Rosadi Jamani
Berdasarkan undang-undang, Dewan memiliki hak istimewa yang berfungsi sebagai control pemerintahan. Salah satu hak tersebut adalah hak interpelasi atau hak bertanya. Maksudnya, legislatif berhak bertanya secara resmi kepada pemerintah apabila ada persoalan yang dianggap kurang beres.
Dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam rumah tangga, ada suami, istri, ibu dan anak. Kalau lebih besar lagi, ada suami, istri, anak, mertua dan keponakan. Suatu hari, istri curiga kenapa suami sering pulang malam hari. Padahal, biasanya pulang sore hari pukul 04.00. Satu hari dua, mungkin istri masih memaklumi. Tapi, kalau sudah lebih dari itu, suami sering pulang malam, pasti timbul dalam pikiran sang istri ada sesuatu yang dirahasiakan suaminya.
Sang istri bertanya, “Pa, kenapa sih akhir-akhir ini sering pulang malam?” Mendengar pertanyaan itu, suami yang baik pasti akan menjawab jujur, “Oh… maaf ya, ma! Papa memang sering pulang malam hari, karena lembur. Maklum, perusahaan mau tutup buku. Jadi, semua pekerjaan harus selesai sebelum tahun baru. Maaf ya, sayang…” Istri yang percaya penuh dengan suaminya akan memahami argumentasi itu. Sebaliknya, jika istri negative thinking, apapun alasan suami, tidak akan diterimanya. “Tidak mungkinlah sampai lima hari belum juga kelar-kelar membuat laporan. Jangan-jangan, papa ada main di kantor?” kata istri yang penuh curiga dengan suaminya. Suami yang sudah capek bekerja dari pagi sampai malam, mendengar ucapan istri seperti itu, muncul sifat emosinya. “Mama, jangan curiga begitu, dong! Sumpah saya bekerja membuat laporan. Kalau tidak percaya, tanyakan aja ke anak buah papa di kantor!” pinta suaminya. “Tak usahlah, papa pasti ada main dengan perempuan lain!” tuduh istrinya lagi. “Mama, apa mau ya? Ini sudah malam, tak enak ribut didengar anak-anak,” kata suaminya dengan nada mulai naik. “Tak peduli, biar tetangga sekalian dengar,” tegas istri yang mulai naik darah. Rumah tangga itu pasti ribut dan bisa-bisa menjadi hancur hanya gara-gara negative thinking. Semestinya, jika istri berpikiran positif, begitu juga suaminya jujur dalam bekerja, persoalan itu pasti cepat reda. Cukuplah dibicarakan di atas ranjang sambil mau bobok.
Kembali kepada interpelasi, di mana DPRD Kalbar untuk pertama kalinya melayangkan hak interpelasi kepada Gubernur Kalbar Drs Cornelis MH. Persoalannya, pelantikan sejumlah pejabat eselon II dinilai wakil rakyat banyak penyimpangan. Awalnya, kasus ini berjalan datar. Kedua belah pihak memandang hak interpelasi sesuatu yang wajar dalam dunia pemerintahan. Sebab, itu semua telah diatur oleh undang-undang. Yang menjadi persoalan, justru ada pihak ketiga (di luar sistem pemerintahan) yang kebakaran jenggot. Pakai ancam main polisi lagi. Bahkan, sudah melayangkan somasi. Pada akhirnya, interpelasi yang murni urusan pemerintahan sudah masuk ranah politik. Nostalgia Pemilihan Gubernur (Pilgub) ikut-ikutan dikenang. Romantisme persaingan di pesta demokrasi tahun 2007 itu kembali mencuat. Kondisi ini membuat interpelasi yang semestinya berjalan wajar, lalu berubah menjadi tidak wajar.
Kalau kita perhatikan kasus tersebut, itu hanya berawal dari negatif thinking saja. Interpelasi itukan bertanya baik-baik oleh Dewan ke Gubernur. Kalau orang bertanya baik-baik, tentu akan dijawab dengan baik juga. Kecuali orang bertanya marah-marah, orang pasti akan menjawab dengan kemarahan juga. Lagian, ini persoalan pemerintahan. Soal pemerintahan ada aturan yang dimainkan, bukan kecurigaan. *
Minggu, 22 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar