Sabtu, 28 Februari 2009

Kalau Ragu Lebih Baik Jangan

Oleh Rosadi Jamani

Mendekati Pemilu 9 April, pertarungan antar caleg dan parpol semakin terbuka. Mereka tidak lagi malu-malu mengeluarkan jurus pamungkasnya. Mereka juga tidak pernah berhenti untuk merayu dan meyakinkan pemilih. Di tengah persaingan yang begitu ketat, ada sejumlah caleg dihantui keragu-raguan. Awalnya semangat, lalu tiba-tiba lesu darah. Masih mendingan lesu darah, ada caleg yang justru “matikan mesin” atau tidak lagi berjuang mencari simpati rakyat. Padahal, pesta demokrasi mulai memasuki masa-masa penentuan.
Penyebab munculnya keragu-raguan itu adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan mengenai parliamentary threshold (PT). Putusan tersebut mengharuskan partai politik berikut caleg DPR RI-nya baru bisa masuk ke Senayan apabila berhasil mendapatkan 15 kursi secara nasional. Di bawah itu, misalnya hanya dapat 13 kursi, tetap dilarang masuk ke Senayan. Dengan penolakan PT tersebut juga membuat calon DPR RI dari seluruh partai kecil atau partai baru ragu-ragu untuk bergerak. Justru banyak di antaranya yang sudah matikan mesin.
Beberapa hari lalu, saya bertemu kawan yang juga seorang caleg untuk DPRD Provinsi Kalbar dari partai baru. Kawan saya itu mulai kehabisan “amunisi” atau persediaan finansial untuk melanjutkan perjuangan. Sebulan lalu, saya memang pernah ketemu kawan itu. Ketika itu, dia penuh semangat dan merasa yakin bisa meraih kursi di legislatif. Satu hal yang membuatnya semangat, karena caleg nomor satu dari DPR RI yang berasal dari Jakarta juga semangat untuk berjuang. Kedua caleg sama partai tapi beda posisi itu sepakat untuk berkolaborasi kampanye merebut hati pemilih. Kawan saya itu siap membantu memopulerkan caleg DPR RI itu dengan catatan ada suplai keuangan. Bagi caleg yang orang Jakarta itu tidak masalah soal uang. Yang penting, namanya terus dipopulerkan di seluruh Kalbar.
“Sebelum keputusan MK yang tetap memberlakukan parliamentary threshold, caleg asal Jakarta itu penuh semangat. Dia sering berkomunikasi lewat HP dan datang ke Pontianak. Ketika dia datang ke sini (Pontianak, red), dia selalu menitipkan sejumlah uang dengan kompensasi namanya dipopulerkan,” cerita kawan sambil mengisap rokok mild dan di depannya ada segelas kopi saring. Mukanya terlihat murung, tidak seenergik seperti biasanya. Dia berusaha untuk tenang, tapi raut wajah lesunya tidak bisa disembunyikannya.
“Lalu, bagaimana setelah putusan MK itu?” tanya saya. “Setelah putusan MK itu, orang Jakarta itu mulai jarang berkomunikasi. Bahkan, hampir tiga minggu dia tidak lagi ke Pontianak. Biasanya, seminggu sekali dia ke Pontianak. Inilah yang membuat saya gelisah,” kata kawan itu. Diapun menjelaskan dengan rinci yang membuatnya gelisah, sudah tidak ada lagi harapan untuk mendapatkan kucuran dana dari temannya yang di Jakarta. Sementara keuangannya sendiri sudah semakin menipis. Simpanan uang yang ada hanya cukup untuk keperluan keluarga. Kemudian, sejumlah utang di toko fotokopi dan percetakan masih banyak dan belum dibayar.
“Saya curiga, orang Jakarta jangan-jangan sudah matikan mesin. Maklum, kalau dia sendiri berjuang all out untuk Kalbar, lalu suaranya bisa menuju Senayan, sementara caleg di provinsi lain justru gagal, tidak ada arti suaranya tersebut. Dia akan ditolak masuk ke Senayan, karena tidak mencukupi parliamentary threshold,” jelasnya. Saya pura-pura mengangguk-anggukan kepala dan berkata, “Oh…gitu, ya!”
“Karena alasan itulah, orang Jakarta itu menjadi ragu untuk meneruskan perjuangan. Semula saya berharap bisa mendapatkan uang darinya, sekarang tidak ada lagi sumber keuangan itu. Sayapun tak tahu, bagaimana nanti saat kampanye terbuka, apakah perjuangan tetap diteruskan atau ikut matikan mesin,” ucap kawan sambil menegak kopi saring.
Untuk bisa melenggang ke Senayan butuh biaya besar dan tidak bisa disamakan dengan perjuangan menuju Dewan kabupaten atau provinsi. Kalau di tingkat kabupaten untuk bisa duduk di kursi Dewan harus siap uang minimal di atas Rp 200 juta. Untuk provinsi, minimal di atas Rp 500 juta. Sementara untuk DPR RI minimal di atas Rp 1,5 miliar. (Maaf ini hanya prediksi, bisa lebih, bisa juga kurang). Maksudnya, untuk meraih kursi di Senayan harganya jauh lebih mahal ketimbang di daerah. Hal ini wajar, karena pemilih yang akan ditaklukkan tidak hanya satu kabupaten, melainkan se-Kalbar. Puluhan ribu suara mesti bisa didapatkan untuk bisa mengantarkan caleg melenggang ke Senayan. Nah, perjuangan caleg DPR RI itu juga beda dengan caleg daerah. Perjuangannya mesti super ekstra karena harus berkeliling Kalbar.
Duit banyak dikeluarkan, perjuangan habis-habisan dan berhasil mendapatkan 50 ribu suara (ini misalnya). Dengan suara tersebut bisa membuat caleg itu menuju Senayan. Tapi, caleg di provinsi lain justru semua gagal. Hanya dia sendiri yang berhasil di Kalbar. Berdasarkan parliamentary threshold, caleg itu juga dianggap gagal. Jadi, uang miliaran yang sudah dikuras, mandi keringat yang sudah dikeluarkan, waktu dan tenaga yang sudah diporsir, itu semua tidak ada artinya. Semua dianggap gagal. Kondisi seperti inilah yang membuat caleg DPR RI dari partai baru banyak matikan mesin. Mereka ragu-ragu untuk melanjutkan perjuangan.
Kecuali caleg dari partai besar, mereka tidak terpengaruh dengan PT itu. Justru adanya PT membuat mereka lebih bergairah untuk berjuang. Mereka yakin, partai besar pasti dapat jatah untuk setiap daerah pemilihan. Pada posisi seperti ini, membuat persaingan menjadi tidak asyik lagi untuk dinikmati. Yang akan bertarung serius dengan segenap kemampuan hanya caleg DPR RI dari partai besar saja. Sementara caleg dari partai kecil atau partai gurem akan kalah sebelum bertanding. Keputusan MK itu di satu sisi memang ada baiknya. Dengan keputusan itu, penghuni Senayan nantinya tidak penuh warna. Tidak lagi banyak fraksi. Hanya partai yang berhasil meraih minimal 15 kursi saja yang bisa menjadi wakil rakyat di pusat itu. Diperkirakan penghuni DPR RI maksimal 10 fraksi saja. Dengan 10 fraksi, proses untuk mengambil keputusan akan cepat.
Di sisi lain, keputusan MK itu juga membuat adanya diskriminasi demokrasi. Partai-partai kecil yang kekuatannya tidak merata di seluruh Indonesia dipastikan akan kesulitan masuk Senayan. Berapapun hasil suara mereka, selama tidak memenuhi PT itu, tetap saja sia-sia dan dianggap tidak ada. Pada akhirnya, mereka hanya jadi penonton. Namun, masih untung PT tersebut tidak diberlakukan di daerah. Bisa dibayangkan jika dilakukan di daerah, pastilah partai-partai besar akan merajalela.
Keputusan MK tidak bisa lagi diubah, dan juga tidak perlu ditangisi. Sekarang, tinggal mau berjuang atau tidak. Caleg yang ragu-ragu, tidak yakin dirinya terpilih menjadi Dewan, lebih baik mundur atau matikan mesin sebelum lebih banyak kerugian diderita. Lebih baik berpikir melanjutkan pekerjaan apabila memang sudah bekerja. Bekerjalah dengan giat dan penuh semangat. Saya yakin, dengan pekerjaan yang ditekuni penuh keseriusan akan menghasilkan gaji setara anggota Dewan, bahkan lebih. Bagi caleg yang belum memiliki pekerjaan tetap, lebih baik cari pekerjaan halal dan tetap walaupun itu gajinya kecil. Jangan berpikir gaji besar, sementara itu hanya sebuah impian. Harus diingat, rezeki itu tidak akan datang kalau hanya diimpikan. Rezeki itu pasti datang apabila dicari dengan bekerja keras serta penuh keyakinan tanpa keraguan. Jika memang ragu tidak terpilih sebagai wakil rakyat, lebih baik mundur dan cari pekerjaan lain yang sesuai dengan kemampuan diri sendiri. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar