Rabu, 25 Februari 2009

Berkorban untuk Rakyat atau Mengorbankan Rakyat

Rosadi Jamani

Hak interpelasi DPRD Kalbar yang ditujukan ke Gubernur membuat kita khawatir. Semula, kasus itu hanya bermain di ranah pemerintahan, sekarang melebar ke ranah politik. Belakangan, melebar lagi ke ranah etnis. Muara dari semua itu adalah konflik. Kalau terjadi konflik, apakah pihak yang bertikai itu menjadi korban atau malah rakyat yang menjadi korban?
Kita ingin mengingatkan, penghuni gedung megah di Jalan A Yani dekat SPBU itu adalah wakil rakyat. Mereka dipilih rakyat dengan harapan bisa memperjuangkan segala rintihan rakyat. Saat mereka berjuang memperebutkan kursi legislatif, mereka juga berkoar-koar siap berkorban untuk kepentingan rakyat. Pokoknya, apapun yang dilakukan untuk kepentingan rakyat. Ketika mereka duduk di kursi Dewan, status mereka-pun berubah. Yang dulunya orang biasa, suka nongkrong di warung kopi, status berubah menjadi wakil rakyat. Dulunya sedikit nakal, berubah menjadi wakil rakyat. Dulunya preman, berubah menjadi wakil rakyat. Di pundak mereka ada beban dan tanggung jawab untuk memperjuangkan nasib rakyat.
Begitu juga dengan Gubernur, saat kampanye selalu menjanjikan kesejahteraan rakyat. Kemudian, menjanjikan kenyamanan dan kedamaian di Kalbar. Serta, menjaga harmonisasi hubungan antar etnis atau dengan semua golongan. Semua pembangunan diarahkan untuk kepentingan rakyat.
Kalau melihat jargon di atas, memang sangat indah. Semua membela dan berkorban untuk rakyat. Tapi, kalau melihat kasus hak interpelasi itu, justru tidak ada yang berkorban untuk rakyat. Mereka hanya mengedepankan ego lembaga. Dewan akan membentuk Pansus. Sementara Gubernur, tidak peduli dan tidak mau hadir. Sikap gubernur itu lalu direspons pendukungnya siap mem-back up apapun kebijakan gubernur. Terjadilah ketegangan tingkat tinggi. Semula yang tegang hanya Dewan dan Gubernur, sekarang yang ikut-ikutan tegang justru pihak ketiga yang juga memiliki kepentingan.
Lantas, di mana letak pengorbanan untuk rakyat? Justru dari perseteruan itu, tidak ada sama sekali menyentuh kepentingan rakyat. Taruhlah, pihak Dewan berhasil memaksa Gubernur datang ke ruang sidang paripurna, lalu menjawab seluruh pernyataan Dewan, lantas apa kepentingannya untuk rakyat? Okelah, kalau Dewan mengalah dan gubernur menang, lantas apa untungnya buat rakyat? Tidak ada sama sekali. Justru yang muncul konflik di tingkat rakyat (grass root). Sekarang saja konflik itu mulai terasa. Sentimen etnis mulai muncul.
Kondisi tersebut diperparah dengan semakin dekatnya Pemilu. Sejumlah Dewan pasti akan memanfaatkan momen perseteruan ini untuk menaikkan popularitas. Begitu juga dengan Gubernur beserta pendukungnya, menjadikan momen ini untuk kepentingan politik. Nah, dalam perseteruan itu justru tidak ada rakyat yang diuntungkan. Sebaliknya, rakyatlah yang akan dikorbankan.
Dalam persoalan ini, kita mengharapkan kedewasaan dalam berpolitik maupun dalam pemerintahan. Janganlah mengutamakan ego, tapi pikirkan rakyat di tingkat bawah. Kalau terjadi konflik, tidak ada gunanya lagi penyelesalan. Apa enaknya tinggal di Kalbar kalau konflik itu memang terjadi. Tidak ada lagi gunanya kekayaan, tidak ada gunanya lagi sifat ego, tidak ada gunanya lagi jabatan, kalau negeri ini sudah dilanda konflik antar etnis. Kita mengharapkan, kedua lembaga itu mesti mencari jalan keluar yang damai dan sejuk demi rakyat.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar