Rosadi Jamani
Kata orang, polisi dan tentara itu ibarat tom and jerry, berantem melulu. Dalam satu tahunnya pasti ada dua aparat pemerintah itu adu jotos. Kasus perkelahian antara anggota Reskrim dengan anggota tentara Walet Sakti di Putussibau beberapa waktu lalu membuktikan hal tersebut. Satu anggota Reskrim harus dirawat di rumah sakit. Kasus seperti itu sebenarnya bukan baru sekali, tapi sudah berkali-kali.
Ada apa sebenarnya dengan dua korp sama-sama penegak dan penjaga hukum di Indonesia itu? Padahal, referensi disiplin di negara penganut Pancasila ini adalah tentara dan polisi. Dulu, di masa Orde Baru, disiplin tentara tidak ada tandingannya. Sampai sekarang, disiplin tentara itu masih ada yang diterapkan di kantor pemerintah. Bahkan, tidak tanggung-tanggung saat penerimaan mahasiswa baru, disiplin ala tentara itu masih diidolakan.
Untuk di kantor atau markas militer/polisi, disiplin itu memang bisa dijamin diterapkan. Tapi, bagaimana dengan di luar kantor atau markas, apakah sebagai aparat penegak hukum bisa dijamin disiplinnya. Kita yakin, semua ragu menjawabnya. Ketika polisi dan tentara lepas dari dinas, mereka rakyat biasa. Mereka akan bergaul dengan masyarakat, istri dan anak atau keluarga lainnya. Itu artinya mereka harus mengikuti tata susila yang ada di masyarakat.
Kenyataannya, ada oknum polisi dan tentara justru tidak mengindahkan tata susila masyarakat. Mereka bisa mentang-mentang. Bisa “ngegap” masyarakat, bisa ikutan berjudi, bisa jadi backing praktik maksiat, bisa jadi pengaman, bahkan bisa juga jadi preman. Dengan statusnya sebagai penegak hukum, mereka berpikir hukumlah yang tunduk pada mereka. Masyarakat sering dijadikan objek hukum dari para penegak hukum tersebut. Aparat seperti ini menjadikan disiplin yang selama ini menjadi “simbol” kebesaran korp-nya hanya di kantor, tidak di masyarakat. Semestinya, disiplin itu diamalkan di seluruh lingkungan.
Lantas, apalagi yang menyebabkan polisi dan tentara sering berantem? Ada menjawab, karena perebutan lahan yang bisa menghasilkan uang. Dulu, tentara sangat ditakuti. Walaupun tugas utamanya menjaga kedaulatan negara, tapi di luar itu banyak aktivitas tentara yang menyimpang. Bukan rahasia lagi, bisnis kayu meraja lela ketika itu tidak lepas dari peran tentara untuk memuluskannya. Begitu juga bisnis lain, tidak lepas dari peran tentara. Polisi walaupun sebagai pengaman dalam negeri, banyak tidak berkutik. Polisi tugasnya hanya menangkapi penjahat kelas teri. Polisi tidak berkutik apabila berhadap dengan tentara.
Seiringnya berjalannya era reformasi, tentara dikembalikan lagi fungsinya. Tentara tidak boleh berbisnis. Tuganya hanya menjaga kedaulatan negara. Urusan keamanan dalam negeri itu pekerjaannya polisi. Ibaratnya, tentara kembali ke barak (back to barrack). Dengan kondisi ini, banyak tentara hanya jadi penonton. Mereka tidak bisa lagi seperti dulu yang begitu “diistimewakan”. Polisi yang berkewajiban menjalankan penegakan hukum, tidak peduli pada siapapun. Apabila ada yang melakukan kejahatan, apakah itu tentara, pejabat atau tokoh masyarakat, disikat. Ada tentara merasa tak terima ketika diamankan polisi. Kita yakin itu, itu disebabkan sejarah masa lalu, di mana tentara sangat superior dibandingkan polisi. Padahal, hukum sebenarnya tidak pandang bulu.
Persoalan baku hantam polisi vs tentara, untuk di masa akan datang pasti akan terjadi lagi selama kedua institusi tersebut belum memahami hakikat disiplin itu tadi. Negara yang besar dan maju, pasti memiliki tingkat disiplin yang tinggi.*
Minggu, 15 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar