rakyat?
Ada orang mengatakan, SG itu adalah Dewan yang apes. Padahal, masih banyak perilaku anggota Dewan lebih parah dari itu. Cuma, tidak ketahuan saja. Para wakil rakyat itu paling pandai membungkus perbuatan aib. Istilah yang lazim di dunia legislatif, “pandai makan harus pandai bungkus”.
SG adalah satu dari sekian ribu wakil rakyat yang tidak mengindahkan moralitas agama maupun adat di masyarakat. Perilaku seorang wakil rakyat seperti itu memang tidak bisa dibenarkan. Siapapun orangnya pasti akan memberikan “kutukan” atau makian. Sebab, wakil rakyat yang semestinya memperjuangkan kesulitan rakyat, justru memanfaatkan kelemahan rakyatnya untuk mencari kesenangan pribadi. Tabiat wakil rakyat seperti itu apa yang bisa diharapkan untuk memperjuangkan nasib rakyat?
Dalam tataran idealisme, wakil rakyat itu adalah utusan rakyat. Mereka dipilih untuk memperjuangkan segala keluhan, keinginan, aspirasi dan kemauan rakyat. Lewat mulut merekalah (secara resmi) tuntutan rakyat bisa disampaikan ke pemerintah. Dengan tanggung jawab seperti itu, seorang legislator harus mengetahui seperti apa keinginan dan aspirasi rakyatnya. Untuk mengetahui itu, wakil rakyat harus menyatu dan berada di tengah rakyatnya.
Sebagai contoh, ada desa yang sampai saat ini masih terisolasi. Tidak ada jalan darat dan jembatan yang menjadi jalur transportasi ke desa itu. Kalaupun ada jalan darat, hanya jalan setapak atau jalan tikus. Kehidupan masyarakatnya di bawah garis kemiskinan. Mereka hanya mengandalkan hasil pertanian. Kondisi masyarakat seperti itu adalah tanggung jawab wakil rakyat untuk memperjuangkannya.
Perjuangan untuk membangun desa itu bisa dimulai dari Musrenbang tingkat kecamatan. Di sinilah wakil rakyat bisa memperjuangkan desa itu masuk dalam rencana pembangunan jangka pendek. Berhasil memperjuangkan di tingkat kecamatan, berjuang lagi di tingkat Musrenbang Kabupaten. Untuk mengawal desa itu masuk dalam prioritas pembangunan, sangat dibutuhkan perjuangan wakil rakyat. Apabila sudah masuk Musrenbang, langkah wakil rakyat selanjutnya adalah memperjuangkannya masuk RAPBD. Apabila tidak masuk RAPBD, di sinilah letak peran aktif wakil rakyat untuk berjuang sekuat tenaga agar desa itu masuk pembangunan. Apabila sudah masuk APBD, berarti perjuangan wakil rakyat itu membuahkan hasil. Kira-kira demikian idealisme tugas dan kewajiban anggota dewan terhadap rakyatnya.
Kenyataannya, banyak wakil rakyat justru tidak peduli dengan penderitaan atau kemauan rakyatnya. Sebagai contoh, saat Musrenbang tingkat kecamatan atau kabupaten, jarang wakil rakyat datang. Walaupun itu digelar oleh pihak eksekutif, tapi paling tidak di situlah wakil rakyat bisa memperjuangkan nasib rakyatnya. Sebab, hasil Musrenbang merupakan acuan utama untuk menggarap APBD.
Yang sering ditemukan juga, dalam menggarap RABPD saja banyak dewan yang tidak peduli. Memang ada yang serius menggarap itu, tapi jumlahnya terbatas. Kebanyakan justru tidak hadir di gedung Dewan alias ngantor. Mereka malah sibuk dengan urusan pribadinya di luar Dewan. Padahal, dalam penyusunan APBD, di situlah letak peran utama wakil rakyat untuk membantu rakyatnya sendiri. Dewan seperti itulah yang tidak peka terhadap penderitaan rakyat. Dewan seperti itulah yang diragukan moralitasnya.
Moralitas itu penting. Walaupun itu tidak diatur seperti apa bentuknya, tapi moralitas itu adalah ukuran kebaikan untuk seorang wakil rakyat. Dewan yang memiliki moralitas baik, dia pasti dekat dengan rakyatnya. Sebaliknya, Dewan yang hanya pura-pura memiliki moralitas, dia pasti lebih memikirkan kesenangan pribadi ketimbang peduli terhadap kesulitan rakyatnya sendiri. SG adalah pelajaran utama yang mesti dijadikan pelajaran oleh seluruh anggota Dewan yang lain. Tidak ada gunanya penyesalan kalau aib itu sudah terjadi. *
Tontonan memilukan, oknum anggota DPRD Kayong Utara, SG nyaris dihakimi massa karena membawa gadis di bawah umur. Inilah aib paling memalukan diperlihatkan wakil rakyat sepanjang tahun 2009. Tentunya, aib itu sangat mengejutkan dan membuat orang bertanya-tanya, apakah seperti itu perilaku wakil rakyat?
Ada orang mengatakan, SG itu adalah Dewan yang apes. Padahal, masih banyak perilaku anggota Dewan lebih parah dari itu. Cuma, tidak ketahuan saja. Para wakil rakyat itu paling pandai membungkus perbuatan aib. Istilah yang lazim di dunia legislatif, “pandai makan harus pandai bungkus”.
SG adalah satu dari sekian ribu wakil rakyat yang tidak mengindahkan moralitas agama maupun adat di masyarakat. Perilaku seorang wakil rakyat seperti itu memang tidak bisa dibenarkan. Siapapun orangnya pasti akan memberikan “kutukan” atau makian. Sebab, wakil rakyat yang semestinya memperjuangkan kesulitan rakyat, justru memanfaatkan kelemahan rakyatnya untuk mencari kesenangan pribadi. Tabiat wakil rakyat seperti itu apa yang bisa diharapkan untuk memperjuangkan nasib rakyat?
Dalam tataran idealisme, wakil rakyat itu adalah utusan rakyat. Mereka dipilih untuk memperjuangkan segala keluhan, keinginan, aspirasi dan kemauan rakyat. Lewat mulut merekalah (secara resmi) tuntutan rakyat bisa disampaikan ke pemerintah. Dengan tanggung jawab seperti itu, seorang legislator harus mengetahui seperti apa keinginan dan aspirasi rakyatnya. Untuk mengetahui itu, wakil rakyat harus menyatu dan berada di tengah rakyatnya.
Sebagai contoh, ada desa yang sampai saat ini masih terisolasi. Tidak ada jalan darat dan jembatan yang menjadi jalur transportasi ke desa itu. Kalaupun ada jalan darat, hanya jalan setapak atau jalan tikus. Kehidupan masyarakatnya di bawah garis kemiskinan. Mereka hanya mengandalkan hasil pertanian. Kondisi masyarakat seperti itu adalah tanggung jawab wakil rakyat untuk memperjuangkannya.
Perjuangan untuk membangun desa itu bisa dimulai dari Musrenbang tingkat kecamatan. Di sinilah wakil rakyat bisa memperjuangkan desa itu masuk dalam rencana pembangunan jangka pendek. Berhasil memperjuangkan di tingkat kecamatan, berjuang lagi di tingkat Musrenbang Kabupaten. Untuk mengawal desa itu masuk dalam prioritas pembangunan, sangat dibutuhkan perjuangan wakil rakyat. Apabila sudah masuk Musrenbang, langkah wakil rakyat selanjutnya adalah memperjuangkannya masuk RAPBD. Apabila tidak masuk RAPBD, di sinilah letak peran aktif wakil rakyat untuk berjuang sekuat tenaga agar desa itu masuk pembangunan. Apabila sudah masuk APBD, berarti perjuangan wakil rakyat itu membuahkan hasil. Kira-kira demikian idealisme tugas dan kewajiban anggota dewan terhadap rakyatnya.
Kenyataannya, banyak wakil rakyat justru tidak peduli dengan penderitaan atau kemauan rakyatnya. Sebagai contoh, saat Musrenbang tingkat kecamatan atau kabupaten, jarang wakil rakyat datang. Walaupun itu digelar oleh pihak eksekutif, tapi paling tidak di situlah wakil rakyat bisa memperjuangkan nasib rakyatnya. Sebab, hasil Musrenbang merupakan acuan utama untuk menggarap APBD.
Yang sering ditemukan juga, dalam menggarap RABPD saja banyak dewan yang tidak peduli. Memang ada yang serius menggarap itu, tapi jumlahnya terbatas. Kebanyakan justru tidak hadir di gedung Dewan alias ngantor. Mereka malah sibuk dengan urusan pribadinya di luar Dewan. Padahal, dalam penyusunan APBD, di situlah letak peran utama wakil rakyat untuk membantu rakyatnya sendiri. Dewan seperti itulah yang tidak peka terhadap penderitaan rakyat. Dewan seperti itulah yang diragukan moralitasnya.
Moralitas itu penting. Walaupun itu tidak diatur seperti apa bentuknya, tapi moralitas itu adalah ukuran kebaikan untuk seorang wakil rakyat. Dewan yang memiliki moralitas baik, dia pasti dekat dengan rakyatnya. Sebaliknya, Dewan yang hanya pura-pura memiliki moralitas, dia pasti lebih memikirkan kesenangan pribadi ketimbang peduli terhadap kesulitan rakyatnya sendiri. SG adalah pelajaran utama yang mesti dijadikan pelajaran oleh seluruh anggota Dewan yang lain. Tidak ada gunanya penyesalan kalau aib itu sudah terjadi. *
Pesta Demokrasi yang Bertabur Uang
Antara Golput dan Romantis
Oleh: Rosadi Jamani
Saya memperkirakan Pemilu 2009 yang baru saja berlalu lebih baik dari Pemilu 2004. Ternyata, perkiraan itu jauh meleset. Yang terjadi justru pesta demokrasi yang berakhir 9 April itu paling buruk sejak reformasi bergulir. Penilaian itu juga sudah diumumkan sejumlah tokoh nasional. Apa artinya? Berarti, demokrasi yang dibangun bukannya lebih baik tapi lebih buruk. Demokrasi yang semestinya semakin lebih baik, justru lebih buruk. Apakah mungkin untuk Pemilu 2014 menjadi lebih baik?
Pada 16 Maret lalu, sekitar pukul 19.19 saya mendapat SMS dari Ketua DPW Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Kalbar, Ahmadi Usman S Ag. Berikut kalimat dalam SMS itu, “Trims berita n do’anya Ros. Pemilu skrg mayoritas Golput: Golongan Pemilih Uang Tunai, dan bukan pemilih Romantis: Rokok, Makan, dan Minus Gratis sdh tak laku lagi, makenye byk yg bangkrut”. SMS itu saya balas dengan, “Ha…ha…ha…”. Maksudnya, lucu.
SMS itu tidak muncul begitu saja. Saya menilai, itu adalah sebuah kesimpulan bahwa pesta demokrasi untuk memilih wakil rakyat itu bertabur dengan uang (money politic). Walaupun saya bukan “pemain” di Pemilu itu, tapi saya bisa merasakan bahkan menyaksikan betapa pesta demokrasi itu jauh dari kualitas. Money politic merajalela tanpa ada pihak yang bisa mencegahnya. Lebih parah lagi, praktik money politic sudah menjadi budaya pesta demokrasi. Caleg terang-terangan mengumpani pemilih dengan uang. Begitu juga pemilih sibuk mendatangi caleg untuk dimintai uangnya. Jadi, praktik money politic tidak hanya dari caleg, melainkan dari pemilih juga.
Sebelumnya, saya pernah menulis dan berpendapat, jika praktik money politic sudah merajalela, untuk Pemilu 2014 tidak perlu lagi orang berakhlak, orang alim, orang berpendidikan tinggi dengan gelar panjang, orang bermoral, orang jujur atau embel-embel baik lainnya. Semua itu tidak ada gunanya untuk menarik simpati pemilih. Sebab, pemilih tidak butuh embel-embel baik itu. Mereka hanya butuh uang (money). Mereka akan memilih caleg yang memang banyak menghasilkan uang. Tulisan saya itu sedikit banyak menjadi kenyataan. Betapa uang bisa memporakporandakan basis partai tertentu yang sudah lama melakukan pembinaan.
“Sudah tidak ada artinya membina masyarakat. Saya bertahun-tahun memberikan perhatian di kampung itu. Sudah banyak uang saya sumbangkan. Ternyata, itu semua hancur dalam tempo dua hari menjelang pemilihan. Orang yang memilih saya hanya tiga orang. Ke depan, siapkan saja banyak uang, tak perlu ada pembinaan. Saat mau pencontrengan, sebarkan uang itu ke pemilih. Mereka pasti mau,” kesal salah satu caleg yang kebetulan teman saat di kampus.
Umumnya caleg kecewa dengan Pemilu yang baru saja berlalu. Di mana-mana ada kecurangan. Panwaslu yang semestinya jadi wasit, justru tidak berdaya. KPU yang berusaha menggelar Pemilu sebaik mungkin juga tidak berdaya. KPU hanya bisa pasrah menghadapi banyaknya pelanggaran.
Saya ingin mencuplik lagi sebuah kekecewaan dari seorang caleg asal Kabupaten Sekadau. Namanya tidak etis saya sebutkan. “Panwaslu sudah tidak ada artinya. Money politic ada di mana-mana, tidak bisa dihentikan. Untuk Pemilu akan datang, lebih baik kampanyekan money politic. Ayo, bertarung memperebutkan pemilih dengan money politic!” katanya dengan nada penuh kesal. Saya sedikit memahami ungkapan emosional itu. Caleg itu kalah dan tidak bisa duduk di kursi Dewan. Dia sudah banyak menghabiskan uang, tapi kalah berantakan oleh caleg yang memiliki uang lebih besar lagi. Satu hal yang ingin saya ambil, money politic benar-benar menjadi virus yang menggerogoti idealisme demokrasi kita. Demokrasi mengidap virus money politik yang sudah kronis. Sangat sulit untuk disembuhkan. Bahkan, saya bisa menyimpulkan money politic sudah menjadi budaya. Ini akan menjadi ancaman serius bagi perkembangan demokrasi di daerah ini dan Indonesia. Parahnya money politic tersebut membuat banyak kalangan meragukan kualitas wakil rakyat yang terpilih. Salah satunya, dosen ilmu politik Program Magister Ilmu Sosial Untan, Drs Gusti Suryansyah M Si. Kebetulan dia juga adalah dosen saya. Saya setuju dengan pendapatnya yang mengatakan bahwa kualitas wakil rakyat yang terpilih diragukan kualitasnya. Sebab, mereka duduk di kursi legislatif bukan karena kualitas pribadi, melainkan main duit.
Uang itu memang perlu dalam aktivitas politik. Tanpa uang, sebuah organisasi politik sulit berkembang. Tanpa uang juga, visi dan misi sebuah partai juga sulit dikampanyekan ke masyarakat. Begitu juga dengan caleg, tanpa uang mereka memang sulit mengampanyekan bahwa dirinya hebat dan berkualitas. Semuanya memang perlu uang. Apalagi di zaman yang menjunjung tinggi materialism sekarang ini, uang banyak dijadikan tujuan utama. Namun, uang juga bukan segala-galanya. Tidak semua mesti harus diukur dengan uang. Untuk menunjukkan kualitas pribadi tidak mesti harus dengan uang. Saya ingat pepatah orang tua kita dulu, orang baik ditempatkan di manapun tetap baik. Atau peribahasa, mutiara ditaruh di lumpur sekalipun tetap mutiara.
Lebih jelasnya saya contohkan kualitas pribadi yang phenomenal. Sebut saja almarhum Mamatma Gandhi mantan Presiden India. Sampai sekarang, nama Gandhi tetap dikenang di seluruh dunia. Kehebatannya diakui kawan dan lawan. Satu hal yang menarik dari Gandhi melawan penjajahan Inggris tanpa kekerasan. Untuk melawan sebuah ketidakberesan haruslah dengan cara yang terhormat, santun dan tidak menyakiti orang lain. Gandhi adalah miskin yang melawan dominasi Inggris yang begitu kuat. Tidak mungkin dilawan dengan kekuatan tenaga atau senjata. Tapi, di lewat tangan Gandhi yang hitam dan kurus, tanpa balutan pakaian mewah, hanya beralaskan sandal jepit, dia berhasil menyingkirkan Inggris dari India.
Mungkin terlalu jauh mengambil contoh Mahatma Gandhi dalam konteks pesta demokrasi Indonesia. Saya berani mengambil contoh, Muda Mahendrawan, Bupati Kubu Raya. Dia berhasil memenangkan Pilkada Kubu Raya tahun 2008 hanya bermodalkan kedekatan diri kepada rakyat. Dia mendapat gelar sebagai orang nomor satu di kabupaten ke-14 di Kalbar itu karena pilihan rakyat. Padahal, lawan politik yang dihadapinya orang hebat yang duitnya tidak berseri (saking banyaknya). Saat kampanye saja, dia tidak mendatangkan artis. Dia hanya bergerak mengikuti kehendak rakyat saja. Hasilnya, Muda terpilih sebagai bupati dengan meraih suara terbanyak mengungguli calon-calon yang lain. Dalam pesta demokrasi itu, yang bermain bukan money politic, melainkan kualitas pribadi. Orang memilih Muda bukan karena dia banyak duit, melainkan dia telah banyak berjasa dan berbuat untuk Kubu Raya.
Tapi, kualitas pribadi seorang politikus sulit dicari. Mungkin banyak di sekitar kita, tapi mereka umumnya tidak berduit. Sementara kualitas pribadi rendah bertabur uang, cukup banyak. Mereka-mereka inilah yang nantinya akan mewarnai peta politik di negeri ini. Jika sudah demikian, saya sangat pesimis negeri ini cepat maju, rakyatnya yang banyak miskin bisa keluar dari kemiskinan.
Apa yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan demokrasi dari kehancuran? Sangat sulit menjawabnya. Secara normatif bisa saya jawab, mendukung politisi yang berkualitas untuk duduk di parlemen. Walaupun sedikit, yang sedikit itu diharapkan bisa menjadi gula yang bisa “memaniskan” belanga politik di negeri ini.*
Oleh: Rosadi Jamani
Saya memperkirakan Pemilu 2009 yang baru saja berlalu lebih baik dari Pemilu 2004. Ternyata, perkiraan itu jauh meleset. Yang terjadi justru pesta demokrasi yang berakhir 9 April itu paling buruk sejak reformasi bergulir. Penilaian itu juga sudah diumumkan sejumlah tokoh nasional. Apa artinya? Berarti, demokrasi yang dibangun bukannya lebih baik tapi lebih buruk. Demokrasi yang semestinya semakin lebih baik, justru lebih buruk. Apakah mungkin untuk Pemilu 2014 menjadi lebih baik?
Pada 16 Maret lalu, sekitar pukul 19.19 saya mendapat SMS dari Ketua DPW Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Kalbar, Ahmadi Usman S Ag. Berikut kalimat dalam SMS itu, “Trims berita n do’anya Ros. Pemilu skrg mayoritas Golput: Golongan Pemilih Uang Tunai, dan bukan pemilih Romantis: Rokok, Makan, dan Minus Gratis sdh tak laku lagi, makenye byk yg bangkrut”. SMS itu saya balas dengan, “Ha…ha…ha…”. Maksudnya, lucu.
SMS itu tidak muncul begitu saja. Saya menilai, itu adalah sebuah kesimpulan bahwa pesta demokrasi untuk memilih wakil rakyat itu bertabur dengan uang (money politic). Walaupun saya bukan “pemain” di Pemilu itu, tapi saya bisa merasakan bahkan menyaksikan betapa pesta demokrasi itu jauh dari kualitas. Money politic merajalela tanpa ada pihak yang bisa mencegahnya. Lebih parah lagi, praktik money politic sudah menjadi budaya pesta demokrasi. Caleg terang-terangan mengumpani pemilih dengan uang. Begitu juga pemilih sibuk mendatangi caleg untuk dimintai uangnya. Jadi, praktik money politic tidak hanya dari caleg, melainkan dari pemilih juga.
Sebelumnya, saya pernah menulis dan berpendapat, jika praktik money politic sudah merajalela, untuk Pemilu 2014 tidak perlu lagi orang berakhlak, orang alim, orang berpendidikan tinggi dengan gelar panjang, orang bermoral, orang jujur atau embel-embel baik lainnya. Semua itu tidak ada gunanya untuk menarik simpati pemilih. Sebab, pemilih tidak butuh embel-embel baik itu. Mereka hanya butuh uang (money). Mereka akan memilih caleg yang memang banyak menghasilkan uang. Tulisan saya itu sedikit banyak menjadi kenyataan. Betapa uang bisa memporakporandakan basis partai tertentu yang sudah lama melakukan pembinaan.
“Sudah tidak ada artinya membina masyarakat. Saya bertahun-tahun memberikan perhatian di kampung itu. Sudah banyak uang saya sumbangkan. Ternyata, itu semua hancur dalam tempo dua hari menjelang pemilihan. Orang yang memilih saya hanya tiga orang. Ke depan, siapkan saja banyak uang, tak perlu ada pembinaan. Saat mau pencontrengan, sebarkan uang itu ke pemilih. Mereka pasti mau,” kesal salah satu caleg yang kebetulan teman saat di kampus.
Umumnya caleg kecewa dengan Pemilu yang baru saja berlalu. Di mana-mana ada kecurangan. Panwaslu yang semestinya jadi wasit, justru tidak berdaya. KPU yang berusaha menggelar Pemilu sebaik mungkin juga tidak berdaya. KPU hanya bisa pasrah menghadapi banyaknya pelanggaran.
Saya ingin mencuplik lagi sebuah kekecewaan dari seorang caleg asal Kabupaten Sekadau. Namanya tidak etis saya sebutkan. “Panwaslu sudah tidak ada artinya. Money politic ada di mana-mana, tidak bisa dihentikan. Untuk Pemilu akan datang, lebih baik kampanyekan money politic. Ayo, bertarung memperebutkan pemilih dengan money politic!” katanya dengan nada penuh kesal. Saya sedikit memahami ungkapan emosional itu. Caleg itu kalah dan tidak bisa duduk di kursi Dewan. Dia sudah banyak menghabiskan uang, tapi kalah berantakan oleh caleg yang memiliki uang lebih besar lagi. Satu hal yang ingin saya ambil, money politic benar-benar menjadi virus yang menggerogoti idealisme demokrasi kita. Demokrasi mengidap virus money politik yang sudah kronis. Sangat sulit untuk disembuhkan. Bahkan, saya bisa menyimpulkan money politic sudah menjadi budaya. Ini akan menjadi ancaman serius bagi perkembangan demokrasi di daerah ini dan Indonesia. Parahnya money politic tersebut membuat banyak kalangan meragukan kualitas wakil rakyat yang terpilih. Salah satunya, dosen ilmu politik Program Magister Ilmu Sosial Untan, Drs Gusti Suryansyah M Si. Kebetulan dia juga adalah dosen saya. Saya setuju dengan pendapatnya yang mengatakan bahwa kualitas wakil rakyat yang terpilih diragukan kualitasnya. Sebab, mereka duduk di kursi legislatif bukan karena kualitas pribadi, melainkan main duit.
Uang itu memang perlu dalam aktivitas politik. Tanpa uang, sebuah organisasi politik sulit berkembang. Tanpa uang juga, visi dan misi sebuah partai juga sulit dikampanyekan ke masyarakat. Begitu juga dengan caleg, tanpa uang mereka memang sulit mengampanyekan bahwa dirinya hebat dan berkualitas. Semuanya memang perlu uang. Apalagi di zaman yang menjunjung tinggi materialism sekarang ini, uang banyak dijadikan tujuan utama. Namun, uang juga bukan segala-galanya. Tidak semua mesti harus diukur dengan uang. Untuk menunjukkan kualitas pribadi tidak mesti harus dengan uang. Saya ingat pepatah orang tua kita dulu, orang baik ditempatkan di manapun tetap baik. Atau peribahasa, mutiara ditaruh di lumpur sekalipun tetap mutiara.
Lebih jelasnya saya contohkan kualitas pribadi yang phenomenal. Sebut saja almarhum Mamatma Gandhi mantan Presiden India. Sampai sekarang, nama Gandhi tetap dikenang di seluruh dunia. Kehebatannya diakui kawan dan lawan. Satu hal yang menarik dari Gandhi melawan penjajahan Inggris tanpa kekerasan. Untuk melawan sebuah ketidakberesan haruslah dengan cara yang terhormat, santun dan tidak menyakiti orang lain. Gandhi adalah miskin yang melawan dominasi Inggris yang begitu kuat. Tidak mungkin dilawan dengan kekuatan tenaga atau senjata. Tapi, di lewat tangan Gandhi yang hitam dan kurus, tanpa balutan pakaian mewah, hanya beralaskan sandal jepit, dia berhasil menyingkirkan Inggris dari India.
Mungkin terlalu jauh mengambil contoh Mahatma Gandhi dalam konteks pesta demokrasi Indonesia. Saya berani mengambil contoh, Muda Mahendrawan, Bupati Kubu Raya. Dia berhasil memenangkan Pilkada Kubu Raya tahun 2008 hanya bermodalkan kedekatan diri kepada rakyat. Dia mendapat gelar sebagai orang nomor satu di kabupaten ke-14 di Kalbar itu karena pilihan rakyat. Padahal, lawan politik yang dihadapinya orang hebat yang duitnya tidak berseri (saking banyaknya). Saat kampanye saja, dia tidak mendatangkan artis. Dia hanya bergerak mengikuti kehendak rakyat saja. Hasilnya, Muda terpilih sebagai bupati dengan meraih suara terbanyak mengungguli calon-calon yang lain. Dalam pesta demokrasi itu, yang bermain bukan money politic, melainkan kualitas pribadi. Orang memilih Muda bukan karena dia banyak duit, melainkan dia telah banyak berjasa dan berbuat untuk Kubu Raya.
Tapi, kualitas pribadi seorang politikus sulit dicari. Mungkin banyak di sekitar kita, tapi mereka umumnya tidak berduit. Sementara kualitas pribadi rendah bertabur uang, cukup banyak. Mereka-mereka inilah yang nantinya akan mewarnai peta politik di negeri ini. Jika sudah demikian, saya sangat pesimis negeri ini cepat maju, rakyatnya yang banyak miskin bisa keluar dari kemiskinan.
Apa yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan demokrasi dari kehancuran? Sangat sulit menjawabnya. Secara normatif bisa saya jawab, mendukung politisi yang berkualitas untuk duduk di parlemen. Walaupun sedikit, yang sedikit itu diharapkan bisa menjadi gula yang bisa “memaniskan” belanga politik di negeri ini.*
Teknologi 3 GT Mempertahankan NKRI
Potret Nelayan di Garis Perbatasan Laut Indonesia-Malaysia
Oleh Rosadi Jamani
Saya memulai tulisan ini dari pernyataan Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP) Departemen Kelautan dan Perikanan, Dr Ir Aji Sularso MMA menyatakan, Indonesia hanya memiliki 20 kapal pengawas untuk mengawasi panjang pantai 95.181 kilometer persegi (km²), laut kepulauan 2,3 juta km², laut territorial 0,8 juta km² dan luas laut zona ekonomi eksklusif 2,7 km². Jumlah kapal patroli itu jauh dari kata ideal. Sementara diperkirakan ada 500 kapal nelayan asing mencuri ikan di Indonesia dalam setiap tahunnya. “Apa yang bisa kita lakukan dengan jumlah kapal pengawas sebanyak itu untuk mengawasi nelayan asing yang jumlahnya sekitar 500 kapal mencuri ikan di laut kita yang luas,” ujar Aji Sularso dalam seminar nasional tentang kelautan dan perikanan di Balai Petitih Kantor Gubernur Kalbar, 23 Maret 2009 lalu.
Mendengar pernyataan itu, saya berkata dalam hati, wajar saja banyak kapal Thailand dan Malaysia yang ditangkap di perairan Kalbar. Untuk Kalbar, data dari Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Pontianak hanya memiliki sembilan kapal pengawas. Pengawasan itupun tidak sampai menjangkau perbatasan laut antara Indonesia-Malaysia yang berada di utara Kalbar, persisnya di Tanjung Datuk Desa Temajuk Kecamatan Paloh Kabupaten Sambas. “Kita tidak ada personel dan kapal untuk mengawasi perbatasan laut kita dengan Malaysia,” kata Kepala PSDKP Pontianak, Bambang Nugroho ketika dihubungi, Senin (13/4).
Lantas bagaimana cara Indonesia mengawasi perbatasan laut itu? TNI Angkatan Laut (TNI AL) paling bertanggung jawab terhadap penjagaan perbatasan laut itu. Di Tanjung Datuk memang ada Pos Angkatan Laut (Posal) dengan lima personel yang diganti setiap enam bulan sekali. Di Posal ini hanya dilengkapi speed board satu buah panjang lima meter dengan kecepatan 15 km/jam. Kemudian, ada juga teropong dan alat komunikasi jarak jauh. Setiap pukul 06.00 sampai 18.00 WIB komandan Posal yang berpangkat letnan dua akan melaporkan setiap aktivitas yang terjadi di perbatasan laut itu.
Ada juga personel dari Dinas Perhubungan Kalbar yang memasang monitor di Tanjung Datuk itu. Dulu, melalui monitor itu, aktivitas nelayan asing bisa diawasi. “Sayang, saya cek terakhir, monitor itu tidak lagi berfungsi. Satu-satunya sumber pengawasan kita hanya mengandalkan teropong dan informasi dari nelayan kita yang mencari ikan di laut,” kata Komandan Pangkalan Angkatan Laut (Danlanal) Pontianak, Kolonel Laut (P) Trikora Harjo di ruang kerjanya, belum lama ini.
Kondisi tersebut tentunya sangat mengkhawatirkan. Seperti itulah gambaran awal dari pikiran saya setelah mendengarkan pemaparan dari berbagai pihak yang berkompeten terhadap laut Indonesia. Untuk membuktikan itu, saya selama dua hari satu malam (27-28 Maret 2008) mengunjungi langsung Desa Temajuk, sebuah desa persis berbatasan darat dan laut dengan Sarawak Malaysia. Saya ingin melihat dari dekat seperti apa kehidupan warga desa yang 90 persen adalah nelayan. Untuk mencapai ke Desa Temajuk dari Pontianak diperkirakan 10-12 jam menggunakan sepeda motor. Jika menggunakan mobil, dari Pontianak hanya bisa sampai di Desa Sebubus Kecamatan Paloh Kabupaten Sambas. Setelah itu, harus menggunakan jasa ojek sepeda motor karena belum ada jalan aspal menuju Desa Temajuk. Satu-satunya jalan menuju Temajuk menggunakan jalan tepi pantai saat air surut. Atau, menggunakan kapal motor laut.
Satu hal yang membuat saya harus ke Temajuk, ingin membuktikan informasi dari P2SDKP bahwa nelayan Indonesia jauh tertinggal dari segi teknologi bila dibandingkan Thailand, Vietnam ataupun Malaysia. “Kalau soal teknologi, jika dibandingkan dengan Malaysia, kita kalah jauh. Nelayan kita hanya memiliki kapal rata-rata 2 GT (Gross Tonase, red) dengan mesin antara 3-5 PK. Sementara Malaysia rata-rata memiliki kapal 30-50 GT dengan mesin antara 300 - 500 PK, bahkan ada yang 1.500 PK,” jelas Aji Sularso dalam seminar nasional itu.
Kemudian, nelayan Malaysia juga sudah dilengkapi radar untuk mengetahui keberadaan ikan serta global positioning system (GPS). Sementara nelayan di perbatasan umumnya hanya mengandalkan instinct (naluri) atau melihat ciri-ciri alam untuk mengetahui keberadaan ikan. “Untuk sementara, nelayan kita sangat jauh dalam penguasaan teknologi perikanan,” tambah Aji Sularso.
Setelah sampai di Desa Temajuk, memang benar 90 persen warganya adalah nelayan. Ada sekitar 600 kepala keluarga (KK) tinggal di desa itu. Melihat kehidupan nelayan, secara umum tidak jauh berbeda dengan nelayan Indonesia yang rata-rata miskin. Di desa itu memang ada pasar kecil, tapi sepi. Ada sekolah dari tingkat sekolah dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA). Untuk pelayanan kesehatan ada Puskesmas dan Puskesmas Pembantu. Tidak ada bank dan listrik. Bila malam hari warga hanya mengandalkan mesin genset untuk penerangan, itupun hanya bertahan sampai pukul 00.00. Tidak ada jaringan telepon selular. Untung saja pelayanan air bersih, ada. Sumber airnya berasal dari gunung tidak jauh dari desa itu.
Di desa itu, interaksi warganya dengan warga Kampung Teluk Melano Sarawak Malaysia, cukup tinggi. Untuk ke Teluk Melano yang berbatasan langsung dengan Temajuk hanya butuh waktu 15 menit menggunakan sepeda motor. Saya coba masuk ke Teluk Melano menggunakan sepeda motor. Di perbatasan tidak ada pemeriksaan paspor atau identitas lainnya oleh tentara Malaysia. Orang Temajuk biasanya bebas ke Teluk Melano tanpa ada pemeriksaan. Dua warga beda negara itu dalam kehidupan sehari-hari adalah keluarga besar. Orang Teluk Melano bebas masuk ke Temajuk, begitu juga sebaliknya. Telah terjadi interaksi sosial, budaya dan ekonomi kedua daerah beda negara itu.
Di Teluk Melano, kehidupan warganya lebih baik dibanding warga Temajuk. Mereka hanya unggul pada ketersediaan listrik, telepon, sarana telekomunikasi. Bangunan sekolah dasar (SD)-nya saja empat tingkat dilengkapi sarana internet. Sementara SD di Temajuk, gedungnya tidak bertingkat, namun fisik bangunannya lumayan bagus. Cuma, tidak ada fasilitas internet. Warga di Teluk Melano juga rata-rata nelayan. Dari segi pendapatan, warga Teluk Melano jauh lebih tinggi dari nelayan di Desa Temajuk. Apa yang membedakannya? Padahal, laut tempat mereka menangkap ikan itu sama. Bedanya, hanya dipisahkan batas laut saja.
Untuk menjawab itu, saya bertanya langsung dengan salah satu tokoh nelayan Desa Temajuk, Karta. Dia mengatakan, nelayan di Temajuk kebanyakan hanya menggunakan kapal mesin 3 GT ke bawah dengan mesin antara 3-5 PK (umumnya mesin tempel). Pada era tahun 1990-an di saat bensin dan solar masih murah, jumlah kapal mencapai 60-an. “Sekarang, bensin dan solar di Temajuk Rp 7000 per liter. Jadi, jumlah kapal jauh susut sekitar 20-an saja,” jelas Karta kepada saya di kediamannya pada 28 Maret 2009 lalu.
“Kapal 6 GT juga ada, tapi hanya satu buah saja. Terus terang, untuk saat ini kehidupan nelayan di Temajuk sangat memprihatinkan. Mereka mencari ikan hanya sekadar menyambung hidup dan bayar utang. Jangan berharap hasil dari laut bisa kaya. Mereka memang dapat sekitar Rp 1 juta per bulan, tapi habis dipotong utang, bayar bensin dan solar,” keluh Karta didampingi sejumlah nelayan lainnya.
Mesin kapal yang mereka gunakan kebanyakan buatan Cina merk Yanmar 33 dan Dongfeng 30. Ada juga mesin tempel dengan kecepatan 5 PK. Dengan teknologi itu, mereka hanya bisa mencari ikan antara 4-5 mil dari garis pantai. Ikan yang mereka dapatkan seperti kakap merah, eron, kerapu, bawal dan mancung. Pada saat saya ke sana itu, nelayan sedang berburu ubur-ubur. Bahkan, ada juga udang lobster. Untuk menangkap udang lobster itu dengan cara menyelam dibantu kompresor.
Hanya itulah teknologi yang dimiliki nelayan Temajuk. Hal tersebut membuat pendapatan mereka tidak meningkat, bahkan cenderung menurun mengingat biaya operasional jauh lebih tinggi dibandingkan keuntungan dari laut. “Ikan yang kami dapatkan itu, biasanya dijual ke Malaysia. Caranya, menunggu keamanan laut lengah, lalu kami masuk ke Malaysia. Kalau sudah di Malaysia, transaksi ikan lancar dengan harga jauh lebih tinggi dibandingkan daerah kita,” tambah Asy’ari yang juga tokoh masyarakat Temajuk.
Walaupun harga ikan di Malaysia mahal, tapi kebutuhan hidup juga mahal di Temajuk. Di desa itu hampir seluruh kebutuhan pokok dipasok dari luar. Bahkan, untuk gas dan gula mereka beli dari Malaysia. Dari fakta inilah, potret nelayan di garis perbatasan Indonesia-Malaysia itu jauh tertinggal dan rata-rata masih miskin.
Sementara nelayan di Malaysia kehidupan mereka mapan dari segi ekonomi. Hal ini disebabkan, teknologi nelayan yang mereka gunakan cukup tinggi. Rata-rata kapal nelayan mereka 30-50 GT dengan mesin antara 300 - 500 PK, bahkan ada yang 1500 PK. Jangkauan mencari ikan tidak hanya di pesisir pantai, melainkan sudah ke laut lepas. Kemudian, sistem pemasaran ikan juga jauh lebih maju. Nelayan Teluk Melano begitu dapat ikan langsung memasarkannya ke pelabuhan ikan Sematan. Pelabuhan Sematan hanya butuh satu jam dari Teluk Melano pakai kapal laut. Pelabuhan itu merupakan pelabuhan ikan terbesar di Sarawak. Di sanalah banyak nelayan Indonesia terutama dari perairan Kalbar menjual ikannya.
Ada dugaan, nelayan Malaysia itu banyak mencuri ikan di perairan Kalbar? Menurut keterangan Pos Pengamanan Perbatasan (Pamtas) TNI Angkatan Darat, Letnan II Jaja Jamaluddin, kalau dulu mungkin benar ada nelayan Malaysia mencuri ikan di perairan Kalbar. “Untuk sekarang, rasanya sulit. Sebab, kami dari TNI AD, TNI AL dan Dinas Perhubungan selalu mengawasi garis perbatasan laut. Kita selalu melakukan koordinasi untuk pengawasan laut itu,” katanya kepada saya di kantornya di Desa Temajuk.
Namun, berbeda dengan keterangan Danlanal Pontianak, Trikora Harjo, bisa saja nelayan Malaysia mencuri ikan di perairan Kalbar. Mereka sudah menggunakan alat canggih yang bisa memantau pergerakan kapal patroli Indonesia yang sangat terbatas. “Kapal nelayan Malaysia bisa memonitor pergerakan kapal kita di garis perbatasan. Begitu kapal kita lengah, mereka bisa saja masuk ke perairan kita lalu menangkap ikan secara ilegal. Ketika ada patroli, mereka cepat masuk ke laut mereka,” kata Trikora.
Lemahnya teknologi pengawasan itu, membuat TNI AL intensif menjalin kerja sama dengan nelayan. Lantas, apakah nelayan memang ikut menjaga perbatasan laut dari nelayan asing? “Walaupun kami hidup miskin dan sering menjual ikan ke Malaysia, kami tidak terima apabila ada nelayan asing masuk ke wilayah kita. Dulu, pernah ada kapal nelayan Malaysia menggunakan pukat trawl masuk ke perairan kita. Kami kejar dengan kapal 5 PK. Tapi, mereka cepat kabur ke batas lautnya dan langsung memutuskan pukat trawlnya. Untuk sekarang, sudah lama tidak ada nelayan asing. Tidak tahulah, apakah mereka mencuri secara diam-diam atau tidak. Kamikan hanya bisa memantau paling hanya 5-8 mil saja,” beber Karta.
Saya melihat rasa nasionalisme nelayan di Temajuk itu sangat tinggi. Walaupun mereka umumnya miskin, tapi untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak diragukan. Padahal, di daerahnya ada dua persoalan batas negara yang belum selesai atau belum jelas. Pertama, mengenai pulau kecil Gosong Niger, sejauh ini masih diperebutkan Indonesia dan Malaysia. Versi Indonesia, Gosong Niger sah milik Indonesia. Tapi, sampai saat ini Malaysia juga belum mengakuinya itu milik Indonesia. Kedua, Kampung Camar Bulan tidak jauh dari Desa Temajuk juga masih sengketa. Sampai saat ini daerah itu belum bisa diakui resmi oleh Indonesia. Begitu juga Malaysia. Pemerintah lewat TNI AD dan AL meminta bantuan nelayan ikut menjaga dua daerah itu jangan sampai dicaplok Malaysia. Keberadaan nelayan di perbatasan menjadi garda terdepan untuk mempertahankan dua daerah itu masuk NKRI.
“Kami siap mempertahankan Gosong Niger dan Camar Bulan masuk NKRI dengan nyawa taruhannya. Warga di Temajuk sangat sensitif apabila Malaysia mengungkit-ungkit persoalan Gosong Niger dan Camar Bulan,” tekad Karta dengan berapi-api.
Apakah ada perhatian pemerintah daerah untuk kesejahteraan warga Desa Temajuk? Karta menjawab, memang ada bantuan dari Pemkab Sambas untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Bantuan itu berupa pukat 30 utas (gulungan) dengan mesin dongfeng 13 buah tahun 2003 lalu. “Kami dibantu pukat ukuran 5 inci. Itukan pukat kasar untuk ikan besar. Sebenarnya kami butuh pukat 2 - 3 inci. Ketika dioperasikan, hasilnya tidak seberapa, sementara dana operasionalnya sangat tinggi. Akhirnya, bantuan itu jadi mubazir. Sampai sekarang, nelayan di sini tetap menggunakan cara tradisional, tanpa ada teknologi canggih. Mereka mencari ikan hanya berdasarkan pengalaman saja. Apabila laut teduh, mereka mencari ikan. Apabila laut gelombang tinggi dan penuh badai, mereka tidak melaut. Di saat tidak melaut, mereka banyak berutang ke agen ikan atau tengkulak. Itu sebabnya, nelayan sulit keluar dari utang. “Sampai kapanpun utang kami sulit dibayar ke agen. Kalau tidak ngutang, anak dan istri kita mau makan apa. Sementara hasil laut, hanya mengandalkan di saat laut teduh saja. Kalau musim badai, kita tidak bisa apa-apa,” papar Karta.
Satu-satunya harapan mereka, pemerintah bisa membangun jalan darat dari Paloh menuju desa mereka. Dengan adanya akses jalan itu akan membuka seluruh potensi desa mereka. Potensi Temajuk selain kelautan dan perikanan juga ada potensi pertanian yang sampai saat ini belum dikembangkan. Jika itu dilakukan, di saat laut penuh badai, mereka bisa mengolah pertanian sambil menjaga wilayah batas NKRI. Pemerintah juga bisa menjadikan warga Desa Temajuk beralih dari nelayan tangkap menjadi nelayan budi daya. Sebab, laut di Temajuk sangat potensial untuk budi daya rumput laut, ikan kerapuk, udang dan sebagainya. Teknologi mencari ikan juga harus ditingkatkan. Dengan pemberdayaan itu dan melengkapi nelayan dengan teknologi mutakhir, nelayan pasti bangga dan merasa diperhatikan Indonesia. Apabila mereka diperhatikan, mereka juga memiliki tanggung jawab kuat untuk menjaga kedaulatan Indonesia.
Yang saya khawatirkan, walaupun nelayan itu memiliki tekad untuk tetap menjadi warga NKRI, tapi apakah itu bisa dijadikan jaminan? Saya khawatir, apabila pemerintah tidak peduli, mengabaikan tuntutan mereka, bukan tidak mungkin rasa nasionalisme mereka akan luntur. Saya masih ingat dengan warga perbatasan Kecamatan Puring Kencana Kabupaten Kapuas Hulu Kalbar pada Maret lalu mengirim surat ke pemerintah pusat akan keluar dari NKRI. Alasannya, sepele. Mereka merasa tidak diperhatikan Indonesia. Negara Malaysia justru lebih banyak memperhatikan mereka. Atas surat tersebut Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan mengutus langsung Deputi Pertahanan Negara bersama Danrem 121 Alambhana Wanawai dan Danlanud Supadio turun ke lapangan mengecek keinginan warga Puring Kencana itu. Walaupun pernyataan wakil pemerintah pusat itu membantah warga Puring Kencana keluar dari NKRI (Equator, 6 Maret), kenyataan di lapangan daerah perbatasan itu sangat jauh tertinggal dalam soal pembangunan.
Persoalan itulah yang dikhawatirkan. Bukan tidak mungkin warga Temajuk akan melakukan hal serupa dengan saudaranya di Puring Kencana untuk keluar dari NKRI karena tidak diperhatikan pemerintah pusat dan daerah. Cara terbaik agar warga Temajuk tetap betah dan senang mengaku “Aku Warga Negara Indonesia” perbaiki cara tangkap ikan dengan teknologi mutakhir agar bisa bersaing dengan tetangganya. Begitu juga teknologi budi daya ikan laut diberikan agar mereka tidak hanya mengandalkan tangkap ikan saja. Intinya, pemerintah pusat dan daerah memberikan perhatian serius kepada nelayan Temajuk agar mereka tetap bangga hidup di bawah bendera NKRI. *
Oleh Rosadi Jamani
Saya memulai tulisan ini dari pernyataan Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP) Departemen Kelautan dan Perikanan, Dr Ir Aji Sularso MMA menyatakan, Indonesia hanya memiliki 20 kapal pengawas untuk mengawasi panjang pantai 95.181 kilometer persegi (km²), laut kepulauan 2,3 juta km², laut territorial 0,8 juta km² dan luas laut zona ekonomi eksklusif 2,7 km². Jumlah kapal patroli itu jauh dari kata ideal. Sementara diperkirakan ada 500 kapal nelayan asing mencuri ikan di Indonesia dalam setiap tahunnya. “Apa yang bisa kita lakukan dengan jumlah kapal pengawas sebanyak itu untuk mengawasi nelayan asing yang jumlahnya sekitar 500 kapal mencuri ikan di laut kita yang luas,” ujar Aji Sularso dalam seminar nasional tentang kelautan dan perikanan di Balai Petitih Kantor Gubernur Kalbar, 23 Maret 2009 lalu.
Mendengar pernyataan itu, saya berkata dalam hati, wajar saja banyak kapal Thailand dan Malaysia yang ditangkap di perairan Kalbar. Untuk Kalbar, data dari Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Pontianak hanya memiliki sembilan kapal pengawas. Pengawasan itupun tidak sampai menjangkau perbatasan laut antara Indonesia-Malaysia yang berada di utara Kalbar, persisnya di Tanjung Datuk Desa Temajuk Kecamatan Paloh Kabupaten Sambas. “Kita tidak ada personel dan kapal untuk mengawasi perbatasan laut kita dengan Malaysia,” kata Kepala PSDKP Pontianak, Bambang Nugroho ketika dihubungi, Senin (13/4).
Lantas bagaimana cara Indonesia mengawasi perbatasan laut itu? TNI Angkatan Laut (TNI AL) paling bertanggung jawab terhadap penjagaan perbatasan laut itu. Di Tanjung Datuk memang ada Pos Angkatan Laut (Posal) dengan lima personel yang diganti setiap enam bulan sekali. Di Posal ini hanya dilengkapi speed board satu buah panjang lima meter dengan kecepatan 15 km/jam. Kemudian, ada juga teropong dan alat komunikasi jarak jauh. Setiap pukul 06.00 sampai 18.00 WIB komandan Posal yang berpangkat letnan dua akan melaporkan setiap aktivitas yang terjadi di perbatasan laut itu.
Ada juga personel dari Dinas Perhubungan Kalbar yang memasang monitor di Tanjung Datuk itu. Dulu, melalui monitor itu, aktivitas nelayan asing bisa diawasi. “Sayang, saya cek terakhir, monitor itu tidak lagi berfungsi. Satu-satunya sumber pengawasan kita hanya mengandalkan teropong dan informasi dari nelayan kita yang mencari ikan di laut,” kata Komandan Pangkalan Angkatan Laut (Danlanal) Pontianak, Kolonel Laut (P) Trikora Harjo di ruang kerjanya, belum lama ini.
Kondisi tersebut tentunya sangat mengkhawatirkan. Seperti itulah gambaran awal dari pikiran saya setelah mendengarkan pemaparan dari berbagai pihak yang berkompeten terhadap laut Indonesia. Untuk membuktikan itu, saya selama dua hari satu malam (27-28 Maret 2008) mengunjungi langsung Desa Temajuk, sebuah desa persis berbatasan darat dan laut dengan Sarawak Malaysia. Saya ingin melihat dari dekat seperti apa kehidupan warga desa yang 90 persen adalah nelayan. Untuk mencapai ke Desa Temajuk dari Pontianak diperkirakan 10-12 jam menggunakan sepeda motor. Jika menggunakan mobil, dari Pontianak hanya bisa sampai di Desa Sebubus Kecamatan Paloh Kabupaten Sambas. Setelah itu, harus menggunakan jasa ojek sepeda motor karena belum ada jalan aspal menuju Desa Temajuk. Satu-satunya jalan menuju Temajuk menggunakan jalan tepi pantai saat air surut. Atau, menggunakan kapal motor laut.
Satu hal yang membuat saya harus ke Temajuk, ingin membuktikan informasi dari P2SDKP bahwa nelayan Indonesia jauh tertinggal dari segi teknologi bila dibandingkan Thailand, Vietnam ataupun Malaysia. “Kalau soal teknologi, jika dibandingkan dengan Malaysia, kita kalah jauh. Nelayan kita hanya memiliki kapal rata-rata 2 GT (Gross Tonase, red) dengan mesin antara 3-5 PK. Sementara Malaysia rata-rata memiliki kapal 30-50 GT dengan mesin antara 300 - 500 PK, bahkan ada yang 1.500 PK,” jelas Aji Sularso dalam seminar nasional itu.
Kemudian, nelayan Malaysia juga sudah dilengkapi radar untuk mengetahui keberadaan ikan serta global positioning system (GPS). Sementara nelayan di perbatasan umumnya hanya mengandalkan instinct (naluri) atau melihat ciri-ciri alam untuk mengetahui keberadaan ikan. “Untuk sementara, nelayan kita sangat jauh dalam penguasaan teknologi perikanan,” tambah Aji Sularso.
Setelah sampai di Desa Temajuk, memang benar 90 persen warganya adalah nelayan. Ada sekitar 600 kepala keluarga (KK) tinggal di desa itu. Melihat kehidupan nelayan, secara umum tidak jauh berbeda dengan nelayan Indonesia yang rata-rata miskin. Di desa itu memang ada pasar kecil, tapi sepi. Ada sekolah dari tingkat sekolah dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA). Untuk pelayanan kesehatan ada Puskesmas dan Puskesmas Pembantu. Tidak ada bank dan listrik. Bila malam hari warga hanya mengandalkan mesin genset untuk penerangan, itupun hanya bertahan sampai pukul 00.00. Tidak ada jaringan telepon selular. Untung saja pelayanan air bersih, ada. Sumber airnya berasal dari gunung tidak jauh dari desa itu.
Di desa itu, interaksi warganya dengan warga Kampung Teluk Melano Sarawak Malaysia, cukup tinggi. Untuk ke Teluk Melano yang berbatasan langsung dengan Temajuk hanya butuh waktu 15 menit menggunakan sepeda motor. Saya coba masuk ke Teluk Melano menggunakan sepeda motor. Di perbatasan tidak ada pemeriksaan paspor atau identitas lainnya oleh tentara Malaysia. Orang Temajuk biasanya bebas ke Teluk Melano tanpa ada pemeriksaan. Dua warga beda negara itu dalam kehidupan sehari-hari adalah keluarga besar. Orang Teluk Melano bebas masuk ke Temajuk, begitu juga sebaliknya. Telah terjadi interaksi sosial, budaya dan ekonomi kedua daerah beda negara itu.
Di Teluk Melano, kehidupan warganya lebih baik dibanding warga Temajuk. Mereka hanya unggul pada ketersediaan listrik, telepon, sarana telekomunikasi. Bangunan sekolah dasar (SD)-nya saja empat tingkat dilengkapi sarana internet. Sementara SD di Temajuk, gedungnya tidak bertingkat, namun fisik bangunannya lumayan bagus. Cuma, tidak ada fasilitas internet. Warga di Teluk Melano juga rata-rata nelayan. Dari segi pendapatan, warga Teluk Melano jauh lebih tinggi dari nelayan di Desa Temajuk. Apa yang membedakannya? Padahal, laut tempat mereka menangkap ikan itu sama. Bedanya, hanya dipisahkan batas laut saja.
Untuk menjawab itu, saya bertanya langsung dengan salah satu tokoh nelayan Desa Temajuk, Karta. Dia mengatakan, nelayan di Temajuk kebanyakan hanya menggunakan kapal mesin 3 GT ke bawah dengan mesin antara 3-5 PK (umumnya mesin tempel). Pada era tahun 1990-an di saat bensin dan solar masih murah, jumlah kapal mencapai 60-an. “Sekarang, bensin dan solar di Temajuk Rp 7000 per liter. Jadi, jumlah kapal jauh susut sekitar 20-an saja,” jelas Karta kepada saya di kediamannya pada 28 Maret 2009 lalu.
“Kapal 6 GT juga ada, tapi hanya satu buah saja. Terus terang, untuk saat ini kehidupan nelayan di Temajuk sangat memprihatinkan. Mereka mencari ikan hanya sekadar menyambung hidup dan bayar utang. Jangan berharap hasil dari laut bisa kaya. Mereka memang dapat sekitar Rp 1 juta per bulan, tapi habis dipotong utang, bayar bensin dan solar,” keluh Karta didampingi sejumlah nelayan lainnya.
Mesin kapal yang mereka gunakan kebanyakan buatan Cina merk Yanmar 33 dan Dongfeng 30. Ada juga mesin tempel dengan kecepatan 5 PK. Dengan teknologi itu, mereka hanya bisa mencari ikan antara 4-5 mil dari garis pantai. Ikan yang mereka dapatkan seperti kakap merah, eron, kerapu, bawal dan mancung. Pada saat saya ke sana itu, nelayan sedang berburu ubur-ubur. Bahkan, ada juga udang lobster. Untuk menangkap udang lobster itu dengan cara menyelam dibantu kompresor.
Hanya itulah teknologi yang dimiliki nelayan Temajuk. Hal tersebut membuat pendapatan mereka tidak meningkat, bahkan cenderung menurun mengingat biaya operasional jauh lebih tinggi dibandingkan keuntungan dari laut. “Ikan yang kami dapatkan itu, biasanya dijual ke Malaysia. Caranya, menunggu keamanan laut lengah, lalu kami masuk ke Malaysia. Kalau sudah di Malaysia, transaksi ikan lancar dengan harga jauh lebih tinggi dibandingkan daerah kita,” tambah Asy’ari yang juga tokoh masyarakat Temajuk.
Walaupun harga ikan di Malaysia mahal, tapi kebutuhan hidup juga mahal di Temajuk. Di desa itu hampir seluruh kebutuhan pokok dipasok dari luar. Bahkan, untuk gas dan gula mereka beli dari Malaysia. Dari fakta inilah, potret nelayan di garis perbatasan Indonesia-Malaysia itu jauh tertinggal dan rata-rata masih miskin.
Sementara nelayan di Malaysia kehidupan mereka mapan dari segi ekonomi. Hal ini disebabkan, teknologi nelayan yang mereka gunakan cukup tinggi. Rata-rata kapal nelayan mereka 30-50 GT dengan mesin antara 300 - 500 PK, bahkan ada yang 1500 PK. Jangkauan mencari ikan tidak hanya di pesisir pantai, melainkan sudah ke laut lepas. Kemudian, sistem pemasaran ikan juga jauh lebih maju. Nelayan Teluk Melano begitu dapat ikan langsung memasarkannya ke pelabuhan ikan Sematan. Pelabuhan Sematan hanya butuh satu jam dari Teluk Melano pakai kapal laut. Pelabuhan itu merupakan pelabuhan ikan terbesar di Sarawak. Di sanalah banyak nelayan Indonesia terutama dari perairan Kalbar menjual ikannya.
Ada dugaan, nelayan Malaysia itu banyak mencuri ikan di perairan Kalbar? Menurut keterangan Pos Pengamanan Perbatasan (Pamtas) TNI Angkatan Darat, Letnan II Jaja Jamaluddin, kalau dulu mungkin benar ada nelayan Malaysia mencuri ikan di perairan Kalbar. “Untuk sekarang, rasanya sulit. Sebab, kami dari TNI AD, TNI AL dan Dinas Perhubungan selalu mengawasi garis perbatasan laut. Kita selalu melakukan koordinasi untuk pengawasan laut itu,” katanya kepada saya di kantornya di Desa Temajuk.
Namun, berbeda dengan keterangan Danlanal Pontianak, Trikora Harjo, bisa saja nelayan Malaysia mencuri ikan di perairan Kalbar. Mereka sudah menggunakan alat canggih yang bisa memantau pergerakan kapal patroli Indonesia yang sangat terbatas. “Kapal nelayan Malaysia bisa memonitor pergerakan kapal kita di garis perbatasan. Begitu kapal kita lengah, mereka bisa saja masuk ke perairan kita lalu menangkap ikan secara ilegal. Ketika ada patroli, mereka cepat masuk ke laut mereka,” kata Trikora.
Lemahnya teknologi pengawasan itu, membuat TNI AL intensif menjalin kerja sama dengan nelayan. Lantas, apakah nelayan memang ikut menjaga perbatasan laut dari nelayan asing? “Walaupun kami hidup miskin dan sering menjual ikan ke Malaysia, kami tidak terima apabila ada nelayan asing masuk ke wilayah kita. Dulu, pernah ada kapal nelayan Malaysia menggunakan pukat trawl masuk ke perairan kita. Kami kejar dengan kapal 5 PK. Tapi, mereka cepat kabur ke batas lautnya dan langsung memutuskan pukat trawlnya. Untuk sekarang, sudah lama tidak ada nelayan asing. Tidak tahulah, apakah mereka mencuri secara diam-diam atau tidak. Kamikan hanya bisa memantau paling hanya 5-8 mil saja,” beber Karta.
Saya melihat rasa nasionalisme nelayan di Temajuk itu sangat tinggi. Walaupun mereka umumnya miskin, tapi untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak diragukan. Padahal, di daerahnya ada dua persoalan batas negara yang belum selesai atau belum jelas. Pertama, mengenai pulau kecil Gosong Niger, sejauh ini masih diperebutkan Indonesia dan Malaysia. Versi Indonesia, Gosong Niger sah milik Indonesia. Tapi, sampai saat ini Malaysia juga belum mengakuinya itu milik Indonesia. Kedua, Kampung Camar Bulan tidak jauh dari Desa Temajuk juga masih sengketa. Sampai saat ini daerah itu belum bisa diakui resmi oleh Indonesia. Begitu juga Malaysia. Pemerintah lewat TNI AD dan AL meminta bantuan nelayan ikut menjaga dua daerah itu jangan sampai dicaplok Malaysia. Keberadaan nelayan di perbatasan menjadi garda terdepan untuk mempertahankan dua daerah itu masuk NKRI.
“Kami siap mempertahankan Gosong Niger dan Camar Bulan masuk NKRI dengan nyawa taruhannya. Warga di Temajuk sangat sensitif apabila Malaysia mengungkit-ungkit persoalan Gosong Niger dan Camar Bulan,” tekad Karta dengan berapi-api.
Apakah ada perhatian pemerintah daerah untuk kesejahteraan warga Desa Temajuk? Karta menjawab, memang ada bantuan dari Pemkab Sambas untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Bantuan itu berupa pukat 30 utas (gulungan) dengan mesin dongfeng 13 buah tahun 2003 lalu. “Kami dibantu pukat ukuran 5 inci. Itukan pukat kasar untuk ikan besar. Sebenarnya kami butuh pukat 2 - 3 inci. Ketika dioperasikan, hasilnya tidak seberapa, sementara dana operasionalnya sangat tinggi. Akhirnya, bantuan itu jadi mubazir. Sampai sekarang, nelayan di sini tetap menggunakan cara tradisional, tanpa ada teknologi canggih. Mereka mencari ikan hanya berdasarkan pengalaman saja. Apabila laut teduh, mereka mencari ikan. Apabila laut gelombang tinggi dan penuh badai, mereka tidak melaut. Di saat tidak melaut, mereka banyak berutang ke agen ikan atau tengkulak. Itu sebabnya, nelayan sulit keluar dari utang. “Sampai kapanpun utang kami sulit dibayar ke agen. Kalau tidak ngutang, anak dan istri kita mau makan apa. Sementara hasil laut, hanya mengandalkan di saat laut teduh saja. Kalau musim badai, kita tidak bisa apa-apa,” papar Karta.
Satu-satunya harapan mereka, pemerintah bisa membangun jalan darat dari Paloh menuju desa mereka. Dengan adanya akses jalan itu akan membuka seluruh potensi desa mereka. Potensi Temajuk selain kelautan dan perikanan juga ada potensi pertanian yang sampai saat ini belum dikembangkan. Jika itu dilakukan, di saat laut penuh badai, mereka bisa mengolah pertanian sambil menjaga wilayah batas NKRI. Pemerintah juga bisa menjadikan warga Desa Temajuk beralih dari nelayan tangkap menjadi nelayan budi daya. Sebab, laut di Temajuk sangat potensial untuk budi daya rumput laut, ikan kerapuk, udang dan sebagainya. Teknologi mencari ikan juga harus ditingkatkan. Dengan pemberdayaan itu dan melengkapi nelayan dengan teknologi mutakhir, nelayan pasti bangga dan merasa diperhatikan Indonesia. Apabila mereka diperhatikan, mereka juga memiliki tanggung jawab kuat untuk menjaga kedaulatan Indonesia.
Yang saya khawatirkan, walaupun nelayan itu memiliki tekad untuk tetap menjadi warga NKRI, tapi apakah itu bisa dijadikan jaminan? Saya khawatir, apabila pemerintah tidak peduli, mengabaikan tuntutan mereka, bukan tidak mungkin rasa nasionalisme mereka akan luntur. Saya masih ingat dengan warga perbatasan Kecamatan Puring Kencana Kabupaten Kapuas Hulu Kalbar pada Maret lalu mengirim surat ke pemerintah pusat akan keluar dari NKRI. Alasannya, sepele. Mereka merasa tidak diperhatikan Indonesia. Negara Malaysia justru lebih banyak memperhatikan mereka. Atas surat tersebut Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan mengutus langsung Deputi Pertahanan Negara bersama Danrem 121 Alambhana Wanawai dan Danlanud Supadio turun ke lapangan mengecek keinginan warga Puring Kencana itu. Walaupun pernyataan wakil pemerintah pusat itu membantah warga Puring Kencana keluar dari NKRI (Equator, 6 Maret), kenyataan di lapangan daerah perbatasan itu sangat jauh tertinggal dalam soal pembangunan.
Persoalan itulah yang dikhawatirkan. Bukan tidak mungkin warga Temajuk akan melakukan hal serupa dengan saudaranya di Puring Kencana untuk keluar dari NKRI karena tidak diperhatikan pemerintah pusat dan daerah. Cara terbaik agar warga Temajuk tetap betah dan senang mengaku “Aku Warga Negara Indonesia” perbaiki cara tangkap ikan dengan teknologi mutakhir agar bisa bersaing dengan tetangganya. Begitu juga teknologi budi daya ikan laut diberikan agar mereka tidak hanya mengandalkan tangkap ikan saja. Intinya, pemerintah pusat dan daerah memberikan perhatian serius kepada nelayan Temajuk agar mereka tetap bangga hidup di bawah bendera NKRI. *
Kamis, 16 April 2009
Korupsi Besar Mesti Ditangani Bersama
Rosadi Jamani
Kasus dugaan korupsi DAK Diknas Pendidikan Kota Pontianak saat ini sedang disidangkan di Pengadilan Negeri (PN). Tersangkanya sedang dipenjarakan oleh Kejari. Awalnya kasus itu sempat diragukan banyak orang. Paling habis begitu saja. Dugaan itu meleset, ternyata kasus itu diselesaikan berdasarkan hukum yang berlaku di negeri itu. Kenapa kasus yang melibatkan pejabat tinggi Kota Pontianak itu bisa diseret ke PN, karena lembaga anti korupsi menggarapnya secara taktis dan strategis.
Kasus itu mencuat karena adanya laporan dari lembaga anti korupsi. Semua data dikumpulkan. Segala saksi dimintai keterangan. Setelah semua bukti dan saksi lengkap, lalu disusun dalam bentuk laporan resmi dan diajukan ke Kejari Kota Pontianak. Ketika itu dilaporkan ke Kejari, lembaga hukum itu tidak perlu susah-susah untuk memprosesnya. Dari laporan yang lengkap itu, Kejari bisa bergerak cepat untuk menangkapi pihak yang diduga memakan uang rakyat itu. Seperti itulah kinerja lembaga anti korupsi yang telah berjuang demi menyelamatkan negeri ini dari bahaya korupsi. Kemudian, upaya menggarap kasus korupsi itu tidak dilakukan sendirian, melainkan secara bersama-sama. Kalau sendirian, kasus itu sulit terkuak. Itu sebabnya, setiap kasus korupsi yang mencuat di media massa telah melewati kajian mendalam secara bersama oleh sejumlah lembaga anti korupsi.
Beralih ke kasus dugaan mark up besar-besaran pembebasan lahan komplek Kantor Bupati Sekadau yang diduga merugikan negara mencapai Rp 20,5 miliar itu, telah mencuat di Equator sejak 15 Maret lalu. Kasus itu sebenarnya sudah lama dan sudah dilaporkan ke Polda Kalbar 18 Maret 2006 lalu. Cuma, sampai saat ini perkembangan kasus itu jalan di tempat, alias tidak jelas. Alasan Polda sangat banyak. Salah satunya, tidak adanya hasil audit BPKP.
Karena berlarut-larut kasus itu, hal ini menimbulkan keraguan dari sejumlah lembaga anti korupsi di Kalbar bahwa Polda tidak bisa menyelesaikan kasus besar. Keraguan itu menyebabkan sejumlah lembaga anti korupsi berembuk. Mereka mencari jalan terbaik untuk menyeret para koruptor itu ke penjara. Lalu, diambilah langkah melaporkan kasus itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pihak lembaga anti korupsi yang ada di Kalbar menyimpulkan, untuk menggarap kasus yang banyak melibatkan pejabat tinggi tidak bisa sendirian. Kasus itu mesti “dikeroyok” bersama-sama. Kemudian, mainnya juga tidak bisa lagi di Kalbar, melainkan di Jakarta. Di Kalbar sudah tidak bisa lagi diharapkan kasus itu bisa tuntas. KPK sudah menerima laporan kasus itu. Cuma, perlu ada langkah strategis yang mesti dilakukan agar kasus itu menjadi prioritas oleh KPK. Selain itu, kasus tersebut masih ditangani Polda. Lembaga anti korupsi berencana mendesak Kapolri menyerahkan kasus itu ke KPK. Tujuannya agar proses itu menjadi cepat. Untuk mendesak Kapolri atau KPK agar menjadikan kasus itu prioritas butuh perjuangan tingkat tinggi. Di sinilah perlu strategi yang sedang dirancang lembaga anti korupsi.
Harus kita akui, perjuangan untuk menjebloskan pejabat ke penjara sangat berat. Kenapa pencuri ayam dengan mudah dijebloskan ke penjara, sementara pejabat sulit? Pertanyaan itu sering muncul di masyarakat. Penyebabnya, pencuri ayam itu tak beduit, tak ada backing, tak ada preman dan tak ada power. Sementara pejabat itu memiliki segala kekuatan. Itu sebabnya, perjuangan untuk mengkerangkeng para pejabat tinggit perlu kerja ekstra dan keberanian luar biasa. Untuk memperjuangkan itu jelas tidak bisa sendirian.
Kita berkeyakinan, siapapun yang telah memakan uang rakyat, harus dipenjara. Kalau tidak tahun ini, tahun depan. Kasus itu sudah dilaporkan ke KPK, dan tidak mungkin KPK mem-peties-kannya. Sekarang, tugas dari lembaga anti korupsi mengawal kasus itu agar cepat diproses KPK. Kalau kasus itu tidak dikawal jelas akan memakan waktu lama. Perlu kesabaran menanti kasus itu agar cepat diproses KPK. Memang seperti itulah hukum di negeri ini, tidak ada yang cepat.*
Kasus dugaan korupsi DAK Diknas Pendidikan Kota Pontianak saat ini sedang disidangkan di Pengadilan Negeri (PN). Tersangkanya sedang dipenjarakan oleh Kejari. Awalnya kasus itu sempat diragukan banyak orang. Paling habis begitu saja. Dugaan itu meleset, ternyata kasus itu diselesaikan berdasarkan hukum yang berlaku di negeri itu. Kenapa kasus yang melibatkan pejabat tinggi Kota Pontianak itu bisa diseret ke PN, karena lembaga anti korupsi menggarapnya secara taktis dan strategis.
Kasus itu mencuat karena adanya laporan dari lembaga anti korupsi. Semua data dikumpulkan. Segala saksi dimintai keterangan. Setelah semua bukti dan saksi lengkap, lalu disusun dalam bentuk laporan resmi dan diajukan ke Kejari Kota Pontianak. Ketika itu dilaporkan ke Kejari, lembaga hukum itu tidak perlu susah-susah untuk memprosesnya. Dari laporan yang lengkap itu, Kejari bisa bergerak cepat untuk menangkapi pihak yang diduga memakan uang rakyat itu. Seperti itulah kinerja lembaga anti korupsi yang telah berjuang demi menyelamatkan negeri ini dari bahaya korupsi. Kemudian, upaya menggarap kasus korupsi itu tidak dilakukan sendirian, melainkan secara bersama-sama. Kalau sendirian, kasus itu sulit terkuak. Itu sebabnya, setiap kasus korupsi yang mencuat di media massa telah melewati kajian mendalam secara bersama oleh sejumlah lembaga anti korupsi.
Beralih ke kasus dugaan mark up besar-besaran pembebasan lahan komplek Kantor Bupati Sekadau yang diduga merugikan negara mencapai Rp 20,5 miliar itu, telah mencuat di Equator sejak 15 Maret lalu. Kasus itu sebenarnya sudah lama dan sudah dilaporkan ke Polda Kalbar 18 Maret 2006 lalu. Cuma, sampai saat ini perkembangan kasus itu jalan di tempat, alias tidak jelas. Alasan Polda sangat banyak. Salah satunya, tidak adanya hasil audit BPKP.
Karena berlarut-larut kasus itu, hal ini menimbulkan keraguan dari sejumlah lembaga anti korupsi di Kalbar bahwa Polda tidak bisa menyelesaikan kasus besar. Keraguan itu menyebabkan sejumlah lembaga anti korupsi berembuk. Mereka mencari jalan terbaik untuk menyeret para koruptor itu ke penjara. Lalu, diambilah langkah melaporkan kasus itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pihak lembaga anti korupsi yang ada di Kalbar menyimpulkan, untuk menggarap kasus yang banyak melibatkan pejabat tinggi tidak bisa sendirian. Kasus itu mesti “dikeroyok” bersama-sama. Kemudian, mainnya juga tidak bisa lagi di Kalbar, melainkan di Jakarta. Di Kalbar sudah tidak bisa lagi diharapkan kasus itu bisa tuntas. KPK sudah menerima laporan kasus itu. Cuma, perlu ada langkah strategis yang mesti dilakukan agar kasus itu menjadi prioritas oleh KPK. Selain itu, kasus tersebut masih ditangani Polda. Lembaga anti korupsi berencana mendesak Kapolri menyerahkan kasus itu ke KPK. Tujuannya agar proses itu menjadi cepat. Untuk mendesak Kapolri atau KPK agar menjadikan kasus itu prioritas butuh perjuangan tingkat tinggi. Di sinilah perlu strategi yang sedang dirancang lembaga anti korupsi.
Harus kita akui, perjuangan untuk menjebloskan pejabat ke penjara sangat berat. Kenapa pencuri ayam dengan mudah dijebloskan ke penjara, sementara pejabat sulit? Pertanyaan itu sering muncul di masyarakat. Penyebabnya, pencuri ayam itu tak beduit, tak ada backing, tak ada preman dan tak ada power. Sementara pejabat itu memiliki segala kekuatan. Itu sebabnya, perjuangan untuk mengkerangkeng para pejabat tinggit perlu kerja ekstra dan keberanian luar biasa. Untuk memperjuangkan itu jelas tidak bisa sendirian.
Kita berkeyakinan, siapapun yang telah memakan uang rakyat, harus dipenjara. Kalau tidak tahun ini, tahun depan. Kasus itu sudah dilaporkan ke KPK, dan tidak mungkin KPK mem-peties-kannya. Sekarang, tugas dari lembaga anti korupsi mengawal kasus itu agar cepat diproses KPK. Kalau kasus itu tidak dikawal jelas akan memakan waktu lama. Perlu kesabaran menanti kasus itu agar cepat diproses KPK. Memang seperti itulah hukum di negeri ini, tidak ada yang cepat.*
Konspirasi Korupsi
Rosadi Jamani
Siapapun orangnya pasti tidak senang dengan pejabat korup. Rasa benci itu sayang hanya bisa diucapkan, tapi realisasi benci itu kadang tak jelas. Sebagai bukti, banyak pejabat melakukan korupsi, namun banyak orang hanya mengungkapkan benci, tapi sebenarnya tidak peduli. Kalau secara umum masyarakat peduli, kita yakin korupsi tidak akan tumbuh subur di negeri ini.
Kasus mark up pembebasan lahan untuk kompleks Kantor Bupati Sekadau bisa dijadikan contoh besar, betapa banyak orang tidak peduli dengan korupsi. Kasus yang diduga merugikan negara Rp 20,5 miliar itu telah dilaporkan ke Kejati dan Polda Kalbar tahun 2006. Semenjak dilaporkan itu sampai sekarang kasus itu tidak jelas di dua lembaga itu. Anehnya, dari 2006 sampai awal 2009 tidak ada lagi masyarakat yang peduli kasus itu. Seolah-olah di Sekadau tidak ada korupsi atau menjadi daerah bersih korupsi.
Memang kasus itu tidak sesederhana seperti pencuri ayam. Kalau pencuri ketangkap basah, proses hukumnya pasti cepat. Apalagi kalau pencuri itu memang kere (miskin) akan menjadi bulan-bulanan penegak hukum. Kasus mark up di Sekadau itu sangat berat untuk diungkap. Masalahnya, pihak yang terlibat bukan orang sembarangan seperti halnya pencuri ayam yang kere itu. Yang terlibat justru pejabat tinggi dan mantan pejabat. Bagi penegak hukum di daerah ini akan berpikir seribu kali untuk memulai mengungkap kasus itu. Kalau ditanya kenapa belum diproses, atau sudah sampai di mana penyelidikannya, pasti alasanya sedang mengumpulkan bukti dan saksi. Jawaban itu sangat klasik yang sebenarnya sebuah alasan untuk mengulur waktu. Dengan tujuan, masyarakat akan lupa dengan kasus itu.
Inilah yang dinamakan konspirasi korupsi tingkat tinggi. Para pejabat akan mudah melakukan interversi aparat penegak hukum. Sebaliknya bagi aparat penegak hukum senang dengan kasus seperti itu karena bisa mendulang keuntungan materi. Di permukaan kasus itu seolah-olah sedang diusut, padahal di dalamnya sudah ada konspirasi tingkat tinggi yang sulit dibaca publik.
Apakah masuk akal dari 2006 sampai sekarang Kejati dan Polda masih ngumpulkan bukti. Padahal, dua lembaga itu juga pernah memeriksa pelapor dan mengumpulkan bukti. Padahal, bukti itu sudah jelas dari pelapor. Di tengah situasi itu, karena pemeriksaan berlarut-larut, masyarakat menjadi lupa. Hal seperti inilah yang sangat diinginkan di balik konspirasi korupsi itu. Kalau masyarakat lupa atau sudah tidak peduli jelas itu sangat menguntungkan bagi pejabat bermental korup. Penegak hukum bisa ditaklukkan, dan masyarakat sangat mudah untuk dibuat lupa.
Di balik ketidakpedulian masyarakat itu, untung masih ada satu warga yang peduli. Dialah Alimuddin Noor. Merasa Kejati dan Polda tak bisa diharapkan untuk menegakkan hukum di Kalbar, dia melaporkan kasus itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta. Laporan itu ditanggapi. Buktinya dia sudah dua kali dipanggil KPKP untuk dimintai keterangan. Bahkan, dia juga sudah menyerahkan seluruh bukti autentik kasus mark up itu.
Sejauh ini, apa yang telah dilakukan Alimuddin memperlihatkan sebuah keberanian luar biasa. Sebab, orang yang dihadapinya bukan pencuri ayam kere melainkan para pejabat yang memiliki power, daya intervensi, bahkan preman. Alimuddin hanya ingin, pemakan uang rakyat harus dihukum dan dijebloskan ke penjara. Dia juga tidak ingin kasus serupa terulang lagi di Kalbar. Kita berharap keberanian itu mendapat dukungan dari seluruh Kalbar.
Alimuddin tidak bisa dibiarkan sendirian. Lembaga anti korupsi di Kalbar mesti ikut membantunya. Dia tidak mungkin sendirian untuk menyelesaikan kasus itu. Kasus yang merugikan negara lebih hebat dari Bupati Kutai Kaltim harus digarap secara sistematis dan penuh strategi. Tujuannya, agar penggarapan kasus itu benar-benar tepat sasaran dan berujung pada kejelasan siapa pelaku sebenarnya. Jika dilakukan secara sporadic, tanpa taktik dan strategi, kita khawatir kasus itu hanya mencuat di media saja, tanpa ada kejelasan. Kita berharap, semua peduli terhadap kasus itu agar negeri ini tidak lagi menjadi surganya para koruptor.*
Siapapun orangnya pasti tidak senang dengan pejabat korup. Rasa benci itu sayang hanya bisa diucapkan, tapi realisasi benci itu kadang tak jelas. Sebagai bukti, banyak pejabat melakukan korupsi, namun banyak orang hanya mengungkapkan benci, tapi sebenarnya tidak peduli. Kalau secara umum masyarakat peduli, kita yakin korupsi tidak akan tumbuh subur di negeri ini.
Kasus mark up pembebasan lahan untuk kompleks Kantor Bupati Sekadau bisa dijadikan contoh besar, betapa banyak orang tidak peduli dengan korupsi. Kasus yang diduga merugikan negara Rp 20,5 miliar itu telah dilaporkan ke Kejati dan Polda Kalbar tahun 2006. Semenjak dilaporkan itu sampai sekarang kasus itu tidak jelas di dua lembaga itu. Anehnya, dari 2006 sampai awal 2009 tidak ada lagi masyarakat yang peduli kasus itu. Seolah-olah di Sekadau tidak ada korupsi atau menjadi daerah bersih korupsi.
Memang kasus itu tidak sesederhana seperti pencuri ayam. Kalau pencuri ketangkap basah, proses hukumnya pasti cepat. Apalagi kalau pencuri itu memang kere (miskin) akan menjadi bulan-bulanan penegak hukum. Kasus mark up di Sekadau itu sangat berat untuk diungkap. Masalahnya, pihak yang terlibat bukan orang sembarangan seperti halnya pencuri ayam yang kere itu. Yang terlibat justru pejabat tinggi dan mantan pejabat. Bagi penegak hukum di daerah ini akan berpikir seribu kali untuk memulai mengungkap kasus itu. Kalau ditanya kenapa belum diproses, atau sudah sampai di mana penyelidikannya, pasti alasanya sedang mengumpulkan bukti dan saksi. Jawaban itu sangat klasik yang sebenarnya sebuah alasan untuk mengulur waktu. Dengan tujuan, masyarakat akan lupa dengan kasus itu.
Inilah yang dinamakan konspirasi korupsi tingkat tinggi. Para pejabat akan mudah melakukan interversi aparat penegak hukum. Sebaliknya bagi aparat penegak hukum senang dengan kasus seperti itu karena bisa mendulang keuntungan materi. Di permukaan kasus itu seolah-olah sedang diusut, padahal di dalamnya sudah ada konspirasi tingkat tinggi yang sulit dibaca publik.
Apakah masuk akal dari 2006 sampai sekarang Kejati dan Polda masih ngumpulkan bukti. Padahal, dua lembaga itu juga pernah memeriksa pelapor dan mengumpulkan bukti. Padahal, bukti itu sudah jelas dari pelapor. Di tengah situasi itu, karena pemeriksaan berlarut-larut, masyarakat menjadi lupa. Hal seperti inilah yang sangat diinginkan di balik konspirasi korupsi itu. Kalau masyarakat lupa atau sudah tidak peduli jelas itu sangat menguntungkan bagi pejabat bermental korup. Penegak hukum bisa ditaklukkan, dan masyarakat sangat mudah untuk dibuat lupa.
Di balik ketidakpedulian masyarakat itu, untung masih ada satu warga yang peduli. Dialah Alimuddin Noor. Merasa Kejati dan Polda tak bisa diharapkan untuk menegakkan hukum di Kalbar, dia melaporkan kasus itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta. Laporan itu ditanggapi. Buktinya dia sudah dua kali dipanggil KPKP untuk dimintai keterangan. Bahkan, dia juga sudah menyerahkan seluruh bukti autentik kasus mark up itu.
Sejauh ini, apa yang telah dilakukan Alimuddin memperlihatkan sebuah keberanian luar biasa. Sebab, orang yang dihadapinya bukan pencuri ayam kere melainkan para pejabat yang memiliki power, daya intervensi, bahkan preman. Alimuddin hanya ingin, pemakan uang rakyat harus dihukum dan dijebloskan ke penjara. Dia juga tidak ingin kasus serupa terulang lagi di Kalbar. Kita berharap keberanian itu mendapat dukungan dari seluruh Kalbar.
Alimuddin tidak bisa dibiarkan sendirian. Lembaga anti korupsi di Kalbar mesti ikut membantunya. Dia tidak mungkin sendirian untuk menyelesaikan kasus itu. Kasus yang merugikan negara lebih hebat dari Bupati Kutai Kaltim harus digarap secara sistematis dan penuh strategi. Tujuannya, agar penggarapan kasus itu benar-benar tepat sasaran dan berujung pada kejelasan siapa pelaku sebenarnya. Jika dilakukan secara sporadic, tanpa taktik dan strategi, kita khawatir kasus itu hanya mencuat di media saja, tanpa ada kejelasan. Kita berharap, semua peduli terhadap kasus itu agar negeri ini tidak lagi menjadi surganya para koruptor.*
Daftar Panjang Kecurangan Pemilu
Rosadi Jamani
Pascapencontrengan 9 April lalu, semestinya banyak orang cerita caleg terpilih sebagai wakil rakyat. Yang terjadi justru banyak orang cerita caleg stres, caleg habis modal, caleg bangkrut, caleg tinggalkan utang, dan sebagainya. Yang banyak diceritakan lagi soal kualitas Pemilu. Hampir sebagian orang sepakat bahwa Pemilu 2009 ini yang terburuk dan terbobrok pascareformasi. Bukti nyata pesta demokrasi tak berkualitas adalah banyaknya pelanggaran yang diadukan masyarakat ke Panwaslu. Bahkan, saat ini Gakumdu kebanjiran perkara pidana dan administrasi.
Sebelum Pemilu, banyak pemerhati demokrasi berharap lebih baik dibandingkan Pemilu sebelumnya. Harapan itu jauh meleset. Di samping banyaknya pelanggaran, partisipasi pemilih juga rendah. Penyebab utamanya banyak warga yang memiliki hak pilih tidak masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ribuan orang marah karena namanya tak masuk DPT. Namun, lembaga penyelenggara Pemilu cuek bebek. Persoalan tersebut tidak bisa dipandang remeh. Seluruh media mulai mengarahkan bidikan untuk menyorot persoalan tersebut. Ada keinginan kuat, Pemilu gagal harus diulang. Mungkin keinginan itu berlebihan, namun itu sebuah kesimpulan pragmatis yang juga tidak bisa dianggap remeh.
Jika kualitas penyelenggaraan Pemilu, lantas apa bisa diharapkan oleh rakyat dari pesta yang sudah menghabiskan uang negara di atas Rp 40 triliun itu? Kasihan rakyat. Rakyat Indonesia hanya menjadi korban dari pertarungan ambisi para politisi. Sebenarnya, rakyat sudah jenuh dengan persoalan politik yang hanya menguntungkan segelintir orang saja. Yang diinginkan masyarakat saat ini adalah perbaikan kualitas hidup. Persoalan dasar bangsa ini (kemiskinan, lapangan kerja, pendidikan, kesehatan) seperti terabaikan. Sementara politik dengan cost tinggi itu lebih menonjol ketimbang persoalan dasar itu.
Negeri ini sudah dipenuhi ambisi politik. Dunia politik sepertinya sebuah lapangan kerja yang menawarkan banyak keuntungan dan kemewahan. Dunia politik banyak membuat orang terkesima. Tidak heran apabila setiap ada hajatan politik begitu banyak antusias masyarakat. Padahal, antusias masyarakat itu adalah sesuatu yang semu di tengah kemiskinan. Jujur harus diakui, rakyat di tengah situasi sulit sekarang sangat membutuhkan perbaikan ekonomi, bukan politik. Politik memang perlu, namun janganlah berbelit-belit, berlarut-larut, dan berulang-ulang.
Dominasi politik yang begitu tinggi membuat masyarakat banyak terbuai dalam mimpi-mimpi politik. Dalam bayangan rakyat, menjadi Dewan itu gaji besar, banyak fasilitas, bisa beli mobil dan buat rumah mewah. Bahkan, jadi Dewan bisa menjadi tonggak menuju kekuasaan (kepala daerah). Mimpi-mimpi itulah yang banyak memengaruhi masyarakat. Jangan heran, saat pencalegkan dulu begitu tingginya orang mau menjadi caleg. Kalau diukur kualitas individu dan finansial, mereka umumnya rendah. Banyak tak miliki kerja alias pengangguran.
Kembali kepada kualitas Pemilu yang anjlok, persoalan tersebut semakin membuat negeri ini jauh dari keinginan rakyat. Ke depannya rakyat hanya dijejali dengan persoalan politik. Pemerintah juga sibuk ngurus politik. Pada akhirnya persoalan pembangunan mendapatkan porsi sedikit. Jika sudah demikian, negeri ini hanya unggul dalam politik. Sementara bidang ekonomi, pertahanan keamanan, pertanian, pendidikan, kesehatan, Indonesia rendah di tengah percaturan dunia internasional.
Kita sudah telanjur berdemokrasi. Mau tidak mau atau suka tidak suka, kita harus merawat demokrasi yang lebih banyak merugikan rakyat itu. Kita hanya bisa berharap, Pemilu serupa atau sejenis harus lebih baik lagi dan menjadikan Pemilu terburuk itu sebagai pelajaran utama. Setelah Pemilu legislatif, sebentar lagi Pemilu Presiden (Pilpres). Sepertinya, sejuta masalah juga sudah menanti. Banyak pihak menginginkan, Pilpres jangan dulu digelar sebelum semua persoalan menyangkut DPT atau segala bentuk kecurangan diselesaikan dulu. Jika itu tidak diselesaikan, Indonesia akan dihantui persoalan politik yang tidak menguntungkan rakyat. Jangan ulangi lagi kesalahan serupa!
Pascapencontrengan 9 April lalu, semestinya banyak orang cerita caleg terpilih sebagai wakil rakyat. Yang terjadi justru banyak orang cerita caleg stres, caleg habis modal, caleg bangkrut, caleg tinggalkan utang, dan sebagainya. Yang banyak diceritakan lagi soal kualitas Pemilu. Hampir sebagian orang sepakat bahwa Pemilu 2009 ini yang terburuk dan terbobrok pascareformasi. Bukti nyata pesta demokrasi tak berkualitas adalah banyaknya pelanggaran yang diadukan masyarakat ke Panwaslu. Bahkan, saat ini Gakumdu kebanjiran perkara pidana dan administrasi.
Sebelum Pemilu, banyak pemerhati demokrasi berharap lebih baik dibandingkan Pemilu sebelumnya. Harapan itu jauh meleset. Di samping banyaknya pelanggaran, partisipasi pemilih juga rendah. Penyebab utamanya banyak warga yang memiliki hak pilih tidak masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ribuan orang marah karena namanya tak masuk DPT. Namun, lembaga penyelenggara Pemilu cuek bebek. Persoalan tersebut tidak bisa dipandang remeh. Seluruh media mulai mengarahkan bidikan untuk menyorot persoalan tersebut. Ada keinginan kuat, Pemilu gagal harus diulang. Mungkin keinginan itu berlebihan, namun itu sebuah kesimpulan pragmatis yang juga tidak bisa dianggap remeh.
Jika kualitas penyelenggaraan Pemilu, lantas apa bisa diharapkan oleh rakyat dari pesta yang sudah menghabiskan uang negara di atas Rp 40 triliun itu? Kasihan rakyat. Rakyat Indonesia hanya menjadi korban dari pertarungan ambisi para politisi. Sebenarnya, rakyat sudah jenuh dengan persoalan politik yang hanya menguntungkan segelintir orang saja. Yang diinginkan masyarakat saat ini adalah perbaikan kualitas hidup. Persoalan dasar bangsa ini (kemiskinan, lapangan kerja, pendidikan, kesehatan) seperti terabaikan. Sementara politik dengan cost tinggi itu lebih menonjol ketimbang persoalan dasar itu.
Negeri ini sudah dipenuhi ambisi politik. Dunia politik sepertinya sebuah lapangan kerja yang menawarkan banyak keuntungan dan kemewahan. Dunia politik banyak membuat orang terkesima. Tidak heran apabila setiap ada hajatan politik begitu banyak antusias masyarakat. Padahal, antusias masyarakat itu adalah sesuatu yang semu di tengah kemiskinan. Jujur harus diakui, rakyat di tengah situasi sulit sekarang sangat membutuhkan perbaikan ekonomi, bukan politik. Politik memang perlu, namun janganlah berbelit-belit, berlarut-larut, dan berulang-ulang.
Dominasi politik yang begitu tinggi membuat masyarakat banyak terbuai dalam mimpi-mimpi politik. Dalam bayangan rakyat, menjadi Dewan itu gaji besar, banyak fasilitas, bisa beli mobil dan buat rumah mewah. Bahkan, jadi Dewan bisa menjadi tonggak menuju kekuasaan (kepala daerah). Mimpi-mimpi itulah yang banyak memengaruhi masyarakat. Jangan heran, saat pencalegkan dulu begitu tingginya orang mau menjadi caleg. Kalau diukur kualitas individu dan finansial, mereka umumnya rendah. Banyak tak miliki kerja alias pengangguran.
Kembali kepada kualitas Pemilu yang anjlok, persoalan tersebut semakin membuat negeri ini jauh dari keinginan rakyat. Ke depannya rakyat hanya dijejali dengan persoalan politik. Pemerintah juga sibuk ngurus politik. Pada akhirnya persoalan pembangunan mendapatkan porsi sedikit. Jika sudah demikian, negeri ini hanya unggul dalam politik. Sementara bidang ekonomi, pertahanan keamanan, pertanian, pendidikan, kesehatan, Indonesia rendah di tengah percaturan dunia internasional.
Kita sudah telanjur berdemokrasi. Mau tidak mau atau suka tidak suka, kita harus merawat demokrasi yang lebih banyak merugikan rakyat itu. Kita hanya bisa berharap, Pemilu serupa atau sejenis harus lebih baik lagi dan menjadikan Pemilu terburuk itu sebagai pelajaran utama. Setelah Pemilu legislatif, sebentar lagi Pemilu Presiden (Pilpres). Sepertinya, sejuta masalah juga sudah menanti. Banyak pihak menginginkan, Pilpres jangan dulu digelar sebelum semua persoalan menyangkut DPT atau segala bentuk kecurangan diselesaikan dulu. Jika itu tidak diselesaikan, Indonesia akan dihantui persoalan politik yang tidak menguntungkan rakyat. Jangan ulangi lagi kesalahan serupa!
Sabtu, 11 April 2009
Evaluasi untuk Lebih Dewasa atau Semakin Kerdil
Oleh: Rosadi Jamani
Pemilu 9 April baru saja berlalu. Walaupun Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum rampung menghitung suara, namun secara garis besar calon legislatif (caleg) dan partai politik (parpol) sudah mengetahui nasibnya. Bagi yang hampir dipastikan terpilih jadi wakil rakyat, pasti senang. Berarti segala pengorbanan dan perjuangannya selama ini berhasil. Segala strategi dan taktik yang dilancarkan benar-benar jitu. Sebaliknya, bagi yang sudah pasti tak terpilih sebagai anggota Dewan, pasti sedih bercampur frustrasi. Apa yang telah dilakukan, segala taktik dan strategi untuk menaklukkan pemilih berakhir sia-sia. Itulah yang dinamakan nasib politik. Pasti ada yang menang dan kalah.
Saya punya cerita menarik pasca pencontrengan 9 April itu. Sabtu (10/4) malam lalu, ada kawan datang bertamu ke kantor saya. Dia ada perlu dengan bagian iklan. Personel bagian iklan kebetulan lagi keluar sebentar. Sambil menunggu, dia menceritakan kisah kelakuan caleg pasca Pemilu.
“Ada dengar nggak, salah satu caleg di Jeruju Pontianak minta kembalikan semen,” katanya memulai cerita. “Tak ada tu, bang! Gimana cerita, kok ada caleg minta dikembalikan semen. Waduh, seru itu!” kata saya penuh penasaran.
“Caleg itu dari salah satu partai kecil. Sebelum pencontrengan, dia telah nyumbang 20 sak semen. Dia berjanji apabila terpilih, jumlah itu akan ditambah lagi. Warga di kompleks tempat dia nyumbangkan semen itu, jelas saja senang dapat 20 sak semen gratis,” paparnya.
“Lalu, gimana lagi ceritanya,” tanya saya lagi.
“Saat penghitungan suara kemarin (10/4, red) caleg itu sangat kecewa. Ternyata di TPS di kompleks perumahan itu, dia hanya mendapatkan suara di bawah angka 20. Padahal, di kompleks itu jumlah pemilihnya 500 suara lebih. Melihat kenyataan itu, caleg itu marah-marah. Dia minta kepada warga di kompleks itu agar semen 20 sak dikembalikan. Dia kecewa merasa dibohongi,” papar kawan itu.
“Buruk siku, caleg itu,” ujar saya. “Iya, memang buruk siku. Dasar caleg tak tahu diri. Jadi, sumbangan itu tak ikhlas. Itu contoh caleg yang punya niat tidak bagus. Untung saja tidak terpilih. Kalau terpilih, mungkin habis uang rakyat dikorupnya,” ujar kawan saya itu.
Perilaku politik seperti itu cukup banyak. Mereka ngebet ingin jadi wakil rakyat dengan cara instant (cepat). Disangkanya masyarakat sekarang begitu mudah untuk memberikan suaranya. Saya melihat, masyarakat sekarang semakin cerdas untuk menentukan pilihan. Kalau caleg suka pasang janji, sementara masyarakat tidak kalah hebat dalam berjanji. Begitu dikasih sumbangan, dari mulut mereka akan mudah berjanji, “Kami siap memilih bapak, yang penting 20 sak semen dulu!” Begitu caleg menyumbangkan 20 sak semen, saat itu juga masyarakat akan memberikan penilaian. “Soal milih itukan urusan pribadi, rahasia. Tidak bisa diminta begitu saja, walaupun telah memberikan sumbangan. Memilih itu soal hati”.
Sebuah cerita seru lagi, kawan seorang anggota Dewan yang juga caleg, pada 10 Maret pagi, menelepon saya. Sebelumnya saya memang ada sms mengenai peluangnya untuk duduk di kursi dewan lagi. “Untuk sementara suara saya sudah seribu lebih untuk suara pribadi. Kalau suara partai sudah dua ribu lebih. Suara itu masih bertambah karena masih banyak TPS yang belum masuk,” katanya. “Syukurlah, saya doakan, abang bisa duduk lagi,” jawab saya. “Cuma, saya sedikit kecewa dengan warga dua desa. Di dua desa itu potensi suaranya sekitar 600-an. Jauh sebelum kampanye, saya sudah bina. Banyak bantuan saya berikan untuk desa itu. Saya yakin, paling tidak separuh suara bisa saya dapatkan di dua desa itu. Pada saat penghitungan suara, saya hanya dapatkan belasan suara saja,” bebernya.
Kawan saya itu menjelaskan, pemberian materi atau sumbangan berbentuk apapun belum menjamin bisa mendapatkan suara pemilih. “Saya tidak tahu lagi, bagaimana kalau yang hanya ngomong saja. Kita yang sudah banyak mengeluarkan dana untuk menaklukkan desa itu, hanya dapat belasan suara saja. Apalagi yang hanya jual kecap,” ujarnya.
“Saya berpikir, dengan memberikan sumbangan adalah cara paling jitu menaklukkan pemilih. Ternyata itu juga meleset. Ternyata di desa itu lebih banyak memilih keluarganya yang kebetulan jadi caleg. Unsur primordialisme masih sangat tinggi. Sumbangan atau binaan bertahun-tahun itu bukan jaminan. Saya menyimpulkan, untuk menaklukkan pemilih yang lebih bagus adalah pandai memainkan isu primordialisme. Misalnya, harus putra asli daerah, orang kite, tetangga kite, keluarga kite, suku kite, satu agama dengan kite, dan sebagainya,” paparnya.
Ada juga cerita lain dari seorang caleg yang sedang menunggu perolehan suara. Dia masih harap-harap cemas, karena suara yang didapatkan belum membuatnya aman. Suara yang didapat sangat tanggung. Harapan dia hanya mengincar kursi terakhir. “Untuk aman, saya harus mendapatkan suara 1500. Sekarang, masih kurang dari seribu. Masih ada satu daerah yang belum masuk suaranya. Harapan saya tinggal itu. Mudah-mudahan dengan suara yang akan masuk, perolehan suara saya mencapai 1500 itu,” ceritanya.
“Bagaimana saat kampanye kemarin?” tanya saya. “Memang ada daerah yang banyak memilih saya. Cuma, ada daerah yang membuat saya kesal. Di desa itu sudah lama saya bina. Sebelum Pemilu, saya sudah bina. Banyak bantuan yang sudah saya berikan. Pada masa tenang kemarin itu, ada caleg dari partai besar melakukan serangan fajar. Jadi, basis saya itu habis. Saya hanya dapat dua suara saja,” paparnya lemas.
Banyak lagi cerita-cerita seru seputar Pemilu. Umumnya, banyak caleg yang telah dikibuli pemilih. Di depan caleg yang memberikan sumbangan, pemilih berjanji akan memilih, tapi begitu di bilik suara, justru yang dipilih caleg lain. Saya yakin ada ribuan caleg yang sudah dikibuli para pemilih. Silakan marah, tidak ada yang larang, kok! Silakan ambil sumbangan yang telah diberikan! Tidak ada yang mencegah. Itu juga hak caleg. Perlu diingat, sumbangan yang akan diambil itu akan menambah kebencian pemilih. Pada setiap even pesta demokrasi, pemilih akan selalu ingat dengan politikus seperti itu. Justru itu akan semakin membuat masyarakat cerdas. Saya rasa yang lebih baik adalah mengikhlaskan seluruh sumbangan. Paling tidak, walaupun tidak terpilih sebagai wakil rakyat, caleg itu sudah berbuat untuk rakyat. Mencari orang yang pandai menyenangkan rakyat saat ini sangat sulit. Membuat senang rakyat itu bagian dari upaya membuat negeri ini maju. Ikhlaskan yang sudah disumbangkan, jangan diungkit-ungkit lagi.
Saya menyarankan, ada baiknya bagi caleg yang tidak kebagian kursi legislatif, untuk melakukan evaluasi dan instrospeksi. Kalau masih percaya dengan Tuhan, itu bagian dari suratan nasib. Di balik semua itu pasti ada hikmahnya. Jadikan semua kegagalan itu untuk mencapai sebuah kesuksesan. Pemilu tidak hanya ada tahun 2009, tahun 2014 ada lagi. Jika memang ngebet jadi wakil rakyat, jadikan apa yang telah dilakukan sebagai pelajaran. Jadikan itu semua untuk lebih dewasa dalam berpolitik, jangan justru menjadi orang kerdil. Menjadi politisi itu tidak bisa instant, butuh waktu untuk lebih dewasa. *
Pemilu 9 April baru saja berlalu. Walaupun Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum rampung menghitung suara, namun secara garis besar calon legislatif (caleg) dan partai politik (parpol) sudah mengetahui nasibnya. Bagi yang hampir dipastikan terpilih jadi wakil rakyat, pasti senang. Berarti segala pengorbanan dan perjuangannya selama ini berhasil. Segala strategi dan taktik yang dilancarkan benar-benar jitu. Sebaliknya, bagi yang sudah pasti tak terpilih sebagai anggota Dewan, pasti sedih bercampur frustrasi. Apa yang telah dilakukan, segala taktik dan strategi untuk menaklukkan pemilih berakhir sia-sia. Itulah yang dinamakan nasib politik. Pasti ada yang menang dan kalah.
Saya punya cerita menarik pasca pencontrengan 9 April itu. Sabtu (10/4) malam lalu, ada kawan datang bertamu ke kantor saya. Dia ada perlu dengan bagian iklan. Personel bagian iklan kebetulan lagi keluar sebentar. Sambil menunggu, dia menceritakan kisah kelakuan caleg pasca Pemilu.
“Ada dengar nggak, salah satu caleg di Jeruju Pontianak minta kembalikan semen,” katanya memulai cerita. “Tak ada tu, bang! Gimana cerita, kok ada caleg minta dikembalikan semen. Waduh, seru itu!” kata saya penuh penasaran.
“Caleg itu dari salah satu partai kecil. Sebelum pencontrengan, dia telah nyumbang 20 sak semen. Dia berjanji apabila terpilih, jumlah itu akan ditambah lagi. Warga di kompleks tempat dia nyumbangkan semen itu, jelas saja senang dapat 20 sak semen gratis,” paparnya.
“Lalu, gimana lagi ceritanya,” tanya saya lagi.
“Saat penghitungan suara kemarin (10/4, red) caleg itu sangat kecewa. Ternyata di TPS di kompleks perumahan itu, dia hanya mendapatkan suara di bawah angka 20. Padahal, di kompleks itu jumlah pemilihnya 500 suara lebih. Melihat kenyataan itu, caleg itu marah-marah. Dia minta kepada warga di kompleks itu agar semen 20 sak dikembalikan. Dia kecewa merasa dibohongi,” papar kawan itu.
“Buruk siku, caleg itu,” ujar saya. “Iya, memang buruk siku. Dasar caleg tak tahu diri. Jadi, sumbangan itu tak ikhlas. Itu contoh caleg yang punya niat tidak bagus. Untung saja tidak terpilih. Kalau terpilih, mungkin habis uang rakyat dikorupnya,” ujar kawan saya itu.
Perilaku politik seperti itu cukup banyak. Mereka ngebet ingin jadi wakil rakyat dengan cara instant (cepat). Disangkanya masyarakat sekarang begitu mudah untuk memberikan suaranya. Saya melihat, masyarakat sekarang semakin cerdas untuk menentukan pilihan. Kalau caleg suka pasang janji, sementara masyarakat tidak kalah hebat dalam berjanji. Begitu dikasih sumbangan, dari mulut mereka akan mudah berjanji, “Kami siap memilih bapak, yang penting 20 sak semen dulu!” Begitu caleg menyumbangkan 20 sak semen, saat itu juga masyarakat akan memberikan penilaian. “Soal milih itukan urusan pribadi, rahasia. Tidak bisa diminta begitu saja, walaupun telah memberikan sumbangan. Memilih itu soal hati”.
Sebuah cerita seru lagi, kawan seorang anggota Dewan yang juga caleg, pada 10 Maret pagi, menelepon saya. Sebelumnya saya memang ada sms mengenai peluangnya untuk duduk di kursi dewan lagi. “Untuk sementara suara saya sudah seribu lebih untuk suara pribadi. Kalau suara partai sudah dua ribu lebih. Suara itu masih bertambah karena masih banyak TPS yang belum masuk,” katanya. “Syukurlah, saya doakan, abang bisa duduk lagi,” jawab saya. “Cuma, saya sedikit kecewa dengan warga dua desa. Di dua desa itu potensi suaranya sekitar 600-an. Jauh sebelum kampanye, saya sudah bina. Banyak bantuan saya berikan untuk desa itu. Saya yakin, paling tidak separuh suara bisa saya dapatkan di dua desa itu. Pada saat penghitungan suara, saya hanya dapatkan belasan suara saja,” bebernya.
Kawan saya itu menjelaskan, pemberian materi atau sumbangan berbentuk apapun belum menjamin bisa mendapatkan suara pemilih. “Saya tidak tahu lagi, bagaimana kalau yang hanya ngomong saja. Kita yang sudah banyak mengeluarkan dana untuk menaklukkan desa itu, hanya dapat belasan suara saja. Apalagi yang hanya jual kecap,” ujarnya.
“Saya berpikir, dengan memberikan sumbangan adalah cara paling jitu menaklukkan pemilih. Ternyata itu juga meleset. Ternyata di desa itu lebih banyak memilih keluarganya yang kebetulan jadi caleg. Unsur primordialisme masih sangat tinggi. Sumbangan atau binaan bertahun-tahun itu bukan jaminan. Saya menyimpulkan, untuk menaklukkan pemilih yang lebih bagus adalah pandai memainkan isu primordialisme. Misalnya, harus putra asli daerah, orang kite, tetangga kite, keluarga kite, suku kite, satu agama dengan kite, dan sebagainya,” paparnya.
Ada juga cerita lain dari seorang caleg yang sedang menunggu perolehan suara. Dia masih harap-harap cemas, karena suara yang didapatkan belum membuatnya aman. Suara yang didapat sangat tanggung. Harapan dia hanya mengincar kursi terakhir. “Untuk aman, saya harus mendapatkan suara 1500. Sekarang, masih kurang dari seribu. Masih ada satu daerah yang belum masuk suaranya. Harapan saya tinggal itu. Mudah-mudahan dengan suara yang akan masuk, perolehan suara saya mencapai 1500 itu,” ceritanya.
“Bagaimana saat kampanye kemarin?” tanya saya. “Memang ada daerah yang banyak memilih saya. Cuma, ada daerah yang membuat saya kesal. Di desa itu sudah lama saya bina. Sebelum Pemilu, saya sudah bina. Banyak bantuan yang sudah saya berikan. Pada masa tenang kemarin itu, ada caleg dari partai besar melakukan serangan fajar. Jadi, basis saya itu habis. Saya hanya dapat dua suara saja,” paparnya lemas.
Banyak lagi cerita-cerita seru seputar Pemilu. Umumnya, banyak caleg yang telah dikibuli pemilih. Di depan caleg yang memberikan sumbangan, pemilih berjanji akan memilih, tapi begitu di bilik suara, justru yang dipilih caleg lain. Saya yakin ada ribuan caleg yang sudah dikibuli para pemilih. Silakan marah, tidak ada yang larang, kok! Silakan ambil sumbangan yang telah diberikan! Tidak ada yang mencegah. Itu juga hak caleg. Perlu diingat, sumbangan yang akan diambil itu akan menambah kebencian pemilih. Pada setiap even pesta demokrasi, pemilih akan selalu ingat dengan politikus seperti itu. Justru itu akan semakin membuat masyarakat cerdas. Saya rasa yang lebih baik adalah mengikhlaskan seluruh sumbangan. Paling tidak, walaupun tidak terpilih sebagai wakil rakyat, caleg itu sudah berbuat untuk rakyat. Mencari orang yang pandai menyenangkan rakyat saat ini sangat sulit. Membuat senang rakyat itu bagian dari upaya membuat negeri ini maju. Ikhlaskan yang sudah disumbangkan, jangan diungkit-ungkit lagi.
Saya menyarankan, ada baiknya bagi caleg yang tidak kebagian kursi legislatif, untuk melakukan evaluasi dan instrospeksi. Kalau masih percaya dengan Tuhan, itu bagian dari suratan nasib. Di balik semua itu pasti ada hikmahnya. Jadikan semua kegagalan itu untuk mencapai sebuah kesuksesan. Pemilu tidak hanya ada tahun 2009, tahun 2014 ada lagi. Jika memang ngebet jadi wakil rakyat, jadikan apa yang telah dilakukan sebagai pelajaran. Jadikan itu semua untuk lebih dewasa dalam berpolitik, jangan justru menjadi orang kerdil. Menjadi politisi itu tidak bisa instant, butuh waktu untuk lebih dewasa. *
Rabu, 08 April 2009
Hanya Ada Dua Pilihan
Rosadi Jamani
Pemilu legislatif 9 April baru saja usai. Saat ini seluruh calon legislatif (caleg) dan partai politik (parpol) harap-harap cemas menunggu penghitungan suara resmi dari KPU. Hasil dari penghitungan suara itu hanya ada dua jawaban, terpilih atau tidak terpilih. Kalau terpilih, syukur, gembira, senang dan bersemangat. Kalau tidak terpilih, bisa pasrah, stres, kapok, kecewa dan ngedumel tak tentu pasal.
Bagi pemilih, pasca pesta demokrasi itu juga ada dua jawaban. Jika caleg yang dipilih terpilih sebagai wakil rakyat, juga ikut senang dan gembira. Tapi, kalau tidak terpilih, biasa-biasa saja, tak ada beban. Tidak perlu marah atau ngedumel seperti halnya caleg yang kalah dalam pertarungan memperebutkan kursi parlemen. Seperti itulah impact dari pesta demokrasi. Pasti ada pengaruh psikologis yang ditimbulkan dari hajatan politik itu.
Momen Pemilu merupakan pembelajaran politik paling besar bagi masyarakat. Bagi caleg atau parpol, momen tersebut telah memberikan pelajaran paling berharga untuk dunia politik. Bagi caleg yang ingin menjadi politisi hebat dan ulung, pasti menjadikan peristiwa 9 April itu sebagai khazanah politik yang harus diambil pelajarannya. Walaupun tidak terpilih sebagai wakil rakyat, momen Pemilu akan terus menjadikannya lebih dewasa dalam berpolitik. Dia akan mengevaluasi diri, kenapa tidak terpilih. Apa saja penyebab tidak bisa melenggang ke rumah rakyat. Faktor apa saja yang menyebabkannya gagal? Evaluasi tersebut itu sangat penting agar pada Pemilu berikutnya agar dia jauh lebih siap dengan memerhatikan segala kekurangan pada Pemilu saat ini. Caleg seperti inilah nantinya akan menjadi wakil rakyat yang sangat diharapkan masyarakat atau caleg yang memberikan perubahan besar bagi daerahnya.
Sebaliknya, bagi caleg yang hanya berniat untuk mencari pekerjaan, apabila tidak terpilih, dia tidak akan mengevaluasi apa yang telah dilakukannya. Dia justru kecewa dan frustrasi. Dia tidak mengambil hikmah di balik apa yang telah diperjuangkannya. Dia bukannya dewasa dalam berpolitik, tapi malah menjadi orang kerdil. Orang-orang seperti inilah yang kadang membuat kisruh politik di negeri ini. Yang ditonjolkan tidak lagi otak, melainkan otot.
Selanjutnya, bagi yang terpilih menjadi wakil rakyat, momen besar yang baru saja berlalu itu hendaknya dijadikan pelajaran berharga. Lakukan evaluasi diri, kenapa bisa terpilih? Apa saja faktor yang menyebabkannya sukses meraih kursi di parlemen? Semua itu akan menjadi referensi bagi caleg yang gagal. Kemudian, harus diingat bagi caleg yang sukses menjadi wakil rakyat itu, terpilihnya anda itu baru awal dari perjuangan. Awal perjuangan untuk memperjuangkan segala kesulitan masyarakat. Bukan justru awal untuk mencari keuntungan. Di pundak wakil rakyat ada setumpuk beban kesulitan rakyat yang mesti diperjuangkan. Jika itu tidak dilakukan, pemilih anda pasti kecewa. Kekecewaan masyarakat itu bagian dari bencana demokrasi. Suatu saat nanti anda tidak dipilih lagi oleh rakyat atau rakyat tidak lagi mau memilih, itu konsekuensi yang mesti diterima oleh mereka yang terpilih menjadi Dewan.
Kita hanya berharap kepada caleg yang terpilih nanti tidak melupakan rakyat. Sudah cukuplah dengan Dewan yang lalu-lalu lebih banyak mementingkan urusan pribadi dan kelompoknya. Kita tidak ingin lagi memiliki Dewan yang sibuk menumpuk kekayaan pribadi ketimbang memerhatikan nasib rakyat di sekelilingnya yang lebih banyak miskin. Mereka memang berjuang atas nama rakyat, namun di otak mereka justru lebih banyak memerhatikan kepentingan pribadinya.
Dewan yang terpilih nanti benar-benar wakil rakyat. Dewan yang berjuang keras mengalokasikan anggaran untuk infrastruktur dasar masyarakat, kualitas pendidikan, pelayanan kesehatan yang prima dan anggaran untuk sosial. Dewan yang benar-benar bisa menjadi kontrol eksekutif, bukan malah jadi boneka eksekutif.
Kita juga mengharapkan Dewan yang inovatif membuat legislasi untuk meningkatkan pendapatan daerah yang berujung untuk kesejahteraan rakyat. Kita tidak menginginkan wakil rakyat yang pemalas, tidak mengerti apa yang mesti diperbuat di gedung rakyat itu. Banyak harapan masyarakat untuk wakil rakyat. Dari semua harapan itu, masyarakat hanya menginginkan wakil rakyat benar-benar berjuang untuk kepentingan rakyat saja.*
Pemilu legislatif 9 April baru saja usai. Saat ini seluruh calon legislatif (caleg) dan partai politik (parpol) harap-harap cemas menunggu penghitungan suara resmi dari KPU. Hasil dari penghitungan suara itu hanya ada dua jawaban, terpilih atau tidak terpilih. Kalau terpilih, syukur, gembira, senang dan bersemangat. Kalau tidak terpilih, bisa pasrah, stres, kapok, kecewa dan ngedumel tak tentu pasal.
Bagi pemilih, pasca pesta demokrasi itu juga ada dua jawaban. Jika caleg yang dipilih terpilih sebagai wakil rakyat, juga ikut senang dan gembira. Tapi, kalau tidak terpilih, biasa-biasa saja, tak ada beban. Tidak perlu marah atau ngedumel seperti halnya caleg yang kalah dalam pertarungan memperebutkan kursi parlemen. Seperti itulah impact dari pesta demokrasi. Pasti ada pengaruh psikologis yang ditimbulkan dari hajatan politik itu.
Momen Pemilu merupakan pembelajaran politik paling besar bagi masyarakat. Bagi caleg atau parpol, momen tersebut telah memberikan pelajaran paling berharga untuk dunia politik. Bagi caleg yang ingin menjadi politisi hebat dan ulung, pasti menjadikan peristiwa 9 April itu sebagai khazanah politik yang harus diambil pelajarannya. Walaupun tidak terpilih sebagai wakil rakyat, momen Pemilu akan terus menjadikannya lebih dewasa dalam berpolitik. Dia akan mengevaluasi diri, kenapa tidak terpilih. Apa saja penyebab tidak bisa melenggang ke rumah rakyat. Faktor apa saja yang menyebabkannya gagal? Evaluasi tersebut itu sangat penting agar pada Pemilu berikutnya agar dia jauh lebih siap dengan memerhatikan segala kekurangan pada Pemilu saat ini. Caleg seperti inilah nantinya akan menjadi wakil rakyat yang sangat diharapkan masyarakat atau caleg yang memberikan perubahan besar bagi daerahnya.
Sebaliknya, bagi caleg yang hanya berniat untuk mencari pekerjaan, apabila tidak terpilih, dia tidak akan mengevaluasi apa yang telah dilakukannya. Dia justru kecewa dan frustrasi. Dia tidak mengambil hikmah di balik apa yang telah diperjuangkannya. Dia bukannya dewasa dalam berpolitik, tapi malah menjadi orang kerdil. Orang-orang seperti inilah yang kadang membuat kisruh politik di negeri ini. Yang ditonjolkan tidak lagi otak, melainkan otot.
Selanjutnya, bagi yang terpilih menjadi wakil rakyat, momen besar yang baru saja berlalu itu hendaknya dijadikan pelajaran berharga. Lakukan evaluasi diri, kenapa bisa terpilih? Apa saja faktor yang menyebabkannya sukses meraih kursi di parlemen? Semua itu akan menjadi referensi bagi caleg yang gagal. Kemudian, harus diingat bagi caleg yang sukses menjadi wakil rakyat itu, terpilihnya anda itu baru awal dari perjuangan. Awal perjuangan untuk memperjuangkan segala kesulitan masyarakat. Bukan justru awal untuk mencari keuntungan. Di pundak wakil rakyat ada setumpuk beban kesulitan rakyat yang mesti diperjuangkan. Jika itu tidak dilakukan, pemilih anda pasti kecewa. Kekecewaan masyarakat itu bagian dari bencana demokrasi. Suatu saat nanti anda tidak dipilih lagi oleh rakyat atau rakyat tidak lagi mau memilih, itu konsekuensi yang mesti diterima oleh mereka yang terpilih menjadi Dewan.
Kita hanya berharap kepada caleg yang terpilih nanti tidak melupakan rakyat. Sudah cukuplah dengan Dewan yang lalu-lalu lebih banyak mementingkan urusan pribadi dan kelompoknya. Kita tidak ingin lagi memiliki Dewan yang sibuk menumpuk kekayaan pribadi ketimbang memerhatikan nasib rakyat di sekelilingnya yang lebih banyak miskin. Mereka memang berjuang atas nama rakyat, namun di otak mereka justru lebih banyak memerhatikan kepentingan pribadinya.
Dewan yang terpilih nanti benar-benar wakil rakyat. Dewan yang berjuang keras mengalokasikan anggaran untuk infrastruktur dasar masyarakat, kualitas pendidikan, pelayanan kesehatan yang prima dan anggaran untuk sosial. Dewan yang benar-benar bisa menjadi kontrol eksekutif, bukan malah jadi boneka eksekutif.
Kita juga mengharapkan Dewan yang inovatif membuat legislasi untuk meningkatkan pendapatan daerah yang berujung untuk kesejahteraan rakyat. Kita tidak menginginkan wakil rakyat yang pemalas, tidak mengerti apa yang mesti diperbuat di gedung rakyat itu. Banyak harapan masyarakat untuk wakil rakyat. Dari semua harapan itu, masyarakat hanya menginginkan wakil rakyat benar-benar berjuang untuk kepentingan rakyat saja.*
Selasa, 07 April 2009
Aktor YB Gate Jadi Tersangka
Rosadi Jamani
Proses hukum dugaan korupsi Yayasan Bestari (YB) Gate walaupun perlahan, namun pasti. Aktor YB sebagai mana tercantum dalam Putusan Mahkamah Agung (MA) nomor 1838 K/Pid/2005 yang berjumlah 41 orang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejari Mempawah. Di antara 41 orang itu, sudah dua orang dijebloskan ke penjara. Sisanya, ada sejumlah anggota DPRD yang masih aktif dan non aktif. Di antara yang menjadi tersangka itu rata-rata calon legislatif (caleg).
Dalam proses hukum, jadi tersangka berarti seluruh anggota Dewan terlibat YB itu siap-siap diperiksa secara intensif oleh kejaksaan. Biasanya, apabila sudah jadi status tersangka, kejaksaan boleh menahannya di balik jeruji. Seperti kasus besan Presiden SBY, Aulia Pohan, begitu ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, tidak beberapa lama dia langsung dijebloskan ke penjara. Itu untuk ukuran besan Presiden, KPK tidak takut untuk mengkerangkengnya. Sementara Kejari Mempawah sudah menetapkan para pengerat uang rakyat itu sebagai tersangka, anehnya belum ada tanda-tanda upaya untuk menahannya.
Persoalan tidak menahan tersangka, itu sudah menimbulkan kecurigaan besar di masyarakat. Jangan-jangan Kejari, takut. Jangan-jangan Kejari, sudah disogok. Jangan-jangan Kejari sengaja mempermainkan kasus itu demi keuntungan. Jangan-jangan Kejari sudah masuk angin. Jangan-jangan…jangan-jangan… Banyak lagi kecurigaan masyarakat yang berseliweran di warung kopi, di tempat umum dan di kantor-kantor.
Harus diakui, bola panas itu ada di Kejari. Perkembangan demi perkembangan soal YB Gate hanya Kejari yang tahu. Masyarakat hanya bisa menyaksikan dan menonton seperti apa Kejari menggarap kasus korupsi terbesar di tahun 2009 ini. Jika Kejari terbuka dan selalu menginformasikan ke media setiap progres yang mereka hasilkan, masyarakat pasti tahu dan paham alur cerita itu. Kecurigaan yang macam-macam terhadap Kejari tentu bisa diminimalisir. Sebaliknya, jika Kejari tertutup dan menjauh dari media, masyarakat juga tidak tahu seperti apa perkembangan YB gate itu. Kecurigaan masyarakat pasti akan membesar.
Harus diingat, pemberantasan korupsi itu tidak bisa berhasil apabila tidak melibatkan masyarakat. Kejari dalam hal ini jangan “sombong” terhadap masyarakat. Maksudnya, Kejari tidak bisa begitu saja meninggalkan masyarakat (pemerhati korupsi, lembaga anti korupsi dan media massa). Bagaimanapun, kinerja Kejari akan berjalan lurus kalau ada dukungan penuh masyarakat. Sebaliknya, apabila Kejari seolah-olah mampu sendirian memberantas korupsi, tanpa melibatkan masyarakat, yakinlah kampanye pemberantasan korupsi hanya mimpi di siang bolong.
Kejari harus mensyukuri ternyata banyak lembaga anti korupsi sangat serius memerhatikan kasus korupsi di negeri ini. Coba bayangkan kalau masyarakat tidak peduli terhadap korupsi, apa yang bisa dilakukan Kejari. Tidak bisa jauh-jauh, Kejari mungkin akan kesulitan untuk mencari saksi. Orang pasti tidak mau jadi saksi karena sudah tidak peduli dengan korupsi. Untung saja, masih banyak orang peduli terhadap pemberantasan tindak pidana yang paling dibenci rakyat itu.
Kasus YB gate itu telah menyedot perhatian banyak orang. Kejari satu-satunya lembaga yang menyidik keterlibatan para wakil rakyat itu menjadi sorotan tajam masyarakat. Setiap gerak-gerik oknum Kejari tidak luput dari perhatian masyarakat. Masyarakat hanya ingin agar YB gate tidak masuk angin. Kasus itu mesti mulus sampai ke pengadilan tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Sebagai masyarakat sangat berharap Kejari benar-benar berjalan di jalan yang lurus. Kejari tidak bisa dipengaruhi oleh siapa saja.
Selama Kejari tidak menahan para tersangka YB gate, saat itu muncul kecurigaan besar di tengah masyarakat. Sebaliknya, apabila Kejari berhasil menahan para tersangka, masyarakat akan memberikan pujian tinggi untuk lembaga hukum itu. Sungguh sangat sulit memberikan pujian terhadap lembaga hukum saat ini. Kita berharap, Kejari bisa meraih simpati masyarakat terhadap penanganan YB gate itu.*
Proses hukum dugaan korupsi Yayasan Bestari (YB) Gate walaupun perlahan, namun pasti. Aktor YB sebagai mana tercantum dalam Putusan Mahkamah Agung (MA) nomor 1838 K/Pid/2005 yang berjumlah 41 orang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejari Mempawah. Di antara 41 orang itu, sudah dua orang dijebloskan ke penjara. Sisanya, ada sejumlah anggota DPRD yang masih aktif dan non aktif. Di antara yang menjadi tersangka itu rata-rata calon legislatif (caleg).
Dalam proses hukum, jadi tersangka berarti seluruh anggota Dewan terlibat YB itu siap-siap diperiksa secara intensif oleh kejaksaan. Biasanya, apabila sudah jadi status tersangka, kejaksaan boleh menahannya di balik jeruji. Seperti kasus besan Presiden SBY, Aulia Pohan, begitu ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, tidak beberapa lama dia langsung dijebloskan ke penjara. Itu untuk ukuran besan Presiden, KPK tidak takut untuk mengkerangkengnya. Sementara Kejari Mempawah sudah menetapkan para pengerat uang rakyat itu sebagai tersangka, anehnya belum ada tanda-tanda upaya untuk menahannya.
Persoalan tidak menahan tersangka, itu sudah menimbulkan kecurigaan besar di masyarakat. Jangan-jangan Kejari, takut. Jangan-jangan Kejari, sudah disogok. Jangan-jangan Kejari sengaja mempermainkan kasus itu demi keuntungan. Jangan-jangan Kejari sudah masuk angin. Jangan-jangan…jangan-jangan… Banyak lagi kecurigaan masyarakat yang berseliweran di warung kopi, di tempat umum dan di kantor-kantor.
Harus diakui, bola panas itu ada di Kejari. Perkembangan demi perkembangan soal YB Gate hanya Kejari yang tahu. Masyarakat hanya bisa menyaksikan dan menonton seperti apa Kejari menggarap kasus korupsi terbesar di tahun 2009 ini. Jika Kejari terbuka dan selalu menginformasikan ke media setiap progres yang mereka hasilkan, masyarakat pasti tahu dan paham alur cerita itu. Kecurigaan yang macam-macam terhadap Kejari tentu bisa diminimalisir. Sebaliknya, jika Kejari tertutup dan menjauh dari media, masyarakat juga tidak tahu seperti apa perkembangan YB gate itu. Kecurigaan masyarakat pasti akan membesar.
Harus diingat, pemberantasan korupsi itu tidak bisa berhasil apabila tidak melibatkan masyarakat. Kejari dalam hal ini jangan “sombong” terhadap masyarakat. Maksudnya, Kejari tidak bisa begitu saja meninggalkan masyarakat (pemerhati korupsi, lembaga anti korupsi dan media massa). Bagaimanapun, kinerja Kejari akan berjalan lurus kalau ada dukungan penuh masyarakat. Sebaliknya, apabila Kejari seolah-olah mampu sendirian memberantas korupsi, tanpa melibatkan masyarakat, yakinlah kampanye pemberantasan korupsi hanya mimpi di siang bolong.
Kejari harus mensyukuri ternyata banyak lembaga anti korupsi sangat serius memerhatikan kasus korupsi di negeri ini. Coba bayangkan kalau masyarakat tidak peduli terhadap korupsi, apa yang bisa dilakukan Kejari. Tidak bisa jauh-jauh, Kejari mungkin akan kesulitan untuk mencari saksi. Orang pasti tidak mau jadi saksi karena sudah tidak peduli dengan korupsi. Untung saja, masih banyak orang peduli terhadap pemberantasan tindak pidana yang paling dibenci rakyat itu.
Kasus YB gate itu telah menyedot perhatian banyak orang. Kejari satu-satunya lembaga yang menyidik keterlibatan para wakil rakyat itu menjadi sorotan tajam masyarakat. Setiap gerak-gerik oknum Kejari tidak luput dari perhatian masyarakat. Masyarakat hanya ingin agar YB gate tidak masuk angin. Kasus itu mesti mulus sampai ke pengadilan tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Sebagai masyarakat sangat berharap Kejari benar-benar berjalan di jalan yang lurus. Kejari tidak bisa dipengaruhi oleh siapa saja.
Selama Kejari tidak menahan para tersangka YB gate, saat itu muncul kecurigaan besar di tengah masyarakat. Sebaliknya, apabila Kejari berhasil menahan para tersangka, masyarakat akan memberikan pujian tinggi untuk lembaga hukum itu. Sungguh sangat sulit memberikan pujian terhadap lembaga hukum saat ini. Kita berharap, Kejari bisa meraih simpati masyarakat terhadap penanganan YB gate itu.*
Langganan:
Postingan (Atom)