Rosadi Jamani
Kata orang, kalau bohong itu jangan terlalu amat, bisa sakit. Ungkapan tersebut sering kita dengar di masyarakat. Maksudnya, ada saatnya kita memang dibolehkan berbohong kalau memang bisa mendatangkan sebuah kebaikan. Misalnya, ada sejumlah orang ingin melakukan penganiayaan terhadap orang lain. Lalu, bertanya kepada orang di jalan, ingin mencari orang dimaksud. Orang yang ditanya tahu maksud orang tersebut, lantas berbohong dan mengatakan, selama berada di jalan itu dia tidak melihat orang yang dicari. Itu adalah sebuah kebohongan, padahal dia tahu keberadaan orang yang dicari.
Tapi, kalau kebohongan itu hanya untuk menjaga nama baik pribadi atau oknum yang telah melakukan penganiayaan, kebohongan seperti tidak bisa ditolerir. Dengan maksud agar atasan si oknum tidak tahu atau memaklumi kejadian penganiayaan, jelas tidak bisa dibenarkan. Sebab, orang yang merasa dianiaya tetap dirugikan. Inilah yang terjadi di Polres Landak. Di media massa, Kapolres dan Kanit Serse-nya dengan lantang membantah bahwa tidak ada penodongan dengan pistol terhadap tiga pemuda Ngabang. Kemudian, persoalan tersebut juga telah diselesaikan secara kekeluargaan dengan orang tua korban. Oknum yang telah melakukan penganiayaan hanya satu orang dan telah dikenakan hukum kode etik polisi. Tidak ada lagi masalah. Kira-kira demikian bantahan aparat korp baju cokelat itu.
Tidak lama setelah bantahan itu muncul di media, tiba-tiba orang tua korban dan termasuk korban sendiri justru membantah bantahan petinggi Polres Landak itu. Justru dibeberkan secara detail kejadian penodongan dan penganiayaan tersebut. Juga dibantah tidak ada proses damai dengan orang tua korban. Orang tua bahkan meminta polisi yang melakukan penganiayaan dihukum seberat-beratnya. Bahkan, mereka mengancam, apabila kasus tersebut dibiarkan, akan mendatangi Polda.
Semua itu adalah kejadian atau fakta. Tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Telah terjadi penganiayaan dan penodongan oleh polisi terhadap tiga pemuda Ngabang. Lalu, pihak polisi membantah telah terjadi penodongan dengan pistol. Tidak beberapa lama, orang tua membantah, memang terjadi penodongan. Dari dua kubu, orang pasti bisa menyimpulkan pihak mana yang berbohong atau tidak.
Polisi didesain untuk menegakkan hukum. Polisi juga diciptakan untuk menjadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Motto tersebut bahkan dipajang besar-besar di setiap kantor polisi. Kemudian, polisi juga didesain memperlihatkan muka senyum dan ramah setiap bertemu masyarakat. Semua itu ingin menjadikan polisi dekat dengan masyarakat. Polisi juga ingin membuang image masa lalu, di mana polisi memperlihatkan wajah seram. Saking seramnya, orang tua sering menakuti-nakuti anaknya dengan berkata, “Awas! Ada polisi”.
Apalagi perkataan Kapolda Kalbar yang baru, Erwin Lumban Tobing saat menginjakkan kaki pertama kali di Bumi Khatulistiwa dengan berkata, polisi tidak boleh lagi arogan dengan masyarakat. Desain yang begitu menyejukkan itu justru bertolak belakang dengan kejadian penganiayaan itu. Kita tidak tahu, apakah motto yang sering didengung-dengungkan itu kurang sosialisasi atau tidak pernah lagi dikampanyekan. Itu memang urusan internal polisi. Semestinya, jika motto tersebut tertanam dalam sanubari setiap polisi, tidak ada lagi penganiayaan terhadap warga. Sekarang, tinggal pihak polisi sendiri, jika ingin dekat dengan masyarakat, amalkan secara sungguh-sungguh dan bertanggung jawab motto tersebut. Jangan ada lagi dusta di antara kita (polisi dan masyarakat).*
Kamis, 12 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar