Antara Golput dan Romantis
Oleh: Rosadi Jamani
Saya memperkirakan Pemilu 2009 yang baru saja berlalu lebih baik dari Pemilu 2004. Ternyata, perkiraan itu jauh meleset. Yang terjadi justru pesta demokrasi yang berakhir 9 April itu paling buruk sejak reformasi bergulir. Penilaian itu juga sudah diumumkan sejumlah tokoh nasional. Apa artinya? Berarti, demokrasi yang dibangun bukannya lebih baik tapi lebih buruk. Demokrasi yang semestinya semakin lebih baik, justru lebih buruk. Apakah mungkin untuk Pemilu 2014 menjadi lebih baik?
Pada 16 Maret lalu, sekitar pukul 19.19 saya mendapat SMS dari Ketua DPW Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Kalbar, Ahmadi Usman S Ag. Berikut kalimat dalam SMS itu, “Trims berita n do’anya Ros. Pemilu skrg mayoritas Golput: Golongan Pemilih Uang Tunai, dan bukan pemilih Romantis: Rokok, Makan, dan Minus Gratis sdh tak laku lagi, makenye byk yg bangkrut”. SMS itu saya balas dengan, “Ha…ha…ha…”. Maksudnya, lucu.
SMS itu tidak muncul begitu saja. Saya menilai, itu adalah sebuah kesimpulan bahwa pesta demokrasi untuk memilih wakil rakyat itu bertabur dengan uang (money politic). Walaupun saya bukan “pemain” di Pemilu itu, tapi saya bisa merasakan bahkan menyaksikan betapa pesta demokrasi itu jauh dari kualitas. Money politic merajalela tanpa ada pihak yang bisa mencegahnya. Lebih parah lagi, praktik money politic sudah menjadi budaya pesta demokrasi. Caleg terang-terangan mengumpani pemilih dengan uang. Begitu juga pemilih sibuk mendatangi caleg untuk dimintai uangnya. Jadi, praktik money politic tidak hanya dari caleg, melainkan dari pemilih juga.
Sebelumnya, saya pernah menulis dan berpendapat, jika praktik money politic sudah merajalela, untuk Pemilu 2014 tidak perlu lagi orang berakhlak, orang alim, orang berpendidikan tinggi dengan gelar panjang, orang bermoral, orang jujur atau embel-embel baik lainnya. Semua itu tidak ada gunanya untuk menarik simpati pemilih. Sebab, pemilih tidak butuh embel-embel baik itu. Mereka hanya butuh uang (money). Mereka akan memilih caleg yang memang banyak menghasilkan uang. Tulisan saya itu sedikit banyak menjadi kenyataan. Betapa uang bisa memporakporandakan basis partai tertentu yang sudah lama melakukan pembinaan.
“Sudah tidak ada artinya membina masyarakat. Saya bertahun-tahun memberikan perhatian di kampung itu. Sudah banyak uang saya sumbangkan. Ternyata, itu semua hancur dalam tempo dua hari menjelang pemilihan. Orang yang memilih saya hanya tiga orang. Ke depan, siapkan saja banyak uang, tak perlu ada pembinaan. Saat mau pencontrengan, sebarkan uang itu ke pemilih. Mereka pasti mau,” kesal salah satu caleg yang kebetulan teman saat di kampus.
Umumnya caleg kecewa dengan Pemilu yang baru saja berlalu. Di mana-mana ada kecurangan. Panwaslu yang semestinya jadi wasit, justru tidak berdaya. KPU yang berusaha menggelar Pemilu sebaik mungkin juga tidak berdaya. KPU hanya bisa pasrah menghadapi banyaknya pelanggaran.
Saya ingin mencuplik lagi sebuah kekecewaan dari seorang caleg asal Kabupaten Sekadau. Namanya tidak etis saya sebutkan. “Panwaslu sudah tidak ada artinya. Money politic ada di mana-mana, tidak bisa dihentikan. Untuk Pemilu akan datang, lebih baik kampanyekan money politic. Ayo, bertarung memperebutkan pemilih dengan money politic!” katanya dengan nada penuh kesal. Saya sedikit memahami ungkapan emosional itu. Caleg itu kalah dan tidak bisa duduk di kursi Dewan. Dia sudah banyak menghabiskan uang, tapi kalah berantakan oleh caleg yang memiliki uang lebih besar lagi. Satu hal yang ingin saya ambil, money politic benar-benar menjadi virus yang menggerogoti idealisme demokrasi kita. Demokrasi mengidap virus money politik yang sudah kronis. Sangat sulit untuk disembuhkan. Bahkan, saya bisa menyimpulkan money politic sudah menjadi budaya. Ini akan menjadi ancaman serius bagi perkembangan demokrasi di daerah ini dan Indonesia. Parahnya money politic tersebut membuat banyak kalangan meragukan kualitas wakil rakyat yang terpilih. Salah satunya, dosen ilmu politik Program Magister Ilmu Sosial Untan, Drs Gusti Suryansyah M Si. Kebetulan dia juga adalah dosen saya. Saya setuju dengan pendapatnya yang mengatakan bahwa kualitas wakil rakyat yang terpilih diragukan kualitasnya. Sebab, mereka duduk di kursi legislatif bukan karena kualitas pribadi, melainkan main duit.
Uang itu memang perlu dalam aktivitas politik. Tanpa uang, sebuah organisasi politik sulit berkembang. Tanpa uang juga, visi dan misi sebuah partai juga sulit dikampanyekan ke masyarakat. Begitu juga dengan caleg, tanpa uang mereka memang sulit mengampanyekan bahwa dirinya hebat dan berkualitas. Semuanya memang perlu uang. Apalagi di zaman yang menjunjung tinggi materialism sekarang ini, uang banyak dijadikan tujuan utama. Namun, uang juga bukan segala-galanya. Tidak semua mesti harus diukur dengan uang. Untuk menunjukkan kualitas pribadi tidak mesti harus dengan uang. Saya ingat pepatah orang tua kita dulu, orang baik ditempatkan di manapun tetap baik. Atau peribahasa, mutiara ditaruh di lumpur sekalipun tetap mutiara.
Lebih jelasnya saya contohkan kualitas pribadi yang phenomenal. Sebut saja almarhum Mamatma Gandhi mantan Presiden India. Sampai sekarang, nama Gandhi tetap dikenang di seluruh dunia. Kehebatannya diakui kawan dan lawan. Satu hal yang menarik dari Gandhi melawan penjajahan Inggris tanpa kekerasan. Untuk melawan sebuah ketidakberesan haruslah dengan cara yang terhormat, santun dan tidak menyakiti orang lain. Gandhi adalah miskin yang melawan dominasi Inggris yang begitu kuat. Tidak mungkin dilawan dengan kekuatan tenaga atau senjata. Tapi, di lewat tangan Gandhi yang hitam dan kurus, tanpa balutan pakaian mewah, hanya beralaskan sandal jepit, dia berhasil menyingkirkan Inggris dari India.
Mungkin terlalu jauh mengambil contoh Mahatma Gandhi dalam konteks pesta demokrasi Indonesia. Saya berani mengambil contoh, Muda Mahendrawan, Bupati Kubu Raya. Dia berhasil memenangkan Pilkada Kubu Raya tahun 2008 hanya bermodalkan kedekatan diri kepada rakyat. Dia mendapat gelar sebagai orang nomor satu di kabupaten ke-14 di Kalbar itu karena pilihan rakyat. Padahal, lawan politik yang dihadapinya orang hebat yang duitnya tidak berseri (saking banyaknya). Saat kampanye saja, dia tidak mendatangkan artis. Dia hanya bergerak mengikuti kehendak rakyat saja. Hasilnya, Muda terpilih sebagai bupati dengan meraih suara terbanyak mengungguli calon-calon yang lain. Dalam pesta demokrasi itu, yang bermain bukan money politic, melainkan kualitas pribadi. Orang memilih Muda bukan karena dia banyak duit, melainkan dia telah banyak berjasa dan berbuat untuk Kubu Raya.
Tapi, kualitas pribadi seorang politikus sulit dicari. Mungkin banyak di sekitar kita, tapi mereka umumnya tidak berduit. Sementara kualitas pribadi rendah bertabur uang, cukup banyak. Mereka-mereka inilah yang nantinya akan mewarnai peta politik di negeri ini. Jika sudah demikian, saya sangat pesimis negeri ini cepat maju, rakyatnya yang banyak miskin bisa keluar dari kemiskinan.
Apa yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan demokrasi dari kehancuran? Sangat sulit menjawabnya. Secara normatif bisa saya jawab, mendukung politisi yang berkualitas untuk duduk di parlemen. Walaupun sedikit, yang sedikit itu diharapkan bisa menjadi gula yang bisa “memaniskan” belanga politik di negeri ini.*
Minggu, 19 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar