Oleh Rosadi Jamani
Mendekati Pemilu 9 April, suhu politik semakin seru dan asyik untuk dinikmati. Satu per satu caleg dan parpol sudah tidak lagi malu-malu memamerkan kekuatan dan eksistensinya. Perang janjipun tidak bisa dihindari.
Sekitar dua hari lalu, saya dan istri jalan sore-sore menyusuri jalan-jalan di Kota Pontianak. Saya kaget melihat sebuah baliho ukuran raksasa berdiri gagah di pinggir jalan. Kaget bukan melihat kegantengan si caleg. Kaget bukan karena ukuran raksasanya. Tapi, kaget karena janji politik yang dipamerkannya kepada siapa saja yang melintas. Janji politiknya, akan menyumbangkan 100 persen gajinya untuk beasiswa. “Weleh…weleh…weleh”.
Istri saya bertanya, “Kalau gajinya disumbangkan 100 persen, lantas dia mau makan apa? Kok, berani, ya! Kalau 100 persen gaji disumbangkan, lalu untuk apa jadi Dewan”. Saya maklum dengan istri berpikiran demikian. Umumnya seorang istri tahu dengan keuangan keluarga. Jadi, dia berpikir pragmatis dan apa adanya.
“Saya khawatir untuk menutupi 100 persen gajinya, lalu korupsi,” seloroh istri. “Ssst… jangan bilang gitulah. Mungkin aja caleg itu sudah banyak duitnya. Jadi, Dewan itu mungkin hanya kerjaan sampingan,” timpal saya. “Ya… mungkin aja emang banyak duit caleg itu. Tapikan….” Langsung saya potong, “Udah, jangan suuzzon (negative thinking, red). Doakan aja dia jadi Dewan, dan kita lihat nanti realisasi janjinya. Kalau dia merealisasikan janjinya, berarti caleg itu orang benar. Tapi, kalau dia lupa janjinya, berarti dia meramput”.
Kami terus melanjutkan perjalanan. Ketemu lagi sebuah baliho raksasa caleg. Juga memamerkan janji politik. Kali ini tidak se-extreme caleg yang tadi. Caleg itu menjanjikan akan memangkas 50 persen gajinya untuk beasiswa. “Kalau caleg yang ini…kita sedikit maklum. Memangkas 50 persen gaji, berarti separuh gajinya lagi bisa dinikmati oleh istri dan anak-anaknya. Bahkan untuk partai, konstituen dan masyarakat lainnya juga. Tapi, kalau sudah 100 persen untuk disumbangkan, tak habis pikir dibuatnya,” celoteh istri.
Perjalanan tetap dilanjutkan. Kami tidak lagi menemukan janji-janji politik se-extreme sebelumnya. Kebanyakan hanya jual slogan dan “jadi pengemis”. Kami tidak berjanji, tapi bukti. Kalimat itu saya temukan di salah satu slogan caleg di baliho ukuran sedang. “Caleg yang ini setengah-setengah. Ingin mengelabui masyarakat dengan slogan kalimat yang indah. Tak jelas apa yang ingin dibuktikannya. Jangan-jangan ingin membuktikan seperti Dewan yang lalu-lalu itu. Begitu duduk lalu lupa dengan pemilihnya. Bisa saja itu yang ingin dibuktikannya,” ujar istri. “Memang tak jelas. Hanya pamer tampang aja,” ujar saya.
Lalu, kami ketemu lagi berbagai macam baliho dengan tampang caleg yang aneh-aneh. Ada bak seperti foto model. Ada seperti ustaz kondang. Ada seperti kalangan jet set. Ada seperti artis. Hampir rata-rata dengan ekspresi senyum. Jarang saya ketemu foto caleg dengan wajah seram. Ekspresi itu sengaja diciptakan agar menimbulkan rasa iba dan ketertarikan pemilih. Umumnya, caleg-caleg tersebut tidak obral janji di baliho. Kebanyakan menampilkan tata cara contreng. Ada deretan nama ditampilkan seperti layaknya kertas suara. Ada tanda checklist di nomor urut caleg. Itu bentuk sosialisasi tata cara pencontrengan saat di bilik suara nanti.
Walaupun tidak ada slogan janji, tapi ada slogan belas kasihan. “Mohon doa restu dan dukungannya”. Slogan ini sempat jadi bahan ledekan seorang teman yang juga anggota Dewan. “Para caleg itu kebanyakan seperti pengemis. Coba perhatikan di baliho-baliho caleg itu, rata-rata mohon doa restu dan dukungan. Ungkapan kata permohonan itukan mirip seorang pengemis, minta-minta kepada setiap pengendara kendaraan,” katanya.
Kalau yang diceritakan itu adalah caleg yang banyak pasang baliho di pinggir jalan. Sementara yang tidak pasang baliho lain lagi ceritanya. Tiga hari lalu, teman yang juga caleg untuk tingkat provinsi menelepon saya. Dia menanyakan soal pemasangan iklan di koran. “Bang, saya mau pasang iklan di koran, seperti caleg yang lain tu, gimane?” tanyanya. “Boleh, itu lebih baik,” jawab saya. Kenapa saya bilang lebih baik, sebab pasang iklan ada duitnya serta fee buat saya. “Cuma, saya sedikit ragu pasang iklan,” ujar kawan saya itu. “Kok, ragu!” Dia menjelaskan, pasang iklan, apakah tidak berarti caleg itu tak terkenal. “Saya berpikir gini, bang. Orang kalau ingin melariskan produk, pasang iklan. Begitu juga caleg, agar laku di masyarakat, dia pasang iklan,” katanya. Mendengar ungkapan itu saya sedikit kaget. Yang bisa saya tangkap, caleg pasang iklan berarti tak laku di masyarakat. Cepat saya luruskan. “Abang jangan salah. Iklan di koran itu bukti sebuah eksistensi seorang caleg. Bukan berarti tak lalu. Coba pasang aja, lalu iklan itu abang bawa ke masyarakat. Di antara mereka nanti pasti ada yang bilang, oh… inike si abang yang ada gambarnye di koran. Itu adalah sebuah eksistensi. Coba kalau tak ada iklan, tiba-tiba abang nyelonong aja masuk ke kampung, orang akan berpikir dan berusaha mengenal abang,” jelas saya. Cukup panjang saya jelas soal iklan itu. Bahkan, saya bilang, iklan di koran itu memiliki kelebihan luar biasa. Dia bisa dibawa ke mana saja. Serta bisa menampilkan keinginan si caleg secara leluasa. Bisa tersebar menyeluruh ke seluruh Kalbar. Bisa menerobos ke kampung-kampung. “Coba kalau abang tak pasang iklan, apa tak capek mempromosikan diri dari kampung ke kampung se kabupaten,” tanya saya. “Benar juga, ya..! Okelah, saya pasang iklan. Besok, kita temu, ya!” Cuma, begitu besok saya tunggu, tak juga muncul-muncul. Saya curiga jangan-jangan sudah tak beduit age. Jadi caleg kok tak beduit.
Lain lagi cerita caleg Dapil Kalbar 4 yang juga kawan. Baru-baru ini dia turun ke dapilnya. Saya tahu kemampuan kantong kawan ini, pas-pasan. Apa yang dilakukannya di kampung-kampung, mengadakan pertemuan dengan warga. Dia dibantu oleh pengurus partai yang ada di kampung. Dalam pertemuan itu, dia hanya mampu menyiapkan kue snack dan minuman ringan. “Saya bilang ke masyarakat, saya tak mampu memberi bapak-bapak dan ibu-ibu uang. Saya datang untuk bersilaturahmi. Soal pilihan, semua saya serahkan ke bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian. Tidak dipilihpun tak apa-apa. Kalau dipilih, alhamdulillah. Yang penting kita tetap bisa bersilaturahmi,” katanya. Hanya silaturahmi yang bisa dilakukannya. Lebih dari itu, seperti mendatangkan band, bagi-bagi kaus, alat pertanian, benih, obat-obatan, sunatan massal, menggelar turnamen, dia memang tidak mampu. “Namanya juga usaha. Yang menentukan adalah Allah,” ujarnya.
Cerita terakhir tentang caleg. “Saya untuk sementara belum mau turun ke masyarakat. Kalau kita berbuat sekarang, saya takut nanti dekat Pemilu ada yang nimpa’. Sebab, ada partai besar kerjaannya nimpa’ wilayah binaan orang. Agar tak ditimpa’, tenang-tenang aja dulu,” kata caleg yang kebetulan juga kawan satu kampus. Dijelaskannya, ada partai atau caleg sudah lama membina pemilih di dalam satu wilayah. Tiba-tiba mendekati masa pencoblosan, ada partai lain masuk ke daerah itu melakukan money politic. Akibatnya, partai yang sudah lama membina, hasil jerih payahnya buyar. Pemilih dengan mudahnya berpaling ke caleg atau partai yang bagi-bagikan uang atau bentuk material lainnya. Praktik politik seperti inilah yang sering ditakuti. Praktik ini juga yang membuat keruh suasana pesta demokrasi.
Libido (hasrat) politik caleg secara umum memang menggebu-gebu, terutama yang memiliki uang banyak. Saya hanya khawatir, libido politik yang berlebih justru menimbulkan efek negatif buat pendidikan politik. Ke depan, panggung politik penuh dengan komoditas yang segala sesuatunya harus ditukar dengan uang. Apapun diukur dengan uang. Pada akhirnya, Dewan yang duduk di kursi Dewan juga berpikir bagaimana menghasilkan uang sebanyak mungkin. (Silakan beri tanggapi ke email: rosadi@equator-news.com atau ke http://renunganpelangi.blogspot.com)
Sabtu, 07 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar