Minggu, 19 April 2009

Teknologi 3 GT Mempertahankan NKRI

Potret Nelayan di Garis Perbatasan Laut Indonesia-Malaysia
Oleh Rosadi Jamani

Saya memulai tulisan ini dari pernyataan Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP) Departemen Kelautan dan Perikanan, Dr Ir Aji Sularso MMA menyatakan, Indonesia hanya memiliki 20 kapal pengawas untuk mengawasi panjang pantai 95.181 kilometer persegi (km²), laut kepulauan 2,3 juta km², laut territorial 0,8 juta km² dan luas laut zona ekonomi eksklusif 2,7 km². Jumlah kapal patroli itu jauh dari kata ideal. Sementara diperkirakan ada 500 kapal nelayan asing mencuri ikan di Indonesia dalam setiap tahunnya. “Apa yang bisa kita lakukan dengan jumlah kapal pengawas sebanyak itu untuk mengawasi nelayan asing yang jumlahnya sekitar 500 kapal mencuri ikan di laut kita yang luas,” ujar Aji Sularso dalam seminar nasional tentang kelautan dan perikanan di Balai Petitih Kantor Gubernur Kalbar, 23 Maret 2009 lalu.

Mendengar pernyataan itu, saya berkata dalam hati, wajar saja banyak kapal Thailand dan Malaysia yang ditangkap di perairan Kalbar. Untuk Kalbar, data dari Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Pontianak hanya memiliki sembilan kapal pengawas. Pengawasan itupun tidak sampai menjangkau perbatasan laut antara Indonesia-Malaysia yang berada di utara Kalbar, persisnya di Tanjung Datuk Desa Temajuk Kecamatan Paloh Kabupaten Sambas. “Kita tidak ada personel dan kapal untuk mengawasi perbatasan laut kita dengan Malaysia,” kata Kepala PSDKP Pontianak, Bambang Nugroho ketika dihubungi, Senin (13/4).
Lantas bagaimana cara Indonesia mengawasi perbatasan laut itu? TNI Angkatan Laut (TNI AL) paling bertanggung jawab terhadap penjagaan perbatasan laut itu. Di Tanjung Datuk memang ada Pos Angkatan Laut (Posal) dengan lima personel yang diganti setiap enam bulan sekali. Di Posal ini hanya dilengkapi speed board satu buah panjang lima meter dengan kecepatan 15 km/jam. Kemudian, ada juga teropong dan alat komunikasi jarak jauh. Setiap pukul 06.00 sampai 18.00 WIB komandan Posal yang berpangkat letnan dua akan melaporkan setiap aktivitas yang terjadi di perbatasan laut itu.

Ada juga personel dari Dinas Perhubungan Kalbar yang memasang monitor di Tanjung Datuk itu. Dulu, melalui monitor itu, aktivitas nelayan asing bisa diawasi. “Sayang, saya cek terakhir, monitor itu tidak lagi berfungsi. Satu-satunya sumber pengawasan kita hanya mengandalkan teropong dan informasi dari nelayan kita yang mencari ikan di laut,” kata Komandan Pangkalan Angkatan Laut (Danlanal) Pontianak, Kolonel Laut (P) Trikora Harjo di ruang kerjanya, belum lama ini.

Kondisi tersebut tentunya sangat mengkhawatirkan. Seperti itulah gambaran awal dari pikiran saya setelah mendengarkan pemaparan dari berbagai pihak yang berkompeten terhadap laut Indonesia. Untuk membuktikan itu, saya selama dua hari satu malam (27-28 Maret 2008) mengunjungi langsung Desa Temajuk, sebuah desa persis berbatasan darat dan laut dengan Sarawak Malaysia. Saya ingin melihat dari dekat seperti apa kehidupan warga desa yang 90 persen adalah nelayan. Untuk mencapai ke Desa Temajuk dari Pontianak diperkirakan 10-12 jam menggunakan sepeda motor. Jika menggunakan mobil, dari Pontianak hanya bisa sampai di Desa Sebubus Kecamatan Paloh Kabupaten Sambas. Setelah itu, harus menggunakan jasa ojek sepeda motor karena belum ada jalan aspal menuju Desa Temajuk. Satu-satunya jalan menuju Temajuk menggunakan jalan tepi pantai saat air surut. Atau, menggunakan kapal motor laut.
Satu hal yang membuat saya harus ke Temajuk, ingin membuktikan informasi dari P2SDKP bahwa nelayan Indonesia jauh tertinggal dari segi teknologi bila dibandingkan Thailand, Vietnam ataupun Malaysia. “Kalau soal teknologi, jika dibandingkan dengan Malaysia, kita kalah jauh. Nelayan kita hanya memiliki kapal rata-rata 2 GT (Gross Tonase, red) dengan mesin antara 3-5 PK. Sementara Malaysia rata-rata memiliki kapal 30-50 GT dengan mesin antara 300 - 500 PK, bahkan ada yang 1.500 PK,” jelas Aji Sularso dalam seminar nasional itu.

Kemudian, nelayan Malaysia juga sudah dilengkapi radar untuk mengetahui keberadaan ikan serta global positioning system (GPS). Sementara nelayan di perbatasan umumnya hanya mengandalkan instinct (naluri) atau melihat ciri-ciri alam untuk mengetahui keberadaan ikan. “Untuk sementara, nelayan kita sangat jauh dalam penguasaan teknologi perikanan,” tambah Aji Sularso.

Setelah sampai di Desa Temajuk, memang benar 90 persen warganya adalah nelayan. Ada sekitar 600 kepala keluarga (KK) tinggal di desa itu. Melihat kehidupan nelayan, secara umum tidak jauh berbeda dengan nelayan Indonesia yang rata-rata miskin. Di desa itu memang ada pasar kecil, tapi sepi. Ada sekolah dari tingkat sekolah dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA). Untuk pelayanan kesehatan ada Puskesmas dan Puskesmas Pembantu. Tidak ada bank dan listrik. Bila malam hari warga hanya mengandalkan mesin genset untuk penerangan, itupun hanya bertahan sampai pukul 00.00. Tidak ada jaringan telepon selular. Untung saja pelayanan air bersih, ada. Sumber airnya berasal dari gunung tidak jauh dari desa itu.

Di desa itu, interaksi warganya dengan warga Kampung Teluk Melano Sarawak Malaysia, cukup tinggi. Untuk ke Teluk Melano yang berbatasan langsung dengan Temajuk hanya butuh waktu 15 menit menggunakan sepeda motor. Saya coba masuk ke Teluk Melano menggunakan sepeda motor. Di perbatasan tidak ada pemeriksaan paspor atau identitas lainnya oleh tentara Malaysia. Orang Temajuk biasanya bebas ke Teluk Melano tanpa ada pemeriksaan. Dua warga beda negara itu dalam kehidupan sehari-hari adalah keluarga besar. Orang Teluk Melano bebas masuk ke Temajuk, begitu juga sebaliknya. Telah terjadi interaksi sosial, budaya dan ekonomi kedua daerah beda negara itu.

Di Teluk Melano, kehidupan warganya lebih baik dibanding warga Temajuk. Mereka hanya unggul pada ketersediaan listrik, telepon, sarana telekomunikasi. Bangunan sekolah dasar (SD)-nya saja empat tingkat dilengkapi sarana internet. Sementara SD di Temajuk, gedungnya tidak bertingkat, namun fisik bangunannya lumayan bagus. Cuma, tidak ada fasilitas internet. Warga di Teluk Melano juga rata-rata nelayan. Dari segi pendapatan, warga Teluk Melano jauh lebih tinggi dari nelayan di Desa Temajuk. Apa yang membedakannya? Padahal, laut tempat mereka menangkap ikan itu sama. Bedanya, hanya dipisahkan batas laut saja.

Untuk menjawab itu, saya bertanya langsung dengan salah satu tokoh nelayan Desa Temajuk, Karta. Dia mengatakan, nelayan di Temajuk kebanyakan hanya menggunakan kapal mesin 3 GT ke bawah dengan mesin antara 3-5 PK (umumnya mesin tempel). Pada era tahun 1990-an di saat bensin dan solar masih murah, jumlah kapal mencapai 60-an. “Sekarang, bensin dan solar di Temajuk Rp 7000 per liter. Jadi, jumlah kapal jauh susut sekitar 20-an saja,” jelas Karta kepada saya di kediamannya pada 28 Maret 2009 lalu.

“Kapal 6 GT juga ada, tapi hanya satu buah saja. Terus terang, untuk saat ini kehidupan nelayan di Temajuk sangat memprihatinkan. Mereka mencari ikan hanya sekadar menyambung hidup dan bayar utang. Jangan berharap hasil dari laut bisa kaya. Mereka memang dapat sekitar Rp 1 juta per bulan, tapi habis dipotong utang, bayar bensin dan solar,” keluh Karta didampingi sejumlah nelayan lainnya.

Mesin kapal yang mereka gunakan kebanyakan buatan Cina merk Yanmar 33 dan Dongfeng 30. Ada juga mesin tempel dengan kecepatan 5 PK. Dengan teknologi itu, mereka hanya bisa mencari ikan antara 4-5 mil dari garis pantai. Ikan yang mereka dapatkan seperti kakap merah, eron, kerapu, bawal dan mancung. Pada saat saya ke sana itu, nelayan sedang berburu ubur-ubur. Bahkan, ada juga udang lobster. Untuk menangkap udang lobster itu dengan cara menyelam dibantu kompresor.

Hanya itulah teknologi yang dimiliki nelayan Temajuk. Hal tersebut membuat pendapatan mereka tidak meningkat, bahkan cenderung menurun mengingat biaya operasional jauh lebih tinggi dibandingkan keuntungan dari laut. “Ikan yang kami dapatkan itu, biasanya dijual ke Malaysia. Caranya, menunggu keamanan laut lengah, lalu kami masuk ke Malaysia. Kalau sudah di Malaysia, transaksi ikan lancar dengan harga jauh lebih tinggi dibandingkan daerah kita,” tambah Asy’ari yang juga tokoh masyarakat Temajuk.

Walaupun harga ikan di Malaysia mahal, tapi kebutuhan hidup juga mahal di Temajuk. Di desa itu hampir seluruh kebutuhan pokok dipasok dari luar. Bahkan, untuk gas dan gula mereka beli dari Malaysia. Dari fakta inilah, potret nelayan di garis perbatasan Indonesia-Malaysia itu jauh tertinggal dan rata-rata masih miskin.

Sementara nelayan di Malaysia kehidupan mereka mapan dari segi ekonomi. Hal ini disebabkan, teknologi nelayan yang mereka gunakan cukup tinggi. Rata-rata kapal nelayan mereka 30-50 GT dengan mesin antara 300 - 500 PK, bahkan ada yang 1500 PK. Jangkauan mencari ikan tidak hanya di pesisir pantai, melainkan sudah ke laut lepas. Kemudian, sistem pemasaran ikan juga jauh lebih maju. Nelayan Teluk Melano begitu dapat ikan langsung memasarkannya ke pelabuhan ikan Sematan. Pelabuhan Sematan hanya butuh satu jam dari Teluk Melano pakai kapal laut. Pelabuhan itu merupakan pelabuhan ikan terbesar di Sarawak. Di sanalah banyak nelayan Indonesia terutama dari perairan Kalbar menjual ikannya.

Ada dugaan, nelayan Malaysia itu banyak mencuri ikan di perairan Kalbar? Menurut keterangan Pos Pengamanan Perbatasan (Pamtas) TNI Angkatan Darat, Letnan II Jaja Jamaluddin, kalau dulu mungkin benar ada nelayan Malaysia mencuri ikan di perairan Kalbar. “Untuk sekarang, rasanya sulit. Sebab, kami dari TNI AD, TNI AL dan Dinas Perhubungan selalu mengawasi garis perbatasan laut. Kita selalu melakukan koordinasi untuk pengawasan laut itu,” katanya kepada saya di kantornya di Desa Temajuk.

Namun, berbeda dengan keterangan Danlanal Pontianak, Trikora Harjo, bisa saja nelayan Malaysia mencuri ikan di perairan Kalbar. Mereka sudah menggunakan alat canggih yang bisa memantau pergerakan kapal patroli Indonesia yang sangat terbatas. “Kapal nelayan Malaysia bisa memonitor pergerakan kapal kita di garis perbatasan. Begitu kapal kita lengah, mereka bisa saja masuk ke perairan kita lalu menangkap ikan secara ilegal. Ketika ada patroli, mereka cepat masuk ke laut mereka,” kata Trikora.

Lemahnya teknologi pengawasan itu, membuat TNI AL intensif menjalin kerja sama dengan nelayan. Lantas, apakah nelayan memang ikut menjaga perbatasan laut dari nelayan asing? “Walaupun kami hidup miskin dan sering menjual ikan ke Malaysia, kami tidak terima apabila ada nelayan asing masuk ke wilayah kita. Dulu, pernah ada kapal nelayan Malaysia menggunakan pukat trawl masuk ke perairan kita. Kami kejar dengan kapal 5 PK. Tapi, mereka cepat kabur ke batas lautnya dan langsung memutuskan pukat trawlnya. Untuk sekarang, sudah lama tidak ada nelayan asing. Tidak tahulah, apakah mereka mencuri secara diam-diam atau tidak. Kamikan hanya bisa memantau paling hanya 5-8 mil saja,” beber Karta.

Saya melihat rasa nasionalisme nelayan di Temajuk itu sangat tinggi. Walaupun mereka umumnya miskin, tapi untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak diragukan. Padahal, di daerahnya ada dua persoalan batas negara yang belum selesai atau belum jelas. Pertama, mengenai pulau kecil Gosong Niger, sejauh ini masih diperebutkan Indonesia dan Malaysia. Versi Indonesia, Gosong Niger sah milik Indonesia. Tapi, sampai saat ini Malaysia juga belum mengakuinya itu milik Indonesia. Kedua, Kampung Camar Bulan tidak jauh dari Desa Temajuk juga masih sengketa. Sampai saat ini daerah itu belum bisa diakui resmi oleh Indonesia. Begitu juga Malaysia. Pemerintah lewat TNI AD dan AL meminta bantuan nelayan ikut menjaga dua daerah itu jangan sampai dicaplok Malaysia. Keberadaan nelayan di perbatasan menjadi garda terdepan untuk mempertahankan dua daerah itu masuk NKRI.
“Kami siap mempertahankan Gosong Niger dan Camar Bulan masuk NKRI dengan nyawa taruhannya. Warga di Temajuk sangat sensitif apabila Malaysia mengungkit-ungkit persoalan Gosong Niger dan Camar Bulan,” tekad Karta dengan berapi-api.

Apakah ada perhatian pemerintah daerah untuk kesejahteraan warga Desa Temajuk? Karta menjawab, memang ada bantuan dari Pemkab Sambas untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Bantuan itu berupa pukat 30 utas (gulungan) dengan mesin dongfeng 13 buah tahun 2003 lalu. “Kami dibantu pukat ukuran 5 inci. Itukan pukat kasar untuk ikan besar. Sebenarnya kami butuh pukat 2 - 3 inci. Ketika dioperasikan, hasilnya tidak seberapa, sementara dana operasionalnya sangat tinggi. Akhirnya, bantuan itu jadi mubazir. Sampai sekarang, nelayan di sini tetap menggunakan cara tradisional, tanpa ada teknologi canggih. Mereka mencari ikan hanya berdasarkan pengalaman saja. Apabila laut teduh, mereka mencari ikan. Apabila laut gelombang tinggi dan penuh badai, mereka tidak melaut. Di saat tidak melaut, mereka banyak berutang ke agen ikan atau tengkulak. Itu sebabnya, nelayan sulit keluar dari utang. “Sampai kapanpun utang kami sulit dibayar ke agen. Kalau tidak ngutang, anak dan istri kita mau makan apa. Sementara hasil laut, hanya mengandalkan di saat laut teduh saja. Kalau musim badai, kita tidak bisa apa-apa,” papar Karta.

Satu-satunya harapan mereka, pemerintah bisa membangun jalan darat dari Paloh menuju desa mereka. Dengan adanya akses jalan itu akan membuka seluruh potensi desa mereka. Potensi Temajuk selain kelautan dan perikanan juga ada potensi pertanian yang sampai saat ini belum dikembangkan. Jika itu dilakukan, di saat laut penuh badai, mereka bisa mengolah pertanian sambil menjaga wilayah batas NKRI. Pemerintah juga bisa menjadikan warga Desa Temajuk beralih dari nelayan tangkap menjadi nelayan budi daya. Sebab, laut di Temajuk sangat potensial untuk budi daya rumput laut, ikan kerapuk, udang dan sebagainya. Teknologi mencari ikan juga harus ditingkatkan. Dengan pemberdayaan itu dan melengkapi nelayan dengan teknologi mutakhir, nelayan pasti bangga dan merasa diperhatikan Indonesia. Apabila mereka diperhatikan, mereka juga memiliki tanggung jawab kuat untuk menjaga kedaulatan Indonesia.
Yang saya khawatirkan, walaupun nelayan itu memiliki tekad untuk tetap menjadi warga NKRI, tapi apakah itu bisa dijadikan jaminan? Saya khawatir, apabila pemerintah tidak peduli, mengabaikan tuntutan mereka, bukan tidak mungkin rasa nasionalisme mereka akan luntur. Saya masih ingat dengan warga perbatasan Kecamatan Puring Kencana Kabupaten Kapuas Hulu Kalbar pada Maret lalu mengirim surat ke pemerintah pusat akan keluar dari NKRI. Alasannya, sepele. Mereka merasa tidak diperhatikan Indonesia. Negara Malaysia justru lebih banyak memperhatikan mereka. Atas surat tersebut Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan mengutus langsung Deputi Pertahanan Negara bersama Danrem 121 Alambhana Wanawai dan Danlanud Supadio turun ke lapangan mengecek keinginan warga Puring Kencana itu. Walaupun pernyataan wakil pemerintah pusat itu membantah warga Puring Kencana keluar dari NKRI (Equator, 6 Maret), kenyataan di lapangan daerah perbatasan itu sangat jauh tertinggal dalam soal pembangunan.

Persoalan itulah yang dikhawatirkan. Bukan tidak mungkin warga Temajuk akan melakukan hal serupa dengan saudaranya di Puring Kencana untuk keluar dari NKRI karena tidak diperhatikan pemerintah pusat dan daerah. Cara terbaik agar warga Temajuk tetap betah dan senang mengaku “Aku Warga Negara Indonesia” perbaiki cara tangkap ikan dengan teknologi mutakhir agar bisa bersaing dengan tetangganya. Begitu juga teknologi budi daya ikan laut diberikan agar mereka tidak hanya mengandalkan tangkap ikan saja. Intinya, pemerintah pusat dan daerah memberikan perhatian serius kepada nelayan Temajuk agar mereka tetap bangga hidup di bawah bendera NKRI. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar