Sabtu, 28 Februari 2009

Asa di Tengah Perkebunan Sawit

Oleh Rosadi Jamani

Pada masa Gubernur Kalbar, H. Usman Ja’far mencanangkan sejuta hektare perkebunan kelapa sawit. Program ini diluncurkan mengingat banyak lahan kosong atau ketersediaan areal yang belum dimanfaatkan maksimal oleh masyarakat. Selain itu, runtuhnya industri kayu yang sebelumnya menjadi primadona Kalbar menyebabkan banyak pengangguran. Dengan adanya program sejuta sawit itu akan menyerap ribuan tenaga kerja dan akan memanfaatkan lahan kosong menjadi produktif. Program ini memperlihatkan wujud nyatanya dengan banyak investor perkebunan kelapa sawit masuk ke Kalbar. Sampai sekarang (di masa Gubernur, Drs. Cornelis, MH), investor masuk banyak mencari lahan kosong untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Program tersebut sempat mendapat penolakan dari pencinta lingkungan hidup. Sebab, dengan adanya program itu akan banyak hutan dibabat. Hal tersebut bisa menimbulkan keseimbangan ekosistem antara manusia dan lingkungan. Bencana alam seperti banjir, tanah longsor, kekurangan air bersih dan sebagainya bisa muncul dibuatnya. Selain itu, program yang katanya untuk menyejahterakan petani, justru banyak tidak sesuai dengan kenyataan. Banyak petani sawit yang justru masih tetap miskin. Tapi, Pemerintah Provinsi Kalbar beserta sejumlah pemerintah kabupaten/kota tidak menghentikan program sejuta sawit itu. Program itu masih tetap jalan sampai saat ini. Informasi terbaru, PT. Palm Agro Khatulistiwa akan menanamkan modalnya di bidang perkebunan kepala sawit di Kabupaten Sekadau (Equator, 27 Februari 2009).
Muncul pertanyaan, apakah benar perkebunan sawit bisa menyejahterakan petani? Pada 27 Februari 2009, saya ingin menjawab pertanyaan itu dengan pergi langsung ke perkampungan petani sawit di Dusun Seluang Danau Desa Amboyo Selatan Kecamatan Ngabang Kabupaten Landak. Pergi ke dusun itu saya menggunakan sepeda motor. Dari jalan raya menuju dusun itu kebetulan melewati jalan ke pabrik pengolahan Cruid Oil Palm (CPO) milik PT. Perusahaan Nasional XIII (Persero). Jalannya lumayan bagus, lebar dan sudah diaspal. Setelah lewat pabrik itu, jalan menuju dusun itu tidak lagi beraspal, melainkan tanah kuning. Saya harus berhati-hati melewati jalan itu, karena banyak lubang, becek dan tidak mulus. Sekitar setengah jam, saya tiba di dusun itu. Saya memilih rumah Ruslan petani plasma PTPN XIII di afdeling 13 plasma 8. Alasan saya memilih Ruslan, karena mendapatkan petunjuk dari Suwanto Ahua, Ketua Koperasi Serba Usaha (KSU) Harapan Kita. Ruslan merupakan anggota KSU Harapan Kita itu. Kenapa harus Ruslan? Menurut keterangan Suwanto Ahui, dia adalah petani paling miskin dari 350 kepala keluarga di dusun itu.
Sebelum sampai ke rumah Ruslan, dalam bayangan saya rumahnya pastilah gubuk, lantai papan, atap daun rumbia dan dinding kayu. Tapi, bayangan itu ternyata meleset. Begitu saya tiba di rumah Ruslan, ternyata rumahnya sudah dinding semen dengan cat hijau, atap seng, lantai kayu, ada sofa. Dia juga memiliki sepeda motor. Di rumahnya juga ada televisi menggunakan parabola. Lebih mengejutkan lagi, dua anaknya sedang kuliah. Anak pertama kuliah di Sekolah Pendidikan Agama Kristen di Ketapang dan satunya lagi di Program Studi Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak. Ada juga anaknya yang sudah bekerja di Ngabang. Muncul pertanyaan dalam hati, Ruslan yang kata Suwanto Ahua petani plasma sawit paling miskin di daerahnya, bagaimana dengan petani lainnya, tentu lebih hebat lagi. Bayangkan, Ruslan si petani miskin saja mampu mengkuliahkan dua anak. Rumahnya juga saya bilang bukanlah ukuran penduduk miskin.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) membuat 14 kriteria miskin, yakni: 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang; 2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan; 3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa plester; 4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama dengan rumah tangga lain; 5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik; 6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan; 7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah; 8. Hanya mengonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu; 9. Hanya membeli satu set pakaian baru dalam setahun; 10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari; 11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik; 12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: Petani dengan luas lahan 0.5 hektare, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000 per bulan; 13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD; 14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp. 500.000, seperti sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya (BKKBN, 2007: 12). Kriteria tersebut semuanya tidak masuk dalam keluarga Ruslan.
Pada saat pembagian Bantuan Tunai Langsung pada tahun 2005 dan 2008, tidak satu satupun di dusun itu mendapatkannya. Sebab, tidak satupun keluarga di dusun itu yang dikategorikan miskin. Kalau bukan keluarga miskin, berarti keluarga yang tinggal di dusun tersebut adalah keluarga sejahtera. Melihat kondisi rumah, rumah Ruslan terbilang paling sederhana dibandingkan keluarga lainnya. Mungkin inilah alasan Suwanto Ahui merekomendasikan dia untuk diwawancarai. Sementara rumah tetangga Ruslan memang terbilang mewah. Rata-rata besar, dinding dan lantai sudah pakai porselen. Atap tidak ada lagi yang rumbia. Seluruhnya memiliki sepeda motor. Bahkan, ada yang sudah memiliki mobil. Anak-anak mereka umumnya banyak kuliah di Pontianak dan Pulau Jawa. Tidak ada kesan miskin di dusun tersebut. Anggapan banyak orang, petani sawit banyak miskin ternyata tidak benar.
Dengan demikian, salah satu paradigma bisnis PTPN XIII memberi manfaat kepada alam dan lingkungan sekitar (www.ptpn13.com) berhasil diwujudkan. Dusun Seluang Danau tidak jauh dari kompleks pabrik CPO PTPN XIII ternyata warga hidupnya jauh lebih sejahtera dibandingkan warga pedesaan yang tidak perkebunan sawit di sekitarnya. Sebagai contoh Desa Mungguk Kecamatan Ngabang Kabupaten Landak, sekitar dua jam perjalanan darat menggunakan sepeda motor dari Dusun Seluang Danau. Di sekitar desa itu tidak ada perkebunan sawit dan warganya 90 persen petani. Di desa itu, pada pembagian BLT 2005, sekitar 25 kepala keluarga mendapatkan bantuan uang tunai itu (Harian Equator, 23 Juli 2005).
Saya bertanya, berapa pendapatan Ruslan yang hidup dengan 2 hektare sawit hasil konversi PTPN XIII tahun 1992? Sebelum menjawab itu, Ruslan sedikit menceritakan hidupnya. Sebelum menjadi petani plasma, dia adalah seorang petani padi ladang dan karet di Desa Sidas Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak. Pada tahun 1989, PTPN XIII membuka lowongan untuk petani plasma. Dia dan istrinya mendaftar dan diterima. Mereka kemudian tinggal di rumah yang dibuatkan PTPN XIII ukuran 5x5 dengan dinding papan dan atas seng. Dalam dua minggu mereka hanya mendapat Rp 30 ribu. Dengan pendapatan itu, mereka hanya untuk makan, tidak bisa untuk menambung atau membeli barang-barang seperti televisi, apalagi sepeda motor. Pada tahun 1992, PTPN XIII mengkorvensi lahan, dan Ruslan mendapatkan 1 kavling dengan 2 hektare tanah. Adanya pemberian lahan 2 hektare itu, kehidupan Ruslan sedikit demi sedikit mulai berubah. Tidak beberapa lama mereka berhasil membuat rumah sendiri. Dengan lahan itu, ketika belum krisis keuangan global, dalam setiap bulan Ruslan berhasil mendapatkan pendapatan antara Rp 4 sampai Rp 5 juta. Sekarang, sedang krisis, di mana harga buah tandan segar sawit turun drastis, berdasarkan hasil penjualan sawit Januari 2009 lalu, Ruslan masih bisa membawa uang ke rumah Rp 1.689.000,-.
Dengan pendapatan itulah Ruslan harus mencukupi keluarga dan membiayai kedua anaknya yang sedang kuliah. Apakah cukup? “Kalau dihitung-hitung memang tidak cukup dengan pendapatan itu. Apalagi sekarang harga sawit belum normal. Mau tak mau kita pandai-pandai mengatur keuangan. Yang saya utamakan hanya biaya untuk kedua anak yang sedang kuliah itu. Soal saya dan istri, tidak masalah,” jawab Ruslan.
Lantas bagaimana untuk menutupi kekurangan dana untuk makan atau biaya kuliah anak? “Saya dan istri mencari pekerjaan sampingan. Di suruh orang babat rumput, tak masalah. Pokoknya, apa saja dikerjakan, yang penting dapat uang untuk menutupi kekurangan dana. Lagian, waktu untuk kerja sampingan juga cukup banyak,” jawab Ruslan lagi.
Kebun sawit yang sudah menghasilkan tidak sulit perawatannya bila dibandingkan ketika belum berbuah. Para petani paling hanya membabat rumput liar atau menyemprot dengan racun rumput. Kemudian, melakukan pemupukan secara berkala. Pekerjaan selanjutnya hanya memanen buah. Dengan demikian, petani banyak waktu untuk mencari pekerjaan lain. Itu sebabnya, banyak petani menjadi pedagang atau apa saja di Kota Ngabang. Justru banyak petani menjadi lebih kaya karena usaha sampingan ini.
Peran Vital Koperasi
Kemudian, satu hal lagi yang membuat para petani itu sejahtera, peranan koperasi. Saya bisa katakan koperasi benar-benar menjadi urat nadi ekonomi petani sawit. Ruslan adalah anggota Koperasi Serba Usaha (KSU) Harapan Kita dengan anggota 27 kepala keluarga. Dari koperasi inilah Ruslan bisa membeli pupuk murah, sembilan bahan pokok, serta biaya untuk anak kuliah. Hasil panen sawit langsung dikelola koperasi itu dan dimasukkan sebagai modal. Anggota diberikan kemudahan untuk meminjam uang. Jika anggota meminjam Rp 5 juta, angsurkan per bulan 2 persen menurun. Bagi anggota dengan adanya koperasi tersebut sangat meringankan beban hidup para petani. Pada Januari 2009 lalu, koperasi itu menggelar Rapat Anggota Tahunan (RAT) dengan Sisa Hasil Usaha masing-masing anggota Rp 75 juta. Sementara aset dari koperasi yang berdiri tahun 2005 itu sudah mencapai Rp 1.116.893.200,-. Lewat koperasi ini juga diperjuangkan sertifikat lahan kebun, pekarangan dan lahan pangan petani. Sampai saat ini dari 14 kelompok tani, sudah 11 kelompok mendapatkan tiga sertifikat lahan itu. Tinggal tiga kelompok lagi, tapi itupun tidak beberapa lama lagi akan keluar. Atas prestasi koperasi itu, Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) menghadiahi program Bantuan Stimulan Pembangunan Perumahan Swadaya (BSPPS) dengan nilai Rp 250 juta untuk 50 kepala keluarga. Untuk di Kalbar hanya Kabupaten Landak tepatnya di KSU Harapan Kita dan Kabupaten Pontianak yang mendapatkan program itu. Saat ini, pihak koperasi sedang mendata rumah petani yang mungkin masih ada yang tidak layak untuk mendapatkan bantuan itu. Dengan BSPPS ini dijamin tidak ada lagi rumah petani yang tidak layak huni, berdindingkan kayu, beratapkan daun rumbia dan berlantai papan. Jadi, koperasi begitu vital bagi keluarga Ruslan dan seluruh petani plasma. Di sinilah letak kekuatan utama petani sawit. Apabila ada persoalan di tingkat petani, misalnya sawit sudah tua dan tidak lagi produktif, petani lewat koperasi bisa mengajukan ke PTPN XIII untuk melakukan peremajaan. Pihak PTPN XIII akan membantu sepenuhnya. Apabila jalan perkebunan banyak rusak, koperasi inilah yang akan merehab jalan tersebut. Dananya perehaban itu memang sudah disiapkan berdasarkan hasil pemotongan panen sawit setiap petani.
Apabila pengelolaan koperasi tidak bagus akan berpengaruh pada tingkat kesejahteraan anggotanya. Sebagai contoh, petani di afdeling 6 plasma 1, terlihat kebun sawit seperti tidak terawat. Daun sawit banyak kuning dan jarang terlihat buahnya. Sementara di sebelah plasma 1 itu adalah kebun inti PTPN XIII yang terlihat subur dan penuh dengan buah. Kenapa terjadi perbedaan mencolok seperti itu, salah satu penyebabnya adalah pembinaan koperasi terhadap anggota (petani) tidak begitu bagus. Tidak seperti afdeling 13 plasma 8, kebun plasma milik petani sama suburnya dengan kebun inti PTPN XIII.
“Kebun plasma 1 itu awalnya dikelola PTPN XIII, lalu diserahkan ke petani menjadi plasma. Berarti pengelolaan kebun plasma tidak lagi PTPN XIII melainkan diserahkan ke koperasi. Kalau pengurus koperasinya bagus seperti halnya di afdeling 13 plasma 8, kebun plasma 1 itu juga ikut bagus,” kata Ketua, Kelompok Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Landak, Saidan Ameng ketika diwawancarai 28 Februari 2009. Dijelaskannya, kenapa ada perbedaan antara plasma 8 dan plasma 1. Di plasma 8 mengikuti pola perawatan PTPN XIII. Sementara plasma 1, tidak sepenuhnya mengikuti pola perawatan PTPN XIII. “Itu sebabnya, PTPN XIII akan mengubah pola pembinaan dengan satu manajemen. Jadi, nanti koperasi dan petani itu di bawah binaan PTPN XIII langsung. Kalau PTPN XIII mupuk, plasma juga mupuk. Kalau PTPN XIII panen, plasma juga ikut panen,” papar Saidan.
Melihat kehidupan Ruslan dan koperasi seperti itu, sebenarnya apa yang menjadi kendala dihadapi para petani sawit? “Untuk kendala tidak ada. PTPN XIII cukup banyak membantu. Begitu juga koperasi sangat besar peranannya. Cuma, yang menjadi masalah saya dan para petani di sinilah hanya listrik. Sudah bertahun-tahun kami mengusulkan listrik baik itu ke PTPN dan pemerintah serta PLN sendiri, sampai sekarang belum juga dikabulkan. Seandainya kami para petani ada listrik, tingkat pendapatan kami akan meningkat lagi. Dengan listrik, petani bisa memelihara ikan dan ternak ayam,” jawab Ruslan.
Listrik sudah menjadi kebutuhan pokok manusia. Manusia sudah menjadi ketergantungan dengan listrik. Listrik tidak hanya sebagai penerangan, melainkan menjadi sumber peningkatan penghasilan. Sayang, itu belum dirasakan Ruslan dan petani dusun Seluang Danau itu. Untuk power (tenaga) menghidupkan televisi, tape recorder dan charger hand phone, mereka menggunakan mesin listrik genset. Itupun hidup hanya malam hari dari pukul 19.00-22.00. Setelah itu, untuk penerangan mereka menggunakan lampu minyak tanah. Padahal, antara Seluang Danau atau afdeling 13 tidak jauh dari ibukota Kabupaten Landak, Ngabang. Dusun itu juga tidak begitu jauh dari mesin PLN. Anehnya, sejak tahun 1989 sampai tahun 2009, belum ada tanda-tanda di dusun tersebut dialiri listrik. “Listrik inilah yang menjadi persoalan utama kami di sini,” ujar Ruslan.
Ruslan adalah potret seorang petani kelapa sawit yang berada di lingkungan PTPN XIII. Untuk ukuran miskin seperti yang dikategorikan BKKBN di atas, Ruslan tidak masuk kategori miskin. Dia terbilang keluarga sejahtera yang tidak lagi kesulitan makan, memiliki rumah lumayan baik, berhasil mengkuliahkan dua anaknya. Diapun menikmati hidup sebagai petani sawit. Cuma, yang menjadi persoalan adalah listrik. Seandainya listrik bisa mengaliri seluruh rumah petani sawit, pendapatan mereka bisa dipastikan akan lebih meningkat lagi. Dengan demikian tingkat kesejahteraan mereka juga akan bertambah lebih baik.
Persoalan Listrik
Kenapa PTPN XIII tidak memikirkan persoalan listrik sejak awal? Saya rasa inilah yang mesti dipikirkan, tidak hanya PTPN XIII, melainkan perusahaan swasta ketika hendak membuka areal perkebunan dengan melibatkan ribuan petani, penyediaan listrik juga mesti disiapkan. Saya melihat PTPN XIII juga memerlukan jaringan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Buktinya, PTPN XIII di Ngabang itu sepenuhnya menggunakan listrik PLN. Perusahaan negara itu tidak menggunakan mesin genset sendiri untuk penerangan dan mengoperasikan perangkat kerjanya. Proses awal untuk mendapatkan jaringan listrik itu, tentulah melewati prosedur resmi PLN. Termasuklah kebutuhan daya juga diajukan saat proses awal pengajuan jaringan listrik itu. Semestinya, pada saat itu PTPN XIII sudah memikirkan dan mengajukan daya listrik untuk kebutuhan petaninya. Dalam kasus ini, PTPN XIII sepertinya tidak berpikir untuk beberapa tahun ke depan, ketika dunia semakin maju, ketika banyak orang sudah ketergantungan dengan listrik. PTPN XIII hanya memikirkan kebutuhan perusahaannya sendiri untuk jaringan listrik. Sementara petani dibiarkan begitu saja untuk mendapatkan jaringan listrik. Akibatnya, petani yang sudah hidup di era global di mana listrik sudah menjadi kebutuhan vital hanya bisa menonton warga Ngabang yang sudah gemerlap dengan alat-alat listrik. Semestinya mereka sudah bisa membeli kulkas, mesin cuci, tape recorder, kipas angin, air condition, setrika atau barang rumah tangga yang menggunakan listrik lainnya, terpaksa ditahan dulu. Tidak heran apabila petani pindah dari plasma ke daerah yang ada listriknya seperti di Kota Ngabang.
Memang, persoalan listrik itu bukanlah tanggung jawab PTPN XII. Mereka saja harus menggunakan tenaga listrik dari PLN itu. Tapi, kalau dari awal sudah dipikirkan kebutuhan listrik untuk petani, tentunya tidak dialami Ruslan dan seluruh petani plasma itu. Saya contohkan, pembangunan rumah kompleks, ketika pengembang (developer) mengajukan listrik, itu sudah menyesuaikan kebutuhan untuk seluruh rumah yang dibangun. Urusan listrik bukan lagi urusan pemilik rumah, melainkan pengembang. Nah, kenapa PTPN XIII tidak berpikir dan meniru seperti pengembang itu. Akibat persoalan ini, sungguh sangat ironis, petani yang dekat dengan ibukota kabupaten, justru tidak menikmati listrik hampir 20 tahun. Lebih parah lagi, tidak ada kepastian kapan mereka mendapatkan aliran listrik. Mereka sudah berjuang habis-habisan untuk mendapatkan listrik, tapi belum ada tanda-tanda rumah para petani PTPN XIII itu mendapatkan pasokan aliran listrik. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar