Jumat, 06 Februari 2009

Hantu Mark Up

Rosadi Jamani

Walikota Pontianak, Sutarmidji benar-benar mempermalukan KPU Kota Pontianak. Di hadapan sejumlah wartawan, orang nomor satu di Kota Khatulistiwa itu menuding pihak KPU telah melakukan mark up (penggelembungan) anggaran. Dia mencontohkan salah satu item yang coba di-mark up KPU, yakni anggaran pembuatan spanduk. Bayangkan, satu meter spanduk dihargakan Rp 75 ribu. Padahal, di pasaran harga itu jauh di bawah. Jangankan walikota, anak kecil saja melihat angka itu pasti tercengang. Spanduk seperti apa harganya sampai Rp ribu juta per meter.
Mark up memang sudah merasuki anggaran pemerintah daerah. Apa yang dikatakan Walikota itu, bukan baru pertama. Praktik mark up sudah bertahun-tahun berlangsung. Tidak ada satupun pemerintahan di Indonesia ini bebas dari praktik mark up. Upaya untuk memberantasnya sangat-sangat sulit.
Kenapa harus mark up? Dari mark up inilah para pegawai pemerintah mendapatkan fee atau can tepi. Proses mark up ini juga sangat rapi dan seolah-olah benar adanya. Sebagai contoh, membuat stempel surat, di kaki lima itu hanya Rp 30 ribu. Tapi, dalam laporan bisa mencapai Rp 80 ribu. Begitu dicek anggaran keluar, kuitansi pembelian lengkap dengan cap pihak pembuat stempel. Itu baru harga material kecil. Bagaimana kalau membeli barang yang puluhan juta, mark up pasti tidak bisa dihindari.
Hampir tidak ada satupun item anggaran yang luput dari mark up. Praktik ini tidak bertepuk sebelah tangan, hanya dari pihak pemerintah saja, melainkan dari pihak penyedia barang. Terjadi kolusi yang saling menguntungkan. Pihak penyedia barang sangat senang pemerintah membeli barangnya. Sementara pihak pemerintah juga senang apabila si penyedia mengikuti cara-cara curang, misalnya meninggikan harga serta cap stempel basah. Semua diatur dengan rapi.
Pelaku mark up pasti akan kena batunya, apabila harga tercantum di dalam kuitansi itu dibandingkan dengan harga pasar yang sebenarnya. Mereka pasti tidak berkutik. Cuma, apakah Sutarmidji mampu berantas praktik mark up tersebut? Ini yang menjadi pertanyaan. Kalau hanya sekadar berkoar di media juga tidak ada artinya apabila tidak action nyata di lapangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar