Sabtu, 21 Februari 2009

Siapa Sebenarnya Otak di Balik YB?

Roundtable Discussion Equator
Menyoal Kasus Yayasan Bestari



Oleh Rosadi Jamani

Kasus korupsi Yayasan Bestari (YB) bisa dikatakan referensi penting pemberantasan korupsi di Kalbar. Seumur-umur Kalbar berdiri, baru kasus YB-lah yang pertama kali menyeret seluruh anggota DPRD Kabupaten Pontianak periode 1999-2004. Dulu (masa Orde Baru), pejabat tinggi dan Dewan “kebal hukum”. Tidak ada hukum yang mampu menyeret para pesohor di negeri ini ketika itu. Begitu juga dengan masyarakat, paling takut bila berurusan dengan pejabat tinggi. Boro-boro melaporkannya ke polisi atau kejaksaan, menghina saja tidak berani di depan umum.
Seiring bergulirnya era reformasi, di mana salah satu amanahnya adalah penegakan supremasi hukum. Orang bebas berpendapat, mengkritik bahkan menghujat di media massa. Orang tidak takut untuk melaporkan pejabat tinggi apabila melakukan pelanggaran hukum. Mencuatnya kasus YB, bukti besar bahwa masyarakat tidak takut dengan para pejabat tinggi. Semua orang di mata hukum sama. Apabila seenaknya makan uang rakyat, hukum akan bertindak.
Kasus YB terbongkar tahun 2003. Ketika itu Kalbar geger. Seluruh media cetak, termasuk Harian Equator, dengan vulgar memberitakan kasus tersebut. Pihak kejaksaan yang dilandasi semangat reformasi terus memburu para koruptor di balik YB. Alhasil, para petinggi anggota DPRD Kabupaten Pontianak ketika itu diperiksa sampai akhirnya diadili di Pengadilan Negeri (PN) Mempawah. Kejaksaan kalah dan sontak melakukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT). Untuk sementara, para koruptor itu tersenyum. Lagi-lagi di tingkat PT, kejaksaan kalah, lalu minta kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Ternyata, MA masih pro rakyat dan melihat kasus YB memang terjadi korupsi. Akhirnya, kasasi kejaksaan diterima. Konsekuensinya, seluruh anggota DPRD Kabupaten Pontianak yang menerima uang haram itu harus mempertanggungjawabkan ulahnya. Dua anggota Dewan sudah dieksekusi dan dijebloskan ke penjara. Sekarang, kejaksaan sedang mengincar anggota Dewan yang masih tersisa.
Belakangan kasus YB yang sempat menghilang dari peredaran itu kembali memanas. Maklum, para anggota Dewan yang menikmati uang rakyat itu rata-rata calon legislatif (caleg). Lawan politik dari caleg terlibat YB memanfaatkan kasus ini untuk menjatuhkan popularitas caleg tersebut. Ketika Equator menampilkan headline berjudul, Koruptor YB siap-siap Dikerangkeng, berita itu menjadi konsumsi besar masyarakat Kabupaten Pontianak. Berita itu difotokopi, lalu disebarkan ke seluruh masyarakat. Tujuannya, untuk menghancurkan popularitas anggota Dewan terlibat YB yang juga seorang caleg.
YB seolah-olah menjadi borok besar bagi tujuh anggota Dewan Kabupaten Pontianak dan enam Dewan Kubu Raya. Sebanyak 13 mantan anggota Dewan periode 1999-2004 itu seolah menjadi aktor utama di balik YB. Padahal, fakta hukumnya tidak demikian. Mereka hanya tumbal yang sebenarnya tidak memiliki peranan sentral ketika itu. Mereka ibaratnya pion atau korban dari sebuah kebijakan. Dari persoalan inilah, Equator ingin mengetahui seperti apa kasus YB yang sebenarnya. Apakah memang benar 13 anggota Dewan itu aktor utama YB? Untuk mencari jawaban itu, pada Senin, 16 Februari lalu, Equator menggelar roundtable discussion (diskusi meja bundar) di Ruang Utama Graha Pena Equator menyoal YB. Peserta diskusi cukup representatif. Ada pengamat hukum Untan Rousdy Said SH, Ketua LSM Anti Korupsi Gemawan Kalbar Hermawansyah SH Ketua LPS Air Kalbar Demanhuri, Ketua Jari Kalbar Faisal Riza. Dan, yang paling utama adalah hadirnya Ketua DPRD Kabupaten Pontianak Rahmad Satria SH MH. Sayang, pihak kejaksaan tidak bisa dihadirkan. Dari Equator sendiri ada Pemred Harian Equator, R Rido Ibnu Syahrie, Redatur Pelaksana Rosadi Jamani, dua redaktur Uray Kamaruzzaman dan Mahmudi, serta Kepala Biro Mempawah Alfi Shandy. Tidak ketinggalan dua wartawan dari Ruai TV. Namun, dari peserta yang hadir rasanya sudah cukup membedah kasus YB secara jernih dan jelas. *

Prolog Diskusi

Sudah dua koruptor YB yang dijebloskan ke penjara yakni H Makmur H Abdullah, bendahara YB dan Andrean Ferix, wakil bendahara YB. Sementara Ketua YB, Wan Kasim tidak bisa dijebloskan keburu meninggal dunia. Kedua koruptor itu sudah dieksekusi Mahkamah Agung (MA) berdasarkan Putusan No 1838 K/Pid/2005. Adanya putusan MA tersebut membuat kasus YB mencuat kembali di akhir tahun 2008. Padahal, beberapa tahun sebelumnya, YB seperti sudah dilupakan orang.
Mencuatnya YB jilid II bisa dikatakan sama hebohnya saat mencuat pertama kali tahun 2003. Di mana letak sama hebohnya? YB jilid II tersebut akan menyeret 13 mantan anggota DPRD periode 1999-2004. Dari 13 anggota Dewan itu, kebanyakan adalah calon legislatif, sementara sisanya sudah pensiun dari dunia politik. Apalagi di antara 13 anggota Dewan kebanyakan adalah ketua-ketua partai besar di negeri ini.
Di masyarakat, terutama di Kabupaten Pontianak, YB mendapat perhatian serius dari kalangan LSM dan sudah menjadi konsumsi publik. Tapi, kasus YB itu masih menimbulkan pertanyaan besar dan muncul pro dan kontra. Ada yang menyatakan kasus itu memang korupsi. Tapi, ada juga mengatakan itu bukan korupsi. Persoalan YB masih simpang siur dan sejumlah masyarakat masih bingung. “Tentunya, melalui diskusi ini kita ingin mencari tahu seperti apa kasus YB yang sebenarnya. Dengan harapan kita tidak terkesan menghakimi. Kita ingin menegakkan presumption of innocent (asas praduga tidak bersalah, red),” kata Pemred Harian Equator, R Rido Ibnu Syahrie saat membuka prolog diskusi.

Penjelasan Pertama
Rousdy Said SH: Ada keterkaitan penggunaan dana APBD yang disalurkan ke YB dengan pihak eksekutif. Tidak semata-mata di bawah ruang lingkup Dewan. Saya masuk ke putusan MA. Ada penyalahgunaan dana dari pos keuangan di pihak eksekutif. Dana yang dimakan itu bukan dari pos keuangan Dewan, melainkan pos unit organisasi milik Sekda Kabupaten Pontianak.
Dana tersebut semestinya masuk ke kas YB terlebih dahulu, namun faktanya tidak demikian. Dana itu tidak masuk kas YB, melainkan langsung dibagikan ke seluruh anggota Dewan. Untuk ketua mendapat Rp 30 juta, wakil ketua Rp 27,5 juta, dan seluruh anggota Dewan masing-masing kecipratan Rp 25 juta. Pencairan dana itu dilakukan dua tahap.
Melihat rententan proses pencairan itu, ternyata tidak melibatkan satu pihak, melainkan pihak eksekutif justru dipandang memiliki peran sentral dalam kasus YB ini. Jadi, tidak hanya Dewan semata.
Kenapa YB dinilai kasus korupsi, karena di situ ada unsur memperkaya diri sendiri dengan menggunakan uang negara. Yang memperkaya diri sendiri jelas adalah seluruh anggota Dewan. Sayangnya, dalam kasus ini seolah-olah Dewan saja yang menikmati dana itu. Hanya Dewan saja yang bermain sendiri. Kenyataannya, tidak demikian.
Eksekutif dalam hal ini, Bupati Pontianak ketika itu, Cornelis Kimha dan staf anggaran justru memiliki andil besar dalam kasus ini. Anehnya, tidak diproses secara hukum. Kasus YB tidak mungkin muncul begitu saja kalau tidak ada ide dari pihak eksekutif. Salah satu bukti keterlibatan eksekutif, kenapa dana YB ada pos khusus Sekda. Di sini membuktikan bahwa eksekutif terlibat serius. Kimha yang memiliki ide tersebut justru terhindar dari proses hukum.
Menyediakan pos anggaran di Sekda itu pasti atas perintah Bupati. Ide menyediakan pos anggaran itu juga termasuk bagian dari korupsi YB. Coba kalau Bupati tidak menginstruksikan Sekda membuat pos anggaran baru, pastinya tidak ada dana YB itu. Bupati telah melakukan penyalahgunaan wewenang. Telah terjadi kompromi, kolusi yang memberikan keuntungan kepada Dewan atas ide dari Bupati. Bupati ikut turut serta membantu pidana karena ada kompromi di situ. Menurut PP 110 tahun 2000, tanggung jawab keuangan daerah itu berada di tangan Bupati. Jika APBD melanggar PP nomor 110, Kepmendagri 29 tahun 2000, yang bertanggung jawab dalam kasus YB semestinya dua instansi. Tapi, yang terjadi satu instansi saja yakni Dewan. Yang membuat ide, kenapa tidak bertanggung jawab. Saya ingin melihat ini dalam konteks bupati dan teman-teman di Dewan.
Saya menilai, pelaku utama justru Bupati. Sementara Dewan adalah pengikut saja. Sudah jelas tidak mungkin kita fokus pada teman-teman di Dewan saja. Mestinya juga di Pemda.
Apakah ini kita biarkan begitu saja? Ini sudah berlanjut, dan bisa dibaca oleh teman-teman sendiri. Ada rasa ketidakadilan teman-teman di Dewan. Bupati kenapa tidak tersentuh hukum. Justru yang ditekan adalah YB.

Penjelasan Kedua
Ketua DPRD Pontianak, Rahmad Satria SH MH menjelaskan duduk persoalan kasus YB. Ketika itu dia bersama 13 anggota Dewan yang lainnya hanyalah sebagai anggota. Kasus YB itu pada Dewan 1999-2004, bukan periode di masa kepemimpinannya. “Di masyarakat seolah-olah periode saya. Padahal, bukan,” jelas Rahmad memulai tanggapan di hadapan peserta diskusi lainnya.
Menurut Rahmad, di masa kepemimpinannya sebagai Ketua DPRD Kabupaten Pontianak tidak ada penyimpangan. Bahkan, dia dinobatkan sebagai salah satu dari 10 Ketua Dewan terbaik se Indonesia. “Saya salah satu yang terbaik dari 10 ketua Dewan se Indonesia,” ujarnya.
Lalu, dia menjelaskan YB. YB itu lahir 1997 di mana ketika itu dia belum menjadi Dewan. Semenjak berdiri, sudah sering dianggarkan YB dalam APBD. Pada tahun 1998-2004, YB tetap ada dan hanya berdasarkan akte notaris dan ada AD/ART serta disahkan oleh pengadilan. Tujuan didirikannya YB untuk kesejahteraan Dewan dalam rangka menyalurkan bantuan ke masyarakat.
“YB itu secara hukum sah. Karena ada AD/ART-nya serta ada akte notarisnya. Kemudian, disahkan oleh pengadilan. Jadi, YB itu bukan ilegal,” jelasnya.
Kalau YB disalahkan, kenapa notaris membuat seperti itu dan disahkan oleh pengadilan. Kalau memang salah, berarti pengadilan juga salah. Lalu, proses pencairan itu dari APBD, sejak RAPBD sudah ada tertulis YB. Belum dibahas, tapi sudah masuk pos Sekda, bukan pos sekretaris Dewan. “Berarti kalau itu kemauan kami, tentu masuk pos dewan, tapi itu masuk ke Sekda. Di situ juga ada bantuan ke sosial masyarakat, MUI, LSM, dana Muspida. Satu muspida Rp 5 juta setiap bulan. Bisa dihitung dalam setahun. Tapi, kenapa persoalan bantuan ini tidak pernah dikatakan temuan,” bela Rahmad.
“Kalau itu salah, jelas saya dan kawan-kawan akan mengembalikan. Saya melihat, pengucuran dana itu lewat prosedur hukum. Tidak ada yang salah sebenarnya,” katanya lagi.
Melihat undang-undang soal penyaluran dana pemerintah ke sebuah organisasi, kalau dana itu sudah disalurkan ke YB, semestinya harus menggunakan UU yayasan. Lakukanlah penuntutan berdasarkan UU YB. Kenyataannya, justru tidak, menggunakan UU yang lain.
“Kenapa dana YB dicairkan oleh Pemda? Seharusnya diperiksa dulu apa itu YB. Semestinya sebelum dicairkan diperiksa dulu. Kemudian, korupsi Rp 62 juta itu, kita siap mempertanggungjawabkannya kepada konstituennya. Karena itu benar-benar digunakan untuk masyarakat, bukan untuk memperkaya diri sendiri,” papar Rahmad.
Ketika itu, gaji pokok seorang anggota Dewan hanya Rp 700 ribu. Tidak ada tunjangan komunikasi intensif seperti sekarang ini. Jadi, uang yang dimakan itu, bukan untuk memperkaya diri, itu hanya tujuan untuk komunikasi intensif. Tujuan tidak memperkaya diri.
“Jika kita ada niat korupsi, tentu kita tidak akan ambil uang itu. Demi Allah, demi Rasul, demi Tuhan, jika kita ada niat korupsi, kita tidak akan ambil. Ketika itu, kita posisi diberikan. Kemudian, sebelum uang itu kita terima, kita tanyakan dulu kepada ahli hukum, bupati, pimpinan Dewan. Mereka bilang, dana itu sah. Itu hanya bantuan. Kita tidak pernah meminta, tapi diberikan,” jelas Rahmad.
Perlu mencari pelaku, otak, penyebab cairnya dana itu. “Kita bukan meminta, melainkan dikejar, disodorkan, dimintai tanda tangan. Jangan hanya diserang anggota Dewan, jangan ada pembunuhan karakter dalam hal ini. Saya meminta kejaksaan serius menangani kasus YB demi menegakkan hukum. Ada yang salah, kenapa Dewan yang disorot, tapi yang lain tidak. Ini andai kata kalau mau dikejar semua. Kita ingin berbuat untuk masyarakat. Banyak ingin menjatuhkan Rahmad Satria, PPP, PDIP. Padahal waktu itu kita tidak memegang peran,” papar Rahmad.

Penjelasan Ketiga
Hermawansyah SH, Ketua LSM Anti Korupsi Gemawan Kalbar. Dijelaskannya, dana itu dikeluarkan ke YB. Mendengarkan kalimat itu, Rahmad sempat menimpali, “Jangan salah, itu dibuat bukan lewat anggaran Dewan”.
Lalu, Hermawansyah melanjutkan pembicaraan, sebelum YB itu mencuat, pimpinan Dewan minta kesejahteraan ke Bupati. Karena dewan mengeluh ke Bupati, maka solusi yang ditawarkan dengan menambah tunjangan lewat YB. Seperti itu konstruksi awalnya, ide dari Dewan lalu direspons Bupati. Oleh bupati disiasati lewat YB.
Terjadi penyempitan makna, hanya pengurus YB saja yang berhak menerima dana dari APBD itu. “Konsep kita, harus dilihat dari hulunya, ada konspirasi antara Dewan dan Bupati,” katanya.
Sayang, kejaksaan sepertinya hanya membidik anggota Dewan saja. Padahal, kenyataan di lapangan tidak demikian. Pihak eksekutif terutama Bupati beserta pemegang anggaran memiliki andil besar terhadap kasus YB itu. “Tapi, proses hukum belum selesai. Dengan adanya putusan kasasi dari MA, bisa saja pihak eksekutif juga menjadi target utama kejaksaan,” katanya singkat.

Penjelasan Keempat
Faisal Reza, Ketua LPS Jari Kalbar.
Dari awal tokoh muda yang sangat konsen terhadap pemberantasan korupsi ini lebih banyak diam. Faisal lebih banyak mendengar dalam diskusi ini. Ketika dia diberikan kesempatan berbicara, dia langsung membeberkan soal pertemuannya dengan pihak Kejaksaan Negeri Mempawah.
“Saya pernah berbincang-bincang dengan pihak kejaksaan. Mereka mengatakan, cukuplah 13 orang ini (13 anggota Dewan terlibat YB, red),” katanya memulai pembicaraan.
Dijelaskan Faisal, maksud kejaksaan mungkin cukup hanya memeriksa 13 anggota Dewan saja. Artinya, tidak melibatkan pihak eksekutif. Jika itu dilanjutkan, akan banyak energi yang akan dihabiskan. Jadi, setelah YB jilid II tersebut, tidak akan ada lagi YB jilid III atau IV dan seterusnya.
“Kemudian, saya tertarik pernyataan dari Pak Rahmad soal pengesahan YB oleh pengadilan. Jika itu benar, berarti YB memang sah untuk kesejahteraan anggota Dewan. Pengadilan yang sahkan, lho!” ujarnya.
“Jika memang YB itu sah, semestinya dalam proses hukum harus menggunakan UU yayasan, tidak menggunakan UU Korupsi,” kata Faisal.

Penjelasan Kelima
Demanhuri S Hut, Direktur LPS Air Kalbar. Dia mencoba menjelaskan sejarah YB. YB itu didirikan almarhum Jimmie Ibrahim. Setelah beliau pensiun, lalu notarisnya ganti. Persoalan YB awalnya tidak banyak diketahui masyarakat. Hanya segelintir orang saja yang tahu bahwa YB itu ada dan diperuntukkan untuk kesejahteraan Dewan.
“Pas di sidang, terungkap bahwa YB tidak ada cap dan tidak ada kantor. Dari sinilah persoalan YB itu bisa menyeret sejumlah anggota Dewan itu,” jelasnya.
Demanhuri yakin, kasus YB jilid II bisa terungkap dengan jelas. Soalnya, gerakan politik masyarakat di Mempawah sangat kuat. Masyarakat akan terus memantau proses hukum tersebut. Cuma, yang disesalkan kenapa hanya Dewan saja yang disorot?
“Memang tidak adil 13 saja yang digiring, tapi mesti semua. Eksekutif terindikasi dapat Rp 2 miliar juga mesti menjadi target utama kejaksaan,” paparnya.

Kesimpulan
Kasus YB belum selesai sampai saat ini. Pihak kejaksaan walaupun sudah mengantongi izin dari Gubernur untuk memeriksa sejumlah anggota DPRD Kabupaten Pontianak dan Kubu Raya, masih belum melakukan pemanggilan. Yang sangat disayangkan, kenapa kejaksaan sepertinya fokus kepada 13 anggota Dewan. Padahal, para Dewan itu hanya tumbal dari sebuah kebijakan. Semestinya, aktor di balik kasus itu, yakni mantan Bupati Kabupaten Pontianak, Cornelius Kimha, Sekda, dan sejumlah pejabat eksekutif yang mencairkan dana tersebut mesti digarap lebih dahulu. Dalam konteks ini perlu pressure lebih kuat lagi oleh masyarakat ke pihak kejaksaan. Moncong senjata, tidak saja diarahkan ke 13 anggota Dewan, tapi juga pihak eksekutif.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar