Mencerdaskan Warga Perbatasan
Kawasan perbatasan masih identik dengan ketertinggalan dan kemiskinan. Padahal, pemerintah sering mengatakan kawasan perbatasan itu adalah beranda depan Indonesia. Pemerintah sadar akan ketertinggalan itu. Salah satu upaya untuk memupus ketertinggalan itu, pemerintah berusaha membuat warga perbatasan cerdas lebih dahulu. Caranya, membangun Rumah Pintar (RP) di Entikong. RP ini tidak hanya menyediakan perpustakaan, tapi juga pengusaan komputer dan internet untuk warga perbatasan. Mencerdaskan warga perbatasan itulah visi dan misi pembangunan RP itu. Sebuah terobosan positif yang perlu mendapatkan dukungan semua pihak.
Sebenarnya terobosan itu jauh terlambat apabila dibandingkan Malaysia. Di negeri jiran itu, sudah lama masyarakatnya diperkenalkan dengan perpustakaan, komputer, internet dan media. Namun, itu lebih baik dari pada tidak sama sekali. Itu juga menunjukkan ada iktikad baik dari pemerintah untuk memperhatikan warga perbatasan. Cuma, apakah pembangunan RP itu pertama dan terakhir? Kita takutkan, RP itu hanya yang pertama setelah itu tidak ada lagi pembangunan lanjutannya. Bukan rahasia, banyak pembangunan di Indonesia hanya “hangat-hangat tahi ayam”. Awalnya saja hangat, setelah itu ujung-ujungnya mubazir. Apalagi sekarang mau Pemilu dan Pilpres, biasanya pemerintah begitu perhatian dengan rakyatnya. Setelah pesta demokrasi itu berlalu, perhatian untuk warga perbatasan biasanya kembali ke asal, tak dipedulikan.
Cerita perhatian pemerintah kepada warga perbatasan mungkin sudah tidak terhingga. Apalagi kalau ada orang pusat datang, ngomongnya selalu siap memperjuangkan orang perbatasan. Begitu mereka meninggalkan Kalbar, saat itu juga mereka melupakan orang-orang di garis sempadan itu. Buktinya, sampai saat ini orang-orang perbatasan masih tertatih-tatih menata hidunya di bawah naungan NKRI.
Kita masih belum melupakan warga Kecamatan Puring Kencana mengirimi orang pusat sepucuk surat tentang keinginannya keluar dari NKRI. Sebabnya, mereka tidak diperhatikan. Negeri jiran mereka lebih perhatian dengan negaranya sendiri. Walaupun itu dibantah oleh orang pusat, tapi itu fakta betapa sakitnya mereka tinggal di negeri sendiri. Puring Kencana hanya sebuah gambaran kecil betapa menderitanya orang perbatasan.
Harus diingat warga perbatasan itu tidak hanya ada di Entikong, Sajingan atau Badau. Kalau ditarik dari Temajuk Sambas sampai Lanjak Kapuas Hulu banyak ditemukan kampung-kampung yang hidupnya jauh dari kemajuan. Tidak ada listrik, jalan setapak, tidak ada sekolah, puskesmas, dan fasilitas pemerintah lainnya. Mereka kebanyakan belanja atau menggantungkan hidup dari negeri Malaysia. Jual sahang ke Malaysia. Jual karet juga ke Malaysia. Bahkan, jual tikar bidai saja juga ke Malaysia. Pokoknya, segala hasil bumi mereka jual ke negeri Sarawak itu. Begitu juga untuk belanja kebutuhan sehari-hari, mereka lebih banyak membelinya dari warung-warung orang Malaysia itu. Sampai-sampai mata uang juga lebih dominan ringgit ketimbang rupiah.
Kondisi seperti itu, siapa yang disalahkan? Jika disuruh memilih, mereka pasti memilih warga negara Malaysia saja ketimbang Indonesia. Hanya karena proses menjadi orang Malaysia sangat sulit saja membuat mereka tetap menjadi orang Indonesia. Seandainya di Malaysia bisa membuat KTP seperti di negeri ini (satu orang bisa tiga KTP), mereka mungkin sudah berebut menjadi orang Malaysia itu. Hanya itu saja yang membuat mereka jadi Indonesia. Padahal, secara substansial mereka sebenarnya sudah menjadi orang Malaysia.
Membicarakan ketertinggalan orang perbatasan itu memang tidak habisnya. Pemerintah pusat jika masih setengah-setengah memperhatikan pembangunan di garis sempadan itu, akan selamanya tertinggal. Warga perbatasan tidak hanya butuh RP, melainkan juga jalan yang bagus, jembatan yang kukuh, Puskesmas yang ada dokternya, listrik 24 jam, telepon, sekolah yang banyak gurunya serta kemudahan kredit untuk usaha. *
Jumat, 03 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar