Rosadi Jamani
Mungkin sudah ribuan kali kita mendengar bahwa kawasan perbatasan akan dijadikan beranda depan Indonesia. Begitu juga dengan pejabat tinggi pusat ketika datang ke Kalbar, selalu mengatakan akan memberikan perhatian penuh untuk kawasan perbatasan. Ternyata, sampai saat ini semua itu hanya lips service (ngomong doang). Buktinya, warga perbatasan bukannya semakin makmur, malah semakin terbelakang.
Warga di Kecamatan Puring Kencana Kapuas Hulu bukti nyata betapa terbelakangnya kawasan perbatasan Indonesia. Pak Camat Puring Kencana telah membeberkan bahwa masyarakatnya memang jauh tertinggal dibandingkan daerah yang tidak berbatasan dengan Malaysia. Semua sektor tertinggal. Tidak ada listrik, hanya jalan setapak, tidak ada sarana air bersih, minim fasilitas pendidikan dan kesehatan. Lapangan kerja hampir tidak ada. Kata menyedihkan sepertinya pantas untuk keadaan Puring Kencana. Kita yakin, tidak hanya Puring Kencana, daerah perbatasan lainnya juga tidak kalah menyedihkannya. Anehnya, persoalan keterbelakangan daerah perbatasan ini hampir tidak pernah diributkan pemerintah di daerah. Selalu yang diributkan adalah soal tapal batas, patok batas negara. Sebagai contoh, baru-baru ini Danrem dan Kapolda Kalbar menginformasikan terjadi pencaplokan wilayah Kalbar oleh Malaysia sepanjang dua kilometer. Kemudian, ada puluhan patok yang bergeser. Persoalan patok ini tidak hanya ribut di Kalbar, tapi nasional. Mungkin presiden dan menterinya sudah mengetahui informasi tersebut. Padahal, kalau mau jujur soal patok itu tidak ada sangkut pautnya dengan kesejahteraan masyarakat perbatasan. Paling yang diributkan soal kedaulatan negara.
Perbatasan masih dipandang sebagai garis batas yang memisahkan negara. Seolah-olah di daerah itu tidak ada masyarakat yang tinggal. Seolah-olah di garis sempadan itu tidak ada desa, dusun atau kampung. Kenyataannya, ratusan ribu masyarakat Kalbar tinggal di daerah batas itu. Lagi-lagi, mereka kurang beruntung dibandingkan daerah yang tidak berbatasan langsung dengan Malaysia.
Jika ada orang Kalbar di perbatasan lebih gagah mengaku warga Malaysia, tidak bisa disalahkan. Sebab, negeri jiran itu lebih memperhatikan kehidupan mereka ketimbang negaranya sendiri. Bahkan, mereka mulai pandai menyiasati mendapatkan kemudahan pelayanan dari Malaysia. Salah satu caranya, saat ingin melahirkan anak, mereka memilih melahirkan di Malaysia yang jaraknya tidak jauh. Dengan melahirkan anak di Malaysia, si anak akan mendapatkan pengakuan kewarganegaraan itu. Dengan pengakuan kewarganegaraan itu, si anak nantinya bisa sekolah di Malaysia yang fasilitas sangat memadai. Bisa menikmati pelayanan kesehatan. Seandainya, saat dewasa si anak memilih warga Malaysia, tidak bisa disalahkan. Dalam kasus ini jangan ngomong nasionalisme. Justru yang patut diomongkan adalah kesejahteraan. Apalah artinya nasionalisme kalau negara yang dibela-bela tidak memperhatikan kesejahteraan rakyatnya.
Kedaulatan negara itu memang penting. Negara manapun tidak dibenarkan mencaplok negara lain. Persoalan wilayah ini memang sangat sensitif bagi hubungan kedua negara. Banyak negara berperang gara-gara wilayah. Namun, persoalan batas itu di Kalbar tidak membuat hubungan Indonesia dan Malaysia memanas. Dulu, memang pernah terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia. Tapi, persoalannya bukan karena batas wilayah, melainkan persoalan politik.
Kita menganalisis, persoalan batas bukan hal yang sangat fundamental. Malaysia tidak mungkin mau mengotak-atik batas itu. Justru yang diincar bukan batas, melainkan sumber daya alam di perbatasan Kalbar. Caranya, meninabobokan warga perbatasan dengan segala kemudahan. Apabila mereka sudah merasa enak, warga perbatasan ini juga yang disuruh mengangkut segala sumber daya alam ke Malaysia. Orang Malaysia cukup memberi modal dan menampung sumber daya alam itu. Sudah saatnya pemerintah tidak hanya meributkan soal patok batas, tapi juga mesti meributkan kesejahteraan warga perbatasan.
Senin, 02 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar