Sabtu, 14 Februari 2009

Perempuan Berkalung Bendera Partai Politik

Oleh Rosadi Jamani

Minggu (8/02/09) lalu, saya dan istri nonton film di bioskop 21 Ayani Megamall Pontianak. Nama film yang ditonton, Perempuan Berkalung Sorban arahan sutradara Hanung Bramantio dengan pemain utama Revalina S Temat. Bagi yang suka film action, pasti tidak senang dengan film tersebut. Namun, bagi pencinta film drama, film tersebut layak disejajarkan dengan film Ayat-ayat Cinta yang juga disutradarai Hanung Bramantio. Memang, penontonnya tidak sebanyak film Ayat-ayat Cinta. Namun, alur cerita dan tingkat dramatisasinya tidak kalah serunya. Bahkan, saya pribadi menilai, film tersebut lebih hebat. Di mana letak kehebatan film Perempuan Berkalung Sorban? Di film tersebut mengisahkan betapa beratnya perjuangan seorang perempuan menobrak tradisi (culture) agama. Penuh intrik dan dibumbui dengan romantisme cinta. Jika anda ingin menyaksikan film tersebut, siap-siap bawa sapu tangan atau tisu. Air mata pasti berderai dalam setiap adegan.
Apa hubungannya film tersebut dengan kisah politik kita pada minggu ini? Mungkin tidak ada. Namun, saya ingin membentangkan sebuah kisah seorang perempuan yang kebetulan masih ada hubungan famili. Pada saat dibuka Daftar Caleg Sementara (DCT), seluruh partai politik (parpol) diharuskan melengkapi daftar itu dengan caleg perempuan. Banyak parpol kelabakan mencari perempuan untuk dijadikan caleg. Perempuan yang memiliki latar belakang aktivis, ustazah, guru swasta, guru ngaji, pekerja LSM, pembela wanita, tidak ada yang tersisa, semua sudah direkrut parpol. Bahkan, ibu rumah tangga juga diincar demi mencukupi persyaratan 30 persen penyertaan perempuan di dalam parpol.
Keluarga saya yang perempuan juga mendapatkan tawaran caleg. Padahal, dia hanyalah ibu rumah tangga dengan satu anak. Pendidikannya hanya tamatan SMA. Suaminya pekerja swasta. Setiap hari dia hanya mengurus apa yang ada di rumah. Tidak ada aktivitas di luar rumah. Ketika mendapatkan tawaran itu, dia terlebih dahulu konsultasi dengan suami. “Mas, saya dapat tawaran jadi caleg. Bahkan, saya juga ditawari jadi pengurus parpol. Apakah diterima atau tidak?” tanyanya kepada suami. Mendengar pertanyaan itu, suaminya sempat berpikir dan akhirnya memutuskan dia boleh jadi caleg dan pengurus parpol.Mendapatkan izin itu, perempuan itu seperti mendapatkan kebebasan. Diapun aktif di parpol. Dalam setiap minggu pasti ada rapat partai. Dia juga sering bepergian ke daerah membentuk pengurus di tingkat kabupaten. Di saat dia pergi, suaminya yang mengasuh anak mereka yang masih duduk di kelas 1 SD. Aktivitasnya mulai sibuk. Relasinya juga mulai banyak. Hand phone-nya setiap saat berdering. Sedikit demi sedikit persoalan rumah tangganya lebih banyak diambil alih suaminya.
Dia terbilang memiliki wajah cantik dengan kulit putih dan bodi ideal. Walaupun memiliki satu anak, namun dia masih menarik. Karena kecantikannya itu, ada pengurus parpol mulai mendekatinya. Setiap saat ada saja SMS dari pengurus parpol itu. Saat bepergian ke daerah, mereka selalu berdua. Pemandangan ini dilihat oleh orang tuannya. Orang tuanya menasihati agar hati-hati. “Kamu harus ingat, di rumah itu ada suami dan anak. Janganlah bepergian dengan laki-laki yang bukan muhrim, apa kata orang,” kata ibunya.
Ternyata, dia sadar. Dia sadar bahwa dia memiliki suami dan anak. Dia merasa tidak enak berjalan dengan suami orang lain. Padahal, suaminya masih memberikannya izin untuk berkecimpung di dunia politik. Dia juga mulai risih dengan banyaknya SMS masuk dan panggilan dari pengurus parpol yang rata-rata sudah bersuami. Demi menjaga keutuhan keluarganya, lalu dengan perasaan cukup berat, dia memutuskan menarik diri dari pengurus parpol. Terang saja para pengurus parpolnya, kaget. Terutama laki-laki yang selama ini akrab dengannya. Tapi, sebagai caleg, masih dijalaninya. Semenjak itu, dia kembali sebagai ibu rumah tangga. Status caleg yang masih disandangnya tidak lagi diurusnya. “Malas mencari pemilih. Saya hanya buat kartu nama saja. Itupun belum dibagikan,” ujarnya kepada saya baru-baru ini. Di wajahnya terlihat kelesuan ketika mendengar parpol. Seluruh nomor HP-nya diganti baru. Dia tidak mau lagi menerima panggilan dari orang-orang tak dikenalnya. Dia sempat trauma ada laki-laki pengurus parpol yang sempat mengajaknya check in di hotel. Dia tawari uang cukup banyak asalkan mau diajak gituan… “Saya masih punya iman. Saya masih ingat suami dan anak. Saya tidak mau tergelincir dalam dosa. Biarlah miskin tapi masih memiliki iman,” katanya sedih.
Saya melihat dari kisah itu, betapa berat godaan seorang perempuan di parpol politik. Jangankan perempuan, laki-laki saja sering tergelincir ketika aktif di parpol. Banyak rumah tangga hancur hanya gara-gara aktif di parpol. Kalau murni ngurus parpol, mungkin tidak masalah. Yang menjadi masalah apabila ngurus parpol bercampur dengan aktivitas maksiat. Misalnya, sering ke tempat hiburan malam, lalu minum-minuman beralkohol dan bermain perempuan pelayan seks komersial. Izin ke istri ikut Rakernas parpol di Jakarta, tapi setelah di Jakarta bukannya mengikuti Rakernas, malah mencari perempuan yang bisa melayani berahi semalam suntuk. Banyak pengurus parpol justru memiliki wanita simpanan terutama di Jabodetabek.
Saya akui, perempuan memang masih minim di pengurus parpol. Dunia politik sepertinya hanya milik laki-laki. Saya melihat, bukan parpol tidak memberikan ruang untuk perempuan, tapi lebih didasarkan pada godaan maksiat yang begitu tinggi. Selain itu, faktor tradisi (culture) bahwa perempuan cukup mengurus rumah tangga masih belum hilang. Perempuan cukuplah mengurus suami dan anak. Soal mencari nafkah itu urusan suami. Persoalan tradisi ini mirip kisah film Perempuan Berkalung Sorban itu. Ketika perempuan berkalung bendera parpol, untuk melawannya diperlukan semangat dan mental yang kuat.
Selama tradisi masih begitu kuat memosisikan perempuan sebagai pengurus suami dan anak, saat itu juga dunia politik hanya milik laki-laki. Kalaupun ada perempuan berkecimpung di politik pastilah perempuan itu bermental baja, tidak muda tergoda rayuan. Cuma, untuk mencari perempuan bermental di tengah belantara politik yang kejam, sangat sulit. Kalaupun ada, tapi kualitasnya hanya sebagai pelengkap. “Dari pada tidak ada perempuan dijadikan caleg, rekrut saja ibu-ibu rumah,” kata pengurus parpol yang lagi kesulitan mencari caleg perempuan.
Saya sangat bersyukur, kisah di film Perempuan Berkalung Sorban itu berlangsung tahun 1985-1997. Pada masa itu, perempuan masih banyak dikekang oleh tradisi. Sekarang tahun 2009, era keterbukaan dan kebebasan bagi perempuan sangat terbuka lebar. Perempuan mau berkecimpung di dunia apa saja, silakan. Hanya satu catatannya, jangan melupakan kodrat (nature). Bagaimanapun perempuan itu adalah ibu dari anak. Dia bisa hamil dan melahirkan. Itulah adalah kodrat. Tapi, soal kemampuan intelektual dan wawasan tidak kalah dengan kaum lelaki. Justru banyak pemimpin hebat di dunia ini dari kalangan perempuan. Sebut saja the iron woman, Margaret Teacher, mantan PM Inggris. Di Indonesia ada Megawati Soekarno Putri, perempuan bermental baja yang tidak takut menghadapi politikus dari kalangan laki-laki.
Namun, semua itu sangat tergantung pada perempuannya. Ruang sudah dibuka. Sekarang tinggal perempuan, apakah mau terjun secara utuh di dunia politik. Kalau masih setengah-setengah, masih memikirkan tradisi, masih malu, untuk ke depannya, dunia politik tetap didominasi kaum laki-laki. Di gedung DPRD dan DPR di Senayan tetap diisi kaum adam. Terserah! (Silakan tanggapi lewat email: rosadi@equator-news.com atau ke http://renunganpelangi.blogspot. com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar