Rosadi Jamani
Undang-undang Politik telah mengingatkan jangan menyinggung masalah Suku Agama Ras dan Antargolongan (SARA). Kenapa dikasih peringatan, karena SARA sangat rentan memancing konflik di masyarakat. Banyak konflik terjadi di tanah air ini, penyebabnya tidak lain adalah SARA. Semestinya orang-orang politik sangat memahami peringatan itu. Kenyataannya, banyak politikus justru masih memanfaatkan SARA untuk mendulang popularitas.
Kasus Dominika yang non Muslim menjadikan surat yasin sebagai alat peraga kampanye. Di sambul yasin itu ada namanya dan lengkap dengan logo partainya. Sepertinya dia ingin menjadikan yasin itu untuk mencari simpati dari kalangan umat Islam. Dia juga ingin menunjukkan rasa nasionalis seperti didengungkan partainya. Dia tidak hanya akan mewakili dari etnis dan agamanya saja, melainkan juga dari kalangan umat Islam. Kira-kira demikian maksud dari Dominika. Namun, tujuan baik yang ingin diungkapkan itu tidak direspons positif kalangan umat Islam. Sebaliknya, sikap Dominika itu dianggap menyinggung umat Islam. Bahkan, ada yang lebih kasar menodai agama Islam.
Untung saja Dominika mengakui kesalahannya. Dia telah lapor ke Panwaslu dan menyampaikan permohonan maaf. Surat yasin itupun ditarik dan tidak diedarkannya ke masyarakat luas. Kita belum tahu seperti apa kelanjutan kisah ini. Dari peristiwa ini kita seperti diingatkan bahwa jangan coba-coba membawa simbol agama dalam dunia politik. Bisa fatal akibatnya.
Kita yakin, kasus ini pasti menjadi pelajaran berharga untuk seluruh caleg yang sebentar lagi bertarung di Pemilu 9 April. Untuk mencari popularitas janganlah harus membawa atribut agama. Masih banyak cara lain untuk mendapatkan simpati rakyat. Sekali lagi, undang-undang telah melarang, jangan menyinggung persoalan SARA. Peringatan ini mesti benar-benar ditanamkan dalam hati. Jangan hanya pandai diucapkan, tapi praktiknya sering menyinggung persoalan sensitif itu.
Harus diakui, mengangkat isu SARA memang mudah mendapatkan simpati masyarakat. Banyak orang ketika mau menjadi kepala daerah membawa isu SARA. Yang paling sering diangkat adalah etnis dan agama. Dua hal ini memang mudah untuk mempengaruhi pemilih. Di balik kemudahan itu, ternyata menyimpan bahaya cukup besar. Kita juga sering menyaksikan sejumlah daerah rusuh hanya gara-gara SARA. Termasuklah meninggalkan Ketua DPRD Sumatera Utara tidak lepas dari isu SARA. Sungguhpun demikian, ternyata orang-orang politikus masih selalu menjadikan SARA sebagai isu strategis untuk memenangkan sebuah pertarungan politik.
Sepertinya para politisi di daerah ini harus dilakukan pencerahan, bagaimana semestinya berpolitik yang tidak menimbulkan konflik. Kata orang, berpolitiklah dengan santun dan beretika. Ungkapan ini memang sangat mudah diucapkan. Tapi, sangat sulit untuk dipraktikkan. Sebab, dalam dunia politik itu penuh dengan kekerasan. Kawan bisa menjadi lawan. Kadang lawan sewaktu-waktu berubah menjadi kawan. Saling sikut, saling jegal dan saling jotos adalah bentuk-bentuk kekerasan politik yang sering kita saksikan. Politik penuh dengan persaingan. Yang ingin dicapai hanyalah kekuasaan. Semua orang politik memiliki kepentingan sama, menjadi pemimpin. Jalan untuk menjadi pemimpin itu penuh dengan onak dan duri (rintangan dan hambatan). Tantangan tidak hanya datang dari lawan politik, kadang dari teman sendiri. Dalam kondisi seperti ini, seorang politikus haruslah tangguh, tahan banting, tidak mudah putus semangat, tegar, berani dan konsekuen. Untuk mencapai sebuah kemenangan, seorang politisi cenderung menghalalkan segala cara. Dari sinilah kadang seorang politisi lupa akan peringatan undang-undangan, lupa ajaran agama dan lupa dengan norma-norma di masyarakat.
Jumat, 06 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar