Sabtu, 21 Februari 2009

Caleg yang Tidak Percaya Diri

Rosadi Jamani

Cerita calon legislatif (caleg) berjuang mendapatkan kursi panas Dewan masih sangat asyik untuk dinikmati. Semakin dekat Pemilu legislatif 9 April 2009, cerita caleg semakin seru dan lucu-lucu. Ada-ada saja ulah mereka. Untuk mewujudkan ambisi politik, ada caleg justru “menjual” harga dirinya.
Minggu (15/02/2009), saya dan istri pergi kondangan pernikahan kawan di Pontianak Barat. Di sepanjang jalan, kami banyak melihat deretan baliho caleg dengan aneka bentuk dan ukuran. Termasuk juga dengan aneka pose wajah caleg yang seolah-olah berebut simpati kepada siapa yang lewat. Semua wajah caleg itu penuh senyum dan mohon doa dan dukungannya. Dari ribuan baliho caleg, ada sedikit aneh dan menarik untuk dibahas pada edisi kali ini. Yaitu, baliho caleg dengan menampilkan wajah orang lain di samping fotonya sendiri.
“Pa, itu ada baliho caleg menampilkan foto emmak-nya. Apa maksudnya, ya?” tanya istri sambil kedua tangannya mendekap pinggang saya saat memacu sepeda motor ke tempat kondangan. “Itu caleg yang tidak percaya diri. Kalau dia pasang foto sendirian, orang-orang di kelurahannya tidak ada yang kenal. Kalau dipasang foto emmak-nya, orang tahu bahwa si caleg itu anaknya si ibu yang ada di samping foto caleg itu,” jelas saya.
“Berarti si caleg itu kurang pede kalau sendirian di baliho. Masa’ emmak-nya juga dipajang. Nanti orang bingung, siapa yang caleg, emmak-nya atau si caleg itu,” ujar istri.
Sepeda motor kami terus melaju mendekati tempat kondangan. Lagi-lagi kami ketemu baliho caleg dengan menampilkan wajah orang lain. “Pa, itu baliho caleg banyak menampilkan wajah orang lain, apa maksudnya?” tanya istri lagi. “Itu juga caleg tak percaya diri juga. Dia menggunakan wajah ketua partainya dengan maksud agar orang tahu bahwa si caleg sama terkenalnya dengan ketua partai itu. Tujuannya, apabila orang ingin contreng ketua partai itu, dia juga akan mencontreng si caleg itu juga. Itu sebuah taktik mengelabui pemilih saja,” jawab saya.
Lalu, kami ketemu lagi baliho caleg dengan foto salah satu kepala daerah ini. “Pa, itu caleg juga menampilkan foto kepala daerah, apa maksudnya?” tanya istri lagi. “Itu juga caleg yang tak pede. Maksudnya, kepala daerah itu banyak punya rakyat dan pengikut. Si caleg itu minta pengikut kepala daerah itu juga memilih dirinya. Numpang beken, istilahnya,” jawab saya.
Kemudian, kami ketemu baliho di dalamnya banyak foto caleg. Cuma ada satu caleg yang ukuran fotonya agak besar dari yang lainnya. “Pa, itu baliho caleg kenapa banyak fotonya?” tanya istri lagi. “Itu juga caleg yang benar-benar tidak percaya diri. Fotonya dibesarkan dari foto yang lain. Maksudnya, foto-foto yang banyak itu adalah caleg yang berada di bawah nomor urutnya. Caleg yang berada di bawahnya itu tak punya uang buat baliho, lalu si caleg nomor urut 1 itu menampilkan foto mereka. Tujuannya, caleg-caleg di bawahnya itu ikut berjuang mencari suara pemilih. Nanti, suara-suara itu akan ngumpul kepada caleg nomor urut 1 itu. Itu juga bagian taktik memanjakan dan mengikat caleg urutan bawah agar tidak lari. Mereka pasti senang ditampilkan wajahnya di baliho itu,” jelas saya.
Ketemu lagi kami dengan baliho menampilkan wajah dua caleg satu daerah pemilihan. “Dua caleg itukan sama-sama satu dapil, kenapa foto mereka ditampilkan dalam satu baliho, apa maksudnya?” tanya istri lagi. “Nah, itu caleg yang memiliki uang pas-pasan. Mereka berdua itu gabungan buat baliho. Baliho ukuran sedang itu diperkirakan harganya hampir seratus ribu, termasuk kayu dan tukang pasang. Kalau seratus ribu dibagi dua, berarti satu orang hanya lima puluh ribu. Lumayan untuk menghemat pengeluaran. Cuma, nanti masyarakat bingung, mau pilih yang mana? Ini taktik merebut hati pemilih yang salah. Ingin irit anggaran, tapi membuat pemilih bingung,” jawab saya.
Selanjutnya, ada lebih seru lagi. “Pa, itu baliho caleg banyak menampilkan wajah kiai, apa maksudnya?” tanya istri lagi. “Walah, itu lebih parah lagi, caleg itu benar-benar tak pede dan tahu diri. Coba lihat foto para kiai itu, rata-rata di-scan atau direpro. Kiai-kiai itu mungkin banyak sudah meninggal. Tak tahu kiai dari mana saja itu yang ditempel. Foto caleg besar, sementara foto kiai ukurannya kecil-kecil dipajang mengelilingi foto caleg itu. Maksudnya, caleg itu sudah mendapatkan restu dari para kiai itu. Caleg itu berarti juga seorang religius tulen siap membela umat,” jawab saya.
Kamipun sampai di tempat kondangan. Usai makan, serahkan amplop dan memberikan ucapan selamat kepada mempelai, kamipun kembali ke rumah. Usai menanggalkan baju kondangan, kamipun istirahat dan mengulang cerita caleg yang tak percaya diri. Cerita caleg tak percaya diri itu sebuah gambaran perilaku politik di daerah ini. Semestinya, perilaku politik yang baik dan benar, mesti percaya diri. Caleg itu harus yakin dengan kemampuan diri sendiri tanpa harus mendompleng popularitas orang lain. Kalau caleg itu duduk di kursi dewan, perjuangannya tidak murni karena ada andil orang lain atas perjuangannya. Seorang politisi dikatakan hebat, apabila perjuangan yang dilakukan berdasarkan kemampuan pikiran, uang, popularitas dan kerja keras sendiri. Kalaupun melibatkan orang, orang tersebut dalam kapasitas membantu saja. Mendompleng popularitas orang lain, itu bukanlah seorang politisi sejati.
Sekitar tiga hari lalu, kawan satu alumni PMIS Untan, namanya Abdurrahman M Si menelepon saya. “Kawan, tolong masukan komentar saya soal politik di koran,” pintanya. “Apa komentarnya?” tanya saya. “Catat, ya! Karena komentarnya agak panjang mengenai politik, nih,” tukasnya. Lalu, sayapun mendengarkan dan mencatat opini soal politik dari Abdurrahman.
Menurutnya, pemilih pada Pemilu 9 April 2009 nanti terbagi empat kategori. Pertama pemilih yang memilih berdasarkan budaya. Orang cenderung memilih kalau yang dipilih itu satu budaya. Kedua, berdasarkan kekerabatan atau keluarga. Ketiga, berdasarkan profesi dan keempat berdasarkan kedaerahan berbasis desa. “Itu gambaran secara umum,” katanya.
Dari empat kategori itu, lanjutnya, pemilih bisa dipersempit menjadi empat lagi. “Pertama, pemilih rasional, intelektual dan ideologi matang. Kedua, emosional, ideologi belum matang. Ketiga, pemilih mengambang, pemilih yang bingung. Keempat, pemilih buta, fanatik, buta huruf dan balas jasa,” papar Abdurrahman.
“Dari empat pemilih itu, kalau dimasukkan dalam piramida, pemilih rasional berada di urutan atas, lalu disusul pemilih emosional, mengambang dan terakhir pemilih buta. Justru pemilih buta inilah yang paling banyak di Pemilu 9 April nanti,” paparnya.
Abdurrahman melanjutkan, semua caleg pasti ingin kekuasaan (duduk di Dewan). Sudah sifat fitrah manusia ingin kekuasaan. Perlu diketahui, tujuan kekuasaan itu bisa positif dan negatif. Kalau positif, kekuasaan itu untuk eksistensi diri dan memiliki tanggung jawab moral untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Tujuan negatifnya, kekuasaan untuk kepuasan diri, menindas lawan politik, menjadi tuan dalam suatu sistem, rakyat justru dilupakan.
“Bagus, man komentar ente! Paling tidak ente sudah tercerahkan dalam dunia politik. Ilmu tu jangan dipendam sendiri, diamalkan ke orang lain, bila perlu ke caleg-caleg itu,” kata saya. “Jelas, kawan! Kita akan berikan pencerahan politik kepada orang-orang yang baru melek politik. Ini pertanggungjawaban saya terhadap gelar Magister of Science (M Si, red), tu, ha…ha…ha…,” selorohnya. “Oke, kawan, nanti kita sambung lagi, ya,” tambahnya.
Dunia politik, dunia yang penuh intrik, trik, dan taktik. Untuk memasuki dunia politik, tidak cukup hanya siap uang, tapi juga ilmu politiknya. Untuk yang sudah telanjur terjun ke dunia politik, belajarlah ilmu politik. Tujuannya, agar dunia politik jangan dinodai oleh hal-hal negatif yang merusak politik itu sendiri. Jika dunia politik sudah rusak, yang ada hanya money politic, main sikat, main ancam, main teror, main intimidasi, main paksa, hantam kromo, praktik-praktik seperti inilah yang membuat politik itu menjadi kotor. Padahal, esensi dari politik itu adalah menggapai kekuasaan dengan cara terhormat. Ketika kekuasaan itu didapatkan harus dipergunakan untuk kebaikan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. (silakan tanggapi ke email: rosadi@equator-news.com atau ke http://renunganpelangi.blogspot.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar