Oleh Rosadi Jamani
Mendekati Pemilu 9 April, pertarungan antar caleg dan parpol semakin terbuka. Mereka tidak lagi malu-malu mengeluarkan jurus pamungkasnya. Mereka juga tidak pernah berhenti untuk merayu dan meyakinkan pemilih. Di tengah persaingan yang begitu ketat, ada sejumlah caleg dihantui keragu-raguan. Awalnya semangat, lalu tiba-tiba lesu darah. Masih mendingan lesu darah, ada caleg yang justru “matikan mesin” atau tidak lagi berjuang mencari simpati rakyat. Padahal, pesta demokrasi mulai memasuki masa-masa penentuan.
Penyebab munculnya keragu-raguan itu adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan mengenai parliamentary threshold (PT). Putusan tersebut mengharuskan partai politik berikut caleg DPR RI-nya baru bisa masuk ke Senayan apabila berhasil mendapatkan 15 kursi secara nasional. Di bawah itu, misalnya hanya dapat 13 kursi, tetap dilarang masuk ke Senayan. Dengan penolakan PT tersebut juga membuat calon DPR RI dari seluruh partai kecil atau partai baru ragu-ragu untuk bergerak. Justru banyak di antaranya yang sudah matikan mesin.
Beberapa hari lalu, saya bertemu kawan yang juga seorang caleg untuk DPRD Provinsi Kalbar dari partai baru. Kawan saya itu mulai kehabisan “amunisi” atau persediaan finansial untuk melanjutkan perjuangan. Sebulan lalu, saya memang pernah ketemu kawan itu. Ketika itu, dia penuh semangat dan merasa yakin bisa meraih kursi di legislatif. Satu hal yang membuatnya semangat, karena caleg nomor satu dari DPR RI yang berasal dari Jakarta juga semangat untuk berjuang. Kedua caleg sama partai tapi beda posisi itu sepakat untuk berkolaborasi kampanye merebut hati pemilih. Kawan saya itu siap membantu memopulerkan caleg DPR RI itu dengan catatan ada suplai keuangan. Bagi caleg yang orang Jakarta itu tidak masalah soal uang. Yang penting, namanya terus dipopulerkan di seluruh Kalbar.
“Sebelum keputusan MK yang tetap memberlakukan parliamentary threshold, caleg asal Jakarta itu penuh semangat. Dia sering berkomunikasi lewat HP dan datang ke Pontianak. Ketika dia datang ke sini (Pontianak, red), dia selalu menitipkan sejumlah uang dengan kompensasi namanya dipopulerkan,” cerita kawan sambil mengisap rokok mild dan di depannya ada segelas kopi saring. Mukanya terlihat murung, tidak seenergik seperti biasanya. Dia berusaha untuk tenang, tapi raut wajah lesunya tidak bisa disembunyikannya.
“Lalu, bagaimana setelah putusan MK itu?” tanya saya. “Setelah putusan MK itu, orang Jakarta itu mulai jarang berkomunikasi. Bahkan, hampir tiga minggu dia tidak lagi ke Pontianak. Biasanya, seminggu sekali dia ke Pontianak. Inilah yang membuat saya gelisah,” kata kawan itu. Diapun menjelaskan dengan rinci yang membuatnya gelisah, sudah tidak ada lagi harapan untuk mendapatkan kucuran dana dari temannya yang di Jakarta. Sementara keuangannya sendiri sudah semakin menipis. Simpanan uang yang ada hanya cukup untuk keperluan keluarga. Kemudian, sejumlah utang di toko fotokopi dan percetakan masih banyak dan belum dibayar.
“Saya curiga, orang Jakarta jangan-jangan sudah matikan mesin. Maklum, kalau dia sendiri berjuang all out untuk Kalbar, lalu suaranya bisa menuju Senayan, sementara caleg di provinsi lain justru gagal, tidak ada arti suaranya tersebut. Dia akan ditolak masuk ke Senayan, karena tidak mencukupi parliamentary threshold,” jelasnya. Saya pura-pura mengangguk-anggukan kepala dan berkata, “Oh…gitu, ya!”
“Karena alasan itulah, orang Jakarta itu menjadi ragu untuk meneruskan perjuangan. Semula saya berharap bisa mendapatkan uang darinya, sekarang tidak ada lagi sumber keuangan itu. Sayapun tak tahu, bagaimana nanti saat kampanye terbuka, apakah perjuangan tetap diteruskan atau ikut matikan mesin,” ucap kawan sambil menegak kopi saring.
Untuk bisa melenggang ke Senayan butuh biaya besar dan tidak bisa disamakan dengan perjuangan menuju Dewan kabupaten atau provinsi. Kalau di tingkat kabupaten untuk bisa duduk di kursi Dewan harus siap uang minimal di atas Rp 200 juta. Untuk provinsi, minimal di atas Rp 500 juta. Sementara untuk DPR RI minimal di atas Rp 1,5 miliar. (Maaf ini hanya prediksi, bisa lebih, bisa juga kurang). Maksudnya, untuk meraih kursi di Senayan harganya jauh lebih mahal ketimbang di daerah. Hal ini wajar, karena pemilih yang akan ditaklukkan tidak hanya satu kabupaten, melainkan se-Kalbar. Puluhan ribu suara mesti bisa didapatkan untuk bisa mengantarkan caleg melenggang ke Senayan. Nah, perjuangan caleg DPR RI itu juga beda dengan caleg daerah. Perjuangannya mesti super ekstra karena harus berkeliling Kalbar.
Duit banyak dikeluarkan, perjuangan habis-habisan dan berhasil mendapatkan 50 ribu suara (ini misalnya). Dengan suara tersebut bisa membuat caleg itu menuju Senayan. Tapi, caleg di provinsi lain justru semua gagal. Hanya dia sendiri yang berhasil di Kalbar. Berdasarkan parliamentary threshold, caleg itu juga dianggap gagal. Jadi, uang miliaran yang sudah dikuras, mandi keringat yang sudah dikeluarkan, waktu dan tenaga yang sudah diporsir, itu semua tidak ada artinya. Semua dianggap gagal. Kondisi seperti inilah yang membuat caleg DPR RI dari partai baru banyak matikan mesin. Mereka ragu-ragu untuk melanjutkan perjuangan.
Kecuali caleg dari partai besar, mereka tidak terpengaruh dengan PT itu. Justru adanya PT membuat mereka lebih bergairah untuk berjuang. Mereka yakin, partai besar pasti dapat jatah untuk setiap daerah pemilihan. Pada posisi seperti ini, membuat persaingan menjadi tidak asyik lagi untuk dinikmati. Yang akan bertarung serius dengan segenap kemampuan hanya caleg DPR RI dari partai besar saja. Sementara caleg dari partai kecil atau partai gurem akan kalah sebelum bertanding. Keputusan MK itu di satu sisi memang ada baiknya. Dengan keputusan itu, penghuni Senayan nantinya tidak penuh warna. Tidak lagi banyak fraksi. Hanya partai yang berhasil meraih minimal 15 kursi saja yang bisa menjadi wakil rakyat di pusat itu. Diperkirakan penghuni DPR RI maksimal 10 fraksi saja. Dengan 10 fraksi, proses untuk mengambil keputusan akan cepat.
Di sisi lain, keputusan MK itu juga membuat adanya diskriminasi demokrasi. Partai-partai kecil yang kekuatannya tidak merata di seluruh Indonesia dipastikan akan kesulitan masuk Senayan. Berapapun hasil suara mereka, selama tidak memenuhi PT itu, tetap saja sia-sia dan dianggap tidak ada. Pada akhirnya, mereka hanya jadi penonton. Namun, masih untung PT tersebut tidak diberlakukan di daerah. Bisa dibayangkan jika dilakukan di daerah, pastilah partai-partai besar akan merajalela.
Keputusan MK tidak bisa lagi diubah, dan juga tidak perlu ditangisi. Sekarang, tinggal mau berjuang atau tidak. Caleg yang ragu-ragu, tidak yakin dirinya terpilih menjadi Dewan, lebih baik mundur atau matikan mesin sebelum lebih banyak kerugian diderita. Lebih baik berpikir melanjutkan pekerjaan apabila memang sudah bekerja. Bekerjalah dengan giat dan penuh semangat. Saya yakin, dengan pekerjaan yang ditekuni penuh keseriusan akan menghasilkan gaji setara anggota Dewan, bahkan lebih. Bagi caleg yang belum memiliki pekerjaan tetap, lebih baik cari pekerjaan halal dan tetap walaupun itu gajinya kecil. Jangan berpikir gaji besar, sementara itu hanya sebuah impian. Harus diingat, rezeki itu tidak akan datang kalau hanya diimpikan. Rezeki itu pasti datang apabila dicari dengan bekerja keras serta penuh keyakinan tanpa keraguan. Jika memang ragu tidak terpilih sebagai wakil rakyat, lebih baik mundur dan cari pekerjaan lain yang sesuai dengan kemampuan diri sendiri. *
Sabtu, 28 Februari 2009
Asa di Tengah Perkebunan Sawit
Oleh Rosadi Jamani
Pada masa Gubernur Kalbar, H. Usman Ja’far mencanangkan sejuta hektare perkebunan kelapa sawit. Program ini diluncurkan mengingat banyak lahan kosong atau ketersediaan areal yang belum dimanfaatkan maksimal oleh masyarakat. Selain itu, runtuhnya industri kayu yang sebelumnya menjadi primadona Kalbar menyebabkan banyak pengangguran. Dengan adanya program sejuta sawit itu akan menyerap ribuan tenaga kerja dan akan memanfaatkan lahan kosong menjadi produktif. Program ini memperlihatkan wujud nyatanya dengan banyak investor perkebunan kelapa sawit masuk ke Kalbar. Sampai sekarang (di masa Gubernur, Drs. Cornelis, MH), investor masuk banyak mencari lahan kosong untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Program tersebut sempat mendapat penolakan dari pencinta lingkungan hidup. Sebab, dengan adanya program itu akan banyak hutan dibabat. Hal tersebut bisa menimbulkan keseimbangan ekosistem antara manusia dan lingkungan. Bencana alam seperti banjir, tanah longsor, kekurangan air bersih dan sebagainya bisa muncul dibuatnya. Selain itu, program yang katanya untuk menyejahterakan petani, justru banyak tidak sesuai dengan kenyataan. Banyak petani sawit yang justru masih tetap miskin. Tapi, Pemerintah Provinsi Kalbar beserta sejumlah pemerintah kabupaten/kota tidak menghentikan program sejuta sawit itu. Program itu masih tetap jalan sampai saat ini. Informasi terbaru, PT. Palm Agro Khatulistiwa akan menanamkan modalnya di bidang perkebunan kepala sawit di Kabupaten Sekadau (Equator, 27 Februari 2009).
Muncul pertanyaan, apakah benar perkebunan sawit bisa menyejahterakan petani? Pada 27 Februari 2009, saya ingin menjawab pertanyaan itu dengan pergi langsung ke perkampungan petani sawit di Dusun Seluang Danau Desa Amboyo Selatan Kecamatan Ngabang Kabupaten Landak. Pergi ke dusun itu saya menggunakan sepeda motor. Dari jalan raya menuju dusun itu kebetulan melewati jalan ke pabrik pengolahan Cruid Oil Palm (CPO) milik PT. Perusahaan Nasional XIII (Persero). Jalannya lumayan bagus, lebar dan sudah diaspal. Setelah lewat pabrik itu, jalan menuju dusun itu tidak lagi beraspal, melainkan tanah kuning. Saya harus berhati-hati melewati jalan itu, karena banyak lubang, becek dan tidak mulus. Sekitar setengah jam, saya tiba di dusun itu. Saya memilih rumah Ruslan petani plasma PTPN XIII di afdeling 13 plasma 8. Alasan saya memilih Ruslan, karena mendapatkan petunjuk dari Suwanto Ahua, Ketua Koperasi Serba Usaha (KSU) Harapan Kita. Ruslan merupakan anggota KSU Harapan Kita itu. Kenapa harus Ruslan? Menurut keterangan Suwanto Ahui, dia adalah petani paling miskin dari 350 kepala keluarga di dusun itu.
Sebelum sampai ke rumah Ruslan, dalam bayangan saya rumahnya pastilah gubuk, lantai papan, atap daun rumbia dan dinding kayu. Tapi, bayangan itu ternyata meleset. Begitu saya tiba di rumah Ruslan, ternyata rumahnya sudah dinding semen dengan cat hijau, atap seng, lantai kayu, ada sofa. Dia juga memiliki sepeda motor. Di rumahnya juga ada televisi menggunakan parabola. Lebih mengejutkan lagi, dua anaknya sedang kuliah. Anak pertama kuliah di Sekolah Pendidikan Agama Kristen di Ketapang dan satunya lagi di Program Studi Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak. Ada juga anaknya yang sudah bekerja di Ngabang. Muncul pertanyaan dalam hati, Ruslan yang kata Suwanto Ahua petani plasma sawit paling miskin di daerahnya, bagaimana dengan petani lainnya, tentu lebih hebat lagi. Bayangkan, Ruslan si petani miskin saja mampu mengkuliahkan dua anak. Rumahnya juga saya bilang bukanlah ukuran penduduk miskin.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) membuat 14 kriteria miskin, yakni: 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang; 2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan; 3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa plester; 4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama dengan rumah tangga lain; 5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik; 6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan; 7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah; 8. Hanya mengonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu; 9. Hanya membeli satu set pakaian baru dalam setahun; 10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari; 11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik; 12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: Petani dengan luas lahan 0.5 hektare, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000 per bulan; 13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD; 14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp. 500.000, seperti sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya (BKKBN, 2007: 12). Kriteria tersebut semuanya tidak masuk dalam keluarga Ruslan.
Pada saat pembagian Bantuan Tunai Langsung pada tahun 2005 dan 2008, tidak satu satupun di dusun itu mendapatkannya. Sebab, tidak satupun keluarga di dusun itu yang dikategorikan miskin. Kalau bukan keluarga miskin, berarti keluarga yang tinggal di dusun tersebut adalah keluarga sejahtera. Melihat kondisi rumah, rumah Ruslan terbilang paling sederhana dibandingkan keluarga lainnya. Mungkin inilah alasan Suwanto Ahui merekomendasikan dia untuk diwawancarai. Sementara rumah tetangga Ruslan memang terbilang mewah. Rata-rata besar, dinding dan lantai sudah pakai porselen. Atap tidak ada lagi yang rumbia. Seluruhnya memiliki sepeda motor. Bahkan, ada yang sudah memiliki mobil. Anak-anak mereka umumnya banyak kuliah di Pontianak dan Pulau Jawa. Tidak ada kesan miskin di dusun tersebut. Anggapan banyak orang, petani sawit banyak miskin ternyata tidak benar.
Dengan demikian, salah satu paradigma bisnis PTPN XIII memberi manfaat kepada alam dan lingkungan sekitar (www.ptpn13.com) berhasil diwujudkan. Dusun Seluang Danau tidak jauh dari kompleks pabrik CPO PTPN XIII ternyata warga hidupnya jauh lebih sejahtera dibandingkan warga pedesaan yang tidak perkebunan sawit di sekitarnya. Sebagai contoh Desa Mungguk Kecamatan Ngabang Kabupaten Landak, sekitar dua jam perjalanan darat menggunakan sepeda motor dari Dusun Seluang Danau. Di sekitar desa itu tidak ada perkebunan sawit dan warganya 90 persen petani. Di desa itu, pada pembagian BLT 2005, sekitar 25 kepala keluarga mendapatkan bantuan uang tunai itu (Harian Equator, 23 Juli 2005).
Saya bertanya, berapa pendapatan Ruslan yang hidup dengan 2 hektare sawit hasil konversi PTPN XIII tahun 1992? Sebelum menjawab itu, Ruslan sedikit menceritakan hidupnya. Sebelum menjadi petani plasma, dia adalah seorang petani padi ladang dan karet di Desa Sidas Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak. Pada tahun 1989, PTPN XIII membuka lowongan untuk petani plasma. Dia dan istrinya mendaftar dan diterima. Mereka kemudian tinggal di rumah yang dibuatkan PTPN XIII ukuran 5x5 dengan dinding papan dan atas seng. Dalam dua minggu mereka hanya mendapat Rp 30 ribu. Dengan pendapatan itu, mereka hanya untuk makan, tidak bisa untuk menambung atau membeli barang-barang seperti televisi, apalagi sepeda motor. Pada tahun 1992, PTPN XIII mengkorvensi lahan, dan Ruslan mendapatkan 1 kavling dengan 2 hektare tanah. Adanya pemberian lahan 2 hektare itu, kehidupan Ruslan sedikit demi sedikit mulai berubah. Tidak beberapa lama mereka berhasil membuat rumah sendiri. Dengan lahan itu, ketika belum krisis keuangan global, dalam setiap bulan Ruslan berhasil mendapatkan pendapatan antara Rp 4 sampai Rp 5 juta. Sekarang, sedang krisis, di mana harga buah tandan segar sawit turun drastis, berdasarkan hasil penjualan sawit Januari 2009 lalu, Ruslan masih bisa membawa uang ke rumah Rp 1.689.000,-.
Dengan pendapatan itulah Ruslan harus mencukupi keluarga dan membiayai kedua anaknya yang sedang kuliah. Apakah cukup? “Kalau dihitung-hitung memang tidak cukup dengan pendapatan itu. Apalagi sekarang harga sawit belum normal. Mau tak mau kita pandai-pandai mengatur keuangan. Yang saya utamakan hanya biaya untuk kedua anak yang sedang kuliah itu. Soal saya dan istri, tidak masalah,” jawab Ruslan.
Lantas bagaimana untuk menutupi kekurangan dana untuk makan atau biaya kuliah anak? “Saya dan istri mencari pekerjaan sampingan. Di suruh orang babat rumput, tak masalah. Pokoknya, apa saja dikerjakan, yang penting dapat uang untuk menutupi kekurangan dana. Lagian, waktu untuk kerja sampingan juga cukup banyak,” jawab Ruslan lagi.
Kebun sawit yang sudah menghasilkan tidak sulit perawatannya bila dibandingkan ketika belum berbuah. Para petani paling hanya membabat rumput liar atau menyemprot dengan racun rumput. Kemudian, melakukan pemupukan secara berkala. Pekerjaan selanjutnya hanya memanen buah. Dengan demikian, petani banyak waktu untuk mencari pekerjaan lain. Itu sebabnya, banyak petani menjadi pedagang atau apa saja di Kota Ngabang. Justru banyak petani menjadi lebih kaya karena usaha sampingan ini.
Peran Vital Koperasi
Kemudian, satu hal lagi yang membuat para petani itu sejahtera, peranan koperasi. Saya bisa katakan koperasi benar-benar menjadi urat nadi ekonomi petani sawit. Ruslan adalah anggota Koperasi Serba Usaha (KSU) Harapan Kita dengan anggota 27 kepala keluarga. Dari koperasi inilah Ruslan bisa membeli pupuk murah, sembilan bahan pokok, serta biaya untuk anak kuliah. Hasil panen sawit langsung dikelola koperasi itu dan dimasukkan sebagai modal. Anggota diberikan kemudahan untuk meminjam uang. Jika anggota meminjam Rp 5 juta, angsurkan per bulan 2 persen menurun. Bagi anggota dengan adanya koperasi tersebut sangat meringankan beban hidup para petani. Pada Januari 2009 lalu, koperasi itu menggelar Rapat Anggota Tahunan (RAT) dengan Sisa Hasil Usaha masing-masing anggota Rp 75 juta. Sementara aset dari koperasi yang berdiri tahun 2005 itu sudah mencapai Rp 1.116.893.200,-. Lewat koperasi ini juga diperjuangkan sertifikat lahan kebun, pekarangan dan lahan pangan petani. Sampai saat ini dari 14 kelompok tani, sudah 11 kelompok mendapatkan tiga sertifikat lahan itu. Tinggal tiga kelompok lagi, tapi itupun tidak beberapa lama lagi akan keluar. Atas prestasi koperasi itu, Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) menghadiahi program Bantuan Stimulan Pembangunan Perumahan Swadaya (BSPPS) dengan nilai Rp 250 juta untuk 50 kepala keluarga. Untuk di Kalbar hanya Kabupaten Landak tepatnya di KSU Harapan Kita dan Kabupaten Pontianak yang mendapatkan program itu. Saat ini, pihak koperasi sedang mendata rumah petani yang mungkin masih ada yang tidak layak untuk mendapatkan bantuan itu. Dengan BSPPS ini dijamin tidak ada lagi rumah petani yang tidak layak huni, berdindingkan kayu, beratapkan daun rumbia dan berlantai papan. Jadi, koperasi begitu vital bagi keluarga Ruslan dan seluruh petani plasma. Di sinilah letak kekuatan utama petani sawit. Apabila ada persoalan di tingkat petani, misalnya sawit sudah tua dan tidak lagi produktif, petani lewat koperasi bisa mengajukan ke PTPN XIII untuk melakukan peremajaan. Pihak PTPN XIII akan membantu sepenuhnya. Apabila jalan perkebunan banyak rusak, koperasi inilah yang akan merehab jalan tersebut. Dananya perehaban itu memang sudah disiapkan berdasarkan hasil pemotongan panen sawit setiap petani.
Apabila pengelolaan koperasi tidak bagus akan berpengaruh pada tingkat kesejahteraan anggotanya. Sebagai contoh, petani di afdeling 6 plasma 1, terlihat kebun sawit seperti tidak terawat. Daun sawit banyak kuning dan jarang terlihat buahnya. Sementara di sebelah plasma 1 itu adalah kebun inti PTPN XIII yang terlihat subur dan penuh dengan buah. Kenapa terjadi perbedaan mencolok seperti itu, salah satu penyebabnya adalah pembinaan koperasi terhadap anggota (petani) tidak begitu bagus. Tidak seperti afdeling 13 plasma 8, kebun plasma milik petani sama suburnya dengan kebun inti PTPN XIII.
“Kebun plasma 1 itu awalnya dikelola PTPN XIII, lalu diserahkan ke petani menjadi plasma. Berarti pengelolaan kebun plasma tidak lagi PTPN XIII melainkan diserahkan ke koperasi. Kalau pengurus koperasinya bagus seperti halnya di afdeling 13 plasma 8, kebun plasma 1 itu juga ikut bagus,” kata Ketua, Kelompok Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Landak, Saidan Ameng ketika diwawancarai 28 Februari 2009. Dijelaskannya, kenapa ada perbedaan antara plasma 8 dan plasma 1. Di plasma 8 mengikuti pola perawatan PTPN XIII. Sementara plasma 1, tidak sepenuhnya mengikuti pola perawatan PTPN XIII. “Itu sebabnya, PTPN XIII akan mengubah pola pembinaan dengan satu manajemen. Jadi, nanti koperasi dan petani itu di bawah binaan PTPN XIII langsung. Kalau PTPN XIII mupuk, plasma juga mupuk. Kalau PTPN XIII panen, plasma juga ikut panen,” papar Saidan.
Melihat kehidupan Ruslan dan koperasi seperti itu, sebenarnya apa yang menjadi kendala dihadapi para petani sawit? “Untuk kendala tidak ada. PTPN XIII cukup banyak membantu. Begitu juga koperasi sangat besar peranannya. Cuma, yang menjadi masalah saya dan para petani di sinilah hanya listrik. Sudah bertahun-tahun kami mengusulkan listrik baik itu ke PTPN dan pemerintah serta PLN sendiri, sampai sekarang belum juga dikabulkan. Seandainya kami para petani ada listrik, tingkat pendapatan kami akan meningkat lagi. Dengan listrik, petani bisa memelihara ikan dan ternak ayam,” jawab Ruslan.
Listrik sudah menjadi kebutuhan pokok manusia. Manusia sudah menjadi ketergantungan dengan listrik. Listrik tidak hanya sebagai penerangan, melainkan menjadi sumber peningkatan penghasilan. Sayang, itu belum dirasakan Ruslan dan petani dusun Seluang Danau itu. Untuk power (tenaga) menghidupkan televisi, tape recorder dan charger hand phone, mereka menggunakan mesin listrik genset. Itupun hidup hanya malam hari dari pukul 19.00-22.00. Setelah itu, untuk penerangan mereka menggunakan lampu minyak tanah. Padahal, antara Seluang Danau atau afdeling 13 tidak jauh dari ibukota Kabupaten Landak, Ngabang. Dusun itu juga tidak begitu jauh dari mesin PLN. Anehnya, sejak tahun 1989 sampai tahun 2009, belum ada tanda-tanda di dusun tersebut dialiri listrik. “Listrik inilah yang menjadi persoalan utama kami di sini,” ujar Ruslan.
Ruslan adalah potret seorang petani kelapa sawit yang berada di lingkungan PTPN XIII. Untuk ukuran miskin seperti yang dikategorikan BKKBN di atas, Ruslan tidak masuk kategori miskin. Dia terbilang keluarga sejahtera yang tidak lagi kesulitan makan, memiliki rumah lumayan baik, berhasil mengkuliahkan dua anaknya. Diapun menikmati hidup sebagai petani sawit. Cuma, yang menjadi persoalan adalah listrik. Seandainya listrik bisa mengaliri seluruh rumah petani sawit, pendapatan mereka bisa dipastikan akan lebih meningkat lagi. Dengan demikian tingkat kesejahteraan mereka juga akan bertambah lebih baik.
Persoalan Listrik
Kenapa PTPN XIII tidak memikirkan persoalan listrik sejak awal? Saya rasa inilah yang mesti dipikirkan, tidak hanya PTPN XIII, melainkan perusahaan swasta ketika hendak membuka areal perkebunan dengan melibatkan ribuan petani, penyediaan listrik juga mesti disiapkan. Saya melihat PTPN XIII juga memerlukan jaringan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Buktinya, PTPN XIII di Ngabang itu sepenuhnya menggunakan listrik PLN. Perusahaan negara itu tidak menggunakan mesin genset sendiri untuk penerangan dan mengoperasikan perangkat kerjanya. Proses awal untuk mendapatkan jaringan listrik itu, tentulah melewati prosedur resmi PLN. Termasuklah kebutuhan daya juga diajukan saat proses awal pengajuan jaringan listrik itu. Semestinya, pada saat itu PTPN XIII sudah memikirkan dan mengajukan daya listrik untuk kebutuhan petaninya. Dalam kasus ini, PTPN XIII sepertinya tidak berpikir untuk beberapa tahun ke depan, ketika dunia semakin maju, ketika banyak orang sudah ketergantungan dengan listrik. PTPN XIII hanya memikirkan kebutuhan perusahaannya sendiri untuk jaringan listrik. Sementara petani dibiarkan begitu saja untuk mendapatkan jaringan listrik. Akibatnya, petani yang sudah hidup di era global di mana listrik sudah menjadi kebutuhan vital hanya bisa menonton warga Ngabang yang sudah gemerlap dengan alat-alat listrik. Semestinya mereka sudah bisa membeli kulkas, mesin cuci, tape recorder, kipas angin, air condition, setrika atau barang rumah tangga yang menggunakan listrik lainnya, terpaksa ditahan dulu. Tidak heran apabila petani pindah dari plasma ke daerah yang ada listriknya seperti di Kota Ngabang.
Memang, persoalan listrik itu bukanlah tanggung jawab PTPN XII. Mereka saja harus menggunakan tenaga listrik dari PLN itu. Tapi, kalau dari awal sudah dipikirkan kebutuhan listrik untuk petani, tentunya tidak dialami Ruslan dan seluruh petani plasma itu. Saya contohkan, pembangunan rumah kompleks, ketika pengembang (developer) mengajukan listrik, itu sudah menyesuaikan kebutuhan untuk seluruh rumah yang dibangun. Urusan listrik bukan lagi urusan pemilik rumah, melainkan pengembang. Nah, kenapa PTPN XIII tidak berpikir dan meniru seperti pengembang itu. Akibat persoalan ini, sungguh sangat ironis, petani yang dekat dengan ibukota kabupaten, justru tidak menikmati listrik hampir 20 tahun. Lebih parah lagi, tidak ada kepastian kapan mereka mendapatkan aliran listrik. Mereka sudah berjuang habis-habisan untuk mendapatkan listrik, tapi belum ada tanda-tanda rumah para petani PTPN XIII itu mendapatkan pasokan aliran listrik. *
Pada masa Gubernur Kalbar, H. Usman Ja’far mencanangkan sejuta hektare perkebunan kelapa sawit. Program ini diluncurkan mengingat banyak lahan kosong atau ketersediaan areal yang belum dimanfaatkan maksimal oleh masyarakat. Selain itu, runtuhnya industri kayu yang sebelumnya menjadi primadona Kalbar menyebabkan banyak pengangguran. Dengan adanya program sejuta sawit itu akan menyerap ribuan tenaga kerja dan akan memanfaatkan lahan kosong menjadi produktif. Program ini memperlihatkan wujud nyatanya dengan banyak investor perkebunan kelapa sawit masuk ke Kalbar. Sampai sekarang (di masa Gubernur, Drs. Cornelis, MH), investor masuk banyak mencari lahan kosong untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Program tersebut sempat mendapat penolakan dari pencinta lingkungan hidup. Sebab, dengan adanya program itu akan banyak hutan dibabat. Hal tersebut bisa menimbulkan keseimbangan ekosistem antara manusia dan lingkungan. Bencana alam seperti banjir, tanah longsor, kekurangan air bersih dan sebagainya bisa muncul dibuatnya. Selain itu, program yang katanya untuk menyejahterakan petani, justru banyak tidak sesuai dengan kenyataan. Banyak petani sawit yang justru masih tetap miskin. Tapi, Pemerintah Provinsi Kalbar beserta sejumlah pemerintah kabupaten/kota tidak menghentikan program sejuta sawit itu. Program itu masih tetap jalan sampai saat ini. Informasi terbaru, PT. Palm Agro Khatulistiwa akan menanamkan modalnya di bidang perkebunan kepala sawit di Kabupaten Sekadau (Equator, 27 Februari 2009).
Muncul pertanyaan, apakah benar perkebunan sawit bisa menyejahterakan petani? Pada 27 Februari 2009, saya ingin menjawab pertanyaan itu dengan pergi langsung ke perkampungan petani sawit di Dusun Seluang Danau Desa Amboyo Selatan Kecamatan Ngabang Kabupaten Landak. Pergi ke dusun itu saya menggunakan sepeda motor. Dari jalan raya menuju dusun itu kebetulan melewati jalan ke pabrik pengolahan Cruid Oil Palm (CPO) milik PT. Perusahaan Nasional XIII (Persero). Jalannya lumayan bagus, lebar dan sudah diaspal. Setelah lewat pabrik itu, jalan menuju dusun itu tidak lagi beraspal, melainkan tanah kuning. Saya harus berhati-hati melewati jalan itu, karena banyak lubang, becek dan tidak mulus. Sekitar setengah jam, saya tiba di dusun itu. Saya memilih rumah Ruslan petani plasma PTPN XIII di afdeling 13 plasma 8. Alasan saya memilih Ruslan, karena mendapatkan petunjuk dari Suwanto Ahua, Ketua Koperasi Serba Usaha (KSU) Harapan Kita. Ruslan merupakan anggota KSU Harapan Kita itu. Kenapa harus Ruslan? Menurut keterangan Suwanto Ahui, dia adalah petani paling miskin dari 350 kepala keluarga di dusun itu.
Sebelum sampai ke rumah Ruslan, dalam bayangan saya rumahnya pastilah gubuk, lantai papan, atap daun rumbia dan dinding kayu. Tapi, bayangan itu ternyata meleset. Begitu saya tiba di rumah Ruslan, ternyata rumahnya sudah dinding semen dengan cat hijau, atap seng, lantai kayu, ada sofa. Dia juga memiliki sepeda motor. Di rumahnya juga ada televisi menggunakan parabola. Lebih mengejutkan lagi, dua anaknya sedang kuliah. Anak pertama kuliah di Sekolah Pendidikan Agama Kristen di Ketapang dan satunya lagi di Program Studi Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak. Ada juga anaknya yang sudah bekerja di Ngabang. Muncul pertanyaan dalam hati, Ruslan yang kata Suwanto Ahua petani plasma sawit paling miskin di daerahnya, bagaimana dengan petani lainnya, tentu lebih hebat lagi. Bayangkan, Ruslan si petani miskin saja mampu mengkuliahkan dua anak. Rumahnya juga saya bilang bukanlah ukuran penduduk miskin.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) membuat 14 kriteria miskin, yakni: 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang; 2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan; 3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa plester; 4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama dengan rumah tangga lain; 5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik; 6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan; 7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah; 8. Hanya mengonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu; 9. Hanya membeli satu set pakaian baru dalam setahun; 10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari; 11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik; 12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: Petani dengan luas lahan 0.5 hektare, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000 per bulan; 13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD; 14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp. 500.000, seperti sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya (BKKBN, 2007: 12). Kriteria tersebut semuanya tidak masuk dalam keluarga Ruslan.
Pada saat pembagian Bantuan Tunai Langsung pada tahun 2005 dan 2008, tidak satu satupun di dusun itu mendapatkannya. Sebab, tidak satupun keluarga di dusun itu yang dikategorikan miskin. Kalau bukan keluarga miskin, berarti keluarga yang tinggal di dusun tersebut adalah keluarga sejahtera. Melihat kondisi rumah, rumah Ruslan terbilang paling sederhana dibandingkan keluarga lainnya. Mungkin inilah alasan Suwanto Ahui merekomendasikan dia untuk diwawancarai. Sementara rumah tetangga Ruslan memang terbilang mewah. Rata-rata besar, dinding dan lantai sudah pakai porselen. Atap tidak ada lagi yang rumbia. Seluruhnya memiliki sepeda motor. Bahkan, ada yang sudah memiliki mobil. Anak-anak mereka umumnya banyak kuliah di Pontianak dan Pulau Jawa. Tidak ada kesan miskin di dusun tersebut. Anggapan banyak orang, petani sawit banyak miskin ternyata tidak benar.
Dengan demikian, salah satu paradigma bisnis PTPN XIII memberi manfaat kepada alam dan lingkungan sekitar (www.ptpn13.com) berhasil diwujudkan. Dusun Seluang Danau tidak jauh dari kompleks pabrik CPO PTPN XIII ternyata warga hidupnya jauh lebih sejahtera dibandingkan warga pedesaan yang tidak perkebunan sawit di sekitarnya. Sebagai contoh Desa Mungguk Kecamatan Ngabang Kabupaten Landak, sekitar dua jam perjalanan darat menggunakan sepeda motor dari Dusun Seluang Danau. Di sekitar desa itu tidak ada perkebunan sawit dan warganya 90 persen petani. Di desa itu, pada pembagian BLT 2005, sekitar 25 kepala keluarga mendapatkan bantuan uang tunai itu (Harian Equator, 23 Juli 2005).
Saya bertanya, berapa pendapatan Ruslan yang hidup dengan 2 hektare sawit hasil konversi PTPN XIII tahun 1992? Sebelum menjawab itu, Ruslan sedikit menceritakan hidupnya. Sebelum menjadi petani plasma, dia adalah seorang petani padi ladang dan karet di Desa Sidas Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak. Pada tahun 1989, PTPN XIII membuka lowongan untuk petani plasma. Dia dan istrinya mendaftar dan diterima. Mereka kemudian tinggal di rumah yang dibuatkan PTPN XIII ukuran 5x5 dengan dinding papan dan atas seng. Dalam dua minggu mereka hanya mendapat Rp 30 ribu. Dengan pendapatan itu, mereka hanya untuk makan, tidak bisa untuk menambung atau membeli barang-barang seperti televisi, apalagi sepeda motor. Pada tahun 1992, PTPN XIII mengkorvensi lahan, dan Ruslan mendapatkan 1 kavling dengan 2 hektare tanah. Adanya pemberian lahan 2 hektare itu, kehidupan Ruslan sedikit demi sedikit mulai berubah. Tidak beberapa lama mereka berhasil membuat rumah sendiri. Dengan lahan itu, ketika belum krisis keuangan global, dalam setiap bulan Ruslan berhasil mendapatkan pendapatan antara Rp 4 sampai Rp 5 juta. Sekarang, sedang krisis, di mana harga buah tandan segar sawit turun drastis, berdasarkan hasil penjualan sawit Januari 2009 lalu, Ruslan masih bisa membawa uang ke rumah Rp 1.689.000,-.
Dengan pendapatan itulah Ruslan harus mencukupi keluarga dan membiayai kedua anaknya yang sedang kuliah. Apakah cukup? “Kalau dihitung-hitung memang tidak cukup dengan pendapatan itu. Apalagi sekarang harga sawit belum normal. Mau tak mau kita pandai-pandai mengatur keuangan. Yang saya utamakan hanya biaya untuk kedua anak yang sedang kuliah itu. Soal saya dan istri, tidak masalah,” jawab Ruslan.
Lantas bagaimana untuk menutupi kekurangan dana untuk makan atau biaya kuliah anak? “Saya dan istri mencari pekerjaan sampingan. Di suruh orang babat rumput, tak masalah. Pokoknya, apa saja dikerjakan, yang penting dapat uang untuk menutupi kekurangan dana. Lagian, waktu untuk kerja sampingan juga cukup banyak,” jawab Ruslan lagi.
Kebun sawit yang sudah menghasilkan tidak sulit perawatannya bila dibandingkan ketika belum berbuah. Para petani paling hanya membabat rumput liar atau menyemprot dengan racun rumput. Kemudian, melakukan pemupukan secara berkala. Pekerjaan selanjutnya hanya memanen buah. Dengan demikian, petani banyak waktu untuk mencari pekerjaan lain. Itu sebabnya, banyak petani menjadi pedagang atau apa saja di Kota Ngabang. Justru banyak petani menjadi lebih kaya karena usaha sampingan ini.
Peran Vital Koperasi
Kemudian, satu hal lagi yang membuat para petani itu sejahtera, peranan koperasi. Saya bisa katakan koperasi benar-benar menjadi urat nadi ekonomi petani sawit. Ruslan adalah anggota Koperasi Serba Usaha (KSU) Harapan Kita dengan anggota 27 kepala keluarga. Dari koperasi inilah Ruslan bisa membeli pupuk murah, sembilan bahan pokok, serta biaya untuk anak kuliah. Hasil panen sawit langsung dikelola koperasi itu dan dimasukkan sebagai modal. Anggota diberikan kemudahan untuk meminjam uang. Jika anggota meminjam Rp 5 juta, angsurkan per bulan 2 persen menurun. Bagi anggota dengan adanya koperasi tersebut sangat meringankan beban hidup para petani. Pada Januari 2009 lalu, koperasi itu menggelar Rapat Anggota Tahunan (RAT) dengan Sisa Hasil Usaha masing-masing anggota Rp 75 juta. Sementara aset dari koperasi yang berdiri tahun 2005 itu sudah mencapai Rp 1.116.893.200,-. Lewat koperasi ini juga diperjuangkan sertifikat lahan kebun, pekarangan dan lahan pangan petani. Sampai saat ini dari 14 kelompok tani, sudah 11 kelompok mendapatkan tiga sertifikat lahan itu. Tinggal tiga kelompok lagi, tapi itupun tidak beberapa lama lagi akan keluar. Atas prestasi koperasi itu, Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) menghadiahi program Bantuan Stimulan Pembangunan Perumahan Swadaya (BSPPS) dengan nilai Rp 250 juta untuk 50 kepala keluarga. Untuk di Kalbar hanya Kabupaten Landak tepatnya di KSU Harapan Kita dan Kabupaten Pontianak yang mendapatkan program itu. Saat ini, pihak koperasi sedang mendata rumah petani yang mungkin masih ada yang tidak layak untuk mendapatkan bantuan itu. Dengan BSPPS ini dijamin tidak ada lagi rumah petani yang tidak layak huni, berdindingkan kayu, beratapkan daun rumbia dan berlantai papan. Jadi, koperasi begitu vital bagi keluarga Ruslan dan seluruh petani plasma. Di sinilah letak kekuatan utama petani sawit. Apabila ada persoalan di tingkat petani, misalnya sawit sudah tua dan tidak lagi produktif, petani lewat koperasi bisa mengajukan ke PTPN XIII untuk melakukan peremajaan. Pihak PTPN XIII akan membantu sepenuhnya. Apabila jalan perkebunan banyak rusak, koperasi inilah yang akan merehab jalan tersebut. Dananya perehaban itu memang sudah disiapkan berdasarkan hasil pemotongan panen sawit setiap petani.
Apabila pengelolaan koperasi tidak bagus akan berpengaruh pada tingkat kesejahteraan anggotanya. Sebagai contoh, petani di afdeling 6 plasma 1, terlihat kebun sawit seperti tidak terawat. Daun sawit banyak kuning dan jarang terlihat buahnya. Sementara di sebelah plasma 1 itu adalah kebun inti PTPN XIII yang terlihat subur dan penuh dengan buah. Kenapa terjadi perbedaan mencolok seperti itu, salah satu penyebabnya adalah pembinaan koperasi terhadap anggota (petani) tidak begitu bagus. Tidak seperti afdeling 13 plasma 8, kebun plasma milik petani sama suburnya dengan kebun inti PTPN XIII.
“Kebun plasma 1 itu awalnya dikelola PTPN XIII, lalu diserahkan ke petani menjadi plasma. Berarti pengelolaan kebun plasma tidak lagi PTPN XIII melainkan diserahkan ke koperasi. Kalau pengurus koperasinya bagus seperti halnya di afdeling 13 plasma 8, kebun plasma 1 itu juga ikut bagus,” kata Ketua, Kelompok Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Landak, Saidan Ameng ketika diwawancarai 28 Februari 2009. Dijelaskannya, kenapa ada perbedaan antara plasma 8 dan plasma 1. Di plasma 8 mengikuti pola perawatan PTPN XIII. Sementara plasma 1, tidak sepenuhnya mengikuti pola perawatan PTPN XIII. “Itu sebabnya, PTPN XIII akan mengubah pola pembinaan dengan satu manajemen. Jadi, nanti koperasi dan petani itu di bawah binaan PTPN XIII langsung. Kalau PTPN XIII mupuk, plasma juga mupuk. Kalau PTPN XIII panen, plasma juga ikut panen,” papar Saidan.
Melihat kehidupan Ruslan dan koperasi seperti itu, sebenarnya apa yang menjadi kendala dihadapi para petani sawit? “Untuk kendala tidak ada. PTPN XIII cukup banyak membantu. Begitu juga koperasi sangat besar peranannya. Cuma, yang menjadi masalah saya dan para petani di sinilah hanya listrik. Sudah bertahun-tahun kami mengusulkan listrik baik itu ke PTPN dan pemerintah serta PLN sendiri, sampai sekarang belum juga dikabulkan. Seandainya kami para petani ada listrik, tingkat pendapatan kami akan meningkat lagi. Dengan listrik, petani bisa memelihara ikan dan ternak ayam,” jawab Ruslan.
Listrik sudah menjadi kebutuhan pokok manusia. Manusia sudah menjadi ketergantungan dengan listrik. Listrik tidak hanya sebagai penerangan, melainkan menjadi sumber peningkatan penghasilan. Sayang, itu belum dirasakan Ruslan dan petani dusun Seluang Danau itu. Untuk power (tenaga) menghidupkan televisi, tape recorder dan charger hand phone, mereka menggunakan mesin listrik genset. Itupun hidup hanya malam hari dari pukul 19.00-22.00. Setelah itu, untuk penerangan mereka menggunakan lampu minyak tanah. Padahal, antara Seluang Danau atau afdeling 13 tidak jauh dari ibukota Kabupaten Landak, Ngabang. Dusun itu juga tidak begitu jauh dari mesin PLN. Anehnya, sejak tahun 1989 sampai tahun 2009, belum ada tanda-tanda di dusun tersebut dialiri listrik. “Listrik inilah yang menjadi persoalan utama kami di sini,” ujar Ruslan.
Ruslan adalah potret seorang petani kelapa sawit yang berada di lingkungan PTPN XIII. Untuk ukuran miskin seperti yang dikategorikan BKKBN di atas, Ruslan tidak masuk kategori miskin. Dia terbilang keluarga sejahtera yang tidak lagi kesulitan makan, memiliki rumah lumayan baik, berhasil mengkuliahkan dua anaknya. Diapun menikmati hidup sebagai petani sawit. Cuma, yang menjadi persoalan adalah listrik. Seandainya listrik bisa mengaliri seluruh rumah petani sawit, pendapatan mereka bisa dipastikan akan lebih meningkat lagi. Dengan demikian tingkat kesejahteraan mereka juga akan bertambah lebih baik.
Persoalan Listrik
Kenapa PTPN XIII tidak memikirkan persoalan listrik sejak awal? Saya rasa inilah yang mesti dipikirkan, tidak hanya PTPN XIII, melainkan perusahaan swasta ketika hendak membuka areal perkebunan dengan melibatkan ribuan petani, penyediaan listrik juga mesti disiapkan. Saya melihat PTPN XIII juga memerlukan jaringan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Buktinya, PTPN XIII di Ngabang itu sepenuhnya menggunakan listrik PLN. Perusahaan negara itu tidak menggunakan mesin genset sendiri untuk penerangan dan mengoperasikan perangkat kerjanya. Proses awal untuk mendapatkan jaringan listrik itu, tentulah melewati prosedur resmi PLN. Termasuklah kebutuhan daya juga diajukan saat proses awal pengajuan jaringan listrik itu. Semestinya, pada saat itu PTPN XIII sudah memikirkan dan mengajukan daya listrik untuk kebutuhan petaninya. Dalam kasus ini, PTPN XIII sepertinya tidak berpikir untuk beberapa tahun ke depan, ketika dunia semakin maju, ketika banyak orang sudah ketergantungan dengan listrik. PTPN XIII hanya memikirkan kebutuhan perusahaannya sendiri untuk jaringan listrik. Sementara petani dibiarkan begitu saja untuk mendapatkan jaringan listrik. Akibatnya, petani yang sudah hidup di era global di mana listrik sudah menjadi kebutuhan vital hanya bisa menonton warga Ngabang yang sudah gemerlap dengan alat-alat listrik. Semestinya mereka sudah bisa membeli kulkas, mesin cuci, tape recorder, kipas angin, air condition, setrika atau barang rumah tangga yang menggunakan listrik lainnya, terpaksa ditahan dulu. Tidak heran apabila petani pindah dari plasma ke daerah yang ada listriknya seperti di Kota Ngabang.
Memang, persoalan listrik itu bukanlah tanggung jawab PTPN XII. Mereka saja harus menggunakan tenaga listrik dari PLN itu. Tapi, kalau dari awal sudah dipikirkan kebutuhan listrik untuk petani, tentunya tidak dialami Ruslan dan seluruh petani plasma itu. Saya contohkan, pembangunan rumah kompleks, ketika pengembang (developer) mengajukan listrik, itu sudah menyesuaikan kebutuhan untuk seluruh rumah yang dibangun. Urusan listrik bukan lagi urusan pemilik rumah, melainkan pengembang. Nah, kenapa PTPN XIII tidak berpikir dan meniru seperti pengembang itu. Akibat persoalan ini, sungguh sangat ironis, petani yang dekat dengan ibukota kabupaten, justru tidak menikmati listrik hampir 20 tahun. Lebih parah lagi, tidak ada kepastian kapan mereka mendapatkan aliran listrik. Mereka sudah berjuang habis-habisan untuk mendapatkan listrik, tapi belum ada tanda-tanda rumah para petani PTPN XIII itu mendapatkan pasokan aliran listrik. *
Rabu, 25 Februari 2009
Berkorban untuk Rakyat atau Mengorbankan Rakyat
Rosadi Jamani
Hak interpelasi DPRD Kalbar yang ditujukan ke Gubernur membuat kita khawatir. Semula, kasus itu hanya bermain di ranah pemerintahan, sekarang melebar ke ranah politik. Belakangan, melebar lagi ke ranah etnis. Muara dari semua itu adalah konflik. Kalau terjadi konflik, apakah pihak yang bertikai itu menjadi korban atau malah rakyat yang menjadi korban?
Kita ingin mengingatkan, penghuni gedung megah di Jalan A Yani dekat SPBU itu adalah wakil rakyat. Mereka dipilih rakyat dengan harapan bisa memperjuangkan segala rintihan rakyat. Saat mereka berjuang memperebutkan kursi legislatif, mereka juga berkoar-koar siap berkorban untuk kepentingan rakyat. Pokoknya, apapun yang dilakukan untuk kepentingan rakyat. Ketika mereka duduk di kursi Dewan, status mereka-pun berubah. Yang dulunya orang biasa, suka nongkrong di warung kopi, status berubah menjadi wakil rakyat. Dulunya sedikit nakal, berubah menjadi wakil rakyat. Dulunya preman, berubah menjadi wakil rakyat. Di pundak mereka ada beban dan tanggung jawab untuk memperjuangkan nasib rakyat.
Begitu juga dengan Gubernur, saat kampanye selalu menjanjikan kesejahteraan rakyat. Kemudian, menjanjikan kenyamanan dan kedamaian di Kalbar. Serta, menjaga harmonisasi hubungan antar etnis atau dengan semua golongan. Semua pembangunan diarahkan untuk kepentingan rakyat.
Kalau melihat jargon di atas, memang sangat indah. Semua membela dan berkorban untuk rakyat. Tapi, kalau melihat kasus hak interpelasi itu, justru tidak ada yang berkorban untuk rakyat. Mereka hanya mengedepankan ego lembaga. Dewan akan membentuk Pansus. Sementara Gubernur, tidak peduli dan tidak mau hadir. Sikap gubernur itu lalu direspons pendukungnya siap mem-back up apapun kebijakan gubernur. Terjadilah ketegangan tingkat tinggi. Semula yang tegang hanya Dewan dan Gubernur, sekarang yang ikut-ikutan tegang justru pihak ketiga yang juga memiliki kepentingan.
Lantas, di mana letak pengorbanan untuk rakyat? Justru dari perseteruan itu, tidak ada sama sekali menyentuh kepentingan rakyat. Taruhlah, pihak Dewan berhasil memaksa Gubernur datang ke ruang sidang paripurna, lalu menjawab seluruh pernyataan Dewan, lantas apa kepentingannya untuk rakyat? Okelah, kalau Dewan mengalah dan gubernur menang, lantas apa untungnya buat rakyat? Tidak ada sama sekali. Justru yang muncul konflik di tingkat rakyat (grass root). Sekarang saja konflik itu mulai terasa. Sentimen etnis mulai muncul.
Kondisi tersebut diperparah dengan semakin dekatnya Pemilu. Sejumlah Dewan pasti akan memanfaatkan momen perseteruan ini untuk menaikkan popularitas. Begitu juga dengan Gubernur beserta pendukungnya, menjadikan momen ini untuk kepentingan politik. Nah, dalam perseteruan itu justru tidak ada rakyat yang diuntungkan. Sebaliknya, rakyatlah yang akan dikorbankan.
Dalam persoalan ini, kita mengharapkan kedewasaan dalam berpolitik maupun dalam pemerintahan. Janganlah mengutamakan ego, tapi pikirkan rakyat di tingkat bawah. Kalau terjadi konflik, tidak ada gunanya lagi penyelesalan. Apa enaknya tinggal di Kalbar kalau konflik itu memang terjadi. Tidak ada lagi gunanya kekayaan, tidak ada gunanya lagi sifat ego, tidak ada gunanya lagi jabatan, kalau negeri ini sudah dilanda konflik antar etnis. Kita mengharapkan, kedua lembaga itu mesti mencari jalan keluar yang damai dan sejuk demi rakyat.*
Hak interpelasi DPRD Kalbar yang ditujukan ke Gubernur membuat kita khawatir. Semula, kasus itu hanya bermain di ranah pemerintahan, sekarang melebar ke ranah politik. Belakangan, melebar lagi ke ranah etnis. Muara dari semua itu adalah konflik. Kalau terjadi konflik, apakah pihak yang bertikai itu menjadi korban atau malah rakyat yang menjadi korban?
Kita ingin mengingatkan, penghuni gedung megah di Jalan A Yani dekat SPBU itu adalah wakil rakyat. Mereka dipilih rakyat dengan harapan bisa memperjuangkan segala rintihan rakyat. Saat mereka berjuang memperebutkan kursi legislatif, mereka juga berkoar-koar siap berkorban untuk kepentingan rakyat. Pokoknya, apapun yang dilakukan untuk kepentingan rakyat. Ketika mereka duduk di kursi Dewan, status mereka-pun berubah. Yang dulunya orang biasa, suka nongkrong di warung kopi, status berubah menjadi wakil rakyat. Dulunya sedikit nakal, berubah menjadi wakil rakyat. Dulunya preman, berubah menjadi wakil rakyat. Di pundak mereka ada beban dan tanggung jawab untuk memperjuangkan nasib rakyat.
Begitu juga dengan Gubernur, saat kampanye selalu menjanjikan kesejahteraan rakyat. Kemudian, menjanjikan kenyamanan dan kedamaian di Kalbar. Serta, menjaga harmonisasi hubungan antar etnis atau dengan semua golongan. Semua pembangunan diarahkan untuk kepentingan rakyat.
Kalau melihat jargon di atas, memang sangat indah. Semua membela dan berkorban untuk rakyat. Tapi, kalau melihat kasus hak interpelasi itu, justru tidak ada yang berkorban untuk rakyat. Mereka hanya mengedepankan ego lembaga. Dewan akan membentuk Pansus. Sementara Gubernur, tidak peduli dan tidak mau hadir. Sikap gubernur itu lalu direspons pendukungnya siap mem-back up apapun kebijakan gubernur. Terjadilah ketegangan tingkat tinggi. Semula yang tegang hanya Dewan dan Gubernur, sekarang yang ikut-ikutan tegang justru pihak ketiga yang juga memiliki kepentingan.
Lantas, di mana letak pengorbanan untuk rakyat? Justru dari perseteruan itu, tidak ada sama sekali menyentuh kepentingan rakyat. Taruhlah, pihak Dewan berhasil memaksa Gubernur datang ke ruang sidang paripurna, lalu menjawab seluruh pernyataan Dewan, lantas apa kepentingannya untuk rakyat? Okelah, kalau Dewan mengalah dan gubernur menang, lantas apa untungnya buat rakyat? Tidak ada sama sekali. Justru yang muncul konflik di tingkat rakyat (grass root). Sekarang saja konflik itu mulai terasa. Sentimen etnis mulai muncul.
Kondisi tersebut diperparah dengan semakin dekatnya Pemilu. Sejumlah Dewan pasti akan memanfaatkan momen perseteruan ini untuk menaikkan popularitas. Begitu juga dengan Gubernur beserta pendukungnya, menjadikan momen ini untuk kepentingan politik. Nah, dalam perseteruan itu justru tidak ada rakyat yang diuntungkan. Sebaliknya, rakyatlah yang akan dikorbankan.
Dalam persoalan ini, kita mengharapkan kedewasaan dalam berpolitik maupun dalam pemerintahan. Janganlah mengutamakan ego, tapi pikirkan rakyat di tingkat bawah. Kalau terjadi konflik, tidak ada gunanya lagi penyelesalan. Apa enaknya tinggal di Kalbar kalau konflik itu memang terjadi. Tidak ada lagi gunanya kekayaan, tidak ada gunanya lagi sifat ego, tidak ada gunanya lagi jabatan, kalau negeri ini sudah dilanda konflik antar etnis. Kita mengharapkan, kedua lembaga itu mesti mencari jalan keluar yang damai dan sejuk demi rakyat.*
Selasa, 24 Februari 2009
Mutasi atau Deportasi
Rosadi Jamani
Kapolda Kalbar Erwin Sinambela baru saja melakukan kunjungan kerja (kunker) ke Mapolres Landak. Dalam kunker perdananya ke negeri intan itu ada sesuatu yang menarik. Tidak hanya sekadar kunker tapi mengumumkan bahwa dua perwira di Mapolres Landak itu, yakni Wakapolres dan Kasatreskrim akan dimutasi. Menurut Erwin, keduanya bukan dicopot tapi dimutasi. Dalam dunia polisi, dimutasi itu hal biasa. Ungkapan tersebutlah yang cukup menarik untuk disoroti.
Kenapa polisi sangat sulit untuk berkata jujur dan transparan dengan masyarakat? Kenapa selalu mencari alasan-alasan yang sifatnya hanya menutup kesalahan? Katakanlah dengan jujur dan bertanggung jawab, sepertinya mulai susah diucapkan oleh polisi. Dalam kasus mutasi dua perwira tersebut bagi masyarakat Landak, itu bukan mutasi melainkan deportasi.
Tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Melihat ke belakang, ada rentetan kejadian yang mencoreng institusi korp baju cokelat itu. Ada kejadian penganiayaan dan penodongan empat warga Ngabang oleh 15 anggota Dalmas. Oleh polisi, kasus itu dibantah bahwa tidak ada penodongan dengan pistol dan telah terjadi damai dengan pihak keluarga korban. Bahkan, satu orang pelaku sudah diperiksa. Bantahan polisi tersebut justru mengundang amarah besar dari pihak korban. Polisi bohong. Mereka lalu melapor ke Polda Kalbar minta tuntaskan kasus penganiayaan dan penodongan itu. Mereka tidak mau lagi mendengar penjelasan Polres karena dinilai lebih banyak bohongnya ketimbang benarnya.
Setelah lapor ke Polda, Propam diturunkan untuk memeriksa pelaku penganiayaan dan penodongan itu. Ternyata, bukan satu orang yang diperiksa, melainkan 15 orang. Awalnya hanya satu yang diperiksa, tapi begitu propam turun menjadi 15 orang. Lagi-lagi, Polres berbohong. Kejadian selanjutnya, sekitar 100 warga Ngabang menggelar unjuk rasa ke DPRD Landak. Mereka menuntut polisi benar-benar menegakkan aturan. Polisi dinilai banyak mengkomersialkan hukum. Pelaku dan barang bukti ditangkap, tapi tidak beberapa lama dilepas. Jarang kasus penangkapan seperti ilegal logging, emas, miras yang berujung ke pengadilan. Bahkan tuntutan dari pendemo itu minta sejumlah perwira di Polres itu angkat kaki dari Landak. Para perwira itu tidak becus sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat.
Melihat rentetan kejadian itu, pada 23 Februari 2009, tiba-tiba Kapolda datang ke Polres Landak. Di Mapolres yang tidak jauh dari DPRD Landak itu, Kapolda mengumumkan bahwa Wakapolres dan Kasatreskrim dimutasi ke Polda. Sekali lagi, dia bilang mutasi itu adalah hal wajar dalam dunia kepolisian. Lagi-lagi masyarakat kecewa dengan sikap tidak jujurnya polisi dalam hal ini. Kedua perwira itu mereka nilai bukan dimutasi, melainkan dideportasi. Warga Landak menilai dua perwira itu banyak mencoreng nama baik polisi.
Tentunya, semua itu adalah pelajaran berharga buat polisi itu sendiri. Masyarakat tidak bisa lagi dibodohi begitu saja. Polisi memang penegak hukum resmi di negeri ini. Tapi, bukan berarti boleh sewenang-wenang dengan masyarakat. Masyarakat itu punya mata, telinga dan hati. Perbuatan yang melanggar hukum dilakukan penegak hukum, jangan dikira masyarakat diam dan pura-pura tutup mata. Setiap pelanggaran yang dilakukan oleh polisi, itu akan menjadi referensi bagi masyarakat. Untuk itu, jika polisi ingin berkawan dengan masyarakat, jangan sakiti hati mereka.*
Kapolda Kalbar Erwin Sinambela baru saja melakukan kunjungan kerja (kunker) ke Mapolres Landak. Dalam kunker perdananya ke negeri intan itu ada sesuatu yang menarik. Tidak hanya sekadar kunker tapi mengumumkan bahwa dua perwira di Mapolres Landak itu, yakni Wakapolres dan Kasatreskrim akan dimutasi. Menurut Erwin, keduanya bukan dicopot tapi dimutasi. Dalam dunia polisi, dimutasi itu hal biasa. Ungkapan tersebutlah yang cukup menarik untuk disoroti.
Kenapa polisi sangat sulit untuk berkata jujur dan transparan dengan masyarakat? Kenapa selalu mencari alasan-alasan yang sifatnya hanya menutup kesalahan? Katakanlah dengan jujur dan bertanggung jawab, sepertinya mulai susah diucapkan oleh polisi. Dalam kasus mutasi dua perwira tersebut bagi masyarakat Landak, itu bukan mutasi melainkan deportasi.
Tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Melihat ke belakang, ada rentetan kejadian yang mencoreng institusi korp baju cokelat itu. Ada kejadian penganiayaan dan penodongan empat warga Ngabang oleh 15 anggota Dalmas. Oleh polisi, kasus itu dibantah bahwa tidak ada penodongan dengan pistol dan telah terjadi damai dengan pihak keluarga korban. Bahkan, satu orang pelaku sudah diperiksa. Bantahan polisi tersebut justru mengundang amarah besar dari pihak korban. Polisi bohong. Mereka lalu melapor ke Polda Kalbar minta tuntaskan kasus penganiayaan dan penodongan itu. Mereka tidak mau lagi mendengar penjelasan Polres karena dinilai lebih banyak bohongnya ketimbang benarnya.
Setelah lapor ke Polda, Propam diturunkan untuk memeriksa pelaku penganiayaan dan penodongan itu. Ternyata, bukan satu orang yang diperiksa, melainkan 15 orang. Awalnya hanya satu yang diperiksa, tapi begitu propam turun menjadi 15 orang. Lagi-lagi, Polres berbohong. Kejadian selanjutnya, sekitar 100 warga Ngabang menggelar unjuk rasa ke DPRD Landak. Mereka menuntut polisi benar-benar menegakkan aturan. Polisi dinilai banyak mengkomersialkan hukum. Pelaku dan barang bukti ditangkap, tapi tidak beberapa lama dilepas. Jarang kasus penangkapan seperti ilegal logging, emas, miras yang berujung ke pengadilan. Bahkan tuntutan dari pendemo itu minta sejumlah perwira di Polres itu angkat kaki dari Landak. Para perwira itu tidak becus sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat.
Melihat rentetan kejadian itu, pada 23 Februari 2009, tiba-tiba Kapolda datang ke Polres Landak. Di Mapolres yang tidak jauh dari DPRD Landak itu, Kapolda mengumumkan bahwa Wakapolres dan Kasatreskrim dimutasi ke Polda. Sekali lagi, dia bilang mutasi itu adalah hal wajar dalam dunia kepolisian. Lagi-lagi masyarakat kecewa dengan sikap tidak jujurnya polisi dalam hal ini. Kedua perwira itu mereka nilai bukan dimutasi, melainkan dideportasi. Warga Landak menilai dua perwira itu banyak mencoreng nama baik polisi.
Tentunya, semua itu adalah pelajaran berharga buat polisi itu sendiri. Masyarakat tidak bisa lagi dibodohi begitu saja. Polisi memang penegak hukum resmi di negeri ini. Tapi, bukan berarti boleh sewenang-wenang dengan masyarakat. Masyarakat itu punya mata, telinga dan hati. Perbuatan yang melanggar hukum dilakukan penegak hukum, jangan dikira masyarakat diam dan pura-pura tutup mata. Setiap pelanggaran yang dilakukan oleh polisi, itu akan menjadi referensi bagi masyarakat. Untuk itu, jika polisi ingin berkawan dengan masyarakat, jangan sakiti hati mereka.*
Minggu, 22 Februari 2009
Interpelasi Menjelang Pemilu
Rosadi Jamani
Berdasarkan undang-undang, Dewan memiliki hak istimewa yang berfungsi sebagai control pemerintahan. Salah satu hak tersebut adalah hak interpelasi atau hak bertanya. Maksudnya, legislatif berhak bertanya secara resmi kepada pemerintah apabila ada persoalan yang dianggap kurang beres.
Dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam rumah tangga, ada suami, istri, ibu dan anak. Kalau lebih besar lagi, ada suami, istri, anak, mertua dan keponakan. Suatu hari, istri curiga kenapa suami sering pulang malam hari. Padahal, biasanya pulang sore hari pukul 04.00. Satu hari dua, mungkin istri masih memaklumi. Tapi, kalau sudah lebih dari itu, suami sering pulang malam, pasti timbul dalam pikiran sang istri ada sesuatu yang dirahasiakan suaminya.
Sang istri bertanya, “Pa, kenapa sih akhir-akhir ini sering pulang malam?” Mendengar pertanyaan itu, suami yang baik pasti akan menjawab jujur, “Oh… maaf ya, ma! Papa memang sering pulang malam hari, karena lembur. Maklum, perusahaan mau tutup buku. Jadi, semua pekerjaan harus selesai sebelum tahun baru. Maaf ya, sayang…” Istri yang percaya penuh dengan suaminya akan memahami argumentasi itu. Sebaliknya, jika istri negative thinking, apapun alasan suami, tidak akan diterimanya. “Tidak mungkinlah sampai lima hari belum juga kelar-kelar membuat laporan. Jangan-jangan, papa ada main di kantor?” kata istri yang penuh curiga dengan suaminya. Suami yang sudah capek bekerja dari pagi sampai malam, mendengar ucapan istri seperti itu, muncul sifat emosinya. “Mama, jangan curiga begitu, dong! Sumpah saya bekerja membuat laporan. Kalau tidak percaya, tanyakan aja ke anak buah papa di kantor!” pinta suaminya. “Tak usahlah, papa pasti ada main dengan perempuan lain!” tuduh istrinya lagi. “Mama, apa mau ya? Ini sudah malam, tak enak ribut didengar anak-anak,” kata suaminya dengan nada mulai naik. “Tak peduli, biar tetangga sekalian dengar,” tegas istri yang mulai naik darah. Rumah tangga itu pasti ribut dan bisa-bisa menjadi hancur hanya gara-gara negative thinking. Semestinya, jika istri berpikiran positif, begitu juga suaminya jujur dalam bekerja, persoalan itu pasti cepat reda. Cukuplah dibicarakan di atas ranjang sambil mau bobok.
Kembali kepada interpelasi, di mana DPRD Kalbar untuk pertama kalinya melayangkan hak interpelasi kepada Gubernur Kalbar Drs Cornelis MH. Persoalannya, pelantikan sejumlah pejabat eselon II dinilai wakil rakyat banyak penyimpangan. Awalnya, kasus ini berjalan datar. Kedua belah pihak memandang hak interpelasi sesuatu yang wajar dalam dunia pemerintahan. Sebab, itu semua telah diatur oleh undang-undang. Yang menjadi persoalan, justru ada pihak ketiga (di luar sistem pemerintahan) yang kebakaran jenggot. Pakai ancam main polisi lagi. Bahkan, sudah melayangkan somasi. Pada akhirnya, interpelasi yang murni urusan pemerintahan sudah masuk ranah politik. Nostalgia Pemilihan Gubernur (Pilgub) ikut-ikutan dikenang. Romantisme persaingan di pesta demokrasi tahun 2007 itu kembali mencuat. Kondisi ini membuat interpelasi yang semestinya berjalan wajar, lalu berubah menjadi tidak wajar.
Kalau kita perhatikan kasus tersebut, itu hanya berawal dari negatif thinking saja. Interpelasi itukan bertanya baik-baik oleh Dewan ke Gubernur. Kalau orang bertanya baik-baik, tentu akan dijawab dengan baik juga. Kecuali orang bertanya marah-marah, orang pasti akan menjawab dengan kemarahan juga. Lagian, ini persoalan pemerintahan. Soal pemerintahan ada aturan yang dimainkan, bukan kecurigaan. *
Berdasarkan undang-undang, Dewan memiliki hak istimewa yang berfungsi sebagai control pemerintahan. Salah satu hak tersebut adalah hak interpelasi atau hak bertanya. Maksudnya, legislatif berhak bertanya secara resmi kepada pemerintah apabila ada persoalan yang dianggap kurang beres.
Dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam rumah tangga, ada suami, istri, ibu dan anak. Kalau lebih besar lagi, ada suami, istri, anak, mertua dan keponakan. Suatu hari, istri curiga kenapa suami sering pulang malam hari. Padahal, biasanya pulang sore hari pukul 04.00. Satu hari dua, mungkin istri masih memaklumi. Tapi, kalau sudah lebih dari itu, suami sering pulang malam, pasti timbul dalam pikiran sang istri ada sesuatu yang dirahasiakan suaminya.
Sang istri bertanya, “Pa, kenapa sih akhir-akhir ini sering pulang malam?” Mendengar pertanyaan itu, suami yang baik pasti akan menjawab jujur, “Oh… maaf ya, ma! Papa memang sering pulang malam hari, karena lembur. Maklum, perusahaan mau tutup buku. Jadi, semua pekerjaan harus selesai sebelum tahun baru. Maaf ya, sayang…” Istri yang percaya penuh dengan suaminya akan memahami argumentasi itu. Sebaliknya, jika istri negative thinking, apapun alasan suami, tidak akan diterimanya. “Tidak mungkinlah sampai lima hari belum juga kelar-kelar membuat laporan. Jangan-jangan, papa ada main di kantor?” kata istri yang penuh curiga dengan suaminya. Suami yang sudah capek bekerja dari pagi sampai malam, mendengar ucapan istri seperti itu, muncul sifat emosinya. “Mama, jangan curiga begitu, dong! Sumpah saya bekerja membuat laporan. Kalau tidak percaya, tanyakan aja ke anak buah papa di kantor!” pinta suaminya. “Tak usahlah, papa pasti ada main dengan perempuan lain!” tuduh istrinya lagi. “Mama, apa mau ya? Ini sudah malam, tak enak ribut didengar anak-anak,” kata suaminya dengan nada mulai naik. “Tak peduli, biar tetangga sekalian dengar,” tegas istri yang mulai naik darah. Rumah tangga itu pasti ribut dan bisa-bisa menjadi hancur hanya gara-gara negative thinking. Semestinya, jika istri berpikiran positif, begitu juga suaminya jujur dalam bekerja, persoalan itu pasti cepat reda. Cukuplah dibicarakan di atas ranjang sambil mau bobok.
Kembali kepada interpelasi, di mana DPRD Kalbar untuk pertama kalinya melayangkan hak interpelasi kepada Gubernur Kalbar Drs Cornelis MH. Persoalannya, pelantikan sejumlah pejabat eselon II dinilai wakil rakyat banyak penyimpangan. Awalnya, kasus ini berjalan datar. Kedua belah pihak memandang hak interpelasi sesuatu yang wajar dalam dunia pemerintahan. Sebab, itu semua telah diatur oleh undang-undang. Yang menjadi persoalan, justru ada pihak ketiga (di luar sistem pemerintahan) yang kebakaran jenggot. Pakai ancam main polisi lagi. Bahkan, sudah melayangkan somasi. Pada akhirnya, interpelasi yang murni urusan pemerintahan sudah masuk ranah politik. Nostalgia Pemilihan Gubernur (Pilgub) ikut-ikutan dikenang. Romantisme persaingan di pesta demokrasi tahun 2007 itu kembali mencuat. Kondisi ini membuat interpelasi yang semestinya berjalan wajar, lalu berubah menjadi tidak wajar.
Kalau kita perhatikan kasus tersebut, itu hanya berawal dari negatif thinking saja. Interpelasi itukan bertanya baik-baik oleh Dewan ke Gubernur. Kalau orang bertanya baik-baik, tentu akan dijawab dengan baik juga. Kecuali orang bertanya marah-marah, orang pasti akan menjawab dengan kemarahan juga. Lagian, ini persoalan pemerintahan. Soal pemerintahan ada aturan yang dimainkan, bukan kecurigaan. *
Sabtu, 21 Februari 2009
Siapa Sebenarnya Otak di Balik YB?
Roundtable Discussion Equator
Menyoal Kasus Yayasan Bestari
Oleh Rosadi Jamani
Kasus korupsi Yayasan Bestari (YB) bisa dikatakan referensi penting pemberantasan korupsi di Kalbar. Seumur-umur Kalbar berdiri, baru kasus YB-lah yang pertama kali menyeret seluruh anggota DPRD Kabupaten Pontianak periode 1999-2004. Dulu (masa Orde Baru), pejabat tinggi dan Dewan “kebal hukum”. Tidak ada hukum yang mampu menyeret para pesohor di negeri ini ketika itu. Begitu juga dengan masyarakat, paling takut bila berurusan dengan pejabat tinggi. Boro-boro melaporkannya ke polisi atau kejaksaan, menghina saja tidak berani di depan umum.
Seiring bergulirnya era reformasi, di mana salah satu amanahnya adalah penegakan supremasi hukum. Orang bebas berpendapat, mengkritik bahkan menghujat di media massa. Orang tidak takut untuk melaporkan pejabat tinggi apabila melakukan pelanggaran hukum. Mencuatnya kasus YB, bukti besar bahwa masyarakat tidak takut dengan para pejabat tinggi. Semua orang di mata hukum sama. Apabila seenaknya makan uang rakyat, hukum akan bertindak.
Kasus YB terbongkar tahun 2003. Ketika itu Kalbar geger. Seluruh media cetak, termasuk Harian Equator, dengan vulgar memberitakan kasus tersebut. Pihak kejaksaan yang dilandasi semangat reformasi terus memburu para koruptor di balik YB. Alhasil, para petinggi anggota DPRD Kabupaten Pontianak ketika itu diperiksa sampai akhirnya diadili di Pengadilan Negeri (PN) Mempawah. Kejaksaan kalah dan sontak melakukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT). Untuk sementara, para koruptor itu tersenyum. Lagi-lagi di tingkat PT, kejaksaan kalah, lalu minta kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Ternyata, MA masih pro rakyat dan melihat kasus YB memang terjadi korupsi. Akhirnya, kasasi kejaksaan diterima. Konsekuensinya, seluruh anggota DPRD Kabupaten Pontianak yang menerima uang haram itu harus mempertanggungjawabkan ulahnya. Dua anggota Dewan sudah dieksekusi dan dijebloskan ke penjara. Sekarang, kejaksaan sedang mengincar anggota Dewan yang masih tersisa.
Belakangan kasus YB yang sempat menghilang dari peredaran itu kembali memanas. Maklum, para anggota Dewan yang menikmati uang rakyat itu rata-rata calon legislatif (caleg). Lawan politik dari caleg terlibat YB memanfaatkan kasus ini untuk menjatuhkan popularitas caleg tersebut. Ketika Equator menampilkan headline berjudul, Koruptor YB siap-siap Dikerangkeng, berita itu menjadi konsumsi besar masyarakat Kabupaten Pontianak. Berita itu difotokopi, lalu disebarkan ke seluruh masyarakat. Tujuannya, untuk menghancurkan popularitas anggota Dewan terlibat YB yang juga seorang caleg.
YB seolah-olah menjadi borok besar bagi tujuh anggota Dewan Kabupaten Pontianak dan enam Dewan Kubu Raya. Sebanyak 13 mantan anggota Dewan periode 1999-2004 itu seolah menjadi aktor utama di balik YB. Padahal, fakta hukumnya tidak demikian. Mereka hanya tumbal yang sebenarnya tidak memiliki peranan sentral ketika itu. Mereka ibaratnya pion atau korban dari sebuah kebijakan. Dari persoalan inilah, Equator ingin mengetahui seperti apa kasus YB yang sebenarnya. Apakah memang benar 13 anggota Dewan itu aktor utama YB? Untuk mencari jawaban itu, pada Senin, 16 Februari lalu, Equator menggelar roundtable discussion (diskusi meja bundar) di Ruang Utama Graha Pena Equator menyoal YB. Peserta diskusi cukup representatif. Ada pengamat hukum Untan Rousdy Said SH, Ketua LSM Anti Korupsi Gemawan Kalbar Hermawansyah SH Ketua LPS Air Kalbar Demanhuri, Ketua Jari Kalbar Faisal Riza. Dan, yang paling utama adalah hadirnya Ketua DPRD Kabupaten Pontianak Rahmad Satria SH MH. Sayang, pihak kejaksaan tidak bisa dihadirkan. Dari Equator sendiri ada Pemred Harian Equator, R Rido Ibnu Syahrie, Redatur Pelaksana Rosadi Jamani, dua redaktur Uray Kamaruzzaman dan Mahmudi, serta Kepala Biro Mempawah Alfi Shandy. Tidak ketinggalan dua wartawan dari Ruai TV. Namun, dari peserta yang hadir rasanya sudah cukup membedah kasus YB secara jernih dan jelas. *
Prolog Diskusi
Sudah dua koruptor YB yang dijebloskan ke penjara yakni H Makmur H Abdullah, bendahara YB dan Andrean Ferix, wakil bendahara YB. Sementara Ketua YB, Wan Kasim tidak bisa dijebloskan keburu meninggal dunia. Kedua koruptor itu sudah dieksekusi Mahkamah Agung (MA) berdasarkan Putusan No 1838 K/Pid/2005. Adanya putusan MA tersebut membuat kasus YB mencuat kembali di akhir tahun 2008. Padahal, beberapa tahun sebelumnya, YB seperti sudah dilupakan orang.
Mencuatnya YB jilid II bisa dikatakan sama hebohnya saat mencuat pertama kali tahun 2003. Di mana letak sama hebohnya? YB jilid II tersebut akan menyeret 13 mantan anggota DPRD periode 1999-2004. Dari 13 anggota Dewan itu, kebanyakan adalah calon legislatif, sementara sisanya sudah pensiun dari dunia politik. Apalagi di antara 13 anggota Dewan kebanyakan adalah ketua-ketua partai besar di negeri ini.
Di masyarakat, terutama di Kabupaten Pontianak, YB mendapat perhatian serius dari kalangan LSM dan sudah menjadi konsumsi publik. Tapi, kasus YB itu masih menimbulkan pertanyaan besar dan muncul pro dan kontra. Ada yang menyatakan kasus itu memang korupsi. Tapi, ada juga mengatakan itu bukan korupsi. Persoalan YB masih simpang siur dan sejumlah masyarakat masih bingung. “Tentunya, melalui diskusi ini kita ingin mencari tahu seperti apa kasus YB yang sebenarnya. Dengan harapan kita tidak terkesan menghakimi. Kita ingin menegakkan presumption of innocent (asas praduga tidak bersalah, red),” kata Pemred Harian Equator, R Rido Ibnu Syahrie saat membuka prolog diskusi.
Penjelasan Pertama
Rousdy Said SH: Ada keterkaitan penggunaan dana APBD yang disalurkan ke YB dengan pihak eksekutif. Tidak semata-mata di bawah ruang lingkup Dewan. Saya masuk ke putusan MA. Ada penyalahgunaan dana dari pos keuangan di pihak eksekutif. Dana yang dimakan itu bukan dari pos keuangan Dewan, melainkan pos unit organisasi milik Sekda Kabupaten Pontianak.
Dana tersebut semestinya masuk ke kas YB terlebih dahulu, namun faktanya tidak demikian. Dana itu tidak masuk kas YB, melainkan langsung dibagikan ke seluruh anggota Dewan. Untuk ketua mendapat Rp 30 juta, wakil ketua Rp 27,5 juta, dan seluruh anggota Dewan masing-masing kecipratan Rp 25 juta. Pencairan dana itu dilakukan dua tahap.
Melihat rententan proses pencairan itu, ternyata tidak melibatkan satu pihak, melainkan pihak eksekutif justru dipandang memiliki peran sentral dalam kasus YB ini. Jadi, tidak hanya Dewan semata.
Kenapa YB dinilai kasus korupsi, karena di situ ada unsur memperkaya diri sendiri dengan menggunakan uang negara. Yang memperkaya diri sendiri jelas adalah seluruh anggota Dewan. Sayangnya, dalam kasus ini seolah-olah Dewan saja yang menikmati dana itu. Hanya Dewan saja yang bermain sendiri. Kenyataannya, tidak demikian.
Eksekutif dalam hal ini, Bupati Pontianak ketika itu, Cornelis Kimha dan staf anggaran justru memiliki andil besar dalam kasus ini. Anehnya, tidak diproses secara hukum. Kasus YB tidak mungkin muncul begitu saja kalau tidak ada ide dari pihak eksekutif. Salah satu bukti keterlibatan eksekutif, kenapa dana YB ada pos khusus Sekda. Di sini membuktikan bahwa eksekutif terlibat serius. Kimha yang memiliki ide tersebut justru terhindar dari proses hukum.
Menyediakan pos anggaran di Sekda itu pasti atas perintah Bupati. Ide menyediakan pos anggaran itu juga termasuk bagian dari korupsi YB. Coba kalau Bupati tidak menginstruksikan Sekda membuat pos anggaran baru, pastinya tidak ada dana YB itu. Bupati telah melakukan penyalahgunaan wewenang. Telah terjadi kompromi, kolusi yang memberikan keuntungan kepada Dewan atas ide dari Bupati. Bupati ikut turut serta membantu pidana karena ada kompromi di situ. Menurut PP 110 tahun 2000, tanggung jawab keuangan daerah itu berada di tangan Bupati. Jika APBD melanggar PP nomor 110, Kepmendagri 29 tahun 2000, yang bertanggung jawab dalam kasus YB semestinya dua instansi. Tapi, yang terjadi satu instansi saja yakni Dewan. Yang membuat ide, kenapa tidak bertanggung jawab. Saya ingin melihat ini dalam konteks bupati dan teman-teman di Dewan.
Saya menilai, pelaku utama justru Bupati. Sementara Dewan adalah pengikut saja. Sudah jelas tidak mungkin kita fokus pada teman-teman di Dewan saja. Mestinya juga di Pemda.
Apakah ini kita biarkan begitu saja? Ini sudah berlanjut, dan bisa dibaca oleh teman-teman sendiri. Ada rasa ketidakadilan teman-teman di Dewan. Bupati kenapa tidak tersentuh hukum. Justru yang ditekan adalah YB.
Penjelasan Kedua
Ketua DPRD Pontianak, Rahmad Satria SH MH menjelaskan duduk persoalan kasus YB. Ketika itu dia bersama 13 anggota Dewan yang lainnya hanyalah sebagai anggota. Kasus YB itu pada Dewan 1999-2004, bukan periode di masa kepemimpinannya. “Di masyarakat seolah-olah periode saya. Padahal, bukan,” jelas Rahmad memulai tanggapan di hadapan peserta diskusi lainnya.
Menurut Rahmad, di masa kepemimpinannya sebagai Ketua DPRD Kabupaten Pontianak tidak ada penyimpangan. Bahkan, dia dinobatkan sebagai salah satu dari 10 Ketua Dewan terbaik se Indonesia. “Saya salah satu yang terbaik dari 10 ketua Dewan se Indonesia,” ujarnya.
Lalu, dia menjelaskan YB. YB itu lahir 1997 di mana ketika itu dia belum menjadi Dewan. Semenjak berdiri, sudah sering dianggarkan YB dalam APBD. Pada tahun 1998-2004, YB tetap ada dan hanya berdasarkan akte notaris dan ada AD/ART serta disahkan oleh pengadilan. Tujuan didirikannya YB untuk kesejahteraan Dewan dalam rangka menyalurkan bantuan ke masyarakat.
“YB itu secara hukum sah. Karena ada AD/ART-nya serta ada akte notarisnya. Kemudian, disahkan oleh pengadilan. Jadi, YB itu bukan ilegal,” jelasnya.
Kalau YB disalahkan, kenapa notaris membuat seperti itu dan disahkan oleh pengadilan. Kalau memang salah, berarti pengadilan juga salah. Lalu, proses pencairan itu dari APBD, sejak RAPBD sudah ada tertulis YB. Belum dibahas, tapi sudah masuk pos Sekda, bukan pos sekretaris Dewan. “Berarti kalau itu kemauan kami, tentu masuk pos dewan, tapi itu masuk ke Sekda. Di situ juga ada bantuan ke sosial masyarakat, MUI, LSM, dana Muspida. Satu muspida Rp 5 juta setiap bulan. Bisa dihitung dalam setahun. Tapi, kenapa persoalan bantuan ini tidak pernah dikatakan temuan,” bela Rahmad.
“Kalau itu salah, jelas saya dan kawan-kawan akan mengembalikan. Saya melihat, pengucuran dana itu lewat prosedur hukum. Tidak ada yang salah sebenarnya,” katanya lagi.
Melihat undang-undang soal penyaluran dana pemerintah ke sebuah organisasi, kalau dana itu sudah disalurkan ke YB, semestinya harus menggunakan UU yayasan. Lakukanlah penuntutan berdasarkan UU YB. Kenyataannya, justru tidak, menggunakan UU yang lain.
“Kenapa dana YB dicairkan oleh Pemda? Seharusnya diperiksa dulu apa itu YB. Semestinya sebelum dicairkan diperiksa dulu. Kemudian, korupsi Rp 62 juta itu, kita siap mempertanggungjawabkannya kepada konstituennya. Karena itu benar-benar digunakan untuk masyarakat, bukan untuk memperkaya diri sendiri,” papar Rahmad.
Ketika itu, gaji pokok seorang anggota Dewan hanya Rp 700 ribu. Tidak ada tunjangan komunikasi intensif seperti sekarang ini. Jadi, uang yang dimakan itu, bukan untuk memperkaya diri, itu hanya tujuan untuk komunikasi intensif. Tujuan tidak memperkaya diri.
“Jika kita ada niat korupsi, tentu kita tidak akan ambil uang itu. Demi Allah, demi Rasul, demi Tuhan, jika kita ada niat korupsi, kita tidak akan ambil. Ketika itu, kita posisi diberikan. Kemudian, sebelum uang itu kita terima, kita tanyakan dulu kepada ahli hukum, bupati, pimpinan Dewan. Mereka bilang, dana itu sah. Itu hanya bantuan. Kita tidak pernah meminta, tapi diberikan,” jelas Rahmad.
Perlu mencari pelaku, otak, penyebab cairnya dana itu. “Kita bukan meminta, melainkan dikejar, disodorkan, dimintai tanda tangan. Jangan hanya diserang anggota Dewan, jangan ada pembunuhan karakter dalam hal ini. Saya meminta kejaksaan serius menangani kasus YB demi menegakkan hukum. Ada yang salah, kenapa Dewan yang disorot, tapi yang lain tidak. Ini andai kata kalau mau dikejar semua. Kita ingin berbuat untuk masyarakat. Banyak ingin menjatuhkan Rahmad Satria, PPP, PDIP. Padahal waktu itu kita tidak memegang peran,” papar Rahmad.
Penjelasan Ketiga
Hermawansyah SH, Ketua LSM Anti Korupsi Gemawan Kalbar. Dijelaskannya, dana itu dikeluarkan ke YB. Mendengarkan kalimat itu, Rahmad sempat menimpali, “Jangan salah, itu dibuat bukan lewat anggaran Dewan”.
Lalu, Hermawansyah melanjutkan pembicaraan, sebelum YB itu mencuat, pimpinan Dewan minta kesejahteraan ke Bupati. Karena dewan mengeluh ke Bupati, maka solusi yang ditawarkan dengan menambah tunjangan lewat YB. Seperti itu konstruksi awalnya, ide dari Dewan lalu direspons Bupati. Oleh bupati disiasati lewat YB.
Terjadi penyempitan makna, hanya pengurus YB saja yang berhak menerima dana dari APBD itu. “Konsep kita, harus dilihat dari hulunya, ada konspirasi antara Dewan dan Bupati,” katanya.
Sayang, kejaksaan sepertinya hanya membidik anggota Dewan saja. Padahal, kenyataan di lapangan tidak demikian. Pihak eksekutif terutama Bupati beserta pemegang anggaran memiliki andil besar terhadap kasus YB itu. “Tapi, proses hukum belum selesai. Dengan adanya putusan kasasi dari MA, bisa saja pihak eksekutif juga menjadi target utama kejaksaan,” katanya singkat.
Penjelasan Keempat
Faisal Reza, Ketua LPS Jari Kalbar.
Dari awal tokoh muda yang sangat konsen terhadap pemberantasan korupsi ini lebih banyak diam. Faisal lebih banyak mendengar dalam diskusi ini. Ketika dia diberikan kesempatan berbicara, dia langsung membeberkan soal pertemuannya dengan pihak Kejaksaan Negeri Mempawah.
“Saya pernah berbincang-bincang dengan pihak kejaksaan. Mereka mengatakan, cukuplah 13 orang ini (13 anggota Dewan terlibat YB, red),” katanya memulai pembicaraan.
Dijelaskan Faisal, maksud kejaksaan mungkin cukup hanya memeriksa 13 anggota Dewan saja. Artinya, tidak melibatkan pihak eksekutif. Jika itu dilanjutkan, akan banyak energi yang akan dihabiskan. Jadi, setelah YB jilid II tersebut, tidak akan ada lagi YB jilid III atau IV dan seterusnya.
“Kemudian, saya tertarik pernyataan dari Pak Rahmad soal pengesahan YB oleh pengadilan. Jika itu benar, berarti YB memang sah untuk kesejahteraan anggota Dewan. Pengadilan yang sahkan, lho!” ujarnya.
“Jika memang YB itu sah, semestinya dalam proses hukum harus menggunakan UU yayasan, tidak menggunakan UU Korupsi,” kata Faisal.
Penjelasan Kelima
Demanhuri S Hut, Direktur LPS Air Kalbar. Dia mencoba menjelaskan sejarah YB. YB itu didirikan almarhum Jimmie Ibrahim. Setelah beliau pensiun, lalu notarisnya ganti. Persoalan YB awalnya tidak banyak diketahui masyarakat. Hanya segelintir orang saja yang tahu bahwa YB itu ada dan diperuntukkan untuk kesejahteraan Dewan.
“Pas di sidang, terungkap bahwa YB tidak ada cap dan tidak ada kantor. Dari sinilah persoalan YB itu bisa menyeret sejumlah anggota Dewan itu,” jelasnya.
Demanhuri yakin, kasus YB jilid II bisa terungkap dengan jelas. Soalnya, gerakan politik masyarakat di Mempawah sangat kuat. Masyarakat akan terus memantau proses hukum tersebut. Cuma, yang disesalkan kenapa hanya Dewan saja yang disorot?
“Memang tidak adil 13 saja yang digiring, tapi mesti semua. Eksekutif terindikasi dapat Rp 2 miliar juga mesti menjadi target utama kejaksaan,” paparnya.
Kesimpulan
Kasus YB belum selesai sampai saat ini. Pihak kejaksaan walaupun sudah mengantongi izin dari Gubernur untuk memeriksa sejumlah anggota DPRD Kabupaten Pontianak dan Kubu Raya, masih belum melakukan pemanggilan. Yang sangat disayangkan, kenapa kejaksaan sepertinya fokus kepada 13 anggota Dewan. Padahal, para Dewan itu hanya tumbal dari sebuah kebijakan. Semestinya, aktor di balik kasus itu, yakni mantan Bupati Kabupaten Pontianak, Cornelius Kimha, Sekda, dan sejumlah pejabat eksekutif yang mencairkan dana tersebut mesti digarap lebih dahulu. Dalam konteks ini perlu pressure lebih kuat lagi oleh masyarakat ke pihak kejaksaan. Moncong senjata, tidak saja diarahkan ke 13 anggota Dewan, tapi juga pihak eksekutif.*
Menyoal Kasus Yayasan Bestari
Oleh Rosadi Jamani
Kasus korupsi Yayasan Bestari (YB) bisa dikatakan referensi penting pemberantasan korupsi di Kalbar. Seumur-umur Kalbar berdiri, baru kasus YB-lah yang pertama kali menyeret seluruh anggota DPRD Kabupaten Pontianak periode 1999-2004. Dulu (masa Orde Baru), pejabat tinggi dan Dewan “kebal hukum”. Tidak ada hukum yang mampu menyeret para pesohor di negeri ini ketika itu. Begitu juga dengan masyarakat, paling takut bila berurusan dengan pejabat tinggi. Boro-boro melaporkannya ke polisi atau kejaksaan, menghina saja tidak berani di depan umum.
Seiring bergulirnya era reformasi, di mana salah satu amanahnya adalah penegakan supremasi hukum. Orang bebas berpendapat, mengkritik bahkan menghujat di media massa. Orang tidak takut untuk melaporkan pejabat tinggi apabila melakukan pelanggaran hukum. Mencuatnya kasus YB, bukti besar bahwa masyarakat tidak takut dengan para pejabat tinggi. Semua orang di mata hukum sama. Apabila seenaknya makan uang rakyat, hukum akan bertindak.
Kasus YB terbongkar tahun 2003. Ketika itu Kalbar geger. Seluruh media cetak, termasuk Harian Equator, dengan vulgar memberitakan kasus tersebut. Pihak kejaksaan yang dilandasi semangat reformasi terus memburu para koruptor di balik YB. Alhasil, para petinggi anggota DPRD Kabupaten Pontianak ketika itu diperiksa sampai akhirnya diadili di Pengadilan Negeri (PN) Mempawah. Kejaksaan kalah dan sontak melakukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT). Untuk sementara, para koruptor itu tersenyum. Lagi-lagi di tingkat PT, kejaksaan kalah, lalu minta kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Ternyata, MA masih pro rakyat dan melihat kasus YB memang terjadi korupsi. Akhirnya, kasasi kejaksaan diterima. Konsekuensinya, seluruh anggota DPRD Kabupaten Pontianak yang menerima uang haram itu harus mempertanggungjawabkan ulahnya. Dua anggota Dewan sudah dieksekusi dan dijebloskan ke penjara. Sekarang, kejaksaan sedang mengincar anggota Dewan yang masih tersisa.
Belakangan kasus YB yang sempat menghilang dari peredaran itu kembali memanas. Maklum, para anggota Dewan yang menikmati uang rakyat itu rata-rata calon legislatif (caleg). Lawan politik dari caleg terlibat YB memanfaatkan kasus ini untuk menjatuhkan popularitas caleg tersebut. Ketika Equator menampilkan headline berjudul, Koruptor YB siap-siap Dikerangkeng, berita itu menjadi konsumsi besar masyarakat Kabupaten Pontianak. Berita itu difotokopi, lalu disebarkan ke seluruh masyarakat. Tujuannya, untuk menghancurkan popularitas anggota Dewan terlibat YB yang juga seorang caleg.
YB seolah-olah menjadi borok besar bagi tujuh anggota Dewan Kabupaten Pontianak dan enam Dewan Kubu Raya. Sebanyak 13 mantan anggota Dewan periode 1999-2004 itu seolah menjadi aktor utama di balik YB. Padahal, fakta hukumnya tidak demikian. Mereka hanya tumbal yang sebenarnya tidak memiliki peranan sentral ketika itu. Mereka ibaratnya pion atau korban dari sebuah kebijakan. Dari persoalan inilah, Equator ingin mengetahui seperti apa kasus YB yang sebenarnya. Apakah memang benar 13 anggota Dewan itu aktor utama YB? Untuk mencari jawaban itu, pada Senin, 16 Februari lalu, Equator menggelar roundtable discussion (diskusi meja bundar) di Ruang Utama Graha Pena Equator menyoal YB. Peserta diskusi cukup representatif. Ada pengamat hukum Untan Rousdy Said SH, Ketua LSM Anti Korupsi Gemawan Kalbar Hermawansyah SH Ketua LPS Air Kalbar Demanhuri, Ketua Jari Kalbar Faisal Riza. Dan, yang paling utama adalah hadirnya Ketua DPRD Kabupaten Pontianak Rahmad Satria SH MH. Sayang, pihak kejaksaan tidak bisa dihadirkan. Dari Equator sendiri ada Pemred Harian Equator, R Rido Ibnu Syahrie, Redatur Pelaksana Rosadi Jamani, dua redaktur Uray Kamaruzzaman dan Mahmudi, serta Kepala Biro Mempawah Alfi Shandy. Tidak ketinggalan dua wartawan dari Ruai TV. Namun, dari peserta yang hadir rasanya sudah cukup membedah kasus YB secara jernih dan jelas. *
Prolog Diskusi
Sudah dua koruptor YB yang dijebloskan ke penjara yakni H Makmur H Abdullah, bendahara YB dan Andrean Ferix, wakil bendahara YB. Sementara Ketua YB, Wan Kasim tidak bisa dijebloskan keburu meninggal dunia. Kedua koruptor itu sudah dieksekusi Mahkamah Agung (MA) berdasarkan Putusan No 1838 K/Pid/2005. Adanya putusan MA tersebut membuat kasus YB mencuat kembali di akhir tahun 2008. Padahal, beberapa tahun sebelumnya, YB seperti sudah dilupakan orang.
Mencuatnya YB jilid II bisa dikatakan sama hebohnya saat mencuat pertama kali tahun 2003. Di mana letak sama hebohnya? YB jilid II tersebut akan menyeret 13 mantan anggota DPRD periode 1999-2004. Dari 13 anggota Dewan itu, kebanyakan adalah calon legislatif, sementara sisanya sudah pensiun dari dunia politik. Apalagi di antara 13 anggota Dewan kebanyakan adalah ketua-ketua partai besar di negeri ini.
Di masyarakat, terutama di Kabupaten Pontianak, YB mendapat perhatian serius dari kalangan LSM dan sudah menjadi konsumsi publik. Tapi, kasus YB itu masih menimbulkan pertanyaan besar dan muncul pro dan kontra. Ada yang menyatakan kasus itu memang korupsi. Tapi, ada juga mengatakan itu bukan korupsi. Persoalan YB masih simpang siur dan sejumlah masyarakat masih bingung. “Tentunya, melalui diskusi ini kita ingin mencari tahu seperti apa kasus YB yang sebenarnya. Dengan harapan kita tidak terkesan menghakimi. Kita ingin menegakkan presumption of innocent (asas praduga tidak bersalah, red),” kata Pemred Harian Equator, R Rido Ibnu Syahrie saat membuka prolog diskusi.
Penjelasan Pertama
Rousdy Said SH: Ada keterkaitan penggunaan dana APBD yang disalurkan ke YB dengan pihak eksekutif. Tidak semata-mata di bawah ruang lingkup Dewan. Saya masuk ke putusan MA. Ada penyalahgunaan dana dari pos keuangan di pihak eksekutif. Dana yang dimakan itu bukan dari pos keuangan Dewan, melainkan pos unit organisasi milik Sekda Kabupaten Pontianak.
Dana tersebut semestinya masuk ke kas YB terlebih dahulu, namun faktanya tidak demikian. Dana itu tidak masuk kas YB, melainkan langsung dibagikan ke seluruh anggota Dewan. Untuk ketua mendapat Rp 30 juta, wakil ketua Rp 27,5 juta, dan seluruh anggota Dewan masing-masing kecipratan Rp 25 juta. Pencairan dana itu dilakukan dua tahap.
Melihat rententan proses pencairan itu, ternyata tidak melibatkan satu pihak, melainkan pihak eksekutif justru dipandang memiliki peran sentral dalam kasus YB ini. Jadi, tidak hanya Dewan semata.
Kenapa YB dinilai kasus korupsi, karena di situ ada unsur memperkaya diri sendiri dengan menggunakan uang negara. Yang memperkaya diri sendiri jelas adalah seluruh anggota Dewan. Sayangnya, dalam kasus ini seolah-olah Dewan saja yang menikmati dana itu. Hanya Dewan saja yang bermain sendiri. Kenyataannya, tidak demikian.
Eksekutif dalam hal ini, Bupati Pontianak ketika itu, Cornelis Kimha dan staf anggaran justru memiliki andil besar dalam kasus ini. Anehnya, tidak diproses secara hukum. Kasus YB tidak mungkin muncul begitu saja kalau tidak ada ide dari pihak eksekutif. Salah satu bukti keterlibatan eksekutif, kenapa dana YB ada pos khusus Sekda. Di sini membuktikan bahwa eksekutif terlibat serius. Kimha yang memiliki ide tersebut justru terhindar dari proses hukum.
Menyediakan pos anggaran di Sekda itu pasti atas perintah Bupati. Ide menyediakan pos anggaran itu juga termasuk bagian dari korupsi YB. Coba kalau Bupati tidak menginstruksikan Sekda membuat pos anggaran baru, pastinya tidak ada dana YB itu. Bupati telah melakukan penyalahgunaan wewenang. Telah terjadi kompromi, kolusi yang memberikan keuntungan kepada Dewan atas ide dari Bupati. Bupati ikut turut serta membantu pidana karena ada kompromi di situ. Menurut PP 110 tahun 2000, tanggung jawab keuangan daerah itu berada di tangan Bupati. Jika APBD melanggar PP nomor 110, Kepmendagri 29 tahun 2000, yang bertanggung jawab dalam kasus YB semestinya dua instansi. Tapi, yang terjadi satu instansi saja yakni Dewan. Yang membuat ide, kenapa tidak bertanggung jawab. Saya ingin melihat ini dalam konteks bupati dan teman-teman di Dewan.
Saya menilai, pelaku utama justru Bupati. Sementara Dewan adalah pengikut saja. Sudah jelas tidak mungkin kita fokus pada teman-teman di Dewan saja. Mestinya juga di Pemda.
Apakah ini kita biarkan begitu saja? Ini sudah berlanjut, dan bisa dibaca oleh teman-teman sendiri. Ada rasa ketidakadilan teman-teman di Dewan. Bupati kenapa tidak tersentuh hukum. Justru yang ditekan adalah YB.
Penjelasan Kedua
Ketua DPRD Pontianak, Rahmad Satria SH MH menjelaskan duduk persoalan kasus YB. Ketika itu dia bersama 13 anggota Dewan yang lainnya hanyalah sebagai anggota. Kasus YB itu pada Dewan 1999-2004, bukan periode di masa kepemimpinannya. “Di masyarakat seolah-olah periode saya. Padahal, bukan,” jelas Rahmad memulai tanggapan di hadapan peserta diskusi lainnya.
Menurut Rahmad, di masa kepemimpinannya sebagai Ketua DPRD Kabupaten Pontianak tidak ada penyimpangan. Bahkan, dia dinobatkan sebagai salah satu dari 10 Ketua Dewan terbaik se Indonesia. “Saya salah satu yang terbaik dari 10 ketua Dewan se Indonesia,” ujarnya.
Lalu, dia menjelaskan YB. YB itu lahir 1997 di mana ketika itu dia belum menjadi Dewan. Semenjak berdiri, sudah sering dianggarkan YB dalam APBD. Pada tahun 1998-2004, YB tetap ada dan hanya berdasarkan akte notaris dan ada AD/ART serta disahkan oleh pengadilan. Tujuan didirikannya YB untuk kesejahteraan Dewan dalam rangka menyalurkan bantuan ke masyarakat.
“YB itu secara hukum sah. Karena ada AD/ART-nya serta ada akte notarisnya. Kemudian, disahkan oleh pengadilan. Jadi, YB itu bukan ilegal,” jelasnya.
Kalau YB disalahkan, kenapa notaris membuat seperti itu dan disahkan oleh pengadilan. Kalau memang salah, berarti pengadilan juga salah. Lalu, proses pencairan itu dari APBD, sejak RAPBD sudah ada tertulis YB. Belum dibahas, tapi sudah masuk pos Sekda, bukan pos sekretaris Dewan. “Berarti kalau itu kemauan kami, tentu masuk pos dewan, tapi itu masuk ke Sekda. Di situ juga ada bantuan ke sosial masyarakat, MUI, LSM, dana Muspida. Satu muspida Rp 5 juta setiap bulan. Bisa dihitung dalam setahun. Tapi, kenapa persoalan bantuan ini tidak pernah dikatakan temuan,” bela Rahmad.
“Kalau itu salah, jelas saya dan kawan-kawan akan mengembalikan. Saya melihat, pengucuran dana itu lewat prosedur hukum. Tidak ada yang salah sebenarnya,” katanya lagi.
Melihat undang-undang soal penyaluran dana pemerintah ke sebuah organisasi, kalau dana itu sudah disalurkan ke YB, semestinya harus menggunakan UU yayasan. Lakukanlah penuntutan berdasarkan UU YB. Kenyataannya, justru tidak, menggunakan UU yang lain.
“Kenapa dana YB dicairkan oleh Pemda? Seharusnya diperiksa dulu apa itu YB. Semestinya sebelum dicairkan diperiksa dulu. Kemudian, korupsi Rp 62 juta itu, kita siap mempertanggungjawabkannya kepada konstituennya. Karena itu benar-benar digunakan untuk masyarakat, bukan untuk memperkaya diri sendiri,” papar Rahmad.
Ketika itu, gaji pokok seorang anggota Dewan hanya Rp 700 ribu. Tidak ada tunjangan komunikasi intensif seperti sekarang ini. Jadi, uang yang dimakan itu, bukan untuk memperkaya diri, itu hanya tujuan untuk komunikasi intensif. Tujuan tidak memperkaya diri.
“Jika kita ada niat korupsi, tentu kita tidak akan ambil uang itu. Demi Allah, demi Rasul, demi Tuhan, jika kita ada niat korupsi, kita tidak akan ambil. Ketika itu, kita posisi diberikan. Kemudian, sebelum uang itu kita terima, kita tanyakan dulu kepada ahli hukum, bupati, pimpinan Dewan. Mereka bilang, dana itu sah. Itu hanya bantuan. Kita tidak pernah meminta, tapi diberikan,” jelas Rahmad.
Perlu mencari pelaku, otak, penyebab cairnya dana itu. “Kita bukan meminta, melainkan dikejar, disodorkan, dimintai tanda tangan. Jangan hanya diserang anggota Dewan, jangan ada pembunuhan karakter dalam hal ini. Saya meminta kejaksaan serius menangani kasus YB demi menegakkan hukum. Ada yang salah, kenapa Dewan yang disorot, tapi yang lain tidak. Ini andai kata kalau mau dikejar semua. Kita ingin berbuat untuk masyarakat. Banyak ingin menjatuhkan Rahmad Satria, PPP, PDIP. Padahal waktu itu kita tidak memegang peran,” papar Rahmad.
Penjelasan Ketiga
Hermawansyah SH, Ketua LSM Anti Korupsi Gemawan Kalbar. Dijelaskannya, dana itu dikeluarkan ke YB. Mendengarkan kalimat itu, Rahmad sempat menimpali, “Jangan salah, itu dibuat bukan lewat anggaran Dewan”.
Lalu, Hermawansyah melanjutkan pembicaraan, sebelum YB itu mencuat, pimpinan Dewan minta kesejahteraan ke Bupati. Karena dewan mengeluh ke Bupati, maka solusi yang ditawarkan dengan menambah tunjangan lewat YB. Seperti itu konstruksi awalnya, ide dari Dewan lalu direspons Bupati. Oleh bupati disiasati lewat YB.
Terjadi penyempitan makna, hanya pengurus YB saja yang berhak menerima dana dari APBD itu. “Konsep kita, harus dilihat dari hulunya, ada konspirasi antara Dewan dan Bupati,” katanya.
Sayang, kejaksaan sepertinya hanya membidik anggota Dewan saja. Padahal, kenyataan di lapangan tidak demikian. Pihak eksekutif terutama Bupati beserta pemegang anggaran memiliki andil besar terhadap kasus YB itu. “Tapi, proses hukum belum selesai. Dengan adanya putusan kasasi dari MA, bisa saja pihak eksekutif juga menjadi target utama kejaksaan,” katanya singkat.
Penjelasan Keempat
Faisal Reza, Ketua LPS Jari Kalbar.
Dari awal tokoh muda yang sangat konsen terhadap pemberantasan korupsi ini lebih banyak diam. Faisal lebih banyak mendengar dalam diskusi ini. Ketika dia diberikan kesempatan berbicara, dia langsung membeberkan soal pertemuannya dengan pihak Kejaksaan Negeri Mempawah.
“Saya pernah berbincang-bincang dengan pihak kejaksaan. Mereka mengatakan, cukuplah 13 orang ini (13 anggota Dewan terlibat YB, red),” katanya memulai pembicaraan.
Dijelaskan Faisal, maksud kejaksaan mungkin cukup hanya memeriksa 13 anggota Dewan saja. Artinya, tidak melibatkan pihak eksekutif. Jika itu dilanjutkan, akan banyak energi yang akan dihabiskan. Jadi, setelah YB jilid II tersebut, tidak akan ada lagi YB jilid III atau IV dan seterusnya.
“Kemudian, saya tertarik pernyataan dari Pak Rahmad soal pengesahan YB oleh pengadilan. Jika itu benar, berarti YB memang sah untuk kesejahteraan anggota Dewan. Pengadilan yang sahkan, lho!” ujarnya.
“Jika memang YB itu sah, semestinya dalam proses hukum harus menggunakan UU yayasan, tidak menggunakan UU Korupsi,” kata Faisal.
Penjelasan Kelima
Demanhuri S Hut, Direktur LPS Air Kalbar. Dia mencoba menjelaskan sejarah YB. YB itu didirikan almarhum Jimmie Ibrahim. Setelah beliau pensiun, lalu notarisnya ganti. Persoalan YB awalnya tidak banyak diketahui masyarakat. Hanya segelintir orang saja yang tahu bahwa YB itu ada dan diperuntukkan untuk kesejahteraan Dewan.
“Pas di sidang, terungkap bahwa YB tidak ada cap dan tidak ada kantor. Dari sinilah persoalan YB itu bisa menyeret sejumlah anggota Dewan itu,” jelasnya.
Demanhuri yakin, kasus YB jilid II bisa terungkap dengan jelas. Soalnya, gerakan politik masyarakat di Mempawah sangat kuat. Masyarakat akan terus memantau proses hukum tersebut. Cuma, yang disesalkan kenapa hanya Dewan saja yang disorot?
“Memang tidak adil 13 saja yang digiring, tapi mesti semua. Eksekutif terindikasi dapat Rp 2 miliar juga mesti menjadi target utama kejaksaan,” paparnya.
Kesimpulan
Kasus YB belum selesai sampai saat ini. Pihak kejaksaan walaupun sudah mengantongi izin dari Gubernur untuk memeriksa sejumlah anggota DPRD Kabupaten Pontianak dan Kubu Raya, masih belum melakukan pemanggilan. Yang sangat disayangkan, kenapa kejaksaan sepertinya fokus kepada 13 anggota Dewan. Padahal, para Dewan itu hanya tumbal dari sebuah kebijakan. Semestinya, aktor di balik kasus itu, yakni mantan Bupati Kabupaten Pontianak, Cornelius Kimha, Sekda, dan sejumlah pejabat eksekutif yang mencairkan dana tersebut mesti digarap lebih dahulu. Dalam konteks ini perlu pressure lebih kuat lagi oleh masyarakat ke pihak kejaksaan. Moncong senjata, tidak saja diarahkan ke 13 anggota Dewan, tapi juga pihak eksekutif.*
Caleg yang Tidak Percaya Diri
Rosadi Jamani
Cerita calon legislatif (caleg) berjuang mendapatkan kursi panas Dewan masih sangat asyik untuk dinikmati. Semakin dekat Pemilu legislatif 9 April 2009, cerita caleg semakin seru dan lucu-lucu. Ada-ada saja ulah mereka. Untuk mewujudkan ambisi politik, ada caleg justru “menjual” harga dirinya.
Minggu (15/02/2009), saya dan istri pergi kondangan pernikahan kawan di Pontianak Barat. Di sepanjang jalan, kami banyak melihat deretan baliho caleg dengan aneka bentuk dan ukuran. Termasuk juga dengan aneka pose wajah caleg yang seolah-olah berebut simpati kepada siapa yang lewat. Semua wajah caleg itu penuh senyum dan mohon doa dan dukungannya. Dari ribuan baliho caleg, ada sedikit aneh dan menarik untuk dibahas pada edisi kali ini. Yaitu, baliho caleg dengan menampilkan wajah orang lain di samping fotonya sendiri.
“Pa, itu ada baliho caleg menampilkan foto emmak-nya. Apa maksudnya, ya?” tanya istri sambil kedua tangannya mendekap pinggang saya saat memacu sepeda motor ke tempat kondangan. “Itu caleg yang tidak percaya diri. Kalau dia pasang foto sendirian, orang-orang di kelurahannya tidak ada yang kenal. Kalau dipasang foto emmak-nya, orang tahu bahwa si caleg itu anaknya si ibu yang ada di samping foto caleg itu,” jelas saya.
“Berarti si caleg itu kurang pede kalau sendirian di baliho. Masa’ emmak-nya juga dipajang. Nanti orang bingung, siapa yang caleg, emmak-nya atau si caleg itu,” ujar istri.
Sepeda motor kami terus melaju mendekati tempat kondangan. Lagi-lagi kami ketemu baliho caleg dengan menampilkan wajah orang lain. “Pa, itu baliho caleg banyak menampilkan wajah orang lain, apa maksudnya?” tanya istri lagi. “Itu juga caleg tak percaya diri juga. Dia menggunakan wajah ketua partainya dengan maksud agar orang tahu bahwa si caleg sama terkenalnya dengan ketua partai itu. Tujuannya, apabila orang ingin contreng ketua partai itu, dia juga akan mencontreng si caleg itu juga. Itu sebuah taktik mengelabui pemilih saja,” jawab saya.
Lalu, kami ketemu lagi baliho caleg dengan foto salah satu kepala daerah ini. “Pa, itu caleg juga menampilkan foto kepala daerah, apa maksudnya?” tanya istri lagi. “Itu juga caleg yang tak pede. Maksudnya, kepala daerah itu banyak punya rakyat dan pengikut. Si caleg itu minta pengikut kepala daerah itu juga memilih dirinya. Numpang beken, istilahnya,” jawab saya.
Kemudian, kami ketemu baliho di dalamnya banyak foto caleg. Cuma ada satu caleg yang ukuran fotonya agak besar dari yang lainnya. “Pa, itu baliho caleg kenapa banyak fotonya?” tanya istri lagi. “Itu juga caleg yang benar-benar tidak percaya diri. Fotonya dibesarkan dari foto yang lain. Maksudnya, foto-foto yang banyak itu adalah caleg yang berada di bawah nomor urutnya. Caleg yang berada di bawahnya itu tak punya uang buat baliho, lalu si caleg nomor urut 1 itu menampilkan foto mereka. Tujuannya, caleg-caleg di bawahnya itu ikut berjuang mencari suara pemilih. Nanti, suara-suara itu akan ngumpul kepada caleg nomor urut 1 itu. Itu juga bagian taktik memanjakan dan mengikat caleg urutan bawah agar tidak lari. Mereka pasti senang ditampilkan wajahnya di baliho itu,” jelas saya.
Ketemu lagi kami dengan baliho menampilkan wajah dua caleg satu daerah pemilihan. “Dua caleg itukan sama-sama satu dapil, kenapa foto mereka ditampilkan dalam satu baliho, apa maksudnya?” tanya istri lagi. “Nah, itu caleg yang memiliki uang pas-pasan. Mereka berdua itu gabungan buat baliho. Baliho ukuran sedang itu diperkirakan harganya hampir seratus ribu, termasuk kayu dan tukang pasang. Kalau seratus ribu dibagi dua, berarti satu orang hanya lima puluh ribu. Lumayan untuk menghemat pengeluaran. Cuma, nanti masyarakat bingung, mau pilih yang mana? Ini taktik merebut hati pemilih yang salah. Ingin irit anggaran, tapi membuat pemilih bingung,” jawab saya.
Selanjutnya, ada lebih seru lagi. “Pa, itu baliho caleg banyak menampilkan wajah kiai, apa maksudnya?” tanya istri lagi. “Walah, itu lebih parah lagi, caleg itu benar-benar tak pede dan tahu diri. Coba lihat foto para kiai itu, rata-rata di-scan atau direpro. Kiai-kiai itu mungkin banyak sudah meninggal. Tak tahu kiai dari mana saja itu yang ditempel. Foto caleg besar, sementara foto kiai ukurannya kecil-kecil dipajang mengelilingi foto caleg itu. Maksudnya, caleg itu sudah mendapatkan restu dari para kiai itu. Caleg itu berarti juga seorang religius tulen siap membela umat,” jawab saya.
Kamipun sampai di tempat kondangan. Usai makan, serahkan amplop dan memberikan ucapan selamat kepada mempelai, kamipun kembali ke rumah. Usai menanggalkan baju kondangan, kamipun istirahat dan mengulang cerita caleg yang tak percaya diri. Cerita caleg tak percaya diri itu sebuah gambaran perilaku politik di daerah ini. Semestinya, perilaku politik yang baik dan benar, mesti percaya diri. Caleg itu harus yakin dengan kemampuan diri sendiri tanpa harus mendompleng popularitas orang lain. Kalau caleg itu duduk di kursi dewan, perjuangannya tidak murni karena ada andil orang lain atas perjuangannya. Seorang politisi dikatakan hebat, apabila perjuangan yang dilakukan berdasarkan kemampuan pikiran, uang, popularitas dan kerja keras sendiri. Kalaupun melibatkan orang, orang tersebut dalam kapasitas membantu saja. Mendompleng popularitas orang lain, itu bukanlah seorang politisi sejati.
Sekitar tiga hari lalu, kawan satu alumni PMIS Untan, namanya Abdurrahman M Si menelepon saya. “Kawan, tolong masukan komentar saya soal politik di koran,” pintanya. “Apa komentarnya?” tanya saya. “Catat, ya! Karena komentarnya agak panjang mengenai politik, nih,” tukasnya. Lalu, sayapun mendengarkan dan mencatat opini soal politik dari Abdurrahman.
Menurutnya, pemilih pada Pemilu 9 April 2009 nanti terbagi empat kategori. Pertama pemilih yang memilih berdasarkan budaya. Orang cenderung memilih kalau yang dipilih itu satu budaya. Kedua, berdasarkan kekerabatan atau keluarga. Ketiga, berdasarkan profesi dan keempat berdasarkan kedaerahan berbasis desa. “Itu gambaran secara umum,” katanya.
Dari empat kategori itu, lanjutnya, pemilih bisa dipersempit menjadi empat lagi. “Pertama, pemilih rasional, intelektual dan ideologi matang. Kedua, emosional, ideologi belum matang. Ketiga, pemilih mengambang, pemilih yang bingung. Keempat, pemilih buta, fanatik, buta huruf dan balas jasa,” papar Abdurrahman.
“Dari empat pemilih itu, kalau dimasukkan dalam piramida, pemilih rasional berada di urutan atas, lalu disusul pemilih emosional, mengambang dan terakhir pemilih buta. Justru pemilih buta inilah yang paling banyak di Pemilu 9 April nanti,” paparnya.
Abdurrahman melanjutkan, semua caleg pasti ingin kekuasaan (duduk di Dewan). Sudah sifat fitrah manusia ingin kekuasaan. Perlu diketahui, tujuan kekuasaan itu bisa positif dan negatif. Kalau positif, kekuasaan itu untuk eksistensi diri dan memiliki tanggung jawab moral untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Tujuan negatifnya, kekuasaan untuk kepuasan diri, menindas lawan politik, menjadi tuan dalam suatu sistem, rakyat justru dilupakan.
“Bagus, man komentar ente! Paling tidak ente sudah tercerahkan dalam dunia politik. Ilmu tu jangan dipendam sendiri, diamalkan ke orang lain, bila perlu ke caleg-caleg itu,” kata saya. “Jelas, kawan! Kita akan berikan pencerahan politik kepada orang-orang yang baru melek politik. Ini pertanggungjawaban saya terhadap gelar Magister of Science (M Si, red), tu, ha…ha…ha…,” selorohnya. “Oke, kawan, nanti kita sambung lagi, ya,” tambahnya.
Dunia politik, dunia yang penuh intrik, trik, dan taktik. Untuk memasuki dunia politik, tidak cukup hanya siap uang, tapi juga ilmu politiknya. Untuk yang sudah telanjur terjun ke dunia politik, belajarlah ilmu politik. Tujuannya, agar dunia politik jangan dinodai oleh hal-hal negatif yang merusak politik itu sendiri. Jika dunia politik sudah rusak, yang ada hanya money politic, main sikat, main ancam, main teror, main intimidasi, main paksa, hantam kromo, praktik-praktik seperti inilah yang membuat politik itu menjadi kotor. Padahal, esensi dari politik itu adalah menggapai kekuasaan dengan cara terhormat. Ketika kekuasaan itu didapatkan harus dipergunakan untuk kebaikan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. (silakan tanggapi ke email: rosadi@equator-news.com atau ke http://renunganpelangi.blogspot.com)
Cerita calon legislatif (caleg) berjuang mendapatkan kursi panas Dewan masih sangat asyik untuk dinikmati. Semakin dekat Pemilu legislatif 9 April 2009, cerita caleg semakin seru dan lucu-lucu. Ada-ada saja ulah mereka. Untuk mewujudkan ambisi politik, ada caleg justru “menjual” harga dirinya.
Minggu (15/02/2009), saya dan istri pergi kondangan pernikahan kawan di Pontianak Barat. Di sepanjang jalan, kami banyak melihat deretan baliho caleg dengan aneka bentuk dan ukuran. Termasuk juga dengan aneka pose wajah caleg yang seolah-olah berebut simpati kepada siapa yang lewat. Semua wajah caleg itu penuh senyum dan mohon doa dan dukungannya. Dari ribuan baliho caleg, ada sedikit aneh dan menarik untuk dibahas pada edisi kali ini. Yaitu, baliho caleg dengan menampilkan wajah orang lain di samping fotonya sendiri.
“Pa, itu ada baliho caleg menampilkan foto emmak-nya. Apa maksudnya, ya?” tanya istri sambil kedua tangannya mendekap pinggang saya saat memacu sepeda motor ke tempat kondangan. “Itu caleg yang tidak percaya diri. Kalau dia pasang foto sendirian, orang-orang di kelurahannya tidak ada yang kenal. Kalau dipasang foto emmak-nya, orang tahu bahwa si caleg itu anaknya si ibu yang ada di samping foto caleg itu,” jelas saya.
“Berarti si caleg itu kurang pede kalau sendirian di baliho. Masa’ emmak-nya juga dipajang. Nanti orang bingung, siapa yang caleg, emmak-nya atau si caleg itu,” ujar istri.
Sepeda motor kami terus melaju mendekati tempat kondangan. Lagi-lagi kami ketemu baliho caleg dengan menampilkan wajah orang lain. “Pa, itu baliho caleg banyak menampilkan wajah orang lain, apa maksudnya?” tanya istri lagi. “Itu juga caleg tak percaya diri juga. Dia menggunakan wajah ketua partainya dengan maksud agar orang tahu bahwa si caleg sama terkenalnya dengan ketua partai itu. Tujuannya, apabila orang ingin contreng ketua partai itu, dia juga akan mencontreng si caleg itu juga. Itu sebuah taktik mengelabui pemilih saja,” jawab saya.
Lalu, kami ketemu lagi baliho caleg dengan foto salah satu kepala daerah ini. “Pa, itu caleg juga menampilkan foto kepala daerah, apa maksudnya?” tanya istri lagi. “Itu juga caleg yang tak pede. Maksudnya, kepala daerah itu banyak punya rakyat dan pengikut. Si caleg itu minta pengikut kepala daerah itu juga memilih dirinya. Numpang beken, istilahnya,” jawab saya.
Kemudian, kami ketemu baliho di dalamnya banyak foto caleg. Cuma ada satu caleg yang ukuran fotonya agak besar dari yang lainnya. “Pa, itu baliho caleg kenapa banyak fotonya?” tanya istri lagi. “Itu juga caleg yang benar-benar tidak percaya diri. Fotonya dibesarkan dari foto yang lain. Maksudnya, foto-foto yang banyak itu adalah caleg yang berada di bawah nomor urutnya. Caleg yang berada di bawahnya itu tak punya uang buat baliho, lalu si caleg nomor urut 1 itu menampilkan foto mereka. Tujuannya, caleg-caleg di bawahnya itu ikut berjuang mencari suara pemilih. Nanti, suara-suara itu akan ngumpul kepada caleg nomor urut 1 itu. Itu juga bagian taktik memanjakan dan mengikat caleg urutan bawah agar tidak lari. Mereka pasti senang ditampilkan wajahnya di baliho itu,” jelas saya.
Ketemu lagi kami dengan baliho menampilkan wajah dua caleg satu daerah pemilihan. “Dua caleg itukan sama-sama satu dapil, kenapa foto mereka ditampilkan dalam satu baliho, apa maksudnya?” tanya istri lagi. “Nah, itu caleg yang memiliki uang pas-pasan. Mereka berdua itu gabungan buat baliho. Baliho ukuran sedang itu diperkirakan harganya hampir seratus ribu, termasuk kayu dan tukang pasang. Kalau seratus ribu dibagi dua, berarti satu orang hanya lima puluh ribu. Lumayan untuk menghemat pengeluaran. Cuma, nanti masyarakat bingung, mau pilih yang mana? Ini taktik merebut hati pemilih yang salah. Ingin irit anggaran, tapi membuat pemilih bingung,” jawab saya.
Selanjutnya, ada lebih seru lagi. “Pa, itu baliho caleg banyak menampilkan wajah kiai, apa maksudnya?” tanya istri lagi. “Walah, itu lebih parah lagi, caleg itu benar-benar tak pede dan tahu diri. Coba lihat foto para kiai itu, rata-rata di-scan atau direpro. Kiai-kiai itu mungkin banyak sudah meninggal. Tak tahu kiai dari mana saja itu yang ditempel. Foto caleg besar, sementara foto kiai ukurannya kecil-kecil dipajang mengelilingi foto caleg itu. Maksudnya, caleg itu sudah mendapatkan restu dari para kiai itu. Caleg itu berarti juga seorang religius tulen siap membela umat,” jawab saya.
Kamipun sampai di tempat kondangan. Usai makan, serahkan amplop dan memberikan ucapan selamat kepada mempelai, kamipun kembali ke rumah. Usai menanggalkan baju kondangan, kamipun istirahat dan mengulang cerita caleg yang tak percaya diri. Cerita caleg tak percaya diri itu sebuah gambaran perilaku politik di daerah ini. Semestinya, perilaku politik yang baik dan benar, mesti percaya diri. Caleg itu harus yakin dengan kemampuan diri sendiri tanpa harus mendompleng popularitas orang lain. Kalau caleg itu duduk di kursi dewan, perjuangannya tidak murni karena ada andil orang lain atas perjuangannya. Seorang politisi dikatakan hebat, apabila perjuangan yang dilakukan berdasarkan kemampuan pikiran, uang, popularitas dan kerja keras sendiri. Kalaupun melibatkan orang, orang tersebut dalam kapasitas membantu saja. Mendompleng popularitas orang lain, itu bukanlah seorang politisi sejati.
Sekitar tiga hari lalu, kawan satu alumni PMIS Untan, namanya Abdurrahman M Si menelepon saya. “Kawan, tolong masukan komentar saya soal politik di koran,” pintanya. “Apa komentarnya?” tanya saya. “Catat, ya! Karena komentarnya agak panjang mengenai politik, nih,” tukasnya. Lalu, sayapun mendengarkan dan mencatat opini soal politik dari Abdurrahman.
Menurutnya, pemilih pada Pemilu 9 April 2009 nanti terbagi empat kategori. Pertama pemilih yang memilih berdasarkan budaya. Orang cenderung memilih kalau yang dipilih itu satu budaya. Kedua, berdasarkan kekerabatan atau keluarga. Ketiga, berdasarkan profesi dan keempat berdasarkan kedaerahan berbasis desa. “Itu gambaran secara umum,” katanya.
Dari empat kategori itu, lanjutnya, pemilih bisa dipersempit menjadi empat lagi. “Pertama, pemilih rasional, intelektual dan ideologi matang. Kedua, emosional, ideologi belum matang. Ketiga, pemilih mengambang, pemilih yang bingung. Keempat, pemilih buta, fanatik, buta huruf dan balas jasa,” papar Abdurrahman.
“Dari empat pemilih itu, kalau dimasukkan dalam piramida, pemilih rasional berada di urutan atas, lalu disusul pemilih emosional, mengambang dan terakhir pemilih buta. Justru pemilih buta inilah yang paling banyak di Pemilu 9 April nanti,” paparnya.
Abdurrahman melanjutkan, semua caleg pasti ingin kekuasaan (duduk di Dewan). Sudah sifat fitrah manusia ingin kekuasaan. Perlu diketahui, tujuan kekuasaan itu bisa positif dan negatif. Kalau positif, kekuasaan itu untuk eksistensi diri dan memiliki tanggung jawab moral untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Tujuan negatifnya, kekuasaan untuk kepuasan diri, menindas lawan politik, menjadi tuan dalam suatu sistem, rakyat justru dilupakan.
“Bagus, man komentar ente! Paling tidak ente sudah tercerahkan dalam dunia politik. Ilmu tu jangan dipendam sendiri, diamalkan ke orang lain, bila perlu ke caleg-caleg itu,” kata saya. “Jelas, kawan! Kita akan berikan pencerahan politik kepada orang-orang yang baru melek politik. Ini pertanggungjawaban saya terhadap gelar Magister of Science (M Si, red), tu, ha…ha…ha…,” selorohnya. “Oke, kawan, nanti kita sambung lagi, ya,” tambahnya.
Dunia politik, dunia yang penuh intrik, trik, dan taktik. Untuk memasuki dunia politik, tidak cukup hanya siap uang, tapi juga ilmu politiknya. Untuk yang sudah telanjur terjun ke dunia politik, belajarlah ilmu politik. Tujuannya, agar dunia politik jangan dinodai oleh hal-hal negatif yang merusak politik itu sendiri. Jika dunia politik sudah rusak, yang ada hanya money politic, main sikat, main ancam, main teror, main intimidasi, main paksa, hantam kromo, praktik-praktik seperti inilah yang membuat politik itu menjadi kotor. Padahal, esensi dari politik itu adalah menggapai kekuasaan dengan cara terhormat. Ketika kekuasaan itu didapatkan harus dipergunakan untuk kebaikan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. (silakan tanggapi ke email: rosadi@equator-news.com atau ke http://renunganpelangi.blogspot.com)
Rabu, 18 Februari 2009
Referensi Politik
Rosadi Jamani
Siapa bilang calon perseorangan atau independent sulit memenangkan Pilkada? Pertanyaan itu telah terjawab. Pasangan Muda Mahendrawan dan Andreas Muhrotien telah dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kubu Raya oleh Gubernur Kalbar, Drs Cornelis MH, 17 Februari 2008 kemarin. Muda dan Andreas adalah calon dari jalur perseorangan, bukan dari jalur partai. Bupati dan Wakil Bupati Kubu Raya yang pertama itu telah membuktikan kepada publik bahwa untuk menjadi kepala daerah tidak mesti dari jalur partai.
Kita yakin, dilantiknya Muda-Andreas itu akan menjadi referensi politik paling mutakhir di Kalbar. Maksudnya, ke depan, jalur independent tetap akan menjadi pilihan utama. Apalagi tahun 2010, sejumlah daerah di Kalbar ini akan menggelar Pilkada. Dipastikan jalur independent akan banyak digunakan orang untuk mendapatkan “perahu politik” menuju kursi kepala daerah.
Banyak pengamat politik mengatakan, bagi bupati incumbent (bupati yang sedang memerintah) yang tidak berafiliasi partai politik (bukan ketua partai) akan menggunakan jalur independent. Seorang incumbent sudah memiliki massa dan jaringan politik dari tingkat atas sampai ke bawah. Soal popularitas tidak diragukan lagi. Hampir lima tahun berkuasa, tentunya nama bupati incumbent sangat tenar di masyarakat. Apalagi setiap hari nama dan fotonya muncul di koran. Dengan alasan itulah, kemungkinan besar incumbent lebih menempuh jalur independent. Dengan jalur ini, incumbent tidak perlu lagi harus “mengemis” dengan partai politik dan harus bayar “mayar” tanda jadi naik perahu. Incumbent tidak perlu lagi “menyembah-sembah” ketua partai yang ada di pusat. Bisa-bisa jalur partai tidak lagi favorit untuk dinaikkan orang-orang berduit. Jalur partai kemungkinan besar hanya akan dinaiki oleh kadarnya sendiri. Partai tidak lagi harus buka pendaftaran untuk menjaring kandidat, karena praktik demikian sudah usang.
Jalur independent sangat murah dan mudah. Seorang kandidat jika memiliki popularitas tinggi di masyarakat, tidak akan sulit memenuhi seluruh persyaratan. Cukup mengumpulkan tanda tangan dan fotokopi KPT dalam jumlah puluhan ribu dari warga, sudah bisa mendaftar. Cara ini sudah bisa dilakukan sekarang bagi orang yang ingin menjadi kepala daerah di tahun 2010. Jika fotokopi KTP sudah terkumpul, diverikasi dulu secara tim, lalu daftarkan ke KPU. Apabila fotokopi KTP itu dikumpulkan secara jujur, KPU pasti tidak mencoretnya. Hanya syarat ini yang paling sulit. Syarat lain sangat mudah dipenuhi.
Siapa bilang calon perseorangan atau independent sulit memenangkan Pilkada? Pertanyaan itu telah terjawab. Pasangan Muda Mahendrawan dan Andreas Muhrotien telah dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kubu Raya oleh Gubernur Kalbar, Drs Cornelis MH, 17 Februari 2008 kemarin. Muda dan Andreas adalah calon dari jalur perseorangan, bukan dari jalur partai. Bupati dan Wakil Bupati Kubu Raya yang pertama itu telah membuktikan kepada publik bahwa untuk menjadi kepala daerah tidak mesti dari jalur partai.
Kita yakin, dilantiknya Muda-Andreas itu akan menjadi referensi politik paling mutakhir di Kalbar. Maksudnya, ke depan, jalur independent tetap akan menjadi pilihan utama. Apalagi tahun 2010, sejumlah daerah di Kalbar ini akan menggelar Pilkada. Dipastikan jalur independent akan banyak digunakan orang untuk mendapatkan “perahu politik” menuju kursi kepala daerah.
Banyak pengamat politik mengatakan, bagi bupati incumbent (bupati yang sedang memerintah) yang tidak berafiliasi partai politik (bukan ketua partai) akan menggunakan jalur independent. Seorang incumbent sudah memiliki massa dan jaringan politik dari tingkat atas sampai ke bawah. Soal popularitas tidak diragukan lagi. Hampir lima tahun berkuasa, tentunya nama bupati incumbent sangat tenar di masyarakat. Apalagi setiap hari nama dan fotonya muncul di koran. Dengan alasan itulah, kemungkinan besar incumbent lebih menempuh jalur independent. Dengan jalur ini, incumbent tidak perlu lagi harus “mengemis” dengan partai politik dan harus bayar “mayar” tanda jadi naik perahu. Incumbent tidak perlu lagi “menyembah-sembah” ketua partai yang ada di pusat. Bisa-bisa jalur partai tidak lagi favorit untuk dinaikkan orang-orang berduit. Jalur partai kemungkinan besar hanya akan dinaiki oleh kadarnya sendiri. Partai tidak lagi harus buka pendaftaran untuk menjaring kandidat, karena praktik demikian sudah usang.
Jalur independent sangat murah dan mudah. Seorang kandidat jika memiliki popularitas tinggi di masyarakat, tidak akan sulit memenuhi seluruh persyaratan. Cukup mengumpulkan tanda tangan dan fotokopi KPT dalam jumlah puluhan ribu dari warga, sudah bisa mendaftar. Cara ini sudah bisa dilakukan sekarang bagi orang yang ingin menjadi kepala daerah di tahun 2010. Jika fotokopi KTP sudah terkumpul, diverikasi dulu secara tim, lalu daftarkan ke KPU. Apabila fotokopi KTP itu dikumpulkan secara jujur, KPU pasti tidak mencoretnya. Hanya syarat ini yang paling sulit. Syarat lain sangat mudah dipenuhi.
Senin, 16 Februari 2009
Asap Mulai Mengancam Kalbar
Rosadi Jamani
Kalbar termasuk penghasil asap. Kalbar juga memiliki catatan jelek soal asap ini. Dalam setiap tahunnya, selalu saja muncul asap yang mengancam ratusan ribu warga. Untuk tahun ini, tanda-tanda serangan asap mulai muncul. Bahkan, pemerintah telah mengeluarkan peringatan kepada warganya agar jangan keluar malam hari kalau tidak pakai masyarakat. Soalnya, asap yang mulai muncul itu sudah kategori membahayakan manusia.
Bisa dikatakan, asap sudah menjadi musuh bersama baik itu Indonesia dan Malaysia. Serangan asap juga merupakan bencana alam yang bisa melumpuhkan sektor ekonomi. Bandara bisa tutup. Orang takut keluar rumah. Ancaman penyakit ISPA setiap saat bisa menyerang manusia. Ancaman tersebut tidak saja daerah yang memiliki gambut, yang tidak juga bisa kena imbasnya. Apalagi Kalbar yang memiliki ribuan hektare gambut menjadi daerah paling rentan kena serangan asap.
Kota Padang Sumatra Barat bukan daerah gambut. Namun, daerah ini sering diserang asap yang dihasilkan provinsi lain seperti Riau atau Bengkulu. Untuk Kalbar, daerah seperti Singkawang bukan daerah gambut sering terserang asap dari daerah lain. Jadi, asap sudah menjadi musuh bersama. Pemerintah manapun tidak senang apabila asap itu muncul.
Lalu, apa upaya pemerintah untuk mencegah serangan asap? Yang sering kita dengar, kebanyakan berupa imbauan di media. Misalnya, Gubernur atau Bupati melalui dinas yang menangani lingkungan hidup meminta warganya jangan membakar lahan di musim panas. Sebab, asap itu bisa menyebabkan penyakit kepada siapa saja. Jika ingin membersihkan lahan, janganlah pakai bakar. Gunakan cara lain yang tidak menimbulkan asap. Imbauan seperti itu setiap tahun muncul. Tapi, itulah yang bisa dilakukan pemerintah. Sementara orang yang membakar lahan, mungkin tidak pernah membaca koran atau menonton televisi.
Tidak cukup kepala daerah, wakil rakyat yang duduk di legislatif juga sering mengimbau agar masyarakat jangan membakar lahan. Bahkan, polisi juga sering mengimbau agar masyarakat tidak menggunakan api membersihkan lahan. Cerita imbauan, siapapun bisa melakukannya. Anak kecil juga bisa mengimbau agar orang tuannya jangan membakar lahan. Tapi, saat ini bukan sekadar imbauan, tapi action di lapangan.
Pemerintah memiliki Manggala Agni atau tentara yang kerjaannya memadamkan api. Kita tidak tahu, apakah tentara yang sudah ada personel dan perlengkapannya itu disiagakan atau belum. Kalau memang sudah disiagakan, kenapa ada muncul kabut asal. Pihak BMG juga mengatakan sudah ada titik api (hot spot) dari sejumlah daerah. Kenapa ada larangan untuk jangan keluar di malam hari?
Pemerintah telah memiliki pasukan untuk memadamkan api. Jika itu juga kurang bisa minta bantuan ke badan pemadam kebakaran yang ada di setiap daerah. Jika ada orang sengaja membakar lahan, ada polisi yang menangkapnya. Hukum dan perangkatnya sudah kita miliki. Sekarang, tinggal action, bukan talk only. Lebih baik talk less, do more, sedikit ngomong, tapi banyak berbuat.*
Kalbar termasuk penghasil asap. Kalbar juga memiliki catatan jelek soal asap ini. Dalam setiap tahunnya, selalu saja muncul asap yang mengancam ratusan ribu warga. Untuk tahun ini, tanda-tanda serangan asap mulai muncul. Bahkan, pemerintah telah mengeluarkan peringatan kepada warganya agar jangan keluar malam hari kalau tidak pakai masyarakat. Soalnya, asap yang mulai muncul itu sudah kategori membahayakan manusia.
Bisa dikatakan, asap sudah menjadi musuh bersama baik itu Indonesia dan Malaysia. Serangan asap juga merupakan bencana alam yang bisa melumpuhkan sektor ekonomi. Bandara bisa tutup. Orang takut keluar rumah. Ancaman penyakit ISPA setiap saat bisa menyerang manusia. Ancaman tersebut tidak saja daerah yang memiliki gambut, yang tidak juga bisa kena imbasnya. Apalagi Kalbar yang memiliki ribuan hektare gambut menjadi daerah paling rentan kena serangan asap.
Kota Padang Sumatra Barat bukan daerah gambut. Namun, daerah ini sering diserang asap yang dihasilkan provinsi lain seperti Riau atau Bengkulu. Untuk Kalbar, daerah seperti Singkawang bukan daerah gambut sering terserang asap dari daerah lain. Jadi, asap sudah menjadi musuh bersama. Pemerintah manapun tidak senang apabila asap itu muncul.
Lalu, apa upaya pemerintah untuk mencegah serangan asap? Yang sering kita dengar, kebanyakan berupa imbauan di media. Misalnya, Gubernur atau Bupati melalui dinas yang menangani lingkungan hidup meminta warganya jangan membakar lahan di musim panas. Sebab, asap itu bisa menyebabkan penyakit kepada siapa saja. Jika ingin membersihkan lahan, janganlah pakai bakar. Gunakan cara lain yang tidak menimbulkan asap. Imbauan seperti itu setiap tahun muncul. Tapi, itulah yang bisa dilakukan pemerintah. Sementara orang yang membakar lahan, mungkin tidak pernah membaca koran atau menonton televisi.
Tidak cukup kepala daerah, wakil rakyat yang duduk di legislatif juga sering mengimbau agar masyarakat jangan membakar lahan. Bahkan, polisi juga sering mengimbau agar masyarakat tidak menggunakan api membersihkan lahan. Cerita imbauan, siapapun bisa melakukannya. Anak kecil juga bisa mengimbau agar orang tuannya jangan membakar lahan. Tapi, saat ini bukan sekadar imbauan, tapi action di lapangan.
Pemerintah memiliki Manggala Agni atau tentara yang kerjaannya memadamkan api. Kita tidak tahu, apakah tentara yang sudah ada personel dan perlengkapannya itu disiagakan atau belum. Kalau memang sudah disiagakan, kenapa ada muncul kabut asal. Pihak BMG juga mengatakan sudah ada titik api (hot spot) dari sejumlah daerah. Kenapa ada larangan untuk jangan keluar di malam hari?
Pemerintah telah memiliki pasukan untuk memadamkan api. Jika itu juga kurang bisa minta bantuan ke badan pemadam kebakaran yang ada di setiap daerah. Jika ada orang sengaja membakar lahan, ada polisi yang menangkapnya. Hukum dan perangkatnya sudah kita miliki. Sekarang, tinggal action, bukan talk only. Lebih baik talk less, do more, sedikit ngomong, tapi banyak berbuat.*
Minggu, 15 Februari 2009
Polisi vs Tentara
Rosadi Jamani
Kata orang, polisi dan tentara itu ibarat tom and jerry, berantem melulu. Dalam satu tahunnya pasti ada dua aparat pemerintah itu adu jotos. Kasus perkelahian antara anggota Reskrim dengan anggota tentara Walet Sakti di Putussibau beberapa waktu lalu membuktikan hal tersebut. Satu anggota Reskrim harus dirawat di rumah sakit. Kasus seperti itu sebenarnya bukan baru sekali, tapi sudah berkali-kali.
Ada apa sebenarnya dengan dua korp sama-sama penegak dan penjaga hukum di Indonesia itu? Padahal, referensi disiplin di negara penganut Pancasila ini adalah tentara dan polisi. Dulu, di masa Orde Baru, disiplin tentara tidak ada tandingannya. Sampai sekarang, disiplin tentara itu masih ada yang diterapkan di kantor pemerintah. Bahkan, tidak tanggung-tanggung saat penerimaan mahasiswa baru, disiplin ala tentara itu masih diidolakan.
Untuk di kantor atau markas militer/polisi, disiplin itu memang bisa dijamin diterapkan. Tapi, bagaimana dengan di luar kantor atau markas, apakah sebagai aparat penegak hukum bisa dijamin disiplinnya. Kita yakin, semua ragu menjawabnya. Ketika polisi dan tentara lepas dari dinas, mereka rakyat biasa. Mereka akan bergaul dengan masyarakat, istri dan anak atau keluarga lainnya. Itu artinya mereka harus mengikuti tata susila yang ada di masyarakat.
Kenyataannya, ada oknum polisi dan tentara justru tidak mengindahkan tata susila masyarakat. Mereka bisa mentang-mentang. Bisa “ngegap” masyarakat, bisa ikutan berjudi, bisa jadi backing praktik maksiat, bisa jadi pengaman, bahkan bisa juga jadi preman. Dengan statusnya sebagai penegak hukum, mereka berpikir hukumlah yang tunduk pada mereka. Masyarakat sering dijadikan objek hukum dari para penegak hukum tersebut. Aparat seperti ini menjadikan disiplin yang selama ini menjadi “simbol” kebesaran korp-nya hanya di kantor, tidak di masyarakat. Semestinya, disiplin itu diamalkan di seluruh lingkungan.
Lantas, apalagi yang menyebabkan polisi dan tentara sering berantem? Ada menjawab, karena perebutan lahan yang bisa menghasilkan uang. Dulu, tentara sangat ditakuti. Walaupun tugas utamanya menjaga kedaulatan negara, tapi di luar itu banyak aktivitas tentara yang menyimpang. Bukan rahasia lagi, bisnis kayu meraja lela ketika itu tidak lepas dari peran tentara untuk memuluskannya. Begitu juga bisnis lain, tidak lepas dari peran tentara. Polisi walaupun sebagai pengaman dalam negeri, banyak tidak berkutik. Polisi tugasnya hanya menangkapi penjahat kelas teri. Polisi tidak berkutik apabila berhadap dengan tentara.
Seiringnya berjalannya era reformasi, tentara dikembalikan lagi fungsinya. Tentara tidak boleh berbisnis. Tuganya hanya menjaga kedaulatan negara. Urusan keamanan dalam negeri itu pekerjaannya polisi. Ibaratnya, tentara kembali ke barak (back to barrack). Dengan kondisi ini, banyak tentara hanya jadi penonton. Mereka tidak bisa lagi seperti dulu yang begitu “diistimewakan”. Polisi yang berkewajiban menjalankan penegakan hukum, tidak peduli pada siapapun. Apabila ada yang melakukan kejahatan, apakah itu tentara, pejabat atau tokoh masyarakat, disikat. Ada tentara merasa tak terima ketika diamankan polisi. Kita yakin itu, itu disebabkan sejarah masa lalu, di mana tentara sangat superior dibandingkan polisi. Padahal, hukum sebenarnya tidak pandang bulu.
Persoalan baku hantam polisi vs tentara, untuk di masa akan datang pasti akan terjadi lagi selama kedua institusi tersebut belum memahami hakikat disiplin itu tadi. Negara yang besar dan maju, pasti memiliki tingkat disiplin yang tinggi.*
Kata orang, polisi dan tentara itu ibarat tom and jerry, berantem melulu. Dalam satu tahunnya pasti ada dua aparat pemerintah itu adu jotos. Kasus perkelahian antara anggota Reskrim dengan anggota tentara Walet Sakti di Putussibau beberapa waktu lalu membuktikan hal tersebut. Satu anggota Reskrim harus dirawat di rumah sakit. Kasus seperti itu sebenarnya bukan baru sekali, tapi sudah berkali-kali.
Ada apa sebenarnya dengan dua korp sama-sama penegak dan penjaga hukum di Indonesia itu? Padahal, referensi disiplin di negara penganut Pancasila ini adalah tentara dan polisi. Dulu, di masa Orde Baru, disiplin tentara tidak ada tandingannya. Sampai sekarang, disiplin tentara itu masih ada yang diterapkan di kantor pemerintah. Bahkan, tidak tanggung-tanggung saat penerimaan mahasiswa baru, disiplin ala tentara itu masih diidolakan.
Untuk di kantor atau markas militer/polisi, disiplin itu memang bisa dijamin diterapkan. Tapi, bagaimana dengan di luar kantor atau markas, apakah sebagai aparat penegak hukum bisa dijamin disiplinnya. Kita yakin, semua ragu menjawabnya. Ketika polisi dan tentara lepas dari dinas, mereka rakyat biasa. Mereka akan bergaul dengan masyarakat, istri dan anak atau keluarga lainnya. Itu artinya mereka harus mengikuti tata susila yang ada di masyarakat.
Kenyataannya, ada oknum polisi dan tentara justru tidak mengindahkan tata susila masyarakat. Mereka bisa mentang-mentang. Bisa “ngegap” masyarakat, bisa ikutan berjudi, bisa jadi backing praktik maksiat, bisa jadi pengaman, bahkan bisa juga jadi preman. Dengan statusnya sebagai penegak hukum, mereka berpikir hukumlah yang tunduk pada mereka. Masyarakat sering dijadikan objek hukum dari para penegak hukum tersebut. Aparat seperti ini menjadikan disiplin yang selama ini menjadi “simbol” kebesaran korp-nya hanya di kantor, tidak di masyarakat. Semestinya, disiplin itu diamalkan di seluruh lingkungan.
Lantas, apalagi yang menyebabkan polisi dan tentara sering berantem? Ada menjawab, karena perebutan lahan yang bisa menghasilkan uang. Dulu, tentara sangat ditakuti. Walaupun tugas utamanya menjaga kedaulatan negara, tapi di luar itu banyak aktivitas tentara yang menyimpang. Bukan rahasia lagi, bisnis kayu meraja lela ketika itu tidak lepas dari peran tentara untuk memuluskannya. Begitu juga bisnis lain, tidak lepas dari peran tentara. Polisi walaupun sebagai pengaman dalam negeri, banyak tidak berkutik. Polisi tugasnya hanya menangkapi penjahat kelas teri. Polisi tidak berkutik apabila berhadap dengan tentara.
Seiringnya berjalannya era reformasi, tentara dikembalikan lagi fungsinya. Tentara tidak boleh berbisnis. Tuganya hanya menjaga kedaulatan negara. Urusan keamanan dalam negeri itu pekerjaannya polisi. Ibaratnya, tentara kembali ke barak (back to barrack). Dengan kondisi ini, banyak tentara hanya jadi penonton. Mereka tidak bisa lagi seperti dulu yang begitu “diistimewakan”. Polisi yang berkewajiban menjalankan penegakan hukum, tidak peduli pada siapapun. Apabila ada yang melakukan kejahatan, apakah itu tentara, pejabat atau tokoh masyarakat, disikat. Ada tentara merasa tak terima ketika diamankan polisi. Kita yakin itu, itu disebabkan sejarah masa lalu, di mana tentara sangat superior dibandingkan polisi. Padahal, hukum sebenarnya tidak pandang bulu.
Persoalan baku hantam polisi vs tentara, untuk di masa akan datang pasti akan terjadi lagi selama kedua institusi tersebut belum memahami hakikat disiplin itu tadi. Negara yang besar dan maju, pasti memiliki tingkat disiplin yang tinggi.*
Sabtu, 14 Februari 2009
Perempuan Berkalung Bendera Partai Politik
Oleh Rosadi Jamani
Minggu (8/02/09) lalu, saya dan istri nonton film di bioskop 21 Ayani Megamall Pontianak. Nama film yang ditonton, Perempuan Berkalung Sorban arahan sutradara Hanung Bramantio dengan pemain utama Revalina S Temat. Bagi yang suka film action, pasti tidak senang dengan film tersebut. Namun, bagi pencinta film drama, film tersebut layak disejajarkan dengan film Ayat-ayat Cinta yang juga disutradarai Hanung Bramantio. Memang, penontonnya tidak sebanyak film Ayat-ayat Cinta. Namun, alur cerita dan tingkat dramatisasinya tidak kalah serunya. Bahkan, saya pribadi menilai, film tersebut lebih hebat. Di mana letak kehebatan film Perempuan Berkalung Sorban? Di film tersebut mengisahkan betapa beratnya perjuangan seorang perempuan menobrak tradisi (culture) agama. Penuh intrik dan dibumbui dengan romantisme cinta. Jika anda ingin menyaksikan film tersebut, siap-siap bawa sapu tangan atau tisu. Air mata pasti berderai dalam setiap adegan.
Apa hubungannya film tersebut dengan kisah politik kita pada minggu ini? Mungkin tidak ada. Namun, saya ingin membentangkan sebuah kisah seorang perempuan yang kebetulan masih ada hubungan famili. Pada saat dibuka Daftar Caleg Sementara (DCT), seluruh partai politik (parpol) diharuskan melengkapi daftar itu dengan caleg perempuan. Banyak parpol kelabakan mencari perempuan untuk dijadikan caleg. Perempuan yang memiliki latar belakang aktivis, ustazah, guru swasta, guru ngaji, pekerja LSM, pembela wanita, tidak ada yang tersisa, semua sudah direkrut parpol. Bahkan, ibu rumah tangga juga diincar demi mencukupi persyaratan 30 persen penyertaan perempuan di dalam parpol.
Keluarga saya yang perempuan juga mendapatkan tawaran caleg. Padahal, dia hanyalah ibu rumah tangga dengan satu anak. Pendidikannya hanya tamatan SMA. Suaminya pekerja swasta. Setiap hari dia hanya mengurus apa yang ada di rumah. Tidak ada aktivitas di luar rumah. Ketika mendapatkan tawaran itu, dia terlebih dahulu konsultasi dengan suami. “Mas, saya dapat tawaran jadi caleg. Bahkan, saya juga ditawari jadi pengurus parpol. Apakah diterima atau tidak?” tanyanya kepada suami. Mendengar pertanyaan itu, suaminya sempat berpikir dan akhirnya memutuskan dia boleh jadi caleg dan pengurus parpol.Mendapatkan izin itu, perempuan itu seperti mendapatkan kebebasan. Diapun aktif di parpol. Dalam setiap minggu pasti ada rapat partai. Dia juga sering bepergian ke daerah membentuk pengurus di tingkat kabupaten. Di saat dia pergi, suaminya yang mengasuh anak mereka yang masih duduk di kelas 1 SD. Aktivitasnya mulai sibuk. Relasinya juga mulai banyak. Hand phone-nya setiap saat berdering. Sedikit demi sedikit persoalan rumah tangganya lebih banyak diambil alih suaminya.
Dia terbilang memiliki wajah cantik dengan kulit putih dan bodi ideal. Walaupun memiliki satu anak, namun dia masih menarik. Karena kecantikannya itu, ada pengurus parpol mulai mendekatinya. Setiap saat ada saja SMS dari pengurus parpol itu. Saat bepergian ke daerah, mereka selalu berdua. Pemandangan ini dilihat oleh orang tuannya. Orang tuanya menasihati agar hati-hati. “Kamu harus ingat, di rumah itu ada suami dan anak. Janganlah bepergian dengan laki-laki yang bukan muhrim, apa kata orang,” kata ibunya.
Ternyata, dia sadar. Dia sadar bahwa dia memiliki suami dan anak. Dia merasa tidak enak berjalan dengan suami orang lain. Padahal, suaminya masih memberikannya izin untuk berkecimpung di dunia politik. Dia juga mulai risih dengan banyaknya SMS masuk dan panggilan dari pengurus parpol yang rata-rata sudah bersuami. Demi menjaga keutuhan keluarganya, lalu dengan perasaan cukup berat, dia memutuskan menarik diri dari pengurus parpol. Terang saja para pengurus parpolnya, kaget. Terutama laki-laki yang selama ini akrab dengannya. Tapi, sebagai caleg, masih dijalaninya. Semenjak itu, dia kembali sebagai ibu rumah tangga. Status caleg yang masih disandangnya tidak lagi diurusnya. “Malas mencari pemilih. Saya hanya buat kartu nama saja. Itupun belum dibagikan,” ujarnya kepada saya baru-baru ini. Di wajahnya terlihat kelesuan ketika mendengar parpol. Seluruh nomor HP-nya diganti baru. Dia tidak mau lagi menerima panggilan dari orang-orang tak dikenalnya. Dia sempat trauma ada laki-laki pengurus parpol yang sempat mengajaknya check in di hotel. Dia tawari uang cukup banyak asalkan mau diajak gituan… “Saya masih punya iman. Saya masih ingat suami dan anak. Saya tidak mau tergelincir dalam dosa. Biarlah miskin tapi masih memiliki iman,” katanya sedih.
Saya melihat dari kisah itu, betapa berat godaan seorang perempuan di parpol politik. Jangankan perempuan, laki-laki saja sering tergelincir ketika aktif di parpol. Banyak rumah tangga hancur hanya gara-gara aktif di parpol. Kalau murni ngurus parpol, mungkin tidak masalah. Yang menjadi masalah apabila ngurus parpol bercampur dengan aktivitas maksiat. Misalnya, sering ke tempat hiburan malam, lalu minum-minuman beralkohol dan bermain perempuan pelayan seks komersial. Izin ke istri ikut Rakernas parpol di Jakarta, tapi setelah di Jakarta bukannya mengikuti Rakernas, malah mencari perempuan yang bisa melayani berahi semalam suntuk. Banyak pengurus parpol justru memiliki wanita simpanan terutama di Jabodetabek.
Saya akui, perempuan memang masih minim di pengurus parpol. Dunia politik sepertinya hanya milik laki-laki. Saya melihat, bukan parpol tidak memberikan ruang untuk perempuan, tapi lebih didasarkan pada godaan maksiat yang begitu tinggi. Selain itu, faktor tradisi (culture) bahwa perempuan cukup mengurus rumah tangga masih belum hilang. Perempuan cukuplah mengurus suami dan anak. Soal mencari nafkah itu urusan suami. Persoalan tradisi ini mirip kisah film Perempuan Berkalung Sorban itu. Ketika perempuan berkalung bendera parpol, untuk melawannya diperlukan semangat dan mental yang kuat.
Selama tradisi masih begitu kuat memosisikan perempuan sebagai pengurus suami dan anak, saat itu juga dunia politik hanya milik laki-laki. Kalaupun ada perempuan berkecimpung di politik pastilah perempuan itu bermental baja, tidak muda tergoda rayuan. Cuma, untuk mencari perempuan bermental di tengah belantara politik yang kejam, sangat sulit. Kalaupun ada, tapi kualitasnya hanya sebagai pelengkap. “Dari pada tidak ada perempuan dijadikan caleg, rekrut saja ibu-ibu rumah,” kata pengurus parpol yang lagi kesulitan mencari caleg perempuan.
Saya sangat bersyukur, kisah di film Perempuan Berkalung Sorban itu berlangsung tahun 1985-1997. Pada masa itu, perempuan masih banyak dikekang oleh tradisi. Sekarang tahun 2009, era keterbukaan dan kebebasan bagi perempuan sangat terbuka lebar. Perempuan mau berkecimpung di dunia apa saja, silakan. Hanya satu catatannya, jangan melupakan kodrat (nature). Bagaimanapun perempuan itu adalah ibu dari anak. Dia bisa hamil dan melahirkan. Itulah adalah kodrat. Tapi, soal kemampuan intelektual dan wawasan tidak kalah dengan kaum lelaki. Justru banyak pemimpin hebat di dunia ini dari kalangan perempuan. Sebut saja the iron woman, Margaret Teacher, mantan PM Inggris. Di Indonesia ada Megawati Soekarno Putri, perempuan bermental baja yang tidak takut menghadapi politikus dari kalangan laki-laki.
Namun, semua itu sangat tergantung pada perempuannya. Ruang sudah dibuka. Sekarang tinggal perempuan, apakah mau terjun secara utuh di dunia politik. Kalau masih setengah-setengah, masih memikirkan tradisi, masih malu, untuk ke depannya, dunia politik tetap didominasi kaum laki-laki. Di gedung DPRD dan DPR di Senayan tetap diisi kaum adam. Terserah! (Silakan tanggapi lewat email: rosadi@equator-news.com atau ke http://renunganpelangi.blogspot. com).
Minggu (8/02/09) lalu, saya dan istri nonton film di bioskop 21 Ayani Megamall Pontianak. Nama film yang ditonton, Perempuan Berkalung Sorban arahan sutradara Hanung Bramantio dengan pemain utama Revalina S Temat. Bagi yang suka film action, pasti tidak senang dengan film tersebut. Namun, bagi pencinta film drama, film tersebut layak disejajarkan dengan film Ayat-ayat Cinta yang juga disutradarai Hanung Bramantio. Memang, penontonnya tidak sebanyak film Ayat-ayat Cinta. Namun, alur cerita dan tingkat dramatisasinya tidak kalah serunya. Bahkan, saya pribadi menilai, film tersebut lebih hebat. Di mana letak kehebatan film Perempuan Berkalung Sorban? Di film tersebut mengisahkan betapa beratnya perjuangan seorang perempuan menobrak tradisi (culture) agama. Penuh intrik dan dibumbui dengan romantisme cinta. Jika anda ingin menyaksikan film tersebut, siap-siap bawa sapu tangan atau tisu. Air mata pasti berderai dalam setiap adegan.
Apa hubungannya film tersebut dengan kisah politik kita pada minggu ini? Mungkin tidak ada. Namun, saya ingin membentangkan sebuah kisah seorang perempuan yang kebetulan masih ada hubungan famili. Pada saat dibuka Daftar Caleg Sementara (DCT), seluruh partai politik (parpol) diharuskan melengkapi daftar itu dengan caleg perempuan. Banyak parpol kelabakan mencari perempuan untuk dijadikan caleg. Perempuan yang memiliki latar belakang aktivis, ustazah, guru swasta, guru ngaji, pekerja LSM, pembela wanita, tidak ada yang tersisa, semua sudah direkrut parpol. Bahkan, ibu rumah tangga juga diincar demi mencukupi persyaratan 30 persen penyertaan perempuan di dalam parpol.
Keluarga saya yang perempuan juga mendapatkan tawaran caleg. Padahal, dia hanyalah ibu rumah tangga dengan satu anak. Pendidikannya hanya tamatan SMA. Suaminya pekerja swasta. Setiap hari dia hanya mengurus apa yang ada di rumah. Tidak ada aktivitas di luar rumah. Ketika mendapatkan tawaran itu, dia terlebih dahulu konsultasi dengan suami. “Mas, saya dapat tawaran jadi caleg. Bahkan, saya juga ditawari jadi pengurus parpol. Apakah diterima atau tidak?” tanyanya kepada suami. Mendengar pertanyaan itu, suaminya sempat berpikir dan akhirnya memutuskan dia boleh jadi caleg dan pengurus parpol.Mendapatkan izin itu, perempuan itu seperti mendapatkan kebebasan. Diapun aktif di parpol. Dalam setiap minggu pasti ada rapat partai. Dia juga sering bepergian ke daerah membentuk pengurus di tingkat kabupaten. Di saat dia pergi, suaminya yang mengasuh anak mereka yang masih duduk di kelas 1 SD. Aktivitasnya mulai sibuk. Relasinya juga mulai banyak. Hand phone-nya setiap saat berdering. Sedikit demi sedikit persoalan rumah tangganya lebih banyak diambil alih suaminya.
Dia terbilang memiliki wajah cantik dengan kulit putih dan bodi ideal. Walaupun memiliki satu anak, namun dia masih menarik. Karena kecantikannya itu, ada pengurus parpol mulai mendekatinya. Setiap saat ada saja SMS dari pengurus parpol itu. Saat bepergian ke daerah, mereka selalu berdua. Pemandangan ini dilihat oleh orang tuannya. Orang tuanya menasihati agar hati-hati. “Kamu harus ingat, di rumah itu ada suami dan anak. Janganlah bepergian dengan laki-laki yang bukan muhrim, apa kata orang,” kata ibunya.
Ternyata, dia sadar. Dia sadar bahwa dia memiliki suami dan anak. Dia merasa tidak enak berjalan dengan suami orang lain. Padahal, suaminya masih memberikannya izin untuk berkecimpung di dunia politik. Dia juga mulai risih dengan banyaknya SMS masuk dan panggilan dari pengurus parpol yang rata-rata sudah bersuami. Demi menjaga keutuhan keluarganya, lalu dengan perasaan cukup berat, dia memutuskan menarik diri dari pengurus parpol. Terang saja para pengurus parpolnya, kaget. Terutama laki-laki yang selama ini akrab dengannya. Tapi, sebagai caleg, masih dijalaninya. Semenjak itu, dia kembali sebagai ibu rumah tangga. Status caleg yang masih disandangnya tidak lagi diurusnya. “Malas mencari pemilih. Saya hanya buat kartu nama saja. Itupun belum dibagikan,” ujarnya kepada saya baru-baru ini. Di wajahnya terlihat kelesuan ketika mendengar parpol. Seluruh nomor HP-nya diganti baru. Dia tidak mau lagi menerima panggilan dari orang-orang tak dikenalnya. Dia sempat trauma ada laki-laki pengurus parpol yang sempat mengajaknya check in di hotel. Dia tawari uang cukup banyak asalkan mau diajak gituan… “Saya masih punya iman. Saya masih ingat suami dan anak. Saya tidak mau tergelincir dalam dosa. Biarlah miskin tapi masih memiliki iman,” katanya sedih.
Saya melihat dari kisah itu, betapa berat godaan seorang perempuan di parpol politik. Jangankan perempuan, laki-laki saja sering tergelincir ketika aktif di parpol. Banyak rumah tangga hancur hanya gara-gara aktif di parpol. Kalau murni ngurus parpol, mungkin tidak masalah. Yang menjadi masalah apabila ngurus parpol bercampur dengan aktivitas maksiat. Misalnya, sering ke tempat hiburan malam, lalu minum-minuman beralkohol dan bermain perempuan pelayan seks komersial. Izin ke istri ikut Rakernas parpol di Jakarta, tapi setelah di Jakarta bukannya mengikuti Rakernas, malah mencari perempuan yang bisa melayani berahi semalam suntuk. Banyak pengurus parpol justru memiliki wanita simpanan terutama di Jabodetabek.
Saya akui, perempuan memang masih minim di pengurus parpol. Dunia politik sepertinya hanya milik laki-laki. Saya melihat, bukan parpol tidak memberikan ruang untuk perempuan, tapi lebih didasarkan pada godaan maksiat yang begitu tinggi. Selain itu, faktor tradisi (culture) bahwa perempuan cukup mengurus rumah tangga masih belum hilang. Perempuan cukuplah mengurus suami dan anak. Soal mencari nafkah itu urusan suami. Persoalan tradisi ini mirip kisah film Perempuan Berkalung Sorban itu. Ketika perempuan berkalung bendera parpol, untuk melawannya diperlukan semangat dan mental yang kuat.
Selama tradisi masih begitu kuat memosisikan perempuan sebagai pengurus suami dan anak, saat itu juga dunia politik hanya milik laki-laki. Kalaupun ada perempuan berkecimpung di politik pastilah perempuan itu bermental baja, tidak muda tergoda rayuan. Cuma, untuk mencari perempuan bermental di tengah belantara politik yang kejam, sangat sulit. Kalaupun ada, tapi kualitasnya hanya sebagai pelengkap. “Dari pada tidak ada perempuan dijadikan caleg, rekrut saja ibu-ibu rumah,” kata pengurus parpol yang lagi kesulitan mencari caleg perempuan.
Saya sangat bersyukur, kisah di film Perempuan Berkalung Sorban itu berlangsung tahun 1985-1997. Pada masa itu, perempuan masih banyak dikekang oleh tradisi. Sekarang tahun 2009, era keterbukaan dan kebebasan bagi perempuan sangat terbuka lebar. Perempuan mau berkecimpung di dunia apa saja, silakan. Hanya satu catatannya, jangan melupakan kodrat (nature). Bagaimanapun perempuan itu adalah ibu dari anak. Dia bisa hamil dan melahirkan. Itulah adalah kodrat. Tapi, soal kemampuan intelektual dan wawasan tidak kalah dengan kaum lelaki. Justru banyak pemimpin hebat di dunia ini dari kalangan perempuan. Sebut saja the iron woman, Margaret Teacher, mantan PM Inggris. Di Indonesia ada Megawati Soekarno Putri, perempuan bermental baja yang tidak takut menghadapi politikus dari kalangan laki-laki.
Namun, semua itu sangat tergantung pada perempuannya. Ruang sudah dibuka. Sekarang tinggal perempuan, apakah mau terjun secara utuh di dunia politik. Kalau masih setengah-setengah, masih memikirkan tradisi, masih malu, untuk ke depannya, dunia politik tetap didominasi kaum laki-laki. Di gedung DPRD dan DPR di Senayan tetap diisi kaum adam. Terserah! (Silakan tanggapi lewat email: rosadi@equator-news.com atau ke http://renunganpelangi.blogspot. com).
Kamis, 12 Februari 2009
Kebohongan Polisi
Rosadi Jamani
Kata orang, kalau bohong itu jangan terlalu amat, bisa sakit. Ungkapan tersebut sering kita dengar di masyarakat. Maksudnya, ada saatnya kita memang dibolehkan berbohong kalau memang bisa mendatangkan sebuah kebaikan. Misalnya, ada sejumlah orang ingin melakukan penganiayaan terhadap orang lain. Lalu, bertanya kepada orang di jalan, ingin mencari orang dimaksud. Orang yang ditanya tahu maksud orang tersebut, lantas berbohong dan mengatakan, selama berada di jalan itu dia tidak melihat orang yang dicari. Itu adalah sebuah kebohongan, padahal dia tahu keberadaan orang yang dicari.
Tapi, kalau kebohongan itu hanya untuk menjaga nama baik pribadi atau oknum yang telah melakukan penganiayaan, kebohongan seperti tidak bisa ditolerir. Dengan maksud agar atasan si oknum tidak tahu atau memaklumi kejadian penganiayaan, jelas tidak bisa dibenarkan. Sebab, orang yang merasa dianiaya tetap dirugikan. Inilah yang terjadi di Polres Landak. Di media massa, Kapolres dan Kanit Serse-nya dengan lantang membantah bahwa tidak ada penodongan dengan pistol terhadap tiga pemuda Ngabang. Kemudian, persoalan tersebut juga telah diselesaikan secara kekeluargaan dengan orang tua korban. Oknum yang telah melakukan penganiayaan hanya satu orang dan telah dikenakan hukum kode etik polisi. Tidak ada lagi masalah. Kira-kira demikian bantahan aparat korp baju cokelat itu.
Tidak lama setelah bantahan itu muncul di media, tiba-tiba orang tua korban dan termasuk korban sendiri justru membantah bantahan petinggi Polres Landak itu. Justru dibeberkan secara detail kejadian penodongan dan penganiayaan tersebut. Juga dibantah tidak ada proses damai dengan orang tua korban. Orang tua bahkan meminta polisi yang melakukan penganiayaan dihukum seberat-beratnya. Bahkan, mereka mengancam, apabila kasus tersebut dibiarkan, akan mendatangi Polda.
Semua itu adalah kejadian atau fakta. Tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Telah terjadi penganiayaan dan penodongan oleh polisi terhadap tiga pemuda Ngabang. Lalu, pihak polisi membantah telah terjadi penodongan dengan pistol. Tidak beberapa lama, orang tua membantah, memang terjadi penodongan. Dari dua kubu, orang pasti bisa menyimpulkan pihak mana yang berbohong atau tidak.
Polisi didesain untuk menegakkan hukum. Polisi juga diciptakan untuk menjadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Motto tersebut bahkan dipajang besar-besar di setiap kantor polisi. Kemudian, polisi juga didesain memperlihatkan muka senyum dan ramah setiap bertemu masyarakat. Semua itu ingin menjadikan polisi dekat dengan masyarakat. Polisi juga ingin membuang image masa lalu, di mana polisi memperlihatkan wajah seram. Saking seramnya, orang tua sering menakuti-nakuti anaknya dengan berkata, “Awas! Ada polisi”.
Apalagi perkataan Kapolda Kalbar yang baru, Erwin Lumban Tobing saat menginjakkan kaki pertama kali di Bumi Khatulistiwa dengan berkata, polisi tidak boleh lagi arogan dengan masyarakat. Desain yang begitu menyejukkan itu justru bertolak belakang dengan kejadian penganiayaan itu. Kita tidak tahu, apakah motto yang sering didengung-dengungkan itu kurang sosialisasi atau tidak pernah lagi dikampanyekan. Itu memang urusan internal polisi. Semestinya, jika motto tersebut tertanam dalam sanubari setiap polisi, tidak ada lagi penganiayaan terhadap warga. Sekarang, tinggal pihak polisi sendiri, jika ingin dekat dengan masyarakat, amalkan secara sungguh-sungguh dan bertanggung jawab motto tersebut. Jangan ada lagi dusta di antara kita (polisi dan masyarakat).*
Kata orang, kalau bohong itu jangan terlalu amat, bisa sakit. Ungkapan tersebut sering kita dengar di masyarakat. Maksudnya, ada saatnya kita memang dibolehkan berbohong kalau memang bisa mendatangkan sebuah kebaikan. Misalnya, ada sejumlah orang ingin melakukan penganiayaan terhadap orang lain. Lalu, bertanya kepada orang di jalan, ingin mencari orang dimaksud. Orang yang ditanya tahu maksud orang tersebut, lantas berbohong dan mengatakan, selama berada di jalan itu dia tidak melihat orang yang dicari. Itu adalah sebuah kebohongan, padahal dia tahu keberadaan orang yang dicari.
Tapi, kalau kebohongan itu hanya untuk menjaga nama baik pribadi atau oknum yang telah melakukan penganiayaan, kebohongan seperti tidak bisa ditolerir. Dengan maksud agar atasan si oknum tidak tahu atau memaklumi kejadian penganiayaan, jelas tidak bisa dibenarkan. Sebab, orang yang merasa dianiaya tetap dirugikan. Inilah yang terjadi di Polres Landak. Di media massa, Kapolres dan Kanit Serse-nya dengan lantang membantah bahwa tidak ada penodongan dengan pistol terhadap tiga pemuda Ngabang. Kemudian, persoalan tersebut juga telah diselesaikan secara kekeluargaan dengan orang tua korban. Oknum yang telah melakukan penganiayaan hanya satu orang dan telah dikenakan hukum kode etik polisi. Tidak ada lagi masalah. Kira-kira demikian bantahan aparat korp baju cokelat itu.
Tidak lama setelah bantahan itu muncul di media, tiba-tiba orang tua korban dan termasuk korban sendiri justru membantah bantahan petinggi Polres Landak itu. Justru dibeberkan secara detail kejadian penodongan dan penganiayaan tersebut. Juga dibantah tidak ada proses damai dengan orang tua korban. Orang tua bahkan meminta polisi yang melakukan penganiayaan dihukum seberat-beratnya. Bahkan, mereka mengancam, apabila kasus tersebut dibiarkan, akan mendatangi Polda.
Semua itu adalah kejadian atau fakta. Tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Telah terjadi penganiayaan dan penodongan oleh polisi terhadap tiga pemuda Ngabang. Lalu, pihak polisi membantah telah terjadi penodongan dengan pistol. Tidak beberapa lama, orang tua membantah, memang terjadi penodongan. Dari dua kubu, orang pasti bisa menyimpulkan pihak mana yang berbohong atau tidak.
Polisi didesain untuk menegakkan hukum. Polisi juga diciptakan untuk menjadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Motto tersebut bahkan dipajang besar-besar di setiap kantor polisi. Kemudian, polisi juga didesain memperlihatkan muka senyum dan ramah setiap bertemu masyarakat. Semua itu ingin menjadikan polisi dekat dengan masyarakat. Polisi juga ingin membuang image masa lalu, di mana polisi memperlihatkan wajah seram. Saking seramnya, orang tua sering menakuti-nakuti anaknya dengan berkata, “Awas! Ada polisi”.
Apalagi perkataan Kapolda Kalbar yang baru, Erwin Lumban Tobing saat menginjakkan kaki pertama kali di Bumi Khatulistiwa dengan berkata, polisi tidak boleh lagi arogan dengan masyarakat. Desain yang begitu menyejukkan itu justru bertolak belakang dengan kejadian penganiayaan itu. Kita tidak tahu, apakah motto yang sering didengung-dengungkan itu kurang sosialisasi atau tidak pernah lagi dikampanyekan. Itu memang urusan internal polisi. Semestinya, jika motto tersebut tertanam dalam sanubari setiap polisi, tidak ada lagi penganiayaan terhadap warga. Sekarang, tinggal pihak polisi sendiri, jika ingin dekat dengan masyarakat, amalkan secara sungguh-sungguh dan bertanggung jawab motto tersebut. Jangan ada lagi dusta di antara kita (polisi dan masyarakat).*
Selalu Petani Jadi Korban
Rosadi Jamani
Kalbar memang memiliki areal perkebunan sangat luas. Cuma, areal tersebut masih banyak dimiliki petani. Banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit mengincar areal tersebut. Kebanyakan perusahaan itu memang berhasil meyakinkan petani agar tanahnya bisa dijual, disewa atau sistem bagi hasil. Jadilah Kalbar sebagai salah satu provinsi penghasil sawit terbesar di Indonesia.
Ketika Kalbar menjadi penghasil sawit, apakah para petani yang telah merelakan tanahnya ditanami sawit itu, sejahtera? Pertanyaan ini akan menghasilkan dua jawaban, sejahtera dan tidak sejahtera. Kalau pihak perusahaan disuruh menjawabnya, pastilah dibilang sejahtera. Tapi, bagi petani, pasti menjawab tidak. Hasil sawit kebanyakan untuk membayar cicilan serta biaya hidup sehari-hari. Jangan ngomong lebih, banyak petani justru kekurangan.
Pada 11 Februari lalu, Bupati Ketapang beserta jajarannya membawa perwakilan petani plasma PT Benua Indah Grup (BIG) ke Gedung DPRD Kalbar. Pihak bupati sepertinya sudah tidak mampu menyelesaikan persoalan PT BIG itu dengan para petaninya. Mereka mengadu ke Dewan agar persoalan mereka bisa diselesaikan. Pihak Dewan berjanji akan memanggil pihak penyandang dana (bank), perusahaan, petani, serta pihak yang berkompeten, termasuk juga Gubernur Kalbar untuk menyelesaikan persoalan itu. Dari seluruh pihak yang berkompeten itu, justru petani yang jadi korban. Bayangkan, sudah empat bulan mereka tidak digaji perusahaan.
Pihak perusahaan selalu ada alasan untuk tidak membayar gaji petani. Krisis keuangan global selalu menjadi alasan. Persoalannya sangat rumit dan butuh waktu panjang untuk menyelesaikannya. Itupun tergantung dari pihak perusahaan, serius atau tidak. Kalau serius, persoalan itu akan cepat selesai. Kalau tidak, justru melakukan konspirasi dengan pejabat, wakil rakyat atau penegak hukum, persoalan itu pasti berlarut-larut. Lagi-lagi petani akan menjadi korban.
Dalam kasus seperti itu, di mana letak kesejahteraan petani? Padahal, saat perusahaan itu baru mau masuk ke Ketapang, janji manisnya sangat luar biasa. Siapapun orangnya akan tergiur. Maklum, yang dijanjikan selalu pendapatan yang besar. Petani yang memang kebanyakan hidup melarat, hanya memiliki tanah. Dengan janji itu sangat tergiur. Perusahaan akan mengolah tanah itu menjadi kebun sawit. Ketika sudah berbuah, hasil keuntungan dibagi dengan perusahaan dan petani. Begitu buah itu memang mendatangkan hasil, biasanya pihak perusahaan memiliki tabiat lain. Dalam pikiran perusahaan biasanya, bagaimana hasil sawit itu lebih banyak untuk perusahaan. Sementara petani biarlah sisa-sisanya. Jangan heran apabila ada perusahaan menunda-nunda konversi lahan. Ada saja alasannya. Konversi baru dilakukan setelah buah sawit sudah puas mereka ambil.
PT BIG contoh suram dunia investasi di bidang perkebunan sawit. Kita berharap, setelah PT BIG, tidak ada lagi perusahaan yang ribut dengan petaninya. Saatnya petani untuk disejahteraakan. Kalau petani sejahtera, perusahaan juga yang diuntungkan. Sebaliknya, kalau petani sering dibodohi, justru itu akan merugikan pihak perusahaan sendiri.*
Kalbar memang memiliki areal perkebunan sangat luas. Cuma, areal tersebut masih banyak dimiliki petani. Banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit mengincar areal tersebut. Kebanyakan perusahaan itu memang berhasil meyakinkan petani agar tanahnya bisa dijual, disewa atau sistem bagi hasil. Jadilah Kalbar sebagai salah satu provinsi penghasil sawit terbesar di Indonesia.
Ketika Kalbar menjadi penghasil sawit, apakah para petani yang telah merelakan tanahnya ditanami sawit itu, sejahtera? Pertanyaan ini akan menghasilkan dua jawaban, sejahtera dan tidak sejahtera. Kalau pihak perusahaan disuruh menjawabnya, pastilah dibilang sejahtera. Tapi, bagi petani, pasti menjawab tidak. Hasil sawit kebanyakan untuk membayar cicilan serta biaya hidup sehari-hari. Jangan ngomong lebih, banyak petani justru kekurangan.
Pada 11 Februari lalu, Bupati Ketapang beserta jajarannya membawa perwakilan petani plasma PT Benua Indah Grup (BIG) ke Gedung DPRD Kalbar. Pihak bupati sepertinya sudah tidak mampu menyelesaikan persoalan PT BIG itu dengan para petaninya. Mereka mengadu ke Dewan agar persoalan mereka bisa diselesaikan. Pihak Dewan berjanji akan memanggil pihak penyandang dana (bank), perusahaan, petani, serta pihak yang berkompeten, termasuk juga Gubernur Kalbar untuk menyelesaikan persoalan itu. Dari seluruh pihak yang berkompeten itu, justru petani yang jadi korban. Bayangkan, sudah empat bulan mereka tidak digaji perusahaan.
Pihak perusahaan selalu ada alasan untuk tidak membayar gaji petani. Krisis keuangan global selalu menjadi alasan. Persoalannya sangat rumit dan butuh waktu panjang untuk menyelesaikannya. Itupun tergantung dari pihak perusahaan, serius atau tidak. Kalau serius, persoalan itu akan cepat selesai. Kalau tidak, justru melakukan konspirasi dengan pejabat, wakil rakyat atau penegak hukum, persoalan itu pasti berlarut-larut. Lagi-lagi petani akan menjadi korban.
Dalam kasus seperti itu, di mana letak kesejahteraan petani? Padahal, saat perusahaan itu baru mau masuk ke Ketapang, janji manisnya sangat luar biasa. Siapapun orangnya akan tergiur. Maklum, yang dijanjikan selalu pendapatan yang besar. Petani yang memang kebanyakan hidup melarat, hanya memiliki tanah. Dengan janji itu sangat tergiur. Perusahaan akan mengolah tanah itu menjadi kebun sawit. Ketika sudah berbuah, hasil keuntungan dibagi dengan perusahaan dan petani. Begitu buah itu memang mendatangkan hasil, biasanya pihak perusahaan memiliki tabiat lain. Dalam pikiran perusahaan biasanya, bagaimana hasil sawit itu lebih banyak untuk perusahaan. Sementara petani biarlah sisa-sisanya. Jangan heran apabila ada perusahaan menunda-nunda konversi lahan. Ada saja alasannya. Konversi baru dilakukan setelah buah sawit sudah puas mereka ambil.
PT BIG contoh suram dunia investasi di bidang perkebunan sawit. Kita berharap, setelah PT BIG, tidak ada lagi perusahaan yang ribut dengan petaninya. Saatnya petani untuk disejahteraakan. Kalau petani sejahtera, perusahaan juga yang diuntungkan. Sebaliknya, kalau petani sering dibodohi, justru itu akan merugikan pihak perusahaan sendiri.*
Rabu, 11 Februari 2009
Reborn Tenis Mini di Kalbar
Oleh Rosadi Jamani
Sekitar tahun 2001, ketika itu saya masih menjadi wartawan olahraga di Harian Equator. Hampir tidak ada satupun cabang olahraga yang luput dari liputan saya. Semua mendapatkan porsi sama. Namun, di antara sekian banyak cabang olahraga, cabang tenis lapangan yang rasanya sangat berkesan bagi saya ketika itu. Walaupun saya tidak pandai main tenis, tapi saya sangat senang meliput cabang yang masih ber-image olahraga orang kaya itu.
Apa yang membuat saya terkesan? Tenis ketika digarap penuh semangat dan serius oleh pengurusnya. Cabang olahraga lain, paling besar hanya tingkat lokal. Tapi, tenis ketika itu digarap secara nasional. Ada lagi yang menarik, tenis digarap secara massal. Tidak hanya untuk orang dewasa, melainkan anak-anak di tingkat SD. Saat itu ada namanya tenis mini. Cukup ada lapangan di sekolah, apakah itu tanah, semen atau aspal tidak masalah. Lapangan itu dikasih garis mengikuti luas dan lebar lapangan tenis mini. Oleh pengurus tenis, sekolah disumbangkan bola dan tenis mini. Hampir setiap sekolah dasar mendapatkan bantuan itu.
Tenis ketika itu benar-benar massal. Gairah orang untuk bermain tenis sangat tinggi. Dari program pemassalan tenis di tingkat SD membuahkan hasil manis. Di tingkat nasional, Kalbar berhasil juara. Mungkin itulah pertamanya kalinya Kalbar bisa mengukir prestasi nasional. Sang juara tenis mini saya blow up besar-besar di halaman olahraga. Tidak cukup itu, si pemain tenis itu saya wawancarai khusus. Beritanya satu halaman penuh.
Kemudian, satu hal lagi yang membuat berkesan, pengurus tenis ketika itu berhasil mendatangkan pengurus International Tennis Federation (ITF) asal Inggris berdarah India, Suresh Menon di Pontianak. Saya kaget, kok bisa orang sekelas Suresh Menon didatangkan pengurus tenis selevel Kalbar. Saya benar-benar menjadikan kedatangan Suresh sebagai berita utama. Dari sebelum kedatangan sampai dia kembali ke negaranya, saya liput secara serius. Apalagi ketika dia memberikan coaching clinic ke pemain junior, itu adalah berita penting bagi saya.
Setelah itu, ada lagi kedatangan mantan ratu tenis Indonesia , Yayuk Basuki. Juga hadir Romana Teja Kusuma dan Martina Wijaya, Tintus Aribowo, Wyne Prakhusya. Tidak satupun aktivitas mereka saya lewatkan. Saya beritakan dengan harapan bisa menjadi motivasi bagi seluruh petenis di Kalbar. Jadi, ketika itu, tenis benar-benar hidup. Bahkan, bisa saya katakan era tahun 2001 itu, era kejayaan tenis di Kalbar.
Tiba-tiba terjadi pergantian pengurus tenis di tingkat Kalbar. Ketika awal kerja pengurus baru ini, jalannya perkembangan tenis seperti biasa. Namun, beberapa bulan kemudian, terjadi intrik antar pengurus. Kondisi ini membuat perkembangan tenis Kalbar sedikit demi sedikit mulai mundur. Hampir tidak ada kegiatan tenis yang layak untuk diberitakan.
Pas ketika itu saya dimutasikan ke Biro Landak. Semenjak menjadi Kepala Biro Landak liputan saya tidak lagi di olahraga, melainkan di seluruh bidang. Areanya tidak lagi di Pontianak , melainkan hanya Landak saja. Semenjak itu, hubungan saya dengan pengurus tenis di Kalbar terputus. Semenjak itu juga liputan untuk cabang tenis sangat sepi. Wartawan olahraga pengganti saya juga merasakan bahwa hanya cabang tenis miskin kegiatan. Dalam satu satu, berita tentang tenis bisa dihitung dengan jari. Ini membuktikan bahwa tenis benar-benar terpuruk ketika itu.
Sekitar empat tahun di Landak, saya dipromosikan menjadi redaktur olahraga. Sayapun ditarik dari Landak ke Pontianak lagi. Tahun 2001 lalu saya berstatus wartawan olahraga. Empat tahun kemudian saya kembali ke Pontianak dari Landak dengan status redaktur olahraga. Sebagai langkah awal, saya sedikit bernostalgia dengan kawan-kawan pengurus olahraga yang dulu dekat. Satu per satu saya silaturahmi dengan para pengurus olahraga. Di antara pengurus, ada yang lupa dengan nama saya. Mungkin karena terlalu lama berada di Landak. Termasuklah pengurus tenis Kalbar juga saya kunjungi ke rumahnya. Dia senang saya berkunjung ke rumahnya. Saya bilang, jika ada kegiatan tenis, tolong ditelepon saya. Nanti, anak buah saya yang akan meliputnya. Setelah itu, saya tunggu-tunggu tidak ada telepon dari pengurus itu. Saya berpikir, mungkin tidak ada kegiatan yang membuatnya tidak telepon.
Kurang lebih satu tahun saya menjadi redaktur olahraga, rasanya tidak pernah saya mengedit berita tenis. Di sini membuktikan bahwa tenis Kalbar benar-benar berada di dasar kemunduran. Zulkarnaen Rustam, seorang pelatih tenis yang sangat kenal, biasanya sering menelepon apabila ada kegiatan tenis. Semenjak jadi redaktur, Zulkarnain juga tidak pernah menelepon. Saat ketemu, dia bilang memang tidak ada lagi turnamen, coaching clinic atau pemusatan latihan. Semua vacuum.
Pada 9 Februari, sekitar pukul 20.00, tiba-tiba hand phone saya berdering. “Hallo, dengan Pak Rosadi, ya?” kata orang di ujung telepon. “Ya, benar, dengan siapa, ya?” tanya saya balik. “Dengan Pak Eddy, yang dulu kita sama-sama aktif di tenis,” jawabnya. “O, ya! Pak Eddy, saya ingat, gimana kabarnya Pak Eddy?” tanya saya lagi. “Baik-baik, aja!” jawabnya.
Saya dan Pak Eddy-pun terlibat pembicaraan di hand phone cukup panjang. Salah satu yang dibicarakan adalah mengenai web tenis Kalbar. Dia mengatakan telah membuat web tenis dengan tujuan, pemerhati dan pencinta tenis bisa membaca web itu. Setiap perkembangan tenis akan ditampilkan di web itu. Saya coba buka web itu, dan saya melihat terjadi perubahan pengurus. Saya baru tahu telah terjadi pergantian pengurus. Ketuanya, Chairil Effendi yang juga Rektor Untan. Nama Pak Eddy juga ada. Dia menjabat sebagai ketua bidang pengembangan dan pemassalan. Cuma, ada beberapa bagian yang masih kosong.
“Memang masih banyak kosong, Pak Rosadi! Itu sebabnya saya telepon Pak Rosadi dengan harapan bisa membantu mengisi web itu agar penuh dengan berita tentang tenis,” kata Pak Eddy. “Baiklah, saya coba bantu. Kapan kita bisa ketemu?” tanya saya. Kamipun bicara janji untuk ketemu. Saya juga kangen dengan Pak Eddy. Saya tahu dia memang concern memajukan tenis. Dia rela berkorban untuk tenis. Dia bisa menggunakan link internasionalnya untuk membangun tenis Kalbar. Saya tahu dia adalah dosen Teknik Untan alumni luar negeri.
Pada 11 Februari, saya dan Pak Eddy ketemu di salah satu warung di Jalan Zainudin Pontianak sekitar pukul 14.00. Dalam pertemuan itu kami mencoba mengulang nostalgia tenis tahun 2001 itu. Dia mengakui, tahun itu adalah tahun kebangkitan tenis Kalbar. Sayang, dia tidak akur dengan pengurus pada waktu itu membuatnya enggan membantu memajukan tenis.
“Sekarang, kita sudah jadi pengurus. Kebetulan saya dan Pak Chairil sangat dekat. Bahkan, tahun kemarin (2008, red) kami sempat jalan-jalan ke Eropa untuk melihat perkembangan tenis di sana . Saya memang akur dengan Pak Chairil. Inilah saatnya kita kembali bangkitkan tenis, seperti kita dulu lagi,” jelas Pak Eddy sambil menyantap sepiring Somai Bandung dan es ketan.
Pak Edi yang juga seorang pengusaha lampu listrik ternama di Kalbar ini menjabarkan secara umum program kerja yang akan dijalankannya. Salah satu program utamanya akan kembali memassalkan tenis mulai dari tingkat SD. Dia mencontohkan, jika 30 ribu SD di Kalbar ada program tenis lapangan, berapa banyak atlet tenis yang dihasilkan. Sekolah itu akan dibantu raket dan bola. Guru olahraganya diberikan pelatihan. Dalam satu sekolah, cukup 10 anak saja. Bisa dibayangkan jika tiap SD menghasilkan 10 pemain tenis mini, bisa menghasilkan 300 ribu pemain. Setelah itu dibentuk klub tenis mini di setiap daerah. Lalu, para pemain itu diadu secara regular setiap bulan atau triwulan.
“Saya yakin dengan program tenis mini ini, kita bisa seperti tahun 2001 lalu. Kita bisa kembali meraih juara nasional. Kita akan mulai dari tenis mini dulu. Saya yakin inilah era baru tenis di Kalbar. Reborn tenis mini atau tenis mini lahir kembali,” papar Pak Edi penuh semangat.
Dalam angan-angannya, apabila tenis mini terwujud, dia akan mengusulkan ke Pelti pusat untuk menjadi Kalbar tuan rumah nasional. Bahkan, dia berangan akan menggelar tenis mini terpanjang di Indonesia yang nantinya masuk MURI. Pokoknya, banyak angan-angan yang disampaikannya. Saya sangat tertarik, karena apa yang disampaikannya penuh strategi, taktis dan hebat.
“Kita pengurus memang baru saja dilantik, namun belum menyusun program. Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini, kita akan menggelar rapat kerja untuk menyusun program. Setelah program itu tersusun, barulah kita mulai kerja,” papar Pak Edi.
Tanpa terasa, satu jam sudah saya dan Pak Edi ngobrol soal tenis. Hand phone saya berdering nada panggilan masuk. Ternyata istri saya minta dijemput. Sayapun mohon maaf ke Pak tidak bisa melanjutkan pembicaraan, saya mesti menjemput istri tercinta.
“Nanti kita lanjutkan lagi Pak Edi. Pokoknya, saya siap membantu mempublikasikan tenis seperti saat saya masih jadi wartawan olahraga. Yang penting, ditelepon saja saya, nanti anak buah diutus untuk meliput,” pesan saya ke Pak Edi. Diapun mengatakan berterima kasih ikut kembali peduli kepada tenis. “Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan memajukan tenis di daerah kita sendiri,” ucapnya.
Reborn tenis mini sudah saatnya bangkit di Bumi Khatulistiwa. Sudah lama cabang olahraga ini tidur. Saatnya Kalbar menghasilkan atlet tenis yang bisa mengharumkan nama Kalbar. Bila perlu dari Kalbar, atlet tenisnya bisa mengharumkan Indonesia di tingkat nasional. Terkesan muluk-muluk, memang. Namun, selama pengurus tenis serius dan sungguh-sungguh, cita-cita besar itu pasti akan terwujud. *
Sekitar tahun 2001, ketika itu saya masih menjadi wartawan olahraga di Harian Equator. Hampir tidak ada satupun cabang olahraga yang luput dari liputan saya. Semua mendapatkan porsi sama. Namun, di antara sekian banyak cabang olahraga, cabang tenis lapangan yang rasanya sangat berkesan bagi saya ketika itu. Walaupun saya tidak pandai main tenis, tapi saya sangat senang meliput cabang yang masih ber-image olahraga orang kaya itu.
Apa yang membuat saya terkesan? Tenis ketika digarap penuh semangat dan serius oleh pengurusnya. Cabang olahraga lain, paling besar hanya tingkat lokal. Tapi, tenis ketika itu digarap secara nasional. Ada lagi yang menarik, tenis digarap secara massal. Tidak hanya untuk orang dewasa, melainkan anak-anak di tingkat SD. Saat itu ada namanya tenis mini. Cukup ada lapangan di sekolah, apakah itu tanah, semen atau aspal tidak masalah. Lapangan itu dikasih garis mengikuti luas dan lebar lapangan tenis mini. Oleh pengurus tenis, sekolah disumbangkan bola dan tenis mini. Hampir setiap sekolah dasar mendapatkan bantuan itu.
Tenis ketika itu benar-benar massal. Gairah orang untuk bermain tenis sangat tinggi. Dari program pemassalan tenis di tingkat SD membuahkan hasil manis. Di tingkat nasional, Kalbar berhasil juara. Mungkin itulah pertamanya kalinya Kalbar bisa mengukir prestasi nasional. Sang juara tenis mini saya blow up besar-besar di halaman olahraga. Tidak cukup itu, si pemain tenis itu saya wawancarai khusus. Beritanya satu halaman penuh.
Kemudian, satu hal lagi yang membuat berkesan, pengurus tenis ketika itu berhasil mendatangkan pengurus International Tennis Federation (ITF) asal Inggris berdarah India, Suresh Menon di Pontianak. Saya kaget, kok bisa orang sekelas Suresh Menon didatangkan pengurus tenis selevel Kalbar. Saya benar-benar menjadikan kedatangan Suresh sebagai berita utama. Dari sebelum kedatangan sampai dia kembali ke negaranya, saya liput secara serius. Apalagi ketika dia memberikan coaching clinic ke pemain junior, itu adalah berita penting bagi saya.
Setelah itu, ada lagi kedatangan mantan ratu tenis Indonesia , Yayuk Basuki. Juga hadir Romana Teja Kusuma dan Martina Wijaya, Tintus Aribowo, Wyne Prakhusya. Tidak satupun aktivitas mereka saya lewatkan. Saya beritakan dengan harapan bisa menjadi motivasi bagi seluruh petenis di Kalbar. Jadi, ketika itu, tenis benar-benar hidup. Bahkan, bisa saya katakan era tahun 2001 itu, era kejayaan tenis di Kalbar.
Tiba-tiba terjadi pergantian pengurus tenis di tingkat Kalbar. Ketika awal kerja pengurus baru ini, jalannya perkembangan tenis seperti biasa. Namun, beberapa bulan kemudian, terjadi intrik antar pengurus. Kondisi ini membuat perkembangan tenis Kalbar sedikit demi sedikit mulai mundur. Hampir tidak ada kegiatan tenis yang layak untuk diberitakan.
Pas ketika itu saya dimutasikan ke Biro Landak. Semenjak menjadi Kepala Biro Landak liputan saya tidak lagi di olahraga, melainkan di seluruh bidang. Areanya tidak lagi di Pontianak , melainkan hanya Landak saja. Semenjak itu, hubungan saya dengan pengurus tenis di Kalbar terputus. Semenjak itu juga liputan untuk cabang tenis sangat sepi. Wartawan olahraga pengganti saya juga merasakan bahwa hanya cabang tenis miskin kegiatan. Dalam satu satu, berita tentang tenis bisa dihitung dengan jari. Ini membuktikan bahwa tenis benar-benar terpuruk ketika itu.
Sekitar empat tahun di Landak, saya dipromosikan menjadi redaktur olahraga. Sayapun ditarik dari Landak ke Pontianak lagi. Tahun 2001 lalu saya berstatus wartawan olahraga. Empat tahun kemudian saya kembali ke Pontianak dari Landak dengan status redaktur olahraga. Sebagai langkah awal, saya sedikit bernostalgia dengan kawan-kawan pengurus olahraga yang dulu dekat. Satu per satu saya silaturahmi dengan para pengurus olahraga. Di antara pengurus, ada yang lupa dengan nama saya. Mungkin karena terlalu lama berada di Landak. Termasuklah pengurus tenis Kalbar juga saya kunjungi ke rumahnya. Dia senang saya berkunjung ke rumahnya. Saya bilang, jika ada kegiatan tenis, tolong ditelepon saya. Nanti, anak buah saya yang akan meliputnya. Setelah itu, saya tunggu-tunggu tidak ada telepon dari pengurus itu. Saya berpikir, mungkin tidak ada kegiatan yang membuatnya tidak telepon.
Kurang lebih satu tahun saya menjadi redaktur olahraga, rasanya tidak pernah saya mengedit berita tenis. Di sini membuktikan bahwa tenis Kalbar benar-benar berada di dasar kemunduran. Zulkarnaen Rustam, seorang pelatih tenis yang sangat kenal, biasanya sering menelepon apabila ada kegiatan tenis. Semenjak jadi redaktur, Zulkarnain juga tidak pernah menelepon. Saat ketemu, dia bilang memang tidak ada lagi turnamen, coaching clinic atau pemusatan latihan. Semua vacuum.
Pada 9 Februari, sekitar pukul 20.00, tiba-tiba hand phone saya berdering. “Hallo, dengan Pak Rosadi, ya?” kata orang di ujung telepon. “Ya, benar, dengan siapa, ya?” tanya saya balik. “Dengan Pak Eddy, yang dulu kita sama-sama aktif di tenis,” jawabnya. “O, ya! Pak Eddy, saya ingat, gimana kabarnya Pak Eddy?” tanya saya lagi. “Baik-baik, aja!” jawabnya.
Saya dan Pak Eddy-pun terlibat pembicaraan di hand phone cukup panjang. Salah satu yang dibicarakan adalah mengenai web tenis Kalbar. Dia mengatakan telah membuat web tenis dengan tujuan, pemerhati dan pencinta tenis bisa membaca web itu. Setiap perkembangan tenis akan ditampilkan di web itu. Saya coba buka web itu, dan saya melihat terjadi perubahan pengurus. Saya baru tahu telah terjadi pergantian pengurus. Ketuanya, Chairil Effendi yang juga Rektor Untan. Nama Pak Eddy juga ada. Dia menjabat sebagai ketua bidang pengembangan dan pemassalan. Cuma, ada beberapa bagian yang masih kosong.
“Memang masih banyak kosong, Pak Rosadi! Itu sebabnya saya telepon Pak Rosadi dengan harapan bisa membantu mengisi web itu agar penuh dengan berita tentang tenis,” kata Pak Eddy. “Baiklah, saya coba bantu. Kapan kita bisa ketemu?” tanya saya. Kamipun bicara janji untuk ketemu. Saya juga kangen dengan Pak Eddy. Saya tahu dia memang concern memajukan tenis. Dia rela berkorban untuk tenis. Dia bisa menggunakan link internasionalnya untuk membangun tenis Kalbar. Saya tahu dia adalah dosen Teknik Untan alumni luar negeri.
Pada 11 Februari, saya dan Pak Eddy ketemu di salah satu warung di Jalan Zainudin Pontianak sekitar pukul 14.00. Dalam pertemuan itu kami mencoba mengulang nostalgia tenis tahun 2001 itu. Dia mengakui, tahun itu adalah tahun kebangkitan tenis Kalbar. Sayang, dia tidak akur dengan pengurus pada waktu itu membuatnya enggan membantu memajukan tenis.
“Sekarang, kita sudah jadi pengurus. Kebetulan saya dan Pak Chairil sangat dekat. Bahkan, tahun kemarin (2008, red) kami sempat jalan-jalan ke Eropa untuk melihat perkembangan tenis di sana . Saya memang akur dengan Pak Chairil. Inilah saatnya kita kembali bangkitkan tenis, seperti kita dulu lagi,” jelas Pak Eddy sambil menyantap sepiring Somai Bandung dan es ketan.
Pak Edi yang juga seorang pengusaha lampu listrik ternama di Kalbar ini menjabarkan secara umum program kerja yang akan dijalankannya. Salah satu program utamanya akan kembali memassalkan tenis mulai dari tingkat SD. Dia mencontohkan, jika 30 ribu SD di Kalbar ada program tenis lapangan, berapa banyak atlet tenis yang dihasilkan. Sekolah itu akan dibantu raket dan bola. Guru olahraganya diberikan pelatihan. Dalam satu sekolah, cukup 10 anak saja. Bisa dibayangkan jika tiap SD menghasilkan 10 pemain tenis mini, bisa menghasilkan 300 ribu pemain. Setelah itu dibentuk klub tenis mini di setiap daerah. Lalu, para pemain itu diadu secara regular setiap bulan atau triwulan.
“Saya yakin dengan program tenis mini ini, kita bisa seperti tahun 2001 lalu. Kita bisa kembali meraih juara nasional. Kita akan mulai dari tenis mini dulu. Saya yakin inilah era baru tenis di Kalbar. Reborn tenis mini atau tenis mini lahir kembali,” papar Pak Edi penuh semangat.
Dalam angan-angannya, apabila tenis mini terwujud, dia akan mengusulkan ke Pelti pusat untuk menjadi Kalbar tuan rumah nasional. Bahkan, dia berangan akan menggelar tenis mini terpanjang di Indonesia yang nantinya masuk MURI. Pokoknya, banyak angan-angan yang disampaikannya. Saya sangat tertarik, karena apa yang disampaikannya penuh strategi, taktis dan hebat.
“Kita pengurus memang baru saja dilantik, namun belum menyusun program. Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini, kita akan menggelar rapat kerja untuk menyusun program. Setelah program itu tersusun, barulah kita mulai kerja,” papar Pak Edi.
Tanpa terasa, satu jam sudah saya dan Pak Edi ngobrol soal tenis. Hand phone saya berdering nada panggilan masuk. Ternyata istri saya minta dijemput. Sayapun mohon maaf ke Pak tidak bisa melanjutkan pembicaraan, saya mesti menjemput istri tercinta.
“Nanti kita lanjutkan lagi Pak Edi. Pokoknya, saya siap membantu mempublikasikan tenis seperti saat saya masih jadi wartawan olahraga. Yang penting, ditelepon saja saya, nanti anak buah diutus untuk meliput,” pesan saya ke Pak Edi. Diapun mengatakan berterima kasih ikut kembali peduli kepada tenis. “Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan memajukan tenis di daerah kita sendiri,” ucapnya.
Reborn tenis mini sudah saatnya bangkit di Bumi Khatulistiwa. Sudah lama cabang olahraga ini tidur. Saatnya Kalbar menghasilkan atlet tenis yang bisa mengharumkan nama Kalbar. Bila perlu dari Kalbar, atlet tenisnya bisa mengharumkan Indonesia di tingkat nasional. Terkesan muluk-muluk, memang. Namun, selama pengurus tenis serius dan sungguh-sungguh, cita-cita besar itu pasti akan terwujud. *
Demam Pemekaran
Rosadi Jamani
Pada era Orde Baru, Kalbar hanya tujuh daerah tingkat II (kabupaten/kota) yakni Sambas, Kabupaten Pontianak, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu, Ketapang dan Kota Madya Pontianak. Begitu era reformasi muncul dan terbitnya undang-undang otonomi daerah, banyak daerah ingin membentuk kabupaten/kota sendiri. Maka, lahirlah Kabupaten Landak, Bengkayang, Melawi, Sekadau, Kota Singkawang, Kayong Utara dan terakhir Kubu Raya. Jadi, saat ini Bumi Khatulistiwa sudah memiliki 14 kabupaten/kota.
Sudah cukupkah itu jumlah kabupaten/kota yang ada itu? Ternyata belum. Sejumlah daerah masih ngotot untuk membentuk kabupaten sendiri. Tidak tanggung-tanggung, Kabupaten Sanggau, Sekadau, Melawi, Sintang dan Kapuas Hulu ingin memisahkan diri dari Kalbar dan membentuk Provinsi Kapuas Raya. Upaya pembentukan ini masih berlangsung. Seluruh persyaratan telah dipenuhi. Katanya, tinggal pengesahan saja. Sayang, sepertinya tahun ini Kapuas Raya belum bisa disahkan mengingat orang-orang di Istana Negara dan Senayan sedang disibukkan Pemilu dan Pilpres. Oke, Kapuas Raya tinggal selangkah lagi, namun faktanya sampai sekarang memang belum terbentuk.
Belum juga itu terwujud, tiba-tiba muncul aspirasi lain dari Ketapang. Ada masyarakat yang ingin daerah menjadi kabupaten baru. Tidak hanya satu, melainkan dua kabupaten baru. Belum juga prosesnya sampai ke Dewan atau direspons Bupati Ketapang, muncul lagi wacana untuk menjadikan Ketapang sebagai provinsi baru. Ada caleg untuk DPR RI siap pasang badan untuk memperjuangkan Ketapang jadi provinsi. Tapi, dengan catatan terpilih sebagai anggota DPR RI.
Belum hilang cerita pembentukan kabupaten dan provinsi baru itu, muncul lagi pembentukan Kabupaten Tayan dan Sekayam. Sanggau yang pernah melahirkan Sekadau, sekarang harus dipaksa melahirkan untuk dua anak baru, Tayan dan Sekayam. Upaya tersebut sangat serius, dan pekan depan akan dilakukan paripurna.
Sebelum ini juga ada muncul upaya pembentukan kabupaten baru di Landak. Panitia sudah terbentuk. Mereka siap-siap melakukan gebrakan agar Bupati dan Dewan mau meneken persetujuan. Tahun sebelumnya juga ada muncul di Kabupaten Sambas, ada warganya ingin membentuk Kabupaten Sambas Pesisir dan Sambas Utara. Namun, semangat pembentukan itu melemah, dan sudah tidak lagi kedengaran. Sementara itu, di Kapuas Hulu juga ada daerah yang ingin membentuk daerah otonomi baru. Lalu, di Bengkayang yang baru lahir kemudian dipaksa melahirkan Kota Singkawang, juga pernah muncul semangat sama, membentuk Kabupaten Sungai Raya.
Jadilah semua itu sebagai demam pemekaran. Timbul pertanyaan, kenapa muncul demam pemekaran seperti itu? Ada dua kemungkinan, pertama karena pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten tidak pandai menjalankan roda pemerintahan. Tidak pandai membagi kue pembangunan. Hal ini menyebabkan “kemarahan” dari daerah yang ingin membentuk provinsi atau kabupaten baru ini. Coba perhatikan alasan mereka selalu menyatakan tidak diperhatikan. Lebih ekstrem dianaktirikan. Atau sumber kekayaan hanya diambil, tapi tidak ada kontribusi buat daerahnya. Kedua, karena ingin bagi-bagi kekuasaan. Dengan adanya provinsi atau kabupaten baru, paling tidak peluang elite politik di daerah akan besar. Terlepas dari itu semua, pembentukan daerah baru sebenarnya tidak ada yang rugi. Kita ingin tanya, siapa yang dirugikan di situ, tidak ada. Pemerintah pusat katanya kesulitan bagi-bagi APBN. APBN itu porsinya lebih baik dibagikan ke daerah, dari pada terus digarap orang-orang pusat. Jakarta itu sudah sumpek dan sebentar lagi tenggelam. Jawa itu sudah penuh dengan pembangunan. Jadi, jangan terpengaruh moratorium pemekaran daerah. Itu hanya akal-akalan pusat untuk tetap mendapatkan kue APBN yang besar.*
Pada era Orde Baru, Kalbar hanya tujuh daerah tingkat II (kabupaten/kota) yakni Sambas, Kabupaten Pontianak, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu, Ketapang dan Kota Madya Pontianak. Begitu era reformasi muncul dan terbitnya undang-undang otonomi daerah, banyak daerah ingin membentuk kabupaten/kota sendiri. Maka, lahirlah Kabupaten Landak, Bengkayang, Melawi, Sekadau, Kota Singkawang, Kayong Utara dan terakhir Kubu Raya. Jadi, saat ini Bumi Khatulistiwa sudah memiliki 14 kabupaten/kota.
Sudah cukupkah itu jumlah kabupaten/kota yang ada itu? Ternyata belum. Sejumlah daerah masih ngotot untuk membentuk kabupaten sendiri. Tidak tanggung-tanggung, Kabupaten Sanggau, Sekadau, Melawi, Sintang dan Kapuas Hulu ingin memisahkan diri dari Kalbar dan membentuk Provinsi Kapuas Raya. Upaya pembentukan ini masih berlangsung. Seluruh persyaratan telah dipenuhi. Katanya, tinggal pengesahan saja. Sayang, sepertinya tahun ini Kapuas Raya belum bisa disahkan mengingat orang-orang di Istana Negara dan Senayan sedang disibukkan Pemilu dan Pilpres. Oke, Kapuas Raya tinggal selangkah lagi, namun faktanya sampai sekarang memang belum terbentuk.
Belum juga itu terwujud, tiba-tiba muncul aspirasi lain dari Ketapang. Ada masyarakat yang ingin daerah menjadi kabupaten baru. Tidak hanya satu, melainkan dua kabupaten baru. Belum juga prosesnya sampai ke Dewan atau direspons Bupati Ketapang, muncul lagi wacana untuk menjadikan Ketapang sebagai provinsi baru. Ada caleg untuk DPR RI siap pasang badan untuk memperjuangkan Ketapang jadi provinsi. Tapi, dengan catatan terpilih sebagai anggota DPR RI.
Belum hilang cerita pembentukan kabupaten dan provinsi baru itu, muncul lagi pembentukan Kabupaten Tayan dan Sekayam. Sanggau yang pernah melahirkan Sekadau, sekarang harus dipaksa melahirkan untuk dua anak baru, Tayan dan Sekayam. Upaya tersebut sangat serius, dan pekan depan akan dilakukan paripurna.
Sebelum ini juga ada muncul upaya pembentukan kabupaten baru di Landak. Panitia sudah terbentuk. Mereka siap-siap melakukan gebrakan agar Bupati dan Dewan mau meneken persetujuan. Tahun sebelumnya juga ada muncul di Kabupaten Sambas, ada warganya ingin membentuk Kabupaten Sambas Pesisir dan Sambas Utara. Namun, semangat pembentukan itu melemah, dan sudah tidak lagi kedengaran. Sementara itu, di Kapuas Hulu juga ada daerah yang ingin membentuk daerah otonomi baru. Lalu, di Bengkayang yang baru lahir kemudian dipaksa melahirkan Kota Singkawang, juga pernah muncul semangat sama, membentuk Kabupaten Sungai Raya.
Jadilah semua itu sebagai demam pemekaran. Timbul pertanyaan, kenapa muncul demam pemekaran seperti itu? Ada dua kemungkinan, pertama karena pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten tidak pandai menjalankan roda pemerintahan. Tidak pandai membagi kue pembangunan. Hal ini menyebabkan “kemarahan” dari daerah yang ingin membentuk provinsi atau kabupaten baru ini. Coba perhatikan alasan mereka selalu menyatakan tidak diperhatikan. Lebih ekstrem dianaktirikan. Atau sumber kekayaan hanya diambil, tapi tidak ada kontribusi buat daerahnya. Kedua, karena ingin bagi-bagi kekuasaan. Dengan adanya provinsi atau kabupaten baru, paling tidak peluang elite politik di daerah akan besar. Terlepas dari itu semua, pembentukan daerah baru sebenarnya tidak ada yang rugi. Kita ingin tanya, siapa yang dirugikan di situ, tidak ada. Pemerintah pusat katanya kesulitan bagi-bagi APBN. APBN itu porsinya lebih baik dibagikan ke daerah, dari pada terus digarap orang-orang pusat. Jakarta itu sudah sumpek dan sebentar lagi tenggelam. Jawa itu sudah penuh dengan pembangunan. Jadi, jangan terpengaruh moratorium pemekaran daerah. Itu hanya akal-akalan pusat untuk tetap mendapatkan kue APBN yang besar.*
Senin, 09 Februari 2009
Cap Go Meh
Rosadi Jamani
Tradisi Cap Go Meh (CGM) berlangsung meriah di Kota Pontianak dan Singkawang, kemarin (10/2). Kekhawatiran terjadi gangguan, ternyata tidak terbukti. CGM yang sudah menjadi kalender wisata nasional aman dan tertib. Di sini membuktikan bahwa CGM bukan hanya milik etnis Tionghoa melainkan milik masyarakat Kalbar secara umum.
Dalam perayaan ritual tahunan itu, ribuan warga Kalbar ikut larut menyaksikannya. Tidak hanya warga Kalbar, melainkan juga turis mancanegara. Semua berdetak kagum ternyata ada adat istiadat yang begitu menarik untuk disaksikan. Bagi yang suka hiburan dan adat istiadat, CGM tidak sekadar ritual tetapi sebuah entertainment megah yang patut dibanggakan oleh rakyat di Bumi Khatulistiwa.
Sebelum ritual itu memang ada berseliuran pamphlet dan selebaran yang mengajak orang untuk tidak menyaksikan CGM. Katanya, CGM bagian dari ritual ibadah. CGM bukanlah permainan. Oleh sebab itu, orang yang mengaku umat Islam dilarang menontonnya. Menonton berarti ikut ibadah agama Konghucu. Kira-kira demikian CGM diterjemahkan oleh selebaran yang tersebar luas di masyarakat.
Ternyata, masyarakat sekarang lebih cerdas. Tidak mudah terprovokasi selebaran tersebut. Tetap saja banyak orang yang bertitelkan agama Islam menyaksikan CGM. Banyak di antara mereka berpikir dan berpendapat, CGM tidak lebih sebuah hiburan yang sangat menarik. Sungguh sangat rugi untuk dilewatkan begitu saja. Mereka juga berpendapat, semua perbuatan itu ditentukan oleh niat.
“Saya dari rumah datang ke Gajah Mada hanya untuk menonton tatung dan arakan naga. Niat saya hanya itu. Masa nonton itu dibilang ibadah. Ibadah itu ada niat dan rukunnya,” kata Ahmad Husain warga Kota Baru Pontianak Selatan, kemarin.
Jangan dilihat CGM dari sisi politik. Lihatlah CGM bagian dari budaya Kalbar yang sudah ada ratusan tahun lalu. Selain itu, lihatkan CGM itu juga indikator pertumbuhan ekonomi. Dari CGM ini, semua hotel pada penuh. Ini artinya, pengusaha hotel sangat bergairah. Di dalam hotel itu ada ribuan pekerja. Berapa banyak orang diuntungkan dari CGM ini. Belum lagi pedagang kaki lima, sopir, jasa angkutan seperti bis, pesawat dan sebagainya. Kita yakin, semua itu tidak akan dinikmati apabila Kalbar ini tidak aman. Apakah kita mau Kalbar tidak aman? Tidak ada satupun orang di negeri yang menginginkan daerahnya tidak aman. Semua ingin aman. Untuk itu, mari saling tenggang rasa, hormat-menghormati. Jangan curiga yang tidak beralasan!
Tradisi Cap Go Meh (CGM) berlangsung meriah di Kota Pontianak dan Singkawang, kemarin (10/2). Kekhawatiran terjadi gangguan, ternyata tidak terbukti. CGM yang sudah menjadi kalender wisata nasional aman dan tertib. Di sini membuktikan bahwa CGM bukan hanya milik etnis Tionghoa melainkan milik masyarakat Kalbar secara umum.
Dalam perayaan ritual tahunan itu, ribuan warga Kalbar ikut larut menyaksikannya. Tidak hanya warga Kalbar, melainkan juga turis mancanegara. Semua berdetak kagum ternyata ada adat istiadat yang begitu menarik untuk disaksikan. Bagi yang suka hiburan dan adat istiadat, CGM tidak sekadar ritual tetapi sebuah entertainment megah yang patut dibanggakan oleh rakyat di Bumi Khatulistiwa.
Sebelum ritual itu memang ada berseliuran pamphlet dan selebaran yang mengajak orang untuk tidak menyaksikan CGM. Katanya, CGM bagian dari ritual ibadah. CGM bukanlah permainan. Oleh sebab itu, orang yang mengaku umat Islam dilarang menontonnya. Menonton berarti ikut ibadah agama Konghucu. Kira-kira demikian CGM diterjemahkan oleh selebaran yang tersebar luas di masyarakat.
Ternyata, masyarakat sekarang lebih cerdas. Tidak mudah terprovokasi selebaran tersebut. Tetap saja banyak orang yang bertitelkan agama Islam menyaksikan CGM. Banyak di antara mereka berpikir dan berpendapat, CGM tidak lebih sebuah hiburan yang sangat menarik. Sungguh sangat rugi untuk dilewatkan begitu saja. Mereka juga berpendapat, semua perbuatan itu ditentukan oleh niat.
“Saya dari rumah datang ke Gajah Mada hanya untuk menonton tatung dan arakan naga. Niat saya hanya itu. Masa nonton itu dibilang ibadah. Ibadah itu ada niat dan rukunnya,” kata Ahmad Husain warga Kota Baru Pontianak Selatan, kemarin.
Jangan dilihat CGM dari sisi politik. Lihatlah CGM bagian dari budaya Kalbar yang sudah ada ratusan tahun lalu. Selain itu, lihatkan CGM itu juga indikator pertumbuhan ekonomi. Dari CGM ini, semua hotel pada penuh. Ini artinya, pengusaha hotel sangat bergairah. Di dalam hotel itu ada ribuan pekerja. Berapa banyak orang diuntungkan dari CGM ini. Belum lagi pedagang kaki lima, sopir, jasa angkutan seperti bis, pesawat dan sebagainya. Kita yakin, semua itu tidak akan dinikmati apabila Kalbar ini tidak aman. Apakah kita mau Kalbar tidak aman? Tidak ada satupun orang di negeri yang menginginkan daerahnya tidak aman. Semua ingin aman. Untuk itu, mari saling tenggang rasa, hormat-menghormati. Jangan curiga yang tidak beralasan!
Minggu, 08 Februari 2009
Arogansi Polisi
Rosadi Jamani
Kapolda Kalbar yang baru, Brigjend Erwin Lumban Tobing di awal amanatnya menegaskan, polisi tidak boleh arogan dengan masyarakat. Mendengar pernyataan itu, sangat sejuk. Ini artinya polisi lebih mengedepankan sisi humanisme ketimbang arogansi sebagai penegak hukum. Pernyataan itu juga mengindikasikan polisi benar-benar dekat dengan masyarakat.
Tapi, apakah itu langsung direspons oleh polisi yang berada di jajaran bawah? Sepertinya tidak. Kasus penganiayaan dan penodongan tiga warga Ngabang, Jumat (6/2) malam membuktikan bahwa instruksi Kapolda dianggap angin lalu. Walaupun yang menganiaya dan menondong warga itu belum dipastikan polisi, tapi dari ciri-cirinya jelas itu polisi. Buktinya, warga harus mengeluruk ke Mapolres Landak mencari oknum polisi yang melakukan tindakan keji itu.
Terlepas benar atau tidak kejadian itu dalangnya polisi, yang jelas ada penganiayaan dan penodongan di tengah masyarakat. Yang membuat kita kaget, ada orang seenaknya bawa pistol dan menodongkannya ke warga. Di Indonesia ini, ada dua kemungkinan orang bawa pistol, kalau bukan polisi, pastilah penjahat. Kalau polisi bawa pistol untuk menangkap penjahat. Sementara kalau penjahat bawa pistol untuk merampok, mencuri atau membunuh. Kejadian di depan Gedung DPRD Landak itu tidak memperlihatkan dua tujuan itu. Tiga pemuda yang menjadi objek penganiayaan hanya dianiaya dan ditodong. Kemudian, tiga pemuda itu bukan penjahat. Bukan juga residivis. Mereka warga Ngabang yang ingin nongkrong untuk melepas penat setelah seharian bekerja.
Tiga warga itu juga tidak membawa barang berharga yang mencolok. Mereka hanya murni ingin nyantai. Tiba-tiba mereka diminta berhenti oleh orang yang juga lagi nongkrong di depan gedung rakyat itu. Tanpa ampun mereka langsung dihajar. Tidak hanya itu, laki-laki yang rata-rata bawa pistol itu dengan arogan menodongkan pistol itu. Jelas saja warga yang tidak tahu-menahu itu gemetaran. Maklum, yang ditempel ke kepala mereka bukannya kayu atau benda tumpul, melainkan pistol. Sekali meledup, kepala warga itu pastilah bolong. Untung saja hanya penganiayaan dan penodongan, tidak sampai pada pembunuhan.
Tapi, warga yang ditodong itu punya harga diri. Tidak bisa ditodong begitu saja. Dia lapor ke keluarganya bahwa baru saja mereka dianiaya dan ditodong pakai pistol oleh polisi. Puluhan warga lainnya mencari oknum polisi itu di markasnya. Mereka tidak ketemu. Wakapolres Landak tanggap dan menerima kedatangan warga itu. Dia berjanji akan menghukum seberat-beratnya apabila benar anak buahnya melakukan tidak terpuji itu. Hanya ucapan itu yang didapatkan warga. Sementara si oknum yang diduga polisi lenyap sambil membawa pistol.
Kalau pihak Mapolres Landak mau, sangat mudah membuktikan kejadian itu, apakah polisi atau penjahat yang beraksi meresahkan warga. Mapolres pasti tahu siapa saja polisi yang membawa pistol. Sebab, yang membawa pistol sudah teregistrasi. Maksudnya, yang membawa pistol itu telah terdata, nama, pangkat, dan jabatan. Tidak semua polisi di Mapolres itu diizinkan membawa pistol. Hanya polisi-polisi tertentu saja yang dibolehkan. Yang membawa pistol itu tinggal dipanggil atau dikumpulkan dalam satu aula. Ditanya, malam Jumat itu ke mana saja mereka. Di antara mereka pasti ada yang sedang piket atau lagi off. Ditanya lagi dari pukul 21.00 sampai 22.00 (saat kejadian) ke maja saja mereka. Kalau ada yang bilang pergi ke rumah teman, ke kafe, atau tidur di asrama, itu semua bisa dikonfrontir. Kita yakin, di antara polisi itu pasti ketahuan. Polisi sendiri paling jago membuktikan sebuah kejadian. Kalau juga tidak ada yang mengaku, berarti memang bukan polisi.
Lantas, dugaan selanjutnya adalah penjahat. Landak tidak memiliki catatan kejahatan menggunakan pistol. Kalau senapan lantak, iya. Kemudian, mana ada penjahat bawa pistol dengan santai nongkrong di depan kantor Dewan. Dugaan kuat memang jatuh pada polisi. Kapolda Kalbar yang baru memang harus membuktikan bahwa anak buahnya tidak arogan lagi.*
Kapolda Kalbar yang baru, Brigjend Erwin Lumban Tobing di awal amanatnya menegaskan, polisi tidak boleh arogan dengan masyarakat. Mendengar pernyataan itu, sangat sejuk. Ini artinya polisi lebih mengedepankan sisi humanisme ketimbang arogansi sebagai penegak hukum. Pernyataan itu juga mengindikasikan polisi benar-benar dekat dengan masyarakat.
Tapi, apakah itu langsung direspons oleh polisi yang berada di jajaran bawah? Sepertinya tidak. Kasus penganiayaan dan penodongan tiga warga Ngabang, Jumat (6/2) malam membuktikan bahwa instruksi Kapolda dianggap angin lalu. Walaupun yang menganiaya dan menondong warga itu belum dipastikan polisi, tapi dari ciri-cirinya jelas itu polisi. Buktinya, warga harus mengeluruk ke Mapolres Landak mencari oknum polisi yang melakukan tindakan keji itu.
Terlepas benar atau tidak kejadian itu dalangnya polisi, yang jelas ada penganiayaan dan penodongan di tengah masyarakat. Yang membuat kita kaget, ada orang seenaknya bawa pistol dan menodongkannya ke warga. Di Indonesia ini, ada dua kemungkinan orang bawa pistol, kalau bukan polisi, pastilah penjahat. Kalau polisi bawa pistol untuk menangkap penjahat. Sementara kalau penjahat bawa pistol untuk merampok, mencuri atau membunuh. Kejadian di depan Gedung DPRD Landak itu tidak memperlihatkan dua tujuan itu. Tiga pemuda yang menjadi objek penganiayaan hanya dianiaya dan ditodong. Kemudian, tiga pemuda itu bukan penjahat. Bukan juga residivis. Mereka warga Ngabang yang ingin nongkrong untuk melepas penat setelah seharian bekerja.
Tiga warga itu juga tidak membawa barang berharga yang mencolok. Mereka hanya murni ingin nyantai. Tiba-tiba mereka diminta berhenti oleh orang yang juga lagi nongkrong di depan gedung rakyat itu. Tanpa ampun mereka langsung dihajar. Tidak hanya itu, laki-laki yang rata-rata bawa pistol itu dengan arogan menodongkan pistol itu. Jelas saja warga yang tidak tahu-menahu itu gemetaran. Maklum, yang ditempel ke kepala mereka bukannya kayu atau benda tumpul, melainkan pistol. Sekali meledup, kepala warga itu pastilah bolong. Untung saja hanya penganiayaan dan penodongan, tidak sampai pada pembunuhan.
Tapi, warga yang ditodong itu punya harga diri. Tidak bisa ditodong begitu saja. Dia lapor ke keluarganya bahwa baru saja mereka dianiaya dan ditodong pakai pistol oleh polisi. Puluhan warga lainnya mencari oknum polisi itu di markasnya. Mereka tidak ketemu. Wakapolres Landak tanggap dan menerima kedatangan warga itu. Dia berjanji akan menghukum seberat-beratnya apabila benar anak buahnya melakukan tidak terpuji itu. Hanya ucapan itu yang didapatkan warga. Sementara si oknum yang diduga polisi lenyap sambil membawa pistol.
Kalau pihak Mapolres Landak mau, sangat mudah membuktikan kejadian itu, apakah polisi atau penjahat yang beraksi meresahkan warga. Mapolres pasti tahu siapa saja polisi yang membawa pistol. Sebab, yang membawa pistol sudah teregistrasi. Maksudnya, yang membawa pistol itu telah terdata, nama, pangkat, dan jabatan. Tidak semua polisi di Mapolres itu diizinkan membawa pistol. Hanya polisi-polisi tertentu saja yang dibolehkan. Yang membawa pistol itu tinggal dipanggil atau dikumpulkan dalam satu aula. Ditanya, malam Jumat itu ke mana saja mereka. Di antara mereka pasti ada yang sedang piket atau lagi off. Ditanya lagi dari pukul 21.00 sampai 22.00 (saat kejadian) ke maja saja mereka. Kalau ada yang bilang pergi ke rumah teman, ke kafe, atau tidur di asrama, itu semua bisa dikonfrontir. Kita yakin, di antara polisi itu pasti ketahuan. Polisi sendiri paling jago membuktikan sebuah kejadian. Kalau juga tidak ada yang mengaku, berarti memang bukan polisi.
Lantas, dugaan selanjutnya adalah penjahat. Landak tidak memiliki catatan kejahatan menggunakan pistol. Kalau senapan lantak, iya. Kemudian, mana ada penjahat bawa pistol dengan santai nongkrong di depan kantor Dewan. Dugaan kuat memang jatuh pada polisi. Kapolda Kalbar yang baru memang harus membuktikan bahwa anak buahnya tidak arogan lagi.*
Langganan:
Postingan (Atom)