Rosadi Jamani
Siapapun orangnya pasti tidak senang dengan pejabat korup. Rasa benci itu sayang hanya bisa diucapkan, tapi realisasi benci itu kadang tak jelas. Sebagai bukti, banyak pejabat melakukan korupsi, namun banyak orang hanya mengungkapkan benci, tapi sebenarnya tidak peduli. Kalau secara umum masyarakat peduli, kita yakin korupsi tidak akan tumbuh subur di negeri ini.
Kasus mark up pembebasan lahan untuk kompleks Kantor Bupati Sekadau bisa dijadikan contoh besar, betapa banyak orang tidak peduli dengan korupsi. Kasus yang diduga merugikan negara Rp 20,5 miliar itu telah dilaporkan ke Kejati dan Polda Kalbar tahun 2006. Semenjak dilaporkan itu sampai sekarang kasus itu tidak jelas di dua lembaga itu. Anehnya, dari 2006 sampai awal 2009 tidak ada lagi masyarakat yang peduli kasus itu. Seolah-olah di Sekadau tidak ada korupsi atau menjadi daerah bersih korupsi.
Memang kasus itu tidak sesederhana seperti pencuri ayam. Kalau pencuri ketangkap basah, proses hukumnya pasti cepat. Apalagi kalau pencuri itu memang kere (miskin) akan menjadi bulan-bulanan penegak hukum. Kasus mark up di Sekadau itu sangat berat untuk diungkap. Masalahnya, pihak yang terlibat bukan orang sembarangan seperti halnya pencuri ayam yang kere itu. Yang terlibat justru pejabat tinggi dan mantan pejabat. Bagi penegak hukum di daerah ini akan berpikir seribu kali untuk memulai mengungkap kasus itu. Kalau ditanya kenapa belum diproses, atau sudah sampai di mana penyelidikannya, pasti alasanya sedang mengumpulkan bukti dan saksi. Jawaban itu sangat klasik yang sebenarnya sebuah alasan untuk mengulur waktu. Dengan tujuan, masyarakat akan lupa dengan kasus itu.
Inilah yang dinamakan konspirasi korupsi tingkat tinggi. Para pejabat akan mudah melakukan interversi aparat penegak hukum. Sebaliknya bagi aparat penegak hukum senang dengan kasus seperti itu karena bisa mendulang keuntungan materi. Di permukaan kasus itu seolah-olah sedang diusut, padahal di dalamnya sudah ada konspirasi tingkat tinggi yang sulit dibaca publik.
Apakah masuk akal dari 2006 sampai sekarang Kejati dan Polda masih ngumpulkan bukti. Padahal, dua lembaga itu juga pernah memeriksa pelapor dan mengumpulkan bukti. Padahal, bukti itu sudah jelas dari pelapor. Di tengah situasi itu, karena pemeriksaan berlarut-larut, masyarakat menjadi lupa. Hal seperti inilah yang sangat diinginkan di balik konspirasi korupsi itu. Kalau masyarakat lupa atau sudah tidak peduli jelas itu sangat menguntungkan bagi pejabat bermental korup. Penegak hukum bisa ditaklukkan, dan masyarakat sangat mudah untuk dibuat lupa.
Di balik ketidakpedulian masyarakat itu, untung masih ada satu warga yang peduli. Dialah Alimuddin Noor. Merasa Kejati dan Polda tak bisa diharapkan untuk menegakkan hukum di Kalbar, dia melaporkan kasus itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta. Laporan itu ditanggapi. Buktinya dia sudah dua kali dipanggil KPKP untuk dimintai keterangan. Bahkan, dia juga sudah menyerahkan seluruh bukti autentik kasus mark up itu.
Sejauh ini, apa yang telah dilakukan Alimuddin memperlihatkan sebuah keberanian luar biasa. Sebab, orang yang dihadapinya bukan pencuri ayam kere melainkan para pejabat yang memiliki power, daya intervensi, bahkan preman. Alimuddin hanya ingin, pemakan uang rakyat harus dihukum dan dijebloskan ke penjara. Dia juga tidak ingin kasus serupa terulang lagi di Kalbar. Kita berharap keberanian itu mendapat dukungan dari seluruh Kalbar.
Alimuddin tidak bisa dibiarkan sendirian. Lembaga anti korupsi di Kalbar mesti ikut membantunya. Dia tidak mungkin sendirian untuk menyelesaikan kasus itu. Kasus yang merugikan negara lebih hebat dari Bupati Kutai Kaltim harus digarap secara sistematis dan penuh strategi. Tujuannya, agar penggarapan kasus itu benar-benar tepat sasaran dan berujung pada kejelasan siapa pelaku sebenarnya. Jika dilakukan secara sporadic, tanpa taktik dan strategi, kita khawatir kasus itu hanya mencuat di media saja, tanpa ada kejelasan. Kita berharap, semua peduli terhadap kasus itu agar negeri ini tidak lagi menjadi surganya para koruptor.*
Kamis, 16 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar