Sabtu, 11 April 2009

Evaluasi untuk Lebih Dewasa atau Semakin Kerdil

Oleh: Rosadi Jamani

Pemilu 9 April baru saja berlalu. Walaupun Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum rampung menghitung suara, namun secara garis besar calon legislatif (caleg) dan partai politik (parpol) sudah mengetahui nasibnya. Bagi yang hampir dipastikan terpilih jadi wakil rakyat, pasti senang. Berarti segala pengorbanan dan perjuangannya selama ini berhasil. Segala strategi dan taktik yang dilancarkan benar-benar jitu. Sebaliknya, bagi yang sudah pasti tak terpilih sebagai anggota Dewan, pasti sedih bercampur frustrasi. Apa yang telah dilakukan, segala taktik dan strategi untuk menaklukkan pemilih berakhir sia-sia. Itulah yang dinamakan nasib politik. Pasti ada yang menang dan kalah.

Saya punya cerita menarik pasca pencontrengan 9 April itu. Sabtu (10/4) malam lalu, ada kawan datang bertamu ke kantor saya. Dia ada perlu dengan bagian iklan. Personel bagian iklan kebetulan lagi keluar sebentar. Sambil menunggu, dia menceritakan kisah kelakuan caleg pasca Pemilu.

“Ada dengar nggak, salah satu caleg di Jeruju Pontianak minta kembalikan semen,” katanya memulai cerita. “Tak ada tu, bang! Gimana cerita, kok ada caleg minta dikembalikan semen. Waduh, seru itu!” kata saya penuh penasaran.

“Caleg itu dari salah satu partai kecil. Sebelum pencontrengan, dia telah nyumbang 20 sak semen. Dia berjanji apabila terpilih, jumlah itu akan ditambah lagi. Warga di kompleks tempat dia nyumbangkan semen itu, jelas saja senang dapat 20 sak semen gratis,” paparnya.
“Lalu, gimana lagi ceritanya,” tanya saya lagi.

“Saat penghitungan suara kemarin (10/4, red) caleg itu sangat kecewa. Ternyata di TPS di kompleks perumahan itu, dia hanya mendapatkan suara di bawah angka 20. Padahal, di kompleks itu jumlah pemilihnya 500 suara lebih. Melihat kenyataan itu, caleg itu marah-marah. Dia minta kepada warga di kompleks itu agar semen 20 sak dikembalikan. Dia kecewa merasa dibohongi,” papar kawan itu.

“Buruk siku, caleg itu,” ujar saya. “Iya, memang buruk siku. Dasar caleg tak tahu diri. Jadi, sumbangan itu tak ikhlas. Itu contoh caleg yang punya niat tidak bagus. Untung saja tidak terpilih. Kalau terpilih, mungkin habis uang rakyat dikorupnya,” ujar kawan saya itu.

Perilaku politik seperti itu cukup banyak. Mereka ngebet ingin jadi wakil rakyat dengan cara instant (cepat). Disangkanya masyarakat sekarang begitu mudah untuk memberikan suaranya. Saya melihat, masyarakat sekarang semakin cerdas untuk menentukan pilihan. Kalau caleg suka pasang janji, sementara masyarakat tidak kalah hebat dalam berjanji. Begitu dikasih sumbangan, dari mulut mereka akan mudah berjanji, “Kami siap memilih bapak, yang penting 20 sak semen dulu!” Begitu caleg menyumbangkan 20 sak semen, saat itu juga masyarakat akan memberikan penilaian. “Soal milih itukan urusan pribadi, rahasia. Tidak bisa diminta begitu saja, walaupun telah memberikan sumbangan. Memilih itu soal hati”.

Sebuah cerita seru lagi, kawan seorang anggota Dewan yang juga caleg, pada 10 Maret pagi, menelepon saya. Sebelumnya saya memang ada sms mengenai peluangnya untuk duduk di kursi dewan lagi. “Untuk sementara suara saya sudah seribu lebih untuk suara pribadi. Kalau suara partai sudah dua ribu lebih. Suara itu masih bertambah karena masih banyak TPS yang belum masuk,” katanya. “Syukurlah, saya doakan, abang bisa duduk lagi,” jawab saya. “Cuma, saya sedikit kecewa dengan warga dua desa. Di dua desa itu potensi suaranya sekitar 600-an. Jauh sebelum kampanye, saya sudah bina. Banyak bantuan saya berikan untuk desa itu. Saya yakin, paling tidak separuh suara bisa saya dapatkan di dua desa itu. Pada saat penghitungan suara, saya hanya dapatkan belasan suara saja,” bebernya.

Kawan saya itu menjelaskan, pemberian materi atau sumbangan berbentuk apapun belum menjamin bisa mendapatkan suara pemilih. “Saya tidak tahu lagi, bagaimana kalau yang hanya ngomong saja. Kita yang sudah banyak mengeluarkan dana untuk menaklukkan desa itu, hanya dapat belasan suara saja. Apalagi yang hanya jual kecap,” ujarnya.

“Saya berpikir, dengan memberikan sumbangan adalah cara paling jitu menaklukkan pemilih. Ternyata itu juga meleset. Ternyata di desa itu lebih banyak memilih keluarganya yang kebetulan jadi caleg. Unsur primordialisme masih sangat tinggi. Sumbangan atau binaan bertahun-tahun itu bukan jaminan. Saya menyimpulkan, untuk menaklukkan pemilih yang lebih bagus adalah pandai memainkan isu primordialisme. Misalnya, harus putra asli daerah, orang kite, tetangga kite, keluarga kite, suku kite, satu agama dengan kite, dan sebagainya,” paparnya.
Ada juga cerita lain dari seorang caleg yang sedang menunggu perolehan suara. Dia masih harap-harap cemas, karena suara yang didapatkan belum membuatnya aman. Suara yang didapat sangat tanggung. Harapan dia hanya mengincar kursi terakhir. “Untuk aman, saya harus mendapatkan suara 1500. Sekarang, masih kurang dari seribu. Masih ada satu daerah yang belum masuk suaranya. Harapan saya tinggal itu. Mudah-mudahan dengan suara yang akan masuk, perolehan suara saya mencapai 1500 itu,” ceritanya.

“Bagaimana saat kampanye kemarin?” tanya saya. “Memang ada daerah yang banyak memilih saya. Cuma, ada daerah yang membuat saya kesal. Di desa itu sudah lama saya bina. Sebelum Pemilu, saya sudah bina. Banyak bantuan yang sudah saya berikan. Pada masa tenang kemarin itu, ada caleg dari partai besar melakukan serangan fajar. Jadi, basis saya itu habis. Saya hanya dapat dua suara saja,” paparnya lemas.

Banyak lagi cerita-cerita seru seputar Pemilu. Umumnya, banyak caleg yang telah dikibuli pemilih. Di depan caleg yang memberikan sumbangan, pemilih berjanji akan memilih, tapi begitu di bilik suara, justru yang dipilih caleg lain. Saya yakin ada ribuan caleg yang sudah dikibuli para pemilih. Silakan marah, tidak ada yang larang, kok! Silakan ambil sumbangan yang telah diberikan! Tidak ada yang mencegah. Itu juga hak caleg. Perlu diingat, sumbangan yang akan diambil itu akan menambah kebencian pemilih. Pada setiap even pesta demokrasi, pemilih akan selalu ingat dengan politikus seperti itu. Justru itu akan semakin membuat masyarakat cerdas. Saya rasa yang lebih baik adalah mengikhlaskan seluruh sumbangan. Paling tidak, walaupun tidak terpilih sebagai wakil rakyat, caleg itu sudah berbuat untuk rakyat. Mencari orang yang pandai menyenangkan rakyat saat ini sangat sulit. Membuat senang rakyat itu bagian dari upaya membuat negeri ini maju. Ikhlaskan yang sudah disumbangkan, jangan diungkit-ungkit lagi.

Saya menyarankan, ada baiknya bagi caleg yang tidak kebagian kursi legislatif, untuk melakukan evaluasi dan instrospeksi. Kalau masih percaya dengan Tuhan, itu bagian dari suratan nasib. Di balik semua itu pasti ada hikmahnya. Jadikan semua kegagalan itu untuk mencapai sebuah kesuksesan. Pemilu tidak hanya ada tahun 2009, tahun 2014 ada lagi. Jika memang ngebet jadi wakil rakyat, jadikan apa yang telah dilakukan sebagai pelajaran. Jadikan itu semua untuk lebih dewasa dalam berpolitik, jangan justru menjadi orang kerdil. Menjadi politisi itu tidak bisa instant, butuh waktu untuk lebih dewasa. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar