Oleh Rosadi Jamani
Sistem suara terbanyak memunculkan persaingan seru antar caleg. Persaingan justru bukan dengan caleg beda partai, melainkan sesama partai sendiri. Persaingan itu terjadi apabila masing-masing caleg memiliki kemampuan sama. Tapi, kalau kemampuan beda jauh, persaingan itu tidak kuat. Di balik persaingan itu, orang bisa mendapatkan keuntungan besar.
Tetangga saya seorang pengurus partai di tingkat kelurahan. Jabatannya hanya sebagai anggota biasa. Dia tidak menjadi caleg, mungkin terbentur ijazah. Walaupun bukan caleg, dia termasuk tokoh pemuda di gang saya. Dalam beberapa minggu ini, dia sering didatangi caleg dari partainya. Caleg pertama datang nomor urut 4. Caleg ini membawa sejumlah atribut seperti baliho ukura sedang, poster, stiker dan bendera parpol. Caleg itu minta dia menempelkan atribut itu di gang saya. Dia diberikan imbalan Rp 200 ribu. Sebagai kader partai, tetangga saya tidak bisa menolak. Diapun menjalankan apa yang dihendaki caleg itu. Selang beberapa hari caleg nomor 1 ke rumahnya. Caleg ini juga sama membawa sejumlah atribut kampanye. Cuma lebih banyak dari caleg nomor 4 tadi. Tetangga saya itupun menyanggupi permintaan caleg nomor 1 untuk memasang seluruh atribut di gang. Imbalannya, dia mendapatkan Rp 300 ribu. Berarti dalam seminggu dia sudah mengantongi Rp 500 ribu. “Lumayan,” katanya kepada saya.
“Kalau ada lagi caleg dari partai saya minta dukungan, saya bilang siap membantu. Soal caleg yang sudah minta bantu sebelumnya, itu urusan lain. Yang penting dapat uangnya, walaupun dari kader sendiri. Yang milih itukan masyarakat, kita hanya bantu memasang atribut saja,” ujarnya santai. Saya lihat di rumahnya, poster caleg nomor 4 dan nomor 1 ada ditempel di dinding. Bahkan sejumlah baliho di depan rumahnya juga ada. Sementara kader partai lain juga demikian memperlakukan calegnya. Jadi, di gang saya itu banyak baliho caleg dari berbagai partai. Padahal, di gang saya hanya ada satu caleg.
Khusus caleg di gang saya itu, tidak terlihat semangat menghadapi Pemilu. Nomor urutnya juga tidak strategis, papan tengah. Dia lebih semangat membantu caleg satu partainya ketimbang mengurus diri sendiri. Saya yakin kenapa caleg itu tidak semangat, karena kesulitan uang. “Kalau bantu kawan pasti ada duitnya. Kalau kita ngurus diri sendiri, keluar uang itu sudah pasti,” ujarnya. Sekitar seminggu lalu, di rumahnya dijadikan pertemuan antara caleg nomor urut 1 dengan warga gang saya. Si caleg itu menjadi fasilitator dengan mengundang seluruh warga gang. Karena undangannya malam hari, saya tidak bisa hadir, maklum kerja malam.
Caleg itu berkata kepada saya, mengundang warga itukan tidak salah. Mereka mau hadir atau tidak masalah, tidak dipaksa. Yang penting dia sudah menyampaikan undangan. “Yang penting saya sudah menyampaikan undang. Soal hadir atau tidak, itu urusan warga. Saya tidak memaksa,” katanya.
Dua hari setelah acara temu warga dengan caleg itu selesai, ada lagi caleg lain dari partai berbeda mengundang warga. Saya juga dapat undangan. Isinya mengundang saya dan istri untuk pertemuan antara warga dengan caleg nomor 3. Lagi-lagi saya minta maaf tidak bisa hadir, karena acara itu digelar malam hari. Sayang! Kalau saya bisa hadir tentu bisa tahu seperti apa kepiawaian caleg itu. Saya dapat informasi, warga yang datang juga ramai seperti undangan caleg sebelumnya. Saya berpikir, jangan-jangan yang hadir warga-warga itu juga.
Saya coba tanya kepada tetangga yang hadir dalam pertemuan itu. “Saya sudah dua kali hadir pertemuan dengan caleg itu. Lumayan dapat makan walaupun hanya snack. Ada juga dapat baju. Bahkan, dapat amplop isinya Rp 20 ribu. Kalau 10 orang caleg ngadakan pertemuan seperti itu masing-masing ngasih Rp 20 ribu, lumayan juga. Dari dapat nonton TV di rumah lebih baik hadir. Selain dapat pengetahuan juga dapat duit,” ujar tetangga saya yang rumahnya persis di depan rumah.
Satu lagi saya sampaikan kisah caleg. Dia caleg untuk DPRD Kalbar nomor urut 5. Awalnya dia lesu. Ketika MK memutuskan suara terbanyak, semangatnya muncul kembali. Seminggu setelah keputusan MK itu, dia langsung memesan baliho ukuran besar 20 lembar. Puluhan juta dikeluarkan hanya untuk baliho itu. Tidak hanya habis di situ, dia juga membentuk tim sukses, mencetak stiker, kalender, poster, spanduk dan ribuan baju kaus. Semua atribut itu sudah dicetaknya. Dia memang berduit, maklum seorang kontraktor yang sering mendapatkan proyek di atas Rp 1 miliar lebih.
“Saya sudah menghabiskan duit Rp 200 juta lebih. Itu hanya untuk mencetak sebagian atribut kampanye. Sebagian sudah sebarkan ke masyarakat. Sebagiannya lagi untuk kampanye menjelang Pemilu. Saya yakin bisa duduk, karena saya memiliki keluarga besar. Kemudian, kader partai juga banyak. Inilah yang membuat saya yakin untuk duduk di legislatif tingkat provinsi,” yakin kawan yang juga salah satu fungsionaris partai besar.
Untuk menggapai ambisinya itu, dia telah menyiapkan uang paling sedikit Rp 2 miliar lebih. Uang tersebut tidak hanya untuk mempopulerkan dirinya, melainkan untuk adiknya juga. Adiknya juga caleg, tapi untuk tingkat kabupaten. Mereka berdua bahu-membahu untuk meraih kursi empuk. Cuma, caleg yang dihadapi tidak kalah semangatnya. Caleg nomor urut 1 adalah pimpinan partai dan juga anggota Dewan aktif. Soal duit jangan dilawan. Kemudian, caleg nomor 3 tidak kalah tajirnya. Bahkan, caleg nomor 3 itu sudah menggelar berbagai even di masyarakat. Miliaran rupiah sudah dihamburkan. Ketiga caleg satu partai itu benar-benar bersemangat. Ibarat gigi motor, ketiganya sudah menggunakan gigi empat. Asyik melihat persaingan ketiganya. Kalau masyarakat pandai mengambil hatinya bisa dapat uang banyak.
Itu semua adalah cerita menarik seputar persaingan antarcaleg. Sangat menarik untuk diamati. Kita kadang dibuat tertawa. Bahkan, kadang juga dibuatnya terpana. Ada yang sudah mengeluarkan dana miliaran rupiah hanya untuk menaklukkan kawan sendiri. Tapi, ada juga yang terlihat santai, tidak perlu mengeluarkan uang, justru memanfaatkan kawan sendiri untuk mendapatkan keuntungan. Persaingan itu akan semakin panas ketika menghadapi caleg dari partai lain. Apalagi kalau caleg itu sama-sama memiliki kemampuan. Ibaratnya, kalau tinju sama-sama kelas berat. Pasti pertarungan memperebutkan kursi panas seru dan mendebarkan.
Dalam situasi seperti itu, caleg yang bisa memenangkan pertarungan adalah caleg yang pintar, cerdas dan licik. Jangan ngomong kejujuran dalam situasi seperti itu. Untuk memenangkan pertarungan mesti lincah, licik dan penuh trik. Kalau ada caleg masih menjual kejujuran, ingin kampanye beretika, bersiap untuk kalah. Soalnya, ketika caleg itu ingin menciptakan suasana kampanye tertib, caleg lain justru mengambil sikap sebaliknya. Contoh kecil, aksi pemasangan atribut kampanye, rata-rata caleg maupun parpol melanggar aturan. Itu baru contoh kecil. Belum lagi ketika merebut hati pemilih di pelosok gang, kampung-kampung atau dusun-dusun, sikut-sikutan antar caleg pasti terjadi.
Agar pertarungan itu semakin menarik, perlu ada wasit yang tidak lain Panwaslu. Di tengah persaingan super panas itu, Panwaslu mesti tegas dan tidak pandang bulu. Selain itu, pihak kepolisian juga standby di seluruh sudut kota dan kampung. Saya hanya berdoa persaingan yang pasti menarik itu tidak sampai bentrok yang menimbulkan korban jiwa. (Silakan tanggapi lewat email ke rosadi@equator-news.com atau ke http://renunganpelangi.blogspot.com)
Sabtu, 31 Januari 2009
Jumat, 30 Januari 2009
Sikap Tegas Pemkab Kubu Raya
Rosadi Jamani
Setiap polemik harus diakhiri. Jika tidak, polemik tersebut akan berlarut-larut, tidak akan ada ujungnya. Terkait dengan test penerimaan CPNS Kabupaten Kubu Raya (KKR) yang berpolemik cukup lama, akhirnya menemukan titik akhir. Pemkab Kubu Raya secara tegas memutuskan tidak ada test ulang. Kemudian, kepada CPNS yang lulus untuk melakukan registrasi ulang 1 Februari ini. Keputusan itu diambil dalam sebuah rapat terbatas menghadirkan semua pihak yang berkompeten dengan test CPNS pada 29 Januari 2009.
Itulah sikap tegas Pemkab Kubu Raya yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Keputusan tersebut memupuskan desakan Forum Alumni Diploma Dua (Formal D2) yang menginginkan test diulang. Alasannya, banyak terjadi penyimpangan dan pelanggaran selama test berlangsung. Keputusan itu juga menjadi kemenangan besar dari kubu CPNS lulus yang tidak mau test tersebut diulang. Inilah keputusan pemerintah, semua pihak mesti mematuhinya. Terlepas itu ada yang pro atau kontra. Keputusan itu tidak bisa dianulir begitu saja. Baru bisa dianulir lewat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Kita lihat ke belakang, di antara seluruh daerah, hanya KKR yang mengalami polemik paling panas. Ada juga Kabupaten Sambas, tapi bertepuk sebelah tangan. Desakan CPNS yang tidak lulus tidak sampai membuat DPRD membuat Pansus. Berbeda dengan KKR, begitu aspirasi masuk ke DPRD, langsung dibuatkan Pansus.
Semenjak itu terjadi aksi unjuk rasa dari CPNS yang tidak lulus. Segala bukti penyimpangan test CPNS diserahkan ke Pansus. Permintaan mereka hanya satu, test CPNS harus diulang. Pansus-pun bekerja menjalankan apa yang diinginkan para demontrans. Ternyata, aksi CPNS tidak lulus itu mendapatkan aksi tandingan. Para CPNS yang lulus juga menggelar aksi ke gedung DPRD Kubu Raya. Bahkan, mereka juga sering turun ke jalan. Hanya satu tujuan mereka, minta test CPNS tidak diulang. Terjadilah aksi saling membalas unjuk rasa.
Pansus mencoba bersikap arif. Seluruh anggotanya pergi ke Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara di Jakarta untuk berkonsultasi. Mereka juga membawa berkas seluruh temuan di lapangan. Di kantor ini, Pansus hanya mendapatkan rekomendasi. Pansus diminta berkonsultasi ke Badan Kepegawaian Negara (BKN). Lembaga inilah yang bisa memutuskan test diulang atau tidak. Sayang, konsultasi ke BKN tidak dilakukan.
Ketika Menpan, Taufik Effendi ke Pontianak, ternyata dia tidak ada menerima laporan soal polemik CPNS KKR. Kenyataan ini mendapatkan reaksi dari CPNS yang tidak lulus. Mereka menuding Pansus ada “main mata”. Hanya itu saja yang bisa dilakukan Pansus. Tiba-tiba Pemkab Kubu Raya mengambil sikap tegas dan memutuskan test CPNS tidak akan diulang. Yang lulus silakan registrasi administrasi 1 Februari. Dengan ada keputusan tersebut, perjuangan Formal D2 atau CPNS yang tidak lulus hampir sia-sia.
Setelah keputusan itu keluar jelas sangat membuat lega kubu CPNS lulus. Perjuangan mereka agar test CPNS tidak diulang berhasil. Aspirasi mereka didengar Pemkab Kubu Raya. Harapan untuk menjadi abdi negara sudah hampir dipastikan berada di telapak tangan.
Lalu, bagaimana yang tidak lulus? Jika demikian halnya keputusan pemerintah, hampir tidak ada lagi harapan untuk memenangkan pertarungan. Satu-satunya harapan itu adalah menunggu Bupati KKR mengeluarkan keputusan resmi soal peserta yang lulus test CPNS. Keputusan itu lalu digugat ke PTUN. Biarlah PTUN sebagai lembaga hukum memiliki kekuatan memaksa yang akan menentukan. Jika PTUN menjatuhkan vonis bahwa keputusan Bupati itu melanggar aturan, berarti kelulusan bisa dibatalkan. Sebaliknya, jika gugatan ditolak PTUN, keputusan Bupati berarti benar dan tidak melanggar tata usaha negara. Tapi, beranikah CPNS tidak lulus melakukan gugatan ke PTUN? Untuk melakukan gugatan jelas harus punya uang untuk menyewa pengacara. Harus bisa menghadirkan saksi-saksi kunci. Prosesnya juga tidak sebentar, memakan waktu lama.
Inilah yang dinamakan polemik bak kisah sinetron. Kita yakin persoalan ini tidak habis hanya pada keputusan bupati. Pasti ada aksi penolakan terutama dari CPNS yang tidak lulus. Namun, polemik sudah memasuki titik akhir (the end).*
Setiap polemik harus diakhiri. Jika tidak, polemik tersebut akan berlarut-larut, tidak akan ada ujungnya. Terkait dengan test penerimaan CPNS Kabupaten Kubu Raya (KKR) yang berpolemik cukup lama, akhirnya menemukan titik akhir. Pemkab Kubu Raya secara tegas memutuskan tidak ada test ulang. Kemudian, kepada CPNS yang lulus untuk melakukan registrasi ulang 1 Februari ini. Keputusan itu diambil dalam sebuah rapat terbatas menghadirkan semua pihak yang berkompeten dengan test CPNS pada 29 Januari 2009.
Itulah sikap tegas Pemkab Kubu Raya yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Keputusan tersebut memupuskan desakan Forum Alumni Diploma Dua (Formal D2) yang menginginkan test diulang. Alasannya, banyak terjadi penyimpangan dan pelanggaran selama test berlangsung. Keputusan itu juga menjadi kemenangan besar dari kubu CPNS lulus yang tidak mau test tersebut diulang. Inilah keputusan pemerintah, semua pihak mesti mematuhinya. Terlepas itu ada yang pro atau kontra. Keputusan itu tidak bisa dianulir begitu saja. Baru bisa dianulir lewat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Kita lihat ke belakang, di antara seluruh daerah, hanya KKR yang mengalami polemik paling panas. Ada juga Kabupaten Sambas, tapi bertepuk sebelah tangan. Desakan CPNS yang tidak lulus tidak sampai membuat DPRD membuat Pansus. Berbeda dengan KKR, begitu aspirasi masuk ke DPRD, langsung dibuatkan Pansus.
Semenjak itu terjadi aksi unjuk rasa dari CPNS yang tidak lulus. Segala bukti penyimpangan test CPNS diserahkan ke Pansus. Permintaan mereka hanya satu, test CPNS harus diulang. Pansus-pun bekerja menjalankan apa yang diinginkan para demontrans. Ternyata, aksi CPNS tidak lulus itu mendapatkan aksi tandingan. Para CPNS yang lulus juga menggelar aksi ke gedung DPRD Kubu Raya. Bahkan, mereka juga sering turun ke jalan. Hanya satu tujuan mereka, minta test CPNS tidak diulang. Terjadilah aksi saling membalas unjuk rasa.
Pansus mencoba bersikap arif. Seluruh anggotanya pergi ke Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara di Jakarta untuk berkonsultasi. Mereka juga membawa berkas seluruh temuan di lapangan. Di kantor ini, Pansus hanya mendapatkan rekomendasi. Pansus diminta berkonsultasi ke Badan Kepegawaian Negara (BKN). Lembaga inilah yang bisa memutuskan test diulang atau tidak. Sayang, konsultasi ke BKN tidak dilakukan.
Ketika Menpan, Taufik Effendi ke Pontianak, ternyata dia tidak ada menerima laporan soal polemik CPNS KKR. Kenyataan ini mendapatkan reaksi dari CPNS yang tidak lulus. Mereka menuding Pansus ada “main mata”. Hanya itu saja yang bisa dilakukan Pansus. Tiba-tiba Pemkab Kubu Raya mengambil sikap tegas dan memutuskan test CPNS tidak akan diulang. Yang lulus silakan registrasi administrasi 1 Februari. Dengan ada keputusan tersebut, perjuangan Formal D2 atau CPNS yang tidak lulus hampir sia-sia.
Setelah keputusan itu keluar jelas sangat membuat lega kubu CPNS lulus. Perjuangan mereka agar test CPNS tidak diulang berhasil. Aspirasi mereka didengar Pemkab Kubu Raya. Harapan untuk menjadi abdi negara sudah hampir dipastikan berada di telapak tangan.
Lalu, bagaimana yang tidak lulus? Jika demikian halnya keputusan pemerintah, hampir tidak ada lagi harapan untuk memenangkan pertarungan. Satu-satunya harapan itu adalah menunggu Bupati KKR mengeluarkan keputusan resmi soal peserta yang lulus test CPNS. Keputusan itu lalu digugat ke PTUN. Biarlah PTUN sebagai lembaga hukum memiliki kekuatan memaksa yang akan menentukan. Jika PTUN menjatuhkan vonis bahwa keputusan Bupati itu melanggar aturan, berarti kelulusan bisa dibatalkan. Sebaliknya, jika gugatan ditolak PTUN, keputusan Bupati berarti benar dan tidak melanggar tata usaha negara. Tapi, beranikah CPNS tidak lulus melakukan gugatan ke PTUN? Untuk melakukan gugatan jelas harus punya uang untuk menyewa pengacara. Harus bisa menghadirkan saksi-saksi kunci. Prosesnya juga tidak sebentar, memakan waktu lama.
Inilah yang dinamakan polemik bak kisah sinetron. Kita yakin persoalan ini tidak habis hanya pada keputusan bupati. Pasti ada aksi penolakan terutama dari CPNS yang tidak lulus. Namun, polemik sudah memasuki titik akhir (the end).*
Serius atau Main-main
Rosadi Jamani
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan), Taufik Effendi mengatakan sampai saat ini di mejanya belum ada laporan dari Panitia Khusus (Pansus) CPNS dari Kubu Raya. Itu artinya, laporan yang dibuat Pansus belum sampai ke tangan Menpan. Lantas, apa sebenarnya yang terjadi. Padahal, belum lama ini sejumlah anggota Pansus pergi ke Jakarta. Katanya ingin menyampaikan berkas hasil kerja mereka terhadap segala temuan kejanggalan selama test CPNS.
Bahkan, dilaporkan oleh Pansus mereka telah bertemu dengan staff Kantor Menpan dan telah menyerahkan laporan. Saat itu juga pihak Pansus mendapatkan nasihat untuk segera berkoordinasi dengan Badan Kepegawaian Nasional (BKN). Cerita ini dipublikasikan luas di media massa. Pihak yang menginginkan test diulang maupun tidak membaca seluruh kerja Pansus itu. Tiba-tiba, Menpan mengatakan bahwa sampai saat ini belum ada persoalan konflik yang dilaporkan Pansus itu. Mendengar kisah tersebut sangat wajar apabila para peserta test yang menuntut keadilan marah dan meradang. Mereka seperti dipermainkan. Mereka menunggu sesuatu yang tidak jelas.
Jika demikian halnya, untuk hari-hari ke depan, kisah penerimaan CPNS perdana di kabupaten yang akan dipimpin Muda Mahendrawan itu akan lebih menarik. Atraksi demonstrasi akan lebih seru lagi, baik dari yang minta test diulang maupun tidak. Dalam posisi ini, Pansus yang sangat diharapkan bisa menyelesaikan polemik itu akan semakin menjadi buruan wartawan.
Dari kejadian itu, Pansus memang pergi ke Jakarta dan bertemu dengan staf Menpan. Di kantor itu juga hadir Plt Sekda KKR juga hadir. Bahkan, terjadi perdebatan antara Pansus dengan Plt Sekda itu. Walaupun perdebatan itu bisa ditengahi, staf Menpan menerima berkas dari Pansus. Berkas tersebut mestinya disampaikan ke Menpan. Kenyataannya, memang tidak sampai.
Kalau Menpan saja tidak tahu polemik CPNS KKR ini, lantas siapa lagi yang bisa memutuskan apakah test tersebut diulang atau tidak. Katanya BKN bisa memutuskan itu, tapi sampai saat ini belum ada kabarnya Pansus mau berkoordinasi dengan BKN. Pemkab Kubu Raya pasti tidak berani tegas, test tersebut tidak boleh diulang. Apalagi Pansus, hanya bisa “tong besar” untuk menampung keberatan maupun dukungan dari peserta CPNS. Begitu juga Pemprov Kalbar, juga belum ada sikap tegas, apakah setuju test ulang atau tidak. Sementara waktu terus berjalan, dan jawaban terhadap polemik ini juga masih abu-abu.
Di kabupaten lain sudah pada adem ayem, para test yang lulus sudah melengkapi seluruh berkas administrasi. Bahkan, semua sudah pada menunggu keluarnya SK pengangkatan sebagai abdi negara. Sementara Kubu Raya masih berkutat pada persoalan tersebut. Apakah test tersebut diulang atau tidak.
Persoalan tersebut tidak akan tuntas selama ada pihak yang tidak transparan atau mengaku terus terang. Atau, persoalan itu malah bisa menjadi kacau-balau apabila ada pihak tidak serius. Terus terang dan terbuka mesti dikedepankan oleh Pansus, panitia test CPNS dan Pemkab KKR. Jangan ada lagi persoalan yang ditutup-tutupi. Jika memang ada yang tidak beres, berterus terang saja. Lebih baik mengorbankan satu atau dua orang, dari pada harus mengorbankan banyak orang.
Inilah pelajaran besar buat KKR yang masih junior. Bupati terpilih, Muda Mahendrawan dan wakilnya, Andreas Muhrotein pasti tidak mau kasus ini mencoreng kredibilitas Pemkab KKR. Walaupun keduanya belum aktif (menunggu pelantikan), mereka pasti tidak ingin persoalan ini menimbulkan perpecahan di tingkat masyarakat. Satu-satunya cara untuk menuntaskan persoalan ini adalah keterbukaan dan keseriusan.
Harus diingat, setiap persoalan pasti ada jalan keluarnya. Namun, jalan keluar itu pasti bisa ditemukan selama pihak-pihak yang berpolemik itu serius dan terbuka. Kita berharap, persoalan ini cepat tuntas, jangan lagi berlarut-larut. Capek!
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan), Taufik Effendi mengatakan sampai saat ini di mejanya belum ada laporan dari Panitia Khusus (Pansus) CPNS dari Kubu Raya. Itu artinya, laporan yang dibuat Pansus belum sampai ke tangan Menpan. Lantas, apa sebenarnya yang terjadi. Padahal, belum lama ini sejumlah anggota Pansus pergi ke Jakarta. Katanya ingin menyampaikan berkas hasil kerja mereka terhadap segala temuan kejanggalan selama test CPNS.
Bahkan, dilaporkan oleh Pansus mereka telah bertemu dengan staff Kantor Menpan dan telah menyerahkan laporan. Saat itu juga pihak Pansus mendapatkan nasihat untuk segera berkoordinasi dengan Badan Kepegawaian Nasional (BKN). Cerita ini dipublikasikan luas di media massa. Pihak yang menginginkan test diulang maupun tidak membaca seluruh kerja Pansus itu. Tiba-tiba, Menpan mengatakan bahwa sampai saat ini belum ada persoalan konflik yang dilaporkan Pansus itu. Mendengar kisah tersebut sangat wajar apabila para peserta test yang menuntut keadilan marah dan meradang. Mereka seperti dipermainkan. Mereka menunggu sesuatu yang tidak jelas.
Jika demikian halnya, untuk hari-hari ke depan, kisah penerimaan CPNS perdana di kabupaten yang akan dipimpin Muda Mahendrawan itu akan lebih menarik. Atraksi demonstrasi akan lebih seru lagi, baik dari yang minta test diulang maupun tidak. Dalam posisi ini, Pansus yang sangat diharapkan bisa menyelesaikan polemik itu akan semakin menjadi buruan wartawan.
Dari kejadian itu, Pansus memang pergi ke Jakarta dan bertemu dengan staf Menpan. Di kantor itu juga hadir Plt Sekda KKR juga hadir. Bahkan, terjadi perdebatan antara Pansus dengan Plt Sekda itu. Walaupun perdebatan itu bisa ditengahi, staf Menpan menerima berkas dari Pansus. Berkas tersebut mestinya disampaikan ke Menpan. Kenyataannya, memang tidak sampai.
Kalau Menpan saja tidak tahu polemik CPNS KKR ini, lantas siapa lagi yang bisa memutuskan apakah test tersebut diulang atau tidak. Katanya BKN bisa memutuskan itu, tapi sampai saat ini belum ada kabarnya Pansus mau berkoordinasi dengan BKN. Pemkab Kubu Raya pasti tidak berani tegas, test tersebut tidak boleh diulang. Apalagi Pansus, hanya bisa “tong besar” untuk menampung keberatan maupun dukungan dari peserta CPNS. Begitu juga Pemprov Kalbar, juga belum ada sikap tegas, apakah setuju test ulang atau tidak. Sementara waktu terus berjalan, dan jawaban terhadap polemik ini juga masih abu-abu.
Di kabupaten lain sudah pada adem ayem, para test yang lulus sudah melengkapi seluruh berkas administrasi. Bahkan, semua sudah pada menunggu keluarnya SK pengangkatan sebagai abdi negara. Sementara Kubu Raya masih berkutat pada persoalan tersebut. Apakah test tersebut diulang atau tidak.
Persoalan tersebut tidak akan tuntas selama ada pihak yang tidak transparan atau mengaku terus terang. Atau, persoalan itu malah bisa menjadi kacau-balau apabila ada pihak tidak serius. Terus terang dan terbuka mesti dikedepankan oleh Pansus, panitia test CPNS dan Pemkab KKR. Jangan ada lagi persoalan yang ditutup-tutupi. Jika memang ada yang tidak beres, berterus terang saja. Lebih baik mengorbankan satu atau dua orang, dari pada harus mengorbankan banyak orang.
Inilah pelajaran besar buat KKR yang masih junior. Bupati terpilih, Muda Mahendrawan dan wakilnya, Andreas Muhrotein pasti tidak mau kasus ini mencoreng kredibilitas Pemkab KKR. Walaupun keduanya belum aktif (menunggu pelantikan), mereka pasti tidak ingin persoalan ini menimbulkan perpecahan di tingkat masyarakat. Satu-satunya cara untuk menuntaskan persoalan ini adalah keterbukaan dan keseriusan.
Harus diingat, setiap persoalan pasti ada jalan keluarnya. Namun, jalan keluar itu pasti bisa ditemukan selama pihak-pihak yang berpolemik itu serius dan terbuka. Kita berharap, persoalan ini cepat tuntas, jangan lagi berlarut-larut. Capek!
Selasa, 27 Januari 2009
Pendopo yang Menjadi Simbol Kebersamaan
Rosadi Jamani
Ada satu hal menarik dari hari pertama perayaan Imlek, 26 Januari lalu. Gubernur Kalbar, Drs Cornelis MH menjadikan pendopo rumah dinasnya dijadikan ajang perayaan pergantian tahun khusus bagi etnis Tionghoa tersebut. Pada saat itu, Cornelis di hadapan masyarakat Tionghoa mengatakan bahwa pendopo boleh dijadikan tempat perayaan apa saja. Idulfitri, takbiran, natalan, atau perayaan agama lain boleh digelar di pendopo gubenuran. “Asal jangan acara kawinan saja,” ujar Cornelis.
Cornelis ingin menjadikan pendopo tidak eksklusif, atau khusus untuk satu perayaan agama saja. Dia ingin pendopo benar-benar menjadi istana rakyat Kalbar. Istana yang terbuka untuk seluruh etnis, agama, golongan yang ada di Bumi Khatulistiwa. Dia ingin menjadikan pendopo sebagai ajang silaturahmi bagi seluruh keanekaragaman masyarakat di Kalbar. Kira-kira itulah makna yang ingin diperlihatkan orang nomor satu di provinsi yang berbatasan langsung dengan Malaysia ini.
Semua pasti sepakat bahwa gubernur bukan pemimpin satu etnis atau agama. Gubernur adalah pemimpin untuk seluruh rakyat Kalbar. Dia tidak boleh hanya mengayomi satu entitas saja, melainkan untuk semuanya. Gubernur tidak hanya milik satu etnis, melainkan milik seluruh etnis. Cornelis tahu betul persoalan itu. Itu sebabnya, pendopo yang dulunya sangat eksklusif, ingin diubahnya menjadi sarana terbuka.
Pendopo merupakan ruang pertemuan yang berada di rumah dinas kepala daerah. Kalau Presiden, ada istana negara. Di istana inilah presiden bisa mengumpulkan rakyat atau menjadikan tempat menggelar kegiatan kenegaraan. Sementara di rumah dinas gubernur pasti ada pendopo. Begitu juga di rumah dinas bupati/walikota pasti ada pendoponya. Kenapa mesti ada pendopo? Tujuannya tidak ada lain agar terjadi interaksi langsung antara kepala negara atau kepala daerah dengan rakyatnya. Interaksi ini tidak hanya untuk satu golongan atau satu entitas melainkan untuk semuanya.
Menggelar kegiatan di pendopo memiliki satu keistimewaan khusus dibandingkan tempat lain. Keistimewaan itu adalah bisa dihadiri kepala daerah beserta keluarganya. Tidak hanya itu, interaksi antara penyelenggara dengan sang kepala daerah jauh lebih intensif. Selain itu, dari segi biaya pastilah jauh lebih murah. Apalagi kalau sebuah kegiatan itu memang diminta kepala daerah untuk digelar di pendopo, tentunya akan lebih istimewa lagi. Siapapun pasti menginginkan sebuah kegiatan itu mendapatkan dukungan penuh dari seorang kepala daerah. Cuma, kendalanya, kegiatan tersebut tentulah harus menyesuaikan dengan jadwal kepala daerah.
Yang tidak habis pikir, kenapa ada orang yang sinis terhadap Imlek yang digelar di pendopo gubernuran? Ada entitas yang kebakaran jenggot, tidak terima, seolah-olah Gubernur telah membuang entitas lain dan hanya mengakomodir salah satu entitas saja. Padahal, seperti yang dijelaskan sebelumnya, Gubernur bukan milik satu entitas melainkan milik seluruh entitas yang ada di negeri ini.
Kalau sebuah program pembangunan, pro dan kontra itu hal biasa. Tapi, kalau persoalan mengakomodir seluruh entitas yang ada di negeri berikota Pontianak ini, ada yang kontra perlu dipertanyakan. Berarti ada orang yang memang tidak senang Gubernur mengakomodir seluruh entitas itu. Jika demikian, apa maunya? Apakah Gubernur cukup mengakomodir entitas orang yang kontra saja, tentunya tidak. Jika hanya mengakomodir satu entitas, itu sama halnya Gubernur mencelakai diri sendiri serta membawa kehancuran Kalbar.
Tidak satupun golongan, etnis atau agama yang paling berjasa membangun Kalbar. Justru seluruh elemen itu bersatu padu membangun Kalbar seperti saat ini. Antara satu elemen dengan elemen lain saling keterkaitan. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan, manusia tidak bisa mengubahnya. Justru itu merupakan sebuah rahmat dari Tuhan. Perbedaan itulah yang membuat negeri ini indah, penuh warna-warni seperti halnya pelangi. Coba kalau hanya satu warna, apa yang indah, menjemukan dan membosankan.
Memang, apa yang dilakukan seorang kepala daerah itu pasti ada kepentingan. Cuma, kalau kepentingan itu untuk kebaikan Kalbar secara umum, kenapa mesti disiniskan. Kalau kepentingan itu untuk kebaikan bagi seluruh rakyat, kenapa mesti dicurigai. Mari kita selalu berpikir positif demi kebaikan Kalbar. Apa jadinya kalau kita selalu berpikir negatif, negeri yang sedang berjuang dari keterpurukan akan semakin terpuruk.*
Ada satu hal menarik dari hari pertama perayaan Imlek, 26 Januari lalu. Gubernur Kalbar, Drs Cornelis MH menjadikan pendopo rumah dinasnya dijadikan ajang perayaan pergantian tahun khusus bagi etnis Tionghoa tersebut. Pada saat itu, Cornelis di hadapan masyarakat Tionghoa mengatakan bahwa pendopo boleh dijadikan tempat perayaan apa saja. Idulfitri, takbiran, natalan, atau perayaan agama lain boleh digelar di pendopo gubenuran. “Asal jangan acara kawinan saja,” ujar Cornelis.
Cornelis ingin menjadikan pendopo tidak eksklusif, atau khusus untuk satu perayaan agama saja. Dia ingin pendopo benar-benar menjadi istana rakyat Kalbar. Istana yang terbuka untuk seluruh etnis, agama, golongan yang ada di Bumi Khatulistiwa. Dia ingin menjadikan pendopo sebagai ajang silaturahmi bagi seluruh keanekaragaman masyarakat di Kalbar. Kira-kira itulah makna yang ingin diperlihatkan orang nomor satu di provinsi yang berbatasan langsung dengan Malaysia ini.
Semua pasti sepakat bahwa gubernur bukan pemimpin satu etnis atau agama. Gubernur adalah pemimpin untuk seluruh rakyat Kalbar. Dia tidak boleh hanya mengayomi satu entitas saja, melainkan untuk semuanya. Gubernur tidak hanya milik satu etnis, melainkan milik seluruh etnis. Cornelis tahu betul persoalan itu. Itu sebabnya, pendopo yang dulunya sangat eksklusif, ingin diubahnya menjadi sarana terbuka.
Pendopo merupakan ruang pertemuan yang berada di rumah dinas kepala daerah. Kalau Presiden, ada istana negara. Di istana inilah presiden bisa mengumpulkan rakyat atau menjadikan tempat menggelar kegiatan kenegaraan. Sementara di rumah dinas gubernur pasti ada pendopo. Begitu juga di rumah dinas bupati/walikota pasti ada pendoponya. Kenapa mesti ada pendopo? Tujuannya tidak ada lain agar terjadi interaksi langsung antara kepala negara atau kepala daerah dengan rakyatnya. Interaksi ini tidak hanya untuk satu golongan atau satu entitas melainkan untuk semuanya.
Menggelar kegiatan di pendopo memiliki satu keistimewaan khusus dibandingkan tempat lain. Keistimewaan itu adalah bisa dihadiri kepala daerah beserta keluarganya. Tidak hanya itu, interaksi antara penyelenggara dengan sang kepala daerah jauh lebih intensif. Selain itu, dari segi biaya pastilah jauh lebih murah. Apalagi kalau sebuah kegiatan itu memang diminta kepala daerah untuk digelar di pendopo, tentunya akan lebih istimewa lagi. Siapapun pasti menginginkan sebuah kegiatan itu mendapatkan dukungan penuh dari seorang kepala daerah. Cuma, kendalanya, kegiatan tersebut tentulah harus menyesuaikan dengan jadwal kepala daerah.
Yang tidak habis pikir, kenapa ada orang yang sinis terhadap Imlek yang digelar di pendopo gubernuran? Ada entitas yang kebakaran jenggot, tidak terima, seolah-olah Gubernur telah membuang entitas lain dan hanya mengakomodir salah satu entitas saja. Padahal, seperti yang dijelaskan sebelumnya, Gubernur bukan milik satu entitas melainkan milik seluruh entitas yang ada di negeri ini.
Kalau sebuah program pembangunan, pro dan kontra itu hal biasa. Tapi, kalau persoalan mengakomodir seluruh entitas yang ada di negeri berikota Pontianak ini, ada yang kontra perlu dipertanyakan. Berarti ada orang yang memang tidak senang Gubernur mengakomodir seluruh entitas itu. Jika demikian, apa maunya? Apakah Gubernur cukup mengakomodir entitas orang yang kontra saja, tentunya tidak. Jika hanya mengakomodir satu entitas, itu sama halnya Gubernur mencelakai diri sendiri serta membawa kehancuran Kalbar.
Tidak satupun golongan, etnis atau agama yang paling berjasa membangun Kalbar. Justru seluruh elemen itu bersatu padu membangun Kalbar seperti saat ini. Antara satu elemen dengan elemen lain saling keterkaitan. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan, manusia tidak bisa mengubahnya. Justru itu merupakan sebuah rahmat dari Tuhan. Perbedaan itulah yang membuat negeri ini indah, penuh warna-warni seperti halnya pelangi. Coba kalau hanya satu warna, apa yang indah, menjemukan dan membosankan.
Memang, apa yang dilakukan seorang kepala daerah itu pasti ada kepentingan. Cuma, kalau kepentingan itu untuk kebaikan Kalbar secara umum, kenapa mesti disiniskan. Kalau kepentingan itu untuk kebaikan bagi seluruh rakyat, kenapa mesti dicurigai. Mari kita selalu berpikir positif demi kebaikan Kalbar. Apa jadinya kalau kita selalu berpikir negatif, negeri yang sedang berjuang dari keterpurukan akan semakin terpuruk.*
Senin, 26 Januari 2009
Surat Izin Penyidikan Para Koruptor
Rosadi Jamani
Kejaksaan Negeri (Kejari) Mempawah telah mengirimkan surat permohonan izin penyidikan ke Gubernur Kalbar 16 Januari lalu. Surat itu terkait izin penyidikan terhadap sejumlah anggota DPRD Kabupaten Pontianak dan Kubu Raya terkait Yayasan Bestasi (YB). Anehnya, hampir satu minggu semenjak surat itu dikirim belum juga sampai ke meja Sekda Kalbar sebelum ke Gubernur. Padahal, antara Mempawah dan Pontianak hanya butuh waktu dua jam (itu paling lambat) saja.
Publik bertanya-tanya, kok lama sekali surat itu baru nyampai? Apakah dikirim menggunakan kapal laut? Kalaupun ia, tidak mungkin sampai berhari-hari. Atau dikirim pakai jalan kaki, juga tidak mungkin. Mungkin saja surat itu memang belum dikirim? Jika ini terjadi, berarti Kepala Kejari Mempawah telah berbohong ke publik. Tapi, apakah Kejari berani melakukan itu di tengah sorotan masyarakat yang begitu kuat.
Atau, kemungkinan terakhir, ada sabotase. Maksudnya, surat itu memang dikirim ke Kantor Gubernur, lalu di tengah jalan ada yang cegat, lalu suratnya diambil dan dibuang. Mungkin juga surat itu sudah tiba di Kantor Gubernur, surat itu diterima oleh salah satu pegawai, tapi tidak disampaikan ke TU Sekda. Maklum saja, surat itu bisa dibilang menjadi “hidup mati” sejumlah anggota Dewan. Bisa saja memang ada sabotase.
Itu adalah segala kemungkinan terjadi. Ternyata, untuk menyeret seorang wakil rakyat sangat ribet. Untuk urusan surat izin saja butuh waktu berhari-hari. Itu baru sekadar surat permohonan izin ke Gubernur. Kalaupun surat izin itu keluar, pasti ada lagi proses lanjutan yang butuh waktu panjang. Berbelit-belit, berliku, banyak alasan, ujung-ujungnya menjadi kabur, tidak jelas, dan akhirnya masyarakat lupa. Proses inilah yang sering terjadi apabila menangani kasus korupsi.
Kenapa hukum ketika memproses pejabat publik begitu sulit? Tapi, mengapa giliran pencuri ayam, proses hukum sangat cepat, akurat dan tegas? Inilah gambaran hukum di negeri ini. Hukum hanya untuk rakyat kecil. Hukum tidak berdaya ketika berhadapan dengan orang sekelas wakil rakyat atau pejabat tinggi. Hukum hanya untuk orang tidak berduit. Hukum bertekuk lutut apabila berhadapan dengan orang berkantong tebal.
Kasus YB Gate mencuat tahun 2003 lalu. Bisa dibayangkan baru bisa dieksekusi akhir tahun 2008 lalu. Itu baru dua orang yang sudah dijebloskan ke penjara. Kabarnya, tiga mantan pimpinan Dewan segera menyusul untuk dijebloskan ke balik jeruji. Setelah itu menyusul sisa dari 45 anggota Dewan periode 1999-2004. Bayangkan, butuh waktu lima tahun untuk bisa menjebloskan koruptor. Itu belum juga tuntas-tuntas, bisa-bisa enam tahun, tujuh tahun, bahkan tidak ada ujungnya. Untuk minta surat izin pemeriksaan saja hampir satu minggu belum juga sampai ke meja Sekda. Belum lagi dari Sekda ke Gubernur. Belum lagi di meja Gubernur balik lagi ke Kejari, tentu butuh waktu lagi.
Sementara ketika masa menunggu itu, para koruptor tertawa terbahak-bahak, mondar-mandir di tengah masyarakat tanpa ada rasa bersalah. Mereka bebas seperti burung, seolah-olah uang rakyat yang dimakannya halal dan tidak mengandung “lemak haram”. Mungkin saja saat ini mereka meneriakkan atau mengampanyekan soal supremasi hukum di tengah masyarakat. Mungkin saja para koruptor itu sedang kampanye soal pemberantasan korupsi di negeri ini. Maklum saja, mereka yang menilep uang rakyat itu rata-rata calon legislatif (caleg). Biasanya, isu yang paling umum disuarakan caleg di tengah masyarakat adalah soal pemberantasan korupsi atau penegakan hukum di negeri ini.
Jika memang Kejari Mempawah serius menangani kasus YB gate, tentunya akan menelusuri kenapa larinya surat yang dikirim ke Gubernur itu. Kejari itukan punya staf yang setiap hari kerja bisa diperintahkan untuk mengecek surat tersebut. Kita rasa, hanya sekadar mengecek itu tidak sulit. Bisa langsung datang ke TU Sekda. Kalaupun tidak sempat, bisa ditelepon. Apalagi sekarang zaman sudah canggih. Kalau surat itu memang belum sampai, tentu dicari ke mana perginya surat itu. Bila perlu buat lagi, agar proses ini cepat tuntas. Kita akan terus mengawasi proses ini agar tidak ada permainan hukum menari di hadapan ratusan ribut rakyat Kalbar. *
Kejaksaan Negeri (Kejari) Mempawah telah mengirimkan surat permohonan izin penyidikan ke Gubernur Kalbar 16 Januari lalu. Surat itu terkait izin penyidikan terhadap sejumlah anggota DPRD Kabupaten Pontianak dan Kubu Raya terkait Yayasan Bestasi (YB). Anehnya, hampir satu minggu semenjak surat itu dikirim belum juga sampai ke meja Sekda Kalbar sebelum ke Gubernur. Padahal, antara Mempawah dan Pontianak hanya butuh waktu dua jam (itu paling lambat) saja.
Publik bertanya-tanya, kok lama sekali surat itu baru nyampai? Apakah dikirim menggunakan kapal laut? Kalaupun ia, tidak mungkin sampai berhari-hari. Atau dikirim pakai jalan kaki, juga tidak mungkin. Mungkin saja surat itu memang belum dikirim? Jika ini terjadi, berarti Kepala Kejari Mempawah telah berbohong ke publik. Tapi, apakah Kejari berani melakukan itu di tengah sorotan masyarakat yang begitu kuat.
Atau, kemungkinan terakhir, ada sabotase. Maksudnya, surat itu memang dikirim ke Kantor Gubernur, lalu di tengah jalan ada yang cegat, lalu suratnya diambil dan dibuang. Mungkin juga surat itu sudah tiba di Kantor Gubernur, surat itu diterima oleh salah satu pegawai, tapi tidak disampaikan ke TU Sekda. Maklum saja, surat itu bisa dibilang menjadi “hidup mati” sejumlah anggota Dewan. Bisa saja memang ada sabotase.
Itu adalah segala kemungkinan terjadi. Ternyata, untuk menyeret seorang wakil rakyat sangat ribet. Untuk urusan surat izin saja butuh waktu berhari-hari. Itu baru sekadar surat permohonan izin ke Gubernur. Kalaupun surat izin itu keluar, pasti ada lagi proses lanjutan yang butuh waktu panjang. Berbelit-belit, berliku, banyak alasan, ujung-ujungnya menjadi kabur, tidak jelas, dan akhirnya masyarakat lupa. Proses inilah yang sering terjadi apabila menangani kasus korupsi.
Kenapa hukum ketika memproses pejabat publik begitu sulit? Tapi, mengapa giliran pencuri ayam, proses hukum sangat cepat, akurat dan tegas? Inilah gambaran hukum di negeri ini. Hukum hanya untuk rakyat kecil. Hukum tidak berdaya ketika berhadapan dengan orang sekelas wakil rakyat atau pejabat tinggi. Hukum hanya untuk orang tidak berduit. Hukum bertekuk lutut apabila berhadapan dengan orang berkantong tebal.
Kasus YB Gate mencuat tahun 2003 lalu. Bisa dibayangkan baru bisa dieksekusi akhir tahun 2008 lalu. Itu baru dua orang yang sudah dijebloskan ke penjara. Kabarnya, tiga mantan pimpinan Dewan segera menyusul untuk dijebloskan ke balik jeruji. Setelah itu menyusul sisa dari 45 anggota Dewan periode 1999-2004. Bayangkan, butuh waktu lima tahun untuk bisa menjebloskan koruptor. Itu belum juga tuntas-tuntas, bisa-bisa enam tahun, tujuh tahun, bahkan tidak ada ujungnya. Untuk minta surat izin pemeriksaan saja hampir satu minggu belum juga sampai ke meja Sekda. Belum lagi dari Sekda ke Gubernur. Belum lagi di meja Gubernur balik lagi ke Kejari, tentu butuh waktu lagi.
Sementara ketika masa menunggu itu, para koruptor tertawa terbahak-bahak, mondar-mandir di tengah masyarakat tanpa ada rasa bersalah. Mereka bebas seperti burung, seolah-olah uang rakyat yang dimakannya halal dan tidak mengandung “lemak haram”. Mungkin saja saat ini mereka meneriakkan atau mengampanyekan soal supremasi hukum di tengah masyarakat. Mungkin saja para koruptor itu sedang kampanye soal pemberantasan korupsi di negeri ini. Maklum saja, mereka yang menilep uang rakyat itu rata-rata calon legislatif (caleg). Biasanya, isu yang paling umum disuarakan caleg di tengah masyarakat adalah soal pemberantasan korupsi atau penegakan hukum di negeri ini.
Jika memang Kejari Mempawah serius menangani kasus YB gate, tentunya akan menelusuri kenapa larinya surat yang dikirim ke Gubernur itu. Kejari itukan punya staf yang setiap hari kerja bisa diperintahkan untuk mengecek surat tersebut. Kita rasa, hanya sekadar mengecek itu tidak sulit. Bisa langsung datang ke TU Sekda. Kalaupun tidak sempat, bisa ditelepon. Apalagi sekarang zaman sudah canggih. Kalau surat itu memang belum sampai, tentu dicari ke mana perginya surat itu. Bila perlu buat lagi, agar proses ini cepat tuntas. Kita akan terus mengawasi proses ini agar tidak ada permainan hukum menari di hadapan ratusan ribut rakyat Kalbar. *
Sabtu, 24 Januari 2009
Modus Operandi Menguras Kocek Caleg
Oleh Rosadi Jamani
Sistem suara terbanyak membuat sebagian besar calon legislatif (caleg) memiliki semangat 45 menarik simpati pemilih. Apa saja dipertaruhkan demi sebuah kursi empuk di lembaga legislatif. Kuatnya tekad calon wakil rakyat ini mendapatkan kursi empuk itu, dijadikan sejumlah orang untuk meraih keuntungan.
Pada Kamis, 15 Januari lalu, saya ingin ketemu kawan-kebetulan anggota Dewan-di Kantor DPRD Kalbar. Di gedung megah itu, saya harus menunggu kawan itu, karena dia ada sedikit kesibukan. Ketika menunggu, saya menemui dua orang warga berasal dari salah satu desa di Kabupaten Kubu Raya. Salah satu warga itu membawa map. Keduanya juga sedang menunggu anggota Dewan yang juga caleg. Iseng-iseng saya bertanya kepada mereka, kira-kira apa tujuan ketemu anggota Dewan.
“Kami mau nyerahkan proposal untuk pembangunan gang. Kami ingin ketemu Bapak…. (maaf tidak disebutkan nama Dewan). Kami ingin ngajukan proposal ini, mudah-mudahan beliau bantu,” jawab warga itu sambil menunjukkan map merah.
Saya bertanya kembali, kenapa harus anggota Dewan itu yang diajukan proposal? Mereka menjawab, karena Dewan itu adalah caleg daerah pemilihan (dapil) daerah mereka. Sangat wajar apabila mereka minta bantuan pembangunan gang kepada Dewan itu.
“Sekalian kami menguji, apakah Dewan itu mau berkorban untuk desa kami atau tidak. Apabila tidak nyumbang, kami satu desa akan rekomendasikan dia untuk tidak dipilih. Cari lagi caleg lain di dapil kami. Kalau satu caleg bisa nyumbang lima sak semen saja, gang kami pasti segera dibeton. Sementara caleg di dapil kami jumlahnya lebih dari 50 orang,” papar mereka.
Fakta tersebut menceritakan sebuah modus operandi masyarakat untuk menguras kocek caleg. Masyarakat sangat pandai memanfaatkan momen menjelang Pemilu untuk mendapatkan sumbangan dari caleg. Dalam kasus seperti itu, caleg manapun akan luluh dan pasti memberikan sumbangan. Kecuali, caleg itu memang pesimis menang di Pemilu nanti. Bagi caleg yang optimis menang, permohonan seperti itu pasti dikabulkan. Lalu, dikelola dengan baik. Maksudnya, ketika memberikan bantuan semen, dilakukan lewat sebuah acara khusus di desa tersebut dengan mengundang seluruh masyarakatnya.
Cara tersebut lazim dilakukan. Kadang caleg sangat bising yang namanya proposal tersebut. Salah satu bentuk kebisingan caleg, ganti nomor hand phone atau tidak ngangkat panggilan yang namanya tidak terekam, tidak mau terima tamu yang tidak dikenal. Dulu, sangat mudah ditemui, tiba-tiba menjadi sulit. Ada saja kesibukan yang dibuat. Caleg seperti ini sangat banyak. Tujuan menghindar dari orang tak dikenal adalah jangan sampai uangnya terkuras. Maklum saja, setiap orang yang ingin bertemu, selalu ujungnya uang. Paling tidak ongkos bensin Rp 20 ribu.
Modus lain, memanfaatkan kedatangan caleg ke dapil. Seorang caleg berkunjung ke salah satu desa. Masyarakat desa itu tahu bahwa kedatangan caleg itu minta dukungan. Ini peluang besar untuk mendapatkan uang. Caleg itu didekati lalu diajak ngobrol di warung atau rumah makan. Di warung itu caleg diyakinkan bahwa warga di desa itu siap memilihnya dengan catatan harus siap nyumbang. Sambil ngobrol, sambil makan sepuasnya, ngambil rokok sebanyak-banyaknya. Dalam kondisi seperti ini, caleg biasanya tidak berdaya, mau saja apa yang dikatakan warga desa itu. Paling sedikit Rp 2 juta bisa melayang ketika itu. Jangan heran apabila banyak caleg enggan masuk ke desa, karena takut “ditodong” seperti itu. Dia akan baru masuk kampung apabila dekat hari H (9 April) untuk melakukan money politic.
Selanjutnya, modus pengerahan massa. Caleg ingin mengumpulkan masyarakat di sebuah balai pertemuan. Maksudnya untuk sosialisasi atau memperkenalkan diri ke masyarakat desa itu. Orang yang disuruh akan memanfaatkan momen ini untuk mencari keuntungan. Diajukanlah dana untuk sewa truk, ongkos bensin, biaya makan, dan lain sebagainya. Dana yang diajukan itu bukan harga sebenarnya. Sewa truk biasanya hanya Rp 300 ribu, menjadi Rp 500 ribu. Begitu juga dengan harga yang lain seperti pemberian ongkos bensin, satu orang dianggarkan Rp 20 ribu, tapi dalam amplop hanya Rp 10 ribu. Sisanya masuk kantong panitia.
Apalagi kalau pengerahan massa itu secara terbuka, makin enak untuk menguras kocek caleg. Semuanya serba uang. Untuk ngangkut warga dari sebuah desa, itu semua harus pakai duit. Sewa truk, yang pakai motor dikasih ongkos bensin, massa yang didatangkan harus dikasih uang dan makan serta baju kaus. Cuma, cara ini sepertinya akan sulit dilakukan dengan sistem suara terbanyak. Caleg lebih memilih melakukan dialogis di kampung-kampung.
Selanjutnya, modus akal bulus tim sukses. Saya contohkan, saat Pilwako Pontianak, ada calon walikota yang memiliki uang lebih dibandingkan calon lainnya. Uang mengalir seperti air dari kantongnya. Seluruh tim sukses dibekali dengan uang puluhan juta serta fasilitas. Dengan harapan, tim sukses ini bergerak merayu masyarakat sampai ke pelosok lurah. Kenyataannya pada saat pengumuman suara, calon yang telah menghabiskan uang miliaran rupiah itu suaranya sangat mengecewakan. Uang yang dikeluarkan tidak sebanding dengan perolehan suaranya. Bahkan, lebih unggul dengan calon yang uangnya pas-pasan. Contoh ini memperlihatkan bahwa yang sukses bukan calon, melainkan tim suksesnya.
Modus serupa banyak terjadi dengan caleg yang memiliki tim sukses. Di hadapan caleg, tim sukses ngomongnya meyakinkan, siap merayu pemilih dalam jumlah ribuan. Dengan catatan, caleg harus menyiapkan uang dalam jumlah besar. Seluruh ongkos mulai dari uang bensin, rokok, uang saku, uang pulsa, uang makan, dana operasional turun ke kampung, dan sebagainya harus disiapkan. Begitu uang didapat, dalam pikiran tim sukses, bagaimana uang tersebut masuk kantong terlebih dahulu. Sisanya, baru ke pemilih. Kepada caleg, jangan terlalu percaya dengan apa yang dikatakan tim sukses. Apalagi kalau itu menyangkut uang.
Itulah sejumlah modus operandi masyarakat menguras kocek caleg. Mungkin masih banyak cara lain, tapi secara umum seperti itulah gambarannya. Menjelang Pemilu 9 April yang tinggal 75 hari lagi merupakan momen paling empuk untuk menguras kocek caleg. Masyarakat yang pandai memanfaatkan momen ini pasti akan mendapatkan keuntungan melimpah. Dalam situasi ini juga caleg akan mudah dirayu. Biasanya pelit, dalam situasi ini caleg biasanya menjadi orang pemurah. Dulu, sangat sulit traktir makan, sekarang ajak saja makan di rumah makan atau restoran ternama, pasti mau. Dulu, tidak pernah ngasih uang bensin, sekarang tiba-tiba dengan mudah merogoh koceknya mengeluarkan lembaran Rp 20 ribu sampai Rp 50 ribu. Dulu, tidak pernah nyumbang, sekarang tiba-tiba menjadi orang dermawan.
Cuma, saya hanya sedikit memberikan nasihat khususnya kepada caleg, kalau nyumbang itu untuk keperluan masyarakat banyak, seperti pembuatan jalan, jembatan, rumah ibadah, tidak ada salahnya untuk diakomodir. Dari pada membuat baliho atau atribut kampanye dengan uang puluhan juta, yang manfaatnya tidak dirasakan masyarakat, lebih baik mengakomodir sumbangan untuk kepentingan umum. Kalau pun tidak duduk di kursi empuk dewan, paling tidak sumbangan itu telah membantu masyarakat. Dan, masyarakatpun pasti selalu mengenang caleg itu dengan image positif. (Silakan komentari lewat email: rosadi@equator-news.com atau ke http://renunganpelangi.blogspot.com)
Sistem suara terbanyak membuat sebagian besar calon legislatif (caleg) memiliki semangat 45 menarik simpati pemilih. Apa saja dipertaruhkan demi sebuah kursi empuk di lembaga legislatif. Kuatnya tekad calon wakil rakyat ini mendapatkan kursi empuk itu, dijadikan sejumlah orang untuk meraih keuntungan.
Pada Kamis, 15 Januari lalu, saya ingin ketemu kawan-kebetulan anggota Dewan-di Kantor DPRD Kalbar. Di gedung megah itu, saya harus menunggu kawan itu, karena dia ada sedikit kesibukan. Ketika menunggu, saya menemui dua orang warga berasal dari salah satu desa di Kabupaten Kubu Raya. Salah satu warga itu membawa map. Keduanya juga sedang menunggu anggota Dewan yang juga caleg. Iseng-iseng saya bertanya kepada mereka, kira-kira apa tujuan ketemu anggota Dewan.
“Kami mau nyerahkan proposal untuk pembangunan gang. Kami ingin ketemu Bapak…. (maaf tidak disebutkan nama Dewan). Kami ingin ngajukan proposal ini, mudah-mudahan beliau bantu,” jawab warga itu sambil menunjukkan map merah.
Saya bertanya kembali, kenapa harus anggota Dewan itu yang diajukan proposal? Mereka menjawab, karena Dewan itu adalah caleg daerah pemilihan (dapil) daerah mereka. Sangat wajar apabila mereka minta bantuan pembangunan gang kepada Dewan itu.
“Sekalian kami menguji, apakah Dewan itu mau berkorban untuk desa kami atau tidak. Apabila tidak nyumbang, kami satu desa akan rekomendasikan dia untuk tidak dipilih. Cari lagi caleg lain di dapil kami. Kalau satu caleg bisa nyumbang lima sak semen saja, gang kami pasti segera dibeton. Sementara caleg di dapil kami jumlahnya lebih dari 50 orang,” papar mereka.
Fakta tersebut menceritakan sebuah modus operandi masyarakat untuk menguras kocek caleg. Masyarakat sangat pandai memanfaatkan momen menjelang Pemilu untuk mendapatkan sumbangan dari caleg. Dalam kasus seperti itu, caleg manapun akan luluh dan pasti memberikan sumbangan. Kecuali, caleg itu memang pesimis menang di Pemilu nanti. Bagi caleg yang optimis menang, permohonan seperti itu pasti dikabulkan. Lalu, dikelola dengan baik. Maksudnya, ketika memberikan bantuan semen, dilakukan lewat sebuah acara khusus di desa tersebut dengan mengundang seluruh masyarakatnya.
Cara tersebut lazim dilakukan. Kadang caleg sangat bising yang namanya proposal tersebut. Salah satu bentuk kebisingan caleg, ganti nomor hand phone atau tidak ngangkat panggilan yang namanya tidak terekam, tidak mau terima tamu yang tidak dikenal. Dulu, sangat mudah ditemui, tiba-tiba menjadi sulit. Ada saja kesibukan yang dibuat. Caleg seperti ini sangat banyak. Tujuan menghindar dari orang tak dikenal adalah jangan sampai uangnya terkuras. Maklum saja, setiap orang yang ingin bertemu, selalu ujungnya uang. Paling tidak ongkos bensin Rp 20 ribu.
Modus lain, memanfaatkan kedatangan caleg ke dapil. Seorang caleg berkunjung ke salah satu desa. Masyarakat desa itu tahu bahwa kedatangan caleg itu minta dukungan. Ini peluang besar untuk mendapatkan uang. Caleg itu didekati lalu diajak ngobrol di warung atau rumah makan. Di warung itu caleg diyakinkan bahwa warga di desa itu siap memilihnya dengan catatan harus siap nyumbang. Sambil ngobrol, sambil makan sepuasnya, ngambil rokok sebanyak-banyaknya. Dalam kondisi seperti ini, caleg biasanya tidak berdaya, mau saja apa yang dikatakan warga desa itu. Paling sedikit Rp 2 juta bisa melayang ketika itu. Jangan heran apabila banyak caleg enggan masuk ke desa, karena takut “ditodong” seperti itu. Dia akan baru masuk kampung apabila dekat hari H (9 April) untuk melakukan money politic.
Selanjutnya, modus pengerahan massa. Caleg ingin mengumpulkan masyarakat di sebuah balai pertemuan. Maksudnya untuk sosialisasi atau memperkenalkan diri ke masyarakat desa itu. Orang yang disuruh akan memanfaatkan momen ini untuk mencari keuntungan. Diajukanlah dana untuk sewa truk, ongkos bensin, biaya makan, dan lain sebagainya. Dana yang diajukan itu bukan harga sebenarnya. Sewa truk biasanya hanya Rp 300 ribu, menjadi Rp 500 ribu. Begitu juga dengan harga yang lain seperti pemberian ongkos bensin, satu orang dianggarkan Rp 20 ribu, tapi dalam amplop hanya Rp 10 ribu. Sisanya masuk kantong panitia.
Apalagi kalau pengerahan massa itu secara terbuka, makin enak untuk menguras kocek caleg. Semuanya serba uang. Untuk ngangkut warga dari sebuah desa, itu semua harus pakai duit. Sewa truk, yang pakai motor dikasih ongkos bensin, massa yang didatangkan harus dikasih uang dan makan serta baju kaus. Cuma, cara ini sepertinya akan sulit dilakukan dengan sistem suara terbanyak. Caleg lebih memilih melakukan dialogis di kampung-kampung.
Selanjutnya, modus akal bulus tim sukses. Saya contohkan, saat Pilwako Pontianak, ada calon walikota yang memiliki uang lebih dibandingkan calon lainnya. Uang mengalir seperti air dari kantongnya. Seluruh tim sukses dibekali dengan uang puluhan juta serta fasilitas. Dengan harapan, tim sukses ini bergerak merayu masyarakat sampai ke pelosok lurah. Kenyataannya pada saat pengumuman suara, calon yang telah menghabiskan uang miliaran rupiah itu suaranya sangat mengecewakan. Uang yang dikeluarkan tidak sebanding dengan perolehan suaranya. Bahkan, lebih unggul dengan calon yang uangnya pas-pasan. Contoh ini memperlihatkan bahwa yang sukses bukan calon, melainkan tim suksesnya.
Modus serupa banyak terjadi dengan caleg yang memiliki tim sukses. Di hadapan caleg, tim sukses ngomongnya meyakinkan, siap merayu pemilih dalam jumlah ribuan. Dengan catatan, caleg harus menyiapkan uang dalam jumlah besar. Seluruh ongkos mulai dari uang bensin, rokok, uang saku, uang pulsa, uang makan, dana operasional turun ke kampung, dan sebagainya harus disiapkan. Begitu uang didapat, dalam pikiran tim sukses, bagaimana uang tersebut masuk kantong terlebih dahulu. Sisanya, baru ke pemilih. Kepada caleg, jangan terlalu percaya dengan apa yang dikatakan tim sukses. Apalagi kalau itu menyangkut uang.
Itulah sejumlah modus operandi masyarakat menguras kocek caleg. Mungkin masih banyak cara lain, tapi secara umum seperti itulah gambarannya. Menjelang Pemilu 9 April yang tinggal 75 hari lagi merupakan momen paling empuk untuk menguras kocek caleg. Masyarakat yang pandai memanfaatkan momen ini pasti akan mendapatkan keuntungan melimpah. Dalam situasi ini juga caleg akan mudah dirayu. Biasanya pelit, dalam situasi ini caleg biasanya menjadi orang pemurah. Dulu, sangat sulit traktir makan, sekarang ajak saja makan di rumah makan atau restoran ternama, pasti mau. Dulu, tidak pernah ngasih uang bensin, sekarang tiba-tiba dengan mudah merogoh koceknya mengeluarkan lembaran Rp 20 ribu sampai Rp 50 ribu. Dulu, tidak pernah nyumbang, sekarang tiba-tiba menjadi orang dermawan.
Cuma, saya hanya sedikit memberikan nasihat khususnya kepada caleg, kalau nyumbang itu untuk keperluan masyarakat banyak, seperti pembuatan jalan, jembatan, rumah ibadah, tidak ada salahnya untuk diakomodir. Dari pada membuat baliho atau atribut kampanye dengan uang puluhan juta, yang manfaatnya tidak dirasakan masyarakat, lebih baik mengakomodir sumbangan untuk kepentingan umum. Kalau pun tidak duduk di kursi empuk dewan, paling tidak sumbangan itu telah membantu masyarakat. Dan, masyarakatpun pasti selalu mengenang caleg itu dengan image positif. (Silakan komentari lewat email: rosadi@equator-news.com atau ke http://renunganpelangi.blogspot.com)
Jumat, 23 Januari 2009
75 Persen TKW Pelacur
Rosadi Jamani
Apakah ada anak perempuan anda bekerja di Malaysia? Apakah pernah berpikir bahwa anak anda itu tidak menjadi pelacur? Soalnya, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kalbar memprediksi tidak kurang 75 persen tenaga kerja wanita (TKW) yang bekerja di negeri jiran bekerja di sektor pelacuran. Jika prediksi itu benar, berarti hanya 25 persen saja TKW yang benar-benar bekerja di tempat yang benar. Angka 75 persen TKW menjadi pelacur itu tentunya sangat fantastik.
Siapapun orang tuanya, tidak mau anak perempuannya menjadi pelacur. Jadi perempuan penghibur untuk pria hidung belang itu adalah pekerjaan hina. Selain dilarang agama, juga bertentangan dengan moral masyarakat. Seorang ayah atau ibu pasti akan marah besar apabila diketahui anaknya menjadi pelacur. Bukan nama orang tua yang tercemar, melainkan nama keluarga besar.
Tapi, pernahkah seorang ayah atau ibu melacak keberadaan anaknya yang bekerja di Malaysia? Paling mereka hanya mengetahui anak bekerja dari teman-temannya yang kebetulan balik kampung. Atau, lewat telepon selular. Dibilang bekerja jadi pembantu, di rumah makan atau di restoran, orang tua pasti percaya. Apalagi kalau setiap bulan ada kiriman uang dalam jumlah besar semakin menghilangkan kecurigaan. Orang tua hanya tahu anaknya bekerja di Malaysia saja.
Kalau tadi tidak ada ayah atau ibu menginginkan anaknya menjadi pelacur, begitu juga seorang anak perempuan. Dia pasti tidak menginginkan pekerjaan super hina itu. Dia juga ingin bekerja yang tidak dilarang agama dan tidak melanggar norma masyarakat. Tapi, kenapa sampai 75 persen TKW bekerja di sektor penuh berahi itu.
Ada benang merah kenapa banyak TKW lebih banyak bekerja jadi pelacur. Disnakertrans sendiri mengungkapkan, TKW tersebut masuk bekerja ke Malaysia secara ilegal. Sementara yang legal dipastikan bekerja di tempat terhormat. Yang menjadi persoalan, praktik mempekerjakan TKW secara ilegal sangat marak. Banyak calo gentayangan mencari mangsa sampai ke pelosok-pelosok kampung.
Perempuan yang menjadi sasaran utama adalah yang baru tamat SMP atau SMA dari keluarga tidak berada (miskin). Modus operandinya, seorang calo datang ke rumah orang tua si perempuan. Di rumah itu, orang tua ditawarkan pekerjaan untuk anak perempuannya bekerja di Malaysia. Gajinya berkisar Rp 2 jutaan lebih. Orang tua tidak perlu khawatir biaya pembuatan parpor dan biaya transportasi serta penginapan. Seluruhnya ditanggung calo. Yang penting anak diizinkan bekerja ke Malaysia, itu saja.
Jika sudah mendapatkan izin dari orang tua, si calo akan membawa anak perempuan itu untuk mengurus paspor. Setelah semua administrasi lengkap, anak perempuan itu siap diberangkatkan. Orang tua dikasih biaya untuk meyakinkan bahwa anaknya memang benar dibawa ke Malaysia untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Membawa anak perempuan keluar dari Kalbar itu salah satu keberhasilan besar bagi calo.
Biasanya, sebelum sampai ke Malaysia, di Entikong perempuan itu “dikerjakan” dulu oleh calo beserta bosnya. Sering kita mendengar TKW kabur dari tempat penampungan di Entikong. Mereka mau diperkosa bahkan harus meladeni sejumlah pria hidung belang sebelum dibawa ke Malaysia. Setelah itu, perempuan itu dibawa masuk ke Malaysia untuk dipekerjakan di klub-klub malam dan harus melayani para tamu. Dalam kondisi seperti ini, TKW tidak berdaya. Mereka mau kabur tidak bisa dan penuh risiko. Mau bilang ke orang tua bahwa dia bekerja di klub malam atau jadi pelacur, jelas tidak mungkin. Satu-satunya cara untuk membahagiakan orang tuan adalah berbohong. Bilang ke orang tua bahwa dia memang bekerja jadi pembantu rumah tangga.
Ciri-ciri TKW yang bekerja jadi pelacur, jarang pulang kampung. Bahkan, ada yang hanya ngirim berita dan kiriman uang saja. Kemudian, tidak kawin-kawin. Sementara kawan-kawan seangkatannya sudah pada kawin. Alamat bekerjanya tidak diketahui kawan-kawan satu kampungnya yang kebetulan juga bekerja di Malaysia. Orang tuanya tahu bahwa anaknya bekerja jadi pembantu rumah tangga atau di restoran.
Jika demikian halnya, siapa yang pantas disalahkan? Disnakertrans bisa juga disalahkan karena kurang melakukan sosialisasi soal bekerja keluar negeri. Bisa juga orang tua yang dengan mudah mempercayakan kepada calo. Bisa juga kepada si anak yang tidak selektif. Semuanya bisa salah. Namun, satu hal yang mesti diingat, apabila ada orang menawarkan anak bekerja ke Malaysia, bertanya dulu dengan Disnakertrans. Kemudian, jangan mudah percaya terhadap janji manis bekerja di negeri jiran.
Apakah ada anak perempuan anda bekerja di Malaysia? Apakah pernah berpikir bahwa anak anda itu tidak menjadi pelacur? Soalnya, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kalbar memprediksi tidak kurang 75 persen tenaga kerja wanita (TKW) yang bekerja di negeri jiran bekerja di sektor pelacuran. Jika prediksi itu benar, berarti hanya 25 persen saja TKW yang benar-benar bekerja di tempat yang benar. Angka 75 persen TKW menjadi pelacur itu tentunya sangat fantastik.
Siapapun orang tuanya, tidak mau anak perempuannya menjadi pelacur. Jadi perempuan penghibur untuk pria hidung belang itu adalah pekerjaan hina. Selain dilarang agama, juga bertentangan dengan moral masyarakat. Seorang ayah atau ibu pasti akan marah besar apabila diketahui anaknya menjadi pelacur. Bukan nama orang tua yang tercemar, melainkan nama keluarga besar.
Tapi, pernahkah seorang ayah atau ibu melacak keberadaan anaknya yang bekerja di Malaysia? Paling mereka hanya mengetahui anak bekerja dari teman-temannya yang kebetulan balik kampung. Atau, lewat telepon selular. Dibilang bekerja jadi pembantu, di rumah makan atau di restoran, orang tua pasti percaya. Apalagi kalau setiap bulan ada kiriman uang dalam jumlah besar semakin menghilangkan kecurigaan. Orang tua hanya tahu anaknya bekerja di Malaysia saja.
Kalau tadi tidak ada ayah atau ibu menginginkan anaknya menjadi pelacur, begitu juga seorang anak perempuan. Dia pasti tidak menginginkan pekerjaan super hina itu. Dia juga ingin bekerja yang tidak dilarang agama dan tidak melanggar norma masyarakat. Tapi, kenapa sampai 75 persen TKW bekerja di sektor penuh berahi itu.
Ada benang merah kenapa banyak TKW lebih banyak bekerja jadi pelacur. Disnakertrans sendiri mengungkapkan, TKW tersebut masuk bekerja ke Malaysia secara ilegal. Sementara yang legal dipastikan bekerja di tempat terhormat. Yang menjadi persoalan, praktik mempekerjakan TKW secara ilegal sangat marak. Banyak calo gentayangan mencari mangsa sampai ke pelosok-pelosok kampung.
Perempuan yang menjadi sasaran utama adalah yang baru tamat SMP atau SMA dari keluarga tidak berada (miskin). Modus operandinya, seorang calo datang ke rumah orang tua si perempuan. Di rumah itu, orang tua ditawarkan pekerjaan untuk anak perempuannya bekerja di Malaysia. Gajinya berkisar Rp 2 jutaan lebih. Orang tua tidak perlu khawatir biaya pembuatan parpor dan biaya transportasi serta penginapan. Seluruhnya ditanggung calo. Yang penting anak diizinkan bekerja ke Malaysia, itu saja.
Jika sudah mendapatkan izin dari orang tua, si calo akan membawa anak perempuan itu untuk mengurus paspor. Setelah semua administrasi lengkap, anak perempuan itu siap diberangkatkan. Orang tua dikasih biaya untuk meyakinkan bahwa anaknya memang benar dibawa ke Malaysia untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Membawa anak perempuan keluar dari Kalbar itu salah satu keberhasilan besar bagi calo.
Biasanya, sebelum sampai ke Malaysia, di Entikong perempuan itu “dikerjakan” dulu oleh calo beserta bosnya. Sering kita mendengar TKW kabur dari tempat penampungan di Entikong. Mereka mau diperkosa bahkan harus meladeni sejumlah pria hidung belang sebelum dibawa ke Malaysia. Setelah itu, perempuan itu dibawa masuk ke Malaysia untuk dipekerjakan di klub-klub malam dan harus melayani para tamu. Dalam kondisi seperti ini, TKW tidak berdaya. Mereka mau kabur tidak bisa dan penuh risiko. Mau bilang ke orang tua bahwa dia bekerja di klub malam atau jadi pelacur, jelas tidak mungkin. Satu-satunya cara untuk membahagiakan orang tuan adalah berbohong. Bilang ke orang tua bahwa dia memang bekerja jadi pembantu rumah tangga.
Ciri-ciri TKW yang bekerja jadi pelacur, jarang pulang kampung. Bahkan, ada yang hanya ngirim berita dan kiriman uang saja. Kemudian, tidak kawin-kawin. Sementara kawan-kawan seangkatannya sudah pada kawin. Alamat bekerjanya tidak diketahui kawan-kawan satu kampungnya yang kebetulan juga bekerja di Malaysia. Orang tuanya tahu bahwa anaknya bekerja jadi pembantu rumah tangga atau di restoran.
Jika demikian halnya, siapa yang pantas disalahkan? Disnakertrans bisa juga disalahkan karena kurang melakukan sosialisasi soal bekerja keluar negeri. Bisa juga orang tua yang dengan mudah mempercayakan kepada calo. Bisa juga kepada si anak yang tidak selektif. Semuanya bisa salah. Namun, satu hal yang mesti diingat, apabila ada orang menawarkan anak bekerja ke Malaysia, bertanya dulu dengan Disnakertrans. Kemudian, jangan mudah percaya terhadap janji manis bekerja di negeri jiran.
Kamis, 22 Januari 2009
Kredibilitas BPK
Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selalu menjadi rujukan kejaksaan maupun Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) untuk menyeret para koruptor ke pengadilan. Tidak heran apabila banyak pejabat takut bila BPK datang memeriksa. Ketika diaudit BPK, tidak ada boleh ada penyimpangan dana negara. Semua harus berdasarkan undang-undang.
Tapi, bagaimana bila BPK yang justru melakukan penyimpangan? Sebagai contoh, BPK Perwakilan Pontianak membeli dua mobil tanpa proses tender. Padahal, setiap belanja barang yang menggunakan uang negara mesti melalui tender. Sementara BPK yang selama ini termasuk lembaga paling ditakuti, justru melanggar aturan tersebut. Untung saja, lembaga tersebut mengakui kesalahannya. BPK mengaku ceroboh. Cuma, hanya sekadar mengakui kesalahan. Mungkin saja dengan mengakui itu semua, kesalahan yang mereka perbuat bisa diampuni.
Indonesia adalah negara hukum. Siapapun sama di mata hukum. Tidak ada lembaga superior di negeri ini. Siapa saja yang melanggar aturan, tetap harus dihukum. Di mata hukum, tidak ada sanksi hukum bisa dihilangkan cukup dengan minta maaf. Jika melanggar, proses hukum mesti ditegakkan.
BPK telah mencoreng kredibilitasnya sendiri. Bisa dibayangkan seperti apa persepsi masyarakat terhadap lembaga ini, si tukang audit keuangan justru seenaknya melanggar aturan. Kita yakin, masyarakat pasti banyak mencibir, image BPK yang selama ini sangat disegani menjadi luntur. Jika kasus ini tidak ada tindakan hukum, itu berarti BPK kebal hukum, bisa seenaknya menabrak aturan di negeri ini.
Jika begitu halnya, pemerintahan daerah (Pemda) yang selama ini menjadi bulan-bulanan audit BPK, bisa juga menjadikan kasus itu sebagai teladan penting. Pemda bisa saja membeli mobil ke show room yang banyak terdapat di Pontianak tanpa harus melewati tender. Bawa duit segepok, masuk show room, mobil tinggal dipilih mana yang bagus, dapat yang bagus, lalu dibayar cash, dan terakhir minta kuitansi pembayaran. Kuitansi tersebut tinggal diserahkan ke bendahara untuk dipertanggungjawabkan. Sederhana, tidak berbelit-belit dan cepat. Maunya kita semua pasti demikian jika ingin belanja barang.
Tapi, perlu diketahui, membelanjakan uang negara tidak bisa sesederhana seperti itu. Ada aturan yang mesti dilalui. Setiap belanja barang di atas Rp 100 juta, mesti ada proses tender atau lelang. Proses tender, lalu diumumkan pemenang, si pemenang mesti melengkapi seluruh persyaratan administrasi. Setelah lengkap, lalu diverifikasi. Kemudian, barulah barang bisa disiapkan. Pemda juga mesti menyiapkan uangnya. Proses itu semua memerlukan waktu berbulan-bulan. Tidak bisa seminggu, mobil bisa ada. Inilah aturan yang mesti ditegakkan. Tujuannya, agar proses pengadaan barang tidak melanggar aturan. Ketika itu diaudit BPK, pasti tidak ada temuan penyimpangan, semua berdasarkan prosedur. Lama, bertele-tele, perlu cost tinggi. Tapi, inilah prosedur yang mesti dilalui apabila pengadaan barang yang menggunakan uang negara.
Sementara BPK, melanggar prosedur yang berbelit-belit itu. Dengan melanggar aturan tersebut, BPK yang mestinya hanya dapat satu mobil, tapi bisa dua mobil. Dilihat dari efisiensi anggaran, apa yang telah dilakukan BPK itu jelas sangat menguntungkan. Tapi, dari segi hukum, apa yang telah dilakukan BPK itu jelas melanggar aturan. Di sini yang menjadi persoalan.
BPK tidak bisa mengedepankan alasan efisiensi. BPK semestinya tetap mengikuti prosedur hukum soal pengadaan barang. Walaupun mengikuti prosedur itu menyebabkan cost tinggi. Inilah hukum. Hukum tidak peduli apakah itu cost tinggi atau murah.
Setidaknya kasus ini menjadi pelajaran berharga buat pemerintah. Hikmah yang bisa ditarik dari peristiwa ini, dengan anggaran untuk satu mobil, tapi di tangan BPK bisa menjadi dua mobil. BPK ingin membuktikan bahwa proses tender itu terlalu banyak menyedot anggaran pemerintah yang tidak perlu. Ke depan, aturan tender pengadaan barang mesti disempurnakan. Tujuannya, agar uang negara yang dikeluarkan benar-benar efisien, dan tidak dijadikan momen untuk mencari keuntungan pribadi.*
Tapi, bagaimana bila BPK yang justru melakukan penyimpangan? Sebagai contoh, BPK Perwakilan Pontianak membeli dua mobil tanpa proses tender. Padahal, setiap belanja barang yang menggunakan uang negara mesti melalui tender. Sementara BPK yang selama ini termasuk lembaga paling ditakuti, justru melanggar aturan tersebut. Untung saja, lembaga tersebut mengakui kesalahannya. BPK mengaku ceroboh. Cuma, hanya sekadar mengakui kesalahan. Mungkin saja dengan mengakui itu semua, kesalahan yang mereka perbuat bisa diampuni.
Indonesia adalah negara hukum. Siapapun sama di mata hukum. Tidak ada lembaga superior di negeri ini. Siapa saja yang melanggar aturan, tetap harus dihukum. Di mata hukum, tidak ada sanksi hukum bisa dihilangkan cukup dengan minta maaf. Jika melanggar, proses hukum mesti ditegakkan.
BPK telah mencoreng kredibilitasnya sendiri. Bisa dibayangkan seperti apa persepsi masyarakat terhadap lembaga ini, si tukang audit keuangan justru seenaknya melanggar aturan. Kita yakin, masyarakat pasti banyak mencibir, image BPK yang selama ini sangat disegani menjadi luntur. Jika kasus ini tidak ada tindakan hukum, itu berarti BPK kebal hukum, bisa seenaknya menabrak aturan di negeri ini.
Jika begitu halnya, pemerintahan daerah (Pemda) yang selama ini menjadi bulan-bulanan audit BPK, bisa juga menjadikan kasus itu sebagai teladan penting. Pemda bisa saja membeli mobil ke show room yang banyak terdapat di Pontianak tanpa harus melewati tender. Bawa duit segepok, masuk show room, mobil tinggal dipilih mana yang bagus, dapat yang bagus, lalu dibayar cash, dan terakhir minta kuitansi pembayaran. Kuitansi tersebut tinggal diserahkan ke bendahara untuk dipertanggungjawabkan. Sederhana, tidak berbelit-belit dan cepat. Maunya kita semua pasti demikian jika ingin belanja barang.
Tapi, perlu diketahui, membelanjakan uang negara tidak bisa sesederhana seperti itu. Ada aturan yang mesti dilalui. Setiap belanja barang di atas Rp 100 juta, mesti ada proses tender atau lelang. Proses tender, lalu diumumkan pemenang, si pemenang mesti melengkapi seluruh persyaratan administrasi. Setelah lengkap, lalu diverifikasi. Kemudian, barulah barang bisa disiapkan. Pemda juga mesti menyiapkan uangnya. Proses itu semua memerlukan waktu berbulan-bulan. Tidak bisa seminggu, mobil bisa ada. Inilah aturan yang mesti ditegakkan. Tujuannya, agar proses pengadaan barang tidak melanggar aturan. Ketika itu diaudit BPK, pasti tidak ada temuan penyimpangan, semua berdasarkan prosedur. Lama, bertele-tele, perlu cost tinggi. Tapi, inilah prosedur yang mesti dilalui apabila pengadaan barang yang menggunakan uang negara.
Sementara BPK, melanggar prosedur yang berbelit-belit itu. Dengan melanggar aturan tersebut, BPK yang mestinya hanya dapat satu mobil, tapi bisa dua mobil. Dilihat dari efisiensi anggaran, apa yang telah dilakukan BPK itu jelas sangat menguntungkan. Tapi, dari segi hukum, apa yang telah dilakukan BPK itu jelas melanggar aturan. Di sini yang menjadi persoalan.
BPK tidak bisa mengedepankan alasan efisiensi. BPK semestinya tetap mengikuti prosedur hukum soal pengadaan barang. Walaupun mengikuti prosedur itu menyebabkan cost tinggi. Inilah hukum. Hukum tidak peduli apakah itu cost tinggi atau murah.
Setidaknya kasus ini menjadi pelajaran berharga buat pemerintah. Hikmah yang bisa ditarik dari peristiwa ini, dengan anggaran untuk satu mobil, tapi di tangan BPK bisa menjadi dua mobil. BPK ingin membuktikan bahwa proses tender itu terlalu banyak menyedot anggaran pemerintah yang tidak perlu. Ke depan, aturan tender pengadaan barang mesti disempurnakan. Tujuannya, agar uang negara yang dikeluarkan benar-benar efisien, dan tidak dijadikan momen untuk mencari keuntungan pribadi.*
Rabu, 21 Januari 2009
Perjuangan Belum Berakhir
Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan gugatan Sujiwo-Okto (JOS) ditolak, 19 Januari lalu. Itu artinya, pihak termohon, KPU Kubu Raya menang. Berarti Keputusan KPU Kubu Raya yang menenangkan Muda Mahendrawan-Andreas Muhrotein sebagai pemenang Pilkada adalah sah demi hukum. Itu artinya juga Muda-Andreas adalah Bupati dan Wakil Bupati Kubu Raya pertama.
Setelah keputusan itu, tidak ada lagi proses hukum lanjutan. Maksudnya, JOS tidak ada punya jurus untuk mementahkan keputusan KPU atau menganulir ketuk palu keramat MK. Sekali ditolak tetap ditolak. Paling yang bisa dilakukan kubu JOS hanya pasrah dan menerima kekalahan.
Bagi kubu Muda-Andreas, keputusan MK tersebut adalah akhir dari seluruh proses Pilkada Kubu Raya. Sekarang, duet ideal itu tinggal menunggu pelantikan sebagai orang nomor satu dan nomor dua di Bumi Kubu Raya. Dengan demikian, seluruh rakyat Kubu Raya sebentar lagi memiliki pemimpin definitif.
Kita yakin, dengan keputusan MK itu pasti disambut duka cita oleh kubu Muda-Andreas. Mereka pasti meluapkan keputusan MK itu dengan puji dan syukur kepada Tuhan. Mereka juga pasti mengucapkan ribuan terima kasih kepada rakyat Kubu Raya yang telah memilihnya. Namun, kegembiraan itu bukanlah akhir dari sebuah perjuangan. Perjuangan untuk membuat Kubu Raya lebih baik, lebih sejahtera dan makmur.
Muda sendiri mengatakan bahwa kemenangan yang diraih itu bukan akhir, melainkan awal dari perjuangan. Kita setuju itu. Kubu Raya adalah kabupaten baru dan berada di nomor 14 atau nomor buntut. Kalau dibandingkan dengan kabupaten seniornya, Kabupaten Pontianak, jelas Kubu Raya masih jauh tertinggal. Kantor Bupati saja masih numpang. Begitu juga dengan dinas, kantor, dan badan banyak yang harus nyewa. Belum bicara SDM, masih jauh tertinggal. Demikian infrastruktur jalan, jembatan, sekolah, kesehatan, pertanian, kelautan, perikanan dan sebagainya, Kubu Raya masih jauh tertinggal.
Itu sebabnya, Muda mengatakan bahwa perjuangan baru dimulai. Begitu dia dilantik sebagai orang nomor satu di Bumi Kubu Raya, itulah awal dari perjuangan. Dia bersama Andreas terikat kontrak sosial dengan masyarakat, mesti mewujudkan visi dan misi serta program kerjanya yang diumbar saat kampanye. Masyarakat Kubu Raya pasti menunggu realisasi seluruh janji yang telah dikoar-koarkannya saat pesta demokrasi.
Untuk membangun daerah baru tidaklah sama dengan kabupaten senior. Muda-Andreas ditutut kerja ekstra untuk mensejajarkan Kubu Raya dengan kabupaten lain. Begitu juga dengan kabinetnya, tidak boleh ada lagi yang nyantai atau berleha-leha. Tidak boleh ada lagi kepala dinas bekerja dengan tujuan memperkaya diri sendiri. Mereka mesti mencurahkan segenap tenaga, pikiran dan waktu untuk kemajuan Kubu Raya. Sebab, dari masyarakat Kubu Raya pasti banyak tuntutan.
Banyak orang memperkirakan, Kabupaten Kubu Raya cepat mengejar ketertinggalan dari kabupaten lama. Bisa dikatakan Kubu Raya satu-satunya kabupaten baru yang paling “basah”. Banyak sumber daya alam serta ketersediaan infrastruktur yang lebih dibandingkan kabupaten lain. Contoh, Kubu Raya memiliki potensi besar di bidang pertambangan, perikanan dan pertanian. Di daerah Kubu Raya ada Bandara Supadio. Kemudian, Kubu Raya dekat dengan ibu kota Kalbar, dekat dengan pelabuhan laut. Itu semua adalah modal besar bagi Kubu Raya untuk mengejar ketertinggalan.
Namun, itu semua tidak ada artinya jika Kubu Raya salah urus. Seluruh potensi besar itu tidak mendatangkan kesejahteraan apabila yang tukang urus tidak becus. Dengan terpilihnya Muda-Andreas lewat jalur independent, itu artinya pemimpin pilihan rakyat, bukan partai politik. Kita yakin bukan tipe pemimpin yang mementingkan diri sendiri. Dia pasti tidak melupakan seluruh janji-janjinya kepada rakyat Kubu Raya.
Untuk sementara, kita mesti bersabar menunggu proses pelantikan. Apabila sudah dilantik, kita berharap Muda-Andreas langsung menjalankan visi dan misinya. Sebagai rakyat mesti mendoakan agar Muda-Andreas dikaruniai sifat pemimpin yang merakyat.
Setelah keputusan itu, tidak ada lagi proses hukum lanjutan. Maksudnya, JOS tidak ada punya jurus untuk mementahkan keputusan KPU atau menganulir ketuk palu keramat MK. Sekali ditolak tetap ditolak. Paling yang bisa dilakukan kubu JOS hanya pasrah dan menerima kekalahan.
Bagi kubu Muda-Andreas, keputusan MK tersebut adalah akhir dari seluruh proses Pilkada Kubu Raya. Sekarang, duet ideal itu tinggal menunggu pelantikan sebagai orang nomor satu dan nomor dua di Bumi Kubu Raya. Dengan demikian, seluruh rakyat Kubu Raya sebentar lagi memiliki pemimpin definitif.
Kita yakin, dengan keputusan MK itu pasti disambut duka cita oleh kubu Muda-Andreas. Mereka pasti meluapkan keputusan MK itu dengan puji dan syukur kepada Tuhan. Mereka juga pasti mengucapkan ribuan terima kasih kepada rakyat Kubu Raya yang telah memilihnya. Namun, kegembiraan itu bukanlah akhir dari sebuah perjuangan. Perjuangan untuk membuat Kubu Raya lebih baik, lebih sejahtera dan makmur.
Muda sendiri mengatakan bahwa kemenangan yang diraih itu bukan akhir, melainkan awal dari perjuangan. Kita setuju itu. Kubu Raya adalah kabupaten baru dan berada di nomor 14 atau nomor buntut. Kalau dibandingkan dengan kabupaten seniornya, Kabupaten Pontianak, jelas Kubu Raya masih jauh tertinggal. Kantor Bupati saja masih numpang. Begitu juga dengan dinas, kantor, dan badan banyak yang harus nyewa. Belum bicara SDM, masih jauh tertinggal. Demikian infrastruktur jalan, jembatan, sekolah, kesehatan, pertanian, kelautan, perikanan dan sebagainya, Kubu Raya masih jauh tertinggal.
Itu sebabnya, Muda mengatakan bahwa perjuangan baru dimulai. Begitu dia dilantik sebagai orang nomor satu di Bumi Kubu Raya, itulah awal dari perjuangan. Dia bersama Andreas terikat kontrak sosial dengan masyarakat, mesti mewujudkan visi dan misi serta program kerjanya yang diumbar saat kampanye. Masyarakat Kubu Raya pasti menunggu realisasi seluruh janji yang telah dikoar-koarkannya saat pesta demokrasi.
Untuk membangun daerah baru tidaklah sama dengan kabupaten senior. Muda-Andreas ditutut kerja ekstra untuk mensejajarkan Kubu Raya dengan kabupaten lain. Begitu juga dengan kabinetnya, tidak boleh ada lagi yang nyantai atau berleha-leha. Tidak boleh ada lagi kepala dinas bekerja dengan tujuan memperkaya diri sendiri. Mereka mesti mencurahkan segenap tenaga, pikiran dan waktu untuk kemajuan Kubu Raya. Sebab, dari masyarakat Kubu Raya pasti banyak tuntutan.
Banyak orang memperkirakan, Kabupaten Kubu Raya cepat mengejar ketertinggalan dari kabupaten lama. Bisa dikatakan Kubu Raya satu-satunya kabupaten baru yang paling “basah”. Banyak sumber daya alam serta ketersediaan infrastruktur yang lebih dibandingkan kabupaten lain. Contoh, Kubu Raya memiliki potensi besar di bidang pertambangan, perikanan dan pertanian. Di daerah Kubu Raya ada Bandara Supadio. Kemudian, Kubu Raya dekat dengan ibu kota Kalbar, dekat dengan pelabuhan laut. Itu semua adalah modal besar bagi Kubu Raya untuk mengejar ketertinggalan.
Namun, itu semua tidak ada artinya jika Kubu Raya salah urus. Seluruh potensi besar itu tidak mendatangkan kesejahteraan apabila yang tukang urus tidak becus. Dengan terpilihnya Muda-Andreas lewat jalur independent, itu artinya pemimpin pilihan rakyat, bukan partai politik. Kita yakin bukan tipe pemimpin yang mementingkan diri sendiri. Dia pasti tidak melupakan seluruh janji-janjinya kepada rakyat Kubu Raya.
Untuk sementara, kita mesti bersabar menunggu proses pelantikan. Apabila sudah dilantik, kita berharap Muda-Andreas langsung menjalankan visi dan misinya. Sebagai rakyat mesti mendoakan agar Muda-Andreas dikaruniai sifat pemimpin yang merakyat.
Selalu Disakiti
Kita ingin bertanya, apakah pernah rakyat Kalbar Indonesia menyakiti orang Sarawak Malaysia? Rasanya tidak pernah. Sebaliknya, justru rakyat Kalbar lebih banyak menyenangkan orang Sarawak ketimbang menyakitinya. Sebagai bukti, ribuan TKI kita bekerja di Sarawak. Itu semua dalam upaya menyenangkan orang di negeri jiran itu.
Tapi, kenapa orang yang katanya serumpun itu selalu menyakiti kita. Kasus lima warga Balai Karangan yang dibunuh Polisi Di Raja Malaysia (PDRM) masih belum hilang dari ingatan kita. Sekarang, muncul kasus terbaru, pencaplokan wilayah Kalbar sepanjang 2 kilometer di Kawasan Gunung Guma dan Gunung Batu Kapuas Hulu. Tidak cukup itu saja, ratusan patok batas negara juga tergusur oleh salah satu perusahaan perkebunan Malaysia. Walaupun kasus ini masih diselidiki, tapi fakta telah membuktikan bahwa terjadi pencaplokan wilayah negara.
Lantas, sikap apa yang pantas dilakukan pemerintah serta rakyat Kalbar? Sejauh ini memang masih adem ayem. Mabes TNI telah memerintahkan Korem untuk melakukan penyelidikan. Namun, kisah pencaplokan dan pergeseran tapal batas, bukanlah cerita baru. Sudah sering terjadi. Selalu yang membikin ulah dari pihak Malaysia itu. Sementara sikap pemerintah Indonesia sangat lunak. Sikap lunak ini membuat Malaysia selalu mencari celah kelemahan Indonesia untuk menguasai sumber daya alam yang di perbatasan.
Kita memang mengakui antara Sarawak dan Kalbar adalah serumpun. Tidak banyak berbeda soal budaya maupun bahasa. Orang Kalbar jika ingin ke Sarawak tidak kesulitan dalam berkomunikasi. Begitu juga orang Sarawak ke Kalbar sangat mudah beradaptasi. Kemesraan ini juga sudah lama terjalin. Berbagai upaya untuk mengakrabkan dua daerah beda negara ini juga sering dilakukan.
Walaupun dari segi budaya dan bahasa tidak jauh berbeda. Tapi, segi ekonomi, jujur kita akui, Kalbar masih sangat jauh tertinggal. Kata orang, ibarat langit dan bumi. Sangat wajar apabila banyak warga kita harus mengadu nasib di Sarawak. Ribuan TKI kita memenuhi sektor-sektor usaha di sana. Banyaknya orang kita bekerja di Sarawak, itu artinya memberikan andil besar bagi pembangunan negeri itu. Sarawak butuh tenaga kerja, sementara orang kita memang butuh pekerjaan. Inilah kemesraan yang sudah lama dirasakan kedua daerah yang hanya dipisahkan oleh garis batas negara itu.
Tapi, kenapa kemesraan itu ingin dirusak oleh pihak Malaysia. Kasus Pulau Ligitan dan Simpadan sempat membuat hubungan kita dengan negara tetangga memanas. Semakin panas ketika muncul kasus Ambalat. Belum lagi kisah TKI yang sering disiksa. Bahkan, ada yang harus merenggang nyawa hanya untuk mencari keberuntungan di Malaysia.
Munculnya kasus pencaplokan wilayah Indonesia sepanjang dua kilometer itu adalah upaya untuk menipiskan kemesraan.
Memang ada dugaan dari Korem, mungkin saja pencaplokan wilayah itu disebabkan ketidaktahuan pihak perusahaan perkebunan Malaysia soal tapal batas. Jika alasan ini dipakai, rasanya tidak masuk di tengah pesatnya kemajuan teknologi. Kemudian, rasa mustahil pihak tentara Malaysia tidak mengetahui aktivitas perusahaan di perbatasan. Kalau warga membuka lahan, masih bisa masuk akal. Tapi, yang membuka lahan itu adalah pihak perusahaan. Sebuah perusahaan ketika membuka lahan (land clearing), pasti mengerahkan alat berat dan pekerja dalam jumlah besar. Apakah aktivitas besar ini tidak diketahui oleh tentara Malaysia yang sering berpatroli di perbatasan?
Pemerintah Indonesia harus tegas dalam hal ini. Memang ada saatnya kita mengedepankan pendekatan persuasif. Sebagai contoh, ketika ada kasus TKI disiksa, bolehlah pendekatan itu dipakai. Tapi, kalau sudah wilayah negara dicaplok, walaupun itu hanya sepanjang dua kilometer, itu tidak bisa dibenarkan. Apakah pemerintah masih mau menggunakan cara lunak. Kita berharap, pemerintah Indonesia bersikap tegas dengan memperingatkan Malaysia, jangan coba-coba mengganggu wilayah kedaulatan Indonesia. Sikap tegas ini penting agar kita tidak selalu disakiti. Ke depan tidak ada lagi orang atau negara yang dirugikan oleh tetangga kita itu.*
Tapi, kenapa orang yang katanya serumpun itu selalu menyakiti kita. Kasus lima warga Balai Karangan yang dibunuh Polisi Di Raja Malaysia (PDRM) masih belum hilang dari ingatan kita. Sekarang, muncul kasus terbaru, pencaplokan wilayah Kalbar sepanjang 2 kilometer di Kawasan Gunung Guma dan Gunung Batu Kapuas Hulu. Tidak cukup itu saja, ratusan patok batas negara juga tergusur oleh salah satu perusahaan perkebunan Malaysia. Walaupun kasus ini masih diselidiki, tapi fakta telah membuktikan bahwa terjadi pencaplokan wilayah negara.
Lantas, sikap apa yang pantas dilakukan pemerintah serta rakyat Kalbar? Sejauh ini memang masih adem ayem. Mabes TNI telah memerintahkan Korem untuk melakukan penyelidikan. Namun, kisah pencaplokan dan pergeseran tapal batas, bukanlah cerita baru. Sudah sering terjadi. Selalu yang membikin ulah dari pihak Malaysia itu. Sementara sikap pemerintah Indonesia sangat lunak. Sikap lunak ini membuat Malaysia selalu mencari celah kelemahan Indonesia untuk menguasai sumber daya alam yang di perbatasan.
Kita memang mengakui antara Sarawak dan Kalbar adalah serumpun. Tidak banyak berbeda soal budaya maupun bahasa. Orang Kalbar jika ingin ke Sarawak tidak kesulitan dalam berkomunikasi. Begitu juga orang Sarawak ke Kalbar sangat mudah beradaptasi. Kemesraan ini juga sudah lama terjalin. Berbagai upaya untuk mengakrabkan dua daerah beda negara ini juga sering dilakukan.
Walaupun dari segi budaya dan bahasa tidak jauh berbeda. Tapi, segi ekonomi, jujur kita akui, Kalbar masih sangat jauh tertinggal. Kata orang, ibarat langit dan bumi. Sangat wajar apabila banyak warga kita harus mengadu nasib di Sarawak. Ribuan TKI kita memenuhi sektor-sektor usaha di sana. Banyaknya orang kita bekerja di Sarawak, itu artinya memberikan andil besar bagi pembangunan negeri itu. Sarawak butuh tenaga kerja, sementara orang kita memang butuh pekerjaan. Inilah kemesraan yang sudah lama dirasakan kedua daerah yang hanya dipisahkan oleh garis batas negara itu.
Tapi, kenapa kemesraan itu ingin dirusak oleh pihak Malaysia. Kasus Pulau Ligitan dan Simpadan sempat membuat hubungan kita dengan negara tetangga memanas. Semakin panas ketika muncul kasus Ambalat. Belum lagi kisah TKI yang sering disiksa. Bahkan, ada yang harus merenggang nyawa hanya untuk mencari keberuntungan di Malaysia.
Munculnya kasus pencaplokan wilayah Indonesia sepanjang dua kilometer itu adalah upaya untuk menipiskan kemesraan.
Memang ada dugaan dari Korem, mungkin saja pencaplokan wilayah itu disebabkan ketidaktahuan pihak perusahaan perkebunan Malaysia soal tapal batas. Jika alasan ini dipakai, rasanya tidak masuk di tengah pesatnya kemajuan teknologi. Kemudian, rasa mustahil pihak tentara Malaysia tidak mengetahui aktivitas perusahaan di perbatasan. Kalau warga membuka lahan, masih bisa masuk akal. Tapi, yang membuka lahan itu adalah pihak perusahaan. Sebuah perusahaan ketika membuka lahan (land clearing), pasti mengerahkan alat berat dan pekerja dalam jumlah besar. Apakah aktivitas besar ini tidak diketahui oleh tentara Malaysia yang sering berpatroli di perbatasan?
Pemerintah Indonesia harus tegas dalam hal ini. Memang ada saatnya kita mengedepankan pendekatan persuasif. Sebagai contoh, ketika ada kasus TKI disiksa, bolehlah pendekatan itu dipakai. Tapi, kalau sudah wilayah negara dicaplok, walaupun itu hanya sepanjang dua kilometer, itu tidak bisa dibenarkan. Apakah pemerintah masih mau menggunakan cara lunak. Kita berharap, pemerintah Indonesia bersikap tegas dengan memperingatkan Malaysia, jangan coba-coba mengganggu wilayah kedaulatan Indonesia. Sikap tegas ini penting agar kita tidak selalu disakiti. Ke depan tidak ada lagi orang atau negara yang dirugikan oleh tetangga kita itu.*
Senin, 19 Januari 2009
Menyambut Tahun Baru Imlek
Rosadi Jamani
Apa bedanya Imlek (tahun baru Tionghoa) dengan 1 Muharam, Naik Dango, Tahun Baru Masehi? Dilihat dari teropong budaya, semua itu tidak ada bedanya. Siapapun tidak boleh melarangnya. Melarang perayaan tersebut sama artinya menciptakan permusuhan.
Kita masih ingat di zaman Orde Baru, merayakan Imlek dilarang oleh pemerintah. Pemerintah zaman itu ingin meniadakan budaya etnis Tionghoa itu. Walaupun dilarang, etnis Tionghoa tetap melakukan perayaan, walaupun secara sederhana. Akhirnya pemerintah mencabut larangan itu dan sekarang setiap tahun Imlek beserta Cap Go Meh-nya boleh digelar. Soalnya, tidak ada pihak yang dirugikan. Apalagi negara, justru perayaan itu mendatangkan keuntungan besar. Bagi masyarakat juga demikian. Kota menjadi ramai. Hotel banyak penuh. Pedagang Kaki Lima panen keuntungan. Demikian juga tukang parkir, sopir, penjaga toko, dan sebagainya akan mendapatkan berkah dari perayaan Imlek dan Cap Go Meh.
Tiba-tiba ada segelintir masyarakat dari etnis berbeda, menolak perayaan Imlek dan Cap Go Meh dengan alasan yang tidak jelas. Coba kalau kita balik, bagaimana kalau even budaya etnis tersebut dilarang, pasti timbul pemberontakan. Mereka pasti tidak terima. Kok, even budaya dilarang untuk dirayakan.
Dalam agama Islam, selalu diingatkan bahwa perbedaan itu adalah rahmat. Keberagamaan etnis, budaya dan seni adalah sebuah berkah. Jika perbedaan itu dikelola dengan baik, akan mendatangkan keindahan. Seperti halnya pelangi. Semua orang pasti mengatakan pelangi itu indah, karena penuh dengan warna-warni. Demikian juga Kalbar, dilihat indah dan menawan apabila semua perbedaan itu ditata dengan baik. Semua etnis yang ada di Kalbar saling hormat menghormati, pasti akan memancarkan sebuah keindahan, kedamaian dan kekeluargaan.
Perbedaan ini adalah fakta. Semua etnis penghuni daerah ini mesti mengakui bahwa ada banyak perbedaan. Etnis Melayu jelas beda dengan Dayak, begitu juga sebaliknya. Etnis Tionghoa jelas beda dengan etnis Jawa, begitu sebaliknya. Harus juga dicatat, Kalbar aman dan tenteram seperti saat ini karena semua etnis saling hormat menghormati. Coba kalau ada etnis tidak menghormati etnis lain, yang muncul bukan kedamaian, tapi kengerian.
Kita belum bisa melupakan bagaimana sakit Kalbar ketika terjadi konflik Dayak vs Madura. Kita belum bisa melupakan bagaimana sakitnya hidup ketika terjadi konflik Melayu vs Dayak. Saat itu, orang takut keluar rumah. Banyak mobil tidak berani melintas di jalan raya. Banyak orang memilih berdiam di rumah dari pada harus keluyuran.
Sementara di luar rumah, kita melihat banyak orang menenteng berbagai senjata tajam. Dari raut muka orang tersebut hanyalah ada nafsu membunuh.
Ketika malam hari, suasana sangat hening. Tidak ada lagi suara anak-anak bermain di luar rumah. Yang terdengar hanya bunyi jangkrik serta suara orang sedang ronda malam. Suasana sangat mencekam. Tidak ada yang indah dalam suasana seperti itu.
Konflik tersebut semestinya menjadi pelajaran berharga dari seluruh etnis yang ada di Kalbar ini. Kita yakin, setiap warga yang mengaku penduduk Kalbar, tidak ingin terjadi konflik antaretnis. Semua ingin kedamaian dan ketenteraman. Semua ingin hidup normal tanpa terusik oleh siapapun.
Kembali pada Imlek dan Cap Go Meh, sangat naif apabila ada segelintir orang mencoba untuk melarangnya. Tindakan tersebut sama halnya menciptakan api permusuhan. Wali Kota Pontianak beserta aparat keamanan telah memberikan izin. Namun, kenapa masih ada suara sumbang yang melarang budaya itu untuk dirayakan. Sepertinya, ada orang risih dan merasa keamanan serta stabilitas etnisnya terganggu. Perlu adanya pemahaman dan penyadaran akan pentingnya budaya saling hormat menghormati.
Mari kita rawat perbedaan dan kelola dengan baik agar terlihat indah dan mendapatkan keuntungan. Jangan kita jadikan perbedayaan budaya untuk bahan berkonflik. Kita yakin, semua ingin Kalbar ini aman, tertib, aman dan tenteram. Mari kita hargai budaya kita serta orang lain.*
Apa bedanya Imlek (tahun baru Tionghoa) dengan 1 Muharam, Naik Dango, Tahun Baru Masehi? Dilihat dari teropong budaya, semua itu tidak ada bedanya. Siapapun tidak boleh melarangnya. Melarang perayaan tersebut sama artinya menciptakan permusuhan.
Kita masih ingat di zaman Orde Baru, merayakan Imlek dilarang oleh pemerintah. Pemerintah zaman itu ingin meniadakan budaya etnis Tionghoa itu. Walaupun dilarang, etnis Tionghoa tetap melakukan perayaan, walaupun secara sederhana. Akhirnya pemerintah mencabut larangan itu dan sekarang setiap tahun Imlek beserta Cap Go Meh-nya boleh digelar. Soalnya, tidak ada pihak yang dirugikan. Apalagi negara, justru perayaan itu mendatangkan keuntungan besar. Bagi masyarakat juga demikian. Kota menjadi ramai. Hotel banyak penuh. Pedagang Kaki Lima panen keuntungan. Demikian juga tukang parkir, sopir, penjaga toko, dan sebagainya akan mendapatkan berkah dari perayaan Imlek dan Cap Go Meh.
Tiba-tiba ada segelintir masyarakat dari etnis berbeda, menolak perayaan Imlek dan Cap Go Meh dengan alasan yang tidak jelas. Coba kalau kita balik, bagaimana kalau even budaya etnis tersebut dilarang, pasti timbul pemberontakan. Mereka pasti tidak terima. Kok, even budaya dilarang untuk dirayakan.
Dalam agama Islam, selalu diingatkan bahwa perbedaan itu adalah rahmat. Keberagamaan etnis, budaya dan seni adalah sebuah berkah. Jika perbedaan itu dikelola dengan baik, akan mendatangkan keindahan. Seperti halnya pelangi. Semua orang pasti mengatakan pelangi itu indah, karena penuh dengan warna-warni. Demikian juga Kalbar, dilihat indah dan menawan apabila semua perbedaan itu ditata dengan baik. Semua etnis yang ada di Kalbar saling hormat menghormati, pasti akan memancarkan sebuah keindahan, kedamaian dan kekeluargaan.
Perbedaan ini adalah fakta. Semua etnis penghuni daerah ini mesti mengakui bahwa ada banyak perbedaan. Etnis Melayu jelas beda dengan Dayak, begitu juga sebaliknya. Etnis Tionghoa jelas beda dengan etnis Jawa, begitu sebaliknya. Harus juga dicatat, Kalbar aman dan tenteram seperti saat ini karena semua etnis saling hormat menghormati. Coba kalau ada etnis tidak menghormati etnis lain, yang muncul bukan kedamaian, tapi kengerian.
Kita belum bisa melupakan bagaimana sakit Kalbar ketika terjadi konflik Dayak vs Madura. Kita belum bisa melupakan bagaimana sakitnya hidup ketika terjadi konflik Melayu vs Dayak. Saat itu, orang takut keluar rumah. Banyak mobil tidak berani melintas di jalan raya. Banyak orang memilih berdiam di rumah dari pada harus keluyuran.
Sementara di luar rumah, kita melihat banyak orang menenteng berbagai senjata tajam. Dari raut muka orang tersebut hanyalah ada nafsu membunuh.
Ketika malam hari, suasana sangat hening. Tidak ada lagi suara anak-anak bermain di luar rumah. Yang terdengar hanya bunyi jangkrik serta suara orang sedang ronda malam. Suasana sangat mencekam. Tidak ada yang indah dalam suasana seperti itu.
Konflik tersebut semestinya menjadi pelajaran berharga dari seluruh etnis yang ada di Kalbar ini. Kita yakin, setiap warga yang mengaku penduduk Kalbar, tidak ingin terjadi konflik antaretnis. Semua ingin kedamaian dan ketenteraman. Semua ingin hidup normal tanpa terusik oleh siapapun.
Kembali pada Imlek dan Cap Go Meh, sangat naif apabila ada segelintir orang mencoba untuk melarangnya. Tindakan tersebut sama halnya menciptakan api permusuhan. Wali Kota Pontianak beserta aparat keamanan telah memberikan izin. Namun, kenapa masih ada suara sumbang yang melarang budaya itu untuk dirayakan. Sepertinya, ada orang risih dan merasa keamanan serta stabilitas etnisnya terganggu. Perlu adanya pemahaman dan penyadaran akan pentingnya budaya saling hormat menghormati.
Mari kita rawat perbedaan dan kelola dengan baik agar terlihat indah dan mendapatkan keuntungan. Jangan kita jadikan perbedayaan budaya untuk bahan berkonflik. Kita yakin, semua ingin Kalbar ini aman, tertib, aman dan tenteram. Mari kita hargai budaya kita serta orang lain.*
Minggu, 18 Januari 2009
Tantangan Terbesar di Awal Tahun
Rosadi Jamani
Koruptor Yayasan Bestari (YB) is back (kembali). Kasus ini mencuat heboh di tahun 2003. Penuh drama bagi wartawan yang menggarap kasus itu. Ada wartawan yang hampir mati dipelasah preman. Yang namanya intimidasi seperti sarapan pagi ketika itu. Maklum, yang terlibat di YB itu adalah pesohor utama negeri Mempawah. Mantan bupati serta pimpinan Dewan harus merasakan pengap dan sumpeknya penjara. Sementara, 45 anggota Dewan yang menikmati dana haram itu, masih tebang pilih dijebloskan ke penjara.
Seiring berjalannya waktu, kasus tersebut sempat meredup beberapa tahun. Proses hukumnya sangat panjang dan berliku. Sampai-sampai masyarakat sempat lupa dan tidak peduli kisah itu. Tiba-tiba di akhir 2008 dan memasuki tahun 2009, kasus korupsi paling heboh di daerah ini, muncul kembali. Dua orang koruptor sudah dieksekusi, dijebloskan ke balik jeruji. Sebentar lagi, tiga mantan pimpinan Dewan menunggu jemputan untuk menjadi penghuni hotel prodeo. Setelah itu, barulah giliran sisa dari 45 mantan wakil rakyat atau yang masih aktif sampai saat ini.
Seiring perjalanan waktu, dan semakin baiknya nilai indeks korupsi Indonesia, sisa tikus-tikus pengerat uang rakyat itu pasti semakin terjepit. Dulu, mereka mungkin tertawa lebar ketika menghadapi kejaksaan dan pengadilan. Dua institusi hukum ini mudah dijinaknya dengan lembaran uang. Jaksa maupun hakim sangat mudah untuk diajak berkolaborasi. Buktinya, para mantan wakil rakyat atau masih aktif masih terbahak-bahak tertawa di hadapan publik, seolah-olah tidak ada beban. Lucunya lagi, justru mereka para penilep uang rakyat paling pandai ngomongin pemberantasan korupsi. Apalagi sebentar lagi Pemilu 2009, mereka jualan “kecap” ke masyarakat akan mendorong tegaknya hukum dan siap mendukung pemberantasan korupsi. Lempar batu sembunyi tangan.
Sekarang, tidak lagi. Kejaksaan dan pengadilan yang dulu menjadi markas utama mafia hukum, mungkin sudah tidak ada lagi. Dua lembaga itu sedang berusaha membangun image bobrok sepanjang tahun 2008. Dua lembaga itu sedang berbenah membersihkan diri dari pengaruh jahat.
Kita masih belum melupakan kisah jaksa Urip yang membuat image kejaksaan berada di titik terendah. Kasus tersebut benar-benar membuat lembaga yang kerjaannya menuntut para penjahat itu sangat dipermalukan oleh orangnya sendiri. Kasus tersebut rasanya sudah membuat kejaksaan sadar diri. Saatnya untuk memperbaiki citra paling buruk itu. Caranya, memburu para koruptor dan menuntutnya dengan hukuman seberat-beratnya.
Begitu juga pengadilan, banyak hakim yang justru membuat jelek citra pengadilan. Banyak yang dimutasikan bahkan dibebastugaskan karena ada main mata dengan pihak terdakwa. Inilah saatnya juga bagi pengadilan untuk membuktikan diri ke masyarakat bahwa pengadilan dulu dan sekarang, beda. Yang sekarang jauh lebih baik dibandingkan dulu. Apalagi Majelis Agung (MA) baru saja memilih Hakim Agung yang baru. Pasti semangat baru untuk menegakkan keadilan akan muncul.
Kembali ke kasus YB yang telah menggeroti uang rakyat ratusan juta rupiah itu, para pelakunya sudah sepantasnya dijebloskan ke penjara. Terlalu banyak kesalahan yang mereka perbuatan di mata rakyat. Mereka sudah makan uang haram, tapi di mata masyarakat berlaga seperti orang hebat, orang baik, orang bersih, orang peduli rakyat dan sebagainya. Inilah sifat orang munafik. Di mata masyarakat terlihat baik, tapi kenyataannya mereka adalah koruptor ulung. Kenapa disebut ulung. Bayangkan, dari tahun 2003, sampai saat ini baru dua orang yang dijebloskan ke penjara. Sisanya berarti koruptor ulung yang sudah membuat hukum di negeri ini bertekuk lutut.
Munculnya kembali kasus YB merupakan tantangan terberat bagi lembaga hukum seperti kejaksaan dan pengadilan. Jika ingin masyarakat percaya terhadap lembaga hukum itu, sekaranglah saatnya untuk menjebloskan para koruptor itu ke penjara. Jika ini tidak dilakukan, dan berakhir dengan ketidakjelasannya, itu artinya kejaksaan dan pengadilan memang tidak pernah berubah. Tidak pernah berubah dari kebobrokan.
Koruptor Yayasan Bestari (YB) is back (kembali). Kasus ini mencuat heboh di tahun 2003. Penuh drama bagi wartawan yang menggarap kasus itu. Ada wartawan yang hampir mati dipelasah preman. Yang namanya intimidasi seperti sarapan pagi ketika itu. Maklum, yang terlibat di YB itu adalah pesohor utama negeri Mempawah. Mantan bupati serta pimpinan Dewan harus merasakan pengap dan sumpeknya penjara. Sementara, 45 anggota Dewan yang menikmati dana haram itu, masih tebang pilih dijebloskan ke penjara.
Seiring berjalannya waktu, kasus tersebut sempat meredup beberapa tahun. Proses hukumnya sangat panjang dan berliku. Sampai-sampai masyarakat sempat lupa dan tidak peduli kisah itu. Tiba-tiba di akhir 2008 dan memasuki tahun 2009, kasus korupsi paling heboh di daerah ini, muncul kembali. Dua orang koruptor sudah dieksekusi, dijebloskan ke balik jeruji. Sebentar lagi, tiga mantan pimpinan Dewan menunggu jemputan untuk menjadi penghuni hotel prodeo. Setelah itu, barulah giliran sisa dari 45 mantan wakil rakyat atau yang masih aktif sampai saat ini.
Seiring perjalanan waktu, dan semakin baiknya nilai indeks korupsi Indonesia, sisa tikus-tikus pengerat uang rakyat itu pasti semakin terjepit. Dulu, mereka mungkin tertawa lebar ketika menghadapi kejaksaan dan pengadilan. Dua institusi hukum ini mudah dijinaknya dengan lembaran uang. Jaksa maupun hakim sangat mudah untuk diajak berkolaborasi. Buktinya, para mantan wakil rakyat atau masih aktif masih terbahak-bahak tertawa di hadapan publik, seolah-olah tidak ada beban. Lucunya lagi, justru mereka para penilep uang rakyat paling pandai ngomongin pemberantasan korupsi. Apalagi sebentar lagi Pemilu 2009, mereka jualan “kecap” ke masyarakat akan mendorong tegaknya hukum dan siap mendukung pemberantasan korupsi. Lempar batu sembunyi tangan.
Sekarang, tidak lagi. Kejaksaan dan pengadilan yang dulu menjadi markas utama mafia hukum, mungkin sudah tidak ada lagi. Dua lembaga itu sedang berusaha membangun image bobrok sepanjang tahun 2008. Dua lembaga itu sedang berbenah membersihkan diri dari pengaruh jahat.
Kita masih belum melupakan kisah jaksa Urip yang membuat image kejaksaan berada di titik terendah. Kasus tersebut benar-benar membuat lembaga yang kerjaannya menuntut para penjahat itu sangat dipermalukan oleh orangnya sendiri. Kasus tersebut rasanya sudah membuat kejaksaan sadar diri. Saatnya untuk memperbaiki citra paling buruk itu. Caranya, memburu para koruptor dan menuntutnya dengan hukuman seberat-beratnya.
Begitu juga pengadilan, banyak hakim yang justru membuat jelek citra pengadilan. Banyak yang dimutasikan bahkan dibebastugaskan karena ada main mata dengan pihak terdakwa. Inilah saatnya juga bagi pengadilan untuk membuktikan diri ke masyarakat bahwa pengadilan dulu dan sekarang, beda. Yang sekarang jauh lebih baik dibandingkan dulu. Apalagi Majelis Agung (MA) baru saja memilih Hakim Agung yang baru. Pasti semangat baru untuk menegakkan keadilan akan muncul.
Kembali ke kasus YB yang telah menggeroti uang rakyat ratusan juta rupiah itu, para pelakunya sudah sepantasnya dijebloskan ke penjara. Terlalu banyak kesalahan yang mereka perbuatan di mata rakyat. Mereka sudah makan uang haram, tapi di mata masyarakat berlaga seperti orang hebat, orang baik, orang bersih, orang peduli rakyat dan sebagainya. Inilah sifat orang munafik. Di mata masyarakat terlihat baik, tapi kenyataannya mereka adalah koruptor ulung. Kenapa disebut ulung. Bayangkan, dari tahun 2003, sampai saat ini baru dua orang yang dijebloskan ke penjara. Sisanya berarti koruptor ulung yang sudah membuat hukum di negeri ini bertekuk lutut.
Munculnya kembali kasus YB merupakan tantangan terberat bagi lembaga hukum seperti kejaksaan dan pengadilan. Jika ingin masyarakat percaya terhadap lembaga hukum itu, sekaranglah saatnya untuk menjebloskan para koruptor itu ke penjara. Jika ini tidak dilakukan, dan berakhir dengan ketidakjelasannya, itu artinya kejaksaan dan pengadilan memang tidak pernah berubah. Tidak pernah berubah dari kebobrokan.
Sabtu, 17 Januari 2009
Motif Pemilih Dalam Menentukan Pilihan
Rosadi Jamani
Saat ini hampir seluruh caleg turun gunung. Mereka tidak lagi duduk di atas menara gading. Mereka bergerilya masuk kampung keluar kampung untuk mendapatkan simpati rakyat. Mereka mulai berperang sesama caleg demi mendapatkan sebuah kursi empuk.
Dua hari lalu, saya ingin sarapan bubur ayam. Kebetulan dekat rumah ada warung jualan bubur ayam itu. Warungnya kecil dan sederhana. Tapi, pukul 08.00 bubur di warung pasti sudah habis. Laris manis. Begitu sampai di warung itu, saya kaget, banyak tempelan attribute caleg. Tidak muat di dalam warung, attribute caleg sampai luber keluar.
Saya bertanya kepada ibu yang menjual bubur itu, “Caleg yang pasang baliho itu apakah permisi dengan ibu?”
“Mereka memang permisi pasang baliho di warung saya ini. Cuma, ada yang permisi saja, tapi ada juga permisi sambil ngasih duit. Tapi, kebanyakan hanya permisi, itu saja,” jawab ibu penjual bubur ayam.
“Bahkan, di antara caleg itu sering ke rumah. Cuma, tidak pernah ngasih duit. Jadi, saat caleg itu ke rumah, kita iye-iyekan aja ape yang dikatakannye,” ujarnya sambil menunjuk foto caleg di baliho.
Ibu itupun mengambilkan saya semangkuk bubur. Setelah itu, saya mesti menambahkan kecap manis, sambal dan jeruk nipis. Ketika saya menambahkan kecap manis itu, si ibu nyeletuk, “Seperti itulah para caleg yang datang ke gang kite ini, banyak jual kecap manis alias hanya pandai ngomong. Cobalah kalau datang kasih kite duit, jangan hanya jual kecap manis” Mendengar kalimat itu saya kaget. Ternyata rakyat kecil yang warungnya sering dijadikan tempelan muka caleg itu risih juga. Dia risih karena caleg yang numpang beken di warungnya tidak memberikan kompensasi.
Saya penasaran, lantas bertanya, “Di antara caleg yang nempel foto dan baliho itu, siapa yang akan ibu pilih?” Dia menjawab, dia tidak akan memilih caleg yang tidak memberinya kompensasi. “Yang saya pilih tentu yang memberi duit. Yang hanya jual kecap manis, untuk apa dipilih,” jawabnya.
Ibu penjual bubur tersebut adalah sekian ratus ribu pemilih yang akan memilih caleg di Pemilu 9 April dengan caranya sendiri. Caleg yang ngasih duit, itulah kemungkinan yang akan dipilihnya. Yang tidak pernah ngasih, hanya jual kecap manis dan air liur, tidak akan dipilihnya. Inilah topik kita pada edisi kali ini, motif pemilih dalam menentukan pilihan.
Berbagai alasan pemilih menentukan pilihan dalam setiap pesta demokrasi. Berdasarkan hasil pengamatan dan penelusuran saya kepada sejumlah warga, ada beberapa alasan warga menentukan pilihan kepada caleg. Berikut ini hasilnya:
Pertama, kedekatan emosional. Kedekatan ini bisa karena hubungan partai. Misalnya, pengurus, kader dan simpatisan partai pastilah memilih caleg dari partainya sendiri. Pengurus PDIP pasti memilih caleg dari PDIP juga, tidak mungkin yang dipilih caleg Golkar. Partai merupakan jalur utama untuk mendapatkan pemilih. Itu sebabnya, banyak caleg menggunakan attribute partai dengan harapan semua pengurus, kader dan simpatisan partainya memilih dirinya.
Menggunakan jalur partai jauh lebih mudah ketimbang menggunakan jalur lain. Soalnya sama-sama satu visi dan misi. Hampir dipastikan pengurus, kader dan simpatisan partai memilih caleg dari partainya sendiri. Kalaupun ada yang memilih caleg partai lain, itu namanya accident. Cuma, kalau hanya mengandalkan pengurus, kader dan simpatisan partai, jumlahnya sangat terbatas. Apalagi kalau partai itu baru. Kecuali partai besar, pasti mengoptimalkan mesin partai untuk menggerakkan pemilih dari pengurus, kader dan simpatisannya.
Kedekatan emosional lainnya adalah keluarga. Caleg pasti punya keluarga seperti istri, suami, anak, ayah, ibu, paman, kakek, kakak, adik, abang, sepupu dekat, sepupu jauh. Setiap caleg pasti melakukan pendekatan keluarga untuk dipilih. Cara ini sangat lazim dan merupakan upaya pertama dalam mencari dukungan pemilih.
Kemudian, kedekatan emosional teman atau sahabat. Itu bisa berupa teman waktu sekolah, teman kerja, teman satu gang, teman satu kampung, teman satu asrama, teman satu keturunan, teman se marga, teman satu suku, teman satu agama, dan sebagainya. Pemilih pasti mempertimbangkan berbagai teman itu. Namun, di antara teman itu, teman dekatlah yang pasti dipilih.
Dalam kasus ini, saya ada cerita. Untuk urusan memilih wakil rakyat, kepala daerah dan presiden, kawan satu kuliah sering diskusi dengan istrinya. “Pemilu nanti, kita milih siapa, ya?” tanya kawan ke istrinya. “Iya, ya…kita mau milih siapa, di sini (Pontianak Timur tempat tinggal kawan, red) tak ada satupun caleg dari keluarga kita. Siapa ya?” tanya balik istrinya sambil berpikir.
“Saya usul, bagaimana kalau kita milih….? (maaf tidak disebutkan nama calegnya, red). Dia (si caleg, red) pernah bantu kita saat ada kegiatan 17 Agustus dulu. Dari pada milih caleg tak jelas, lebih baik kita pilih dia. Sayang juga suara tak disalurkan,” katanya ke istri.
Istrinya menjawab, setuju. Dari pada suara mubazir, lebih baik disalurkan kepada kawan yang pernah membantu. “Lalu, untuk tingkat provinsi dan pusatnya, pilih siapa? Kebetulan dari keluarga kita juga tak ada jadi caleg,” ujarnya. “Iya, ya…memang tak ada. Untuk sementara kita tunggu aja nanti, siapa tahu ada kawan yang pernah membantu kita ada jadi caleg,” jawabnya.
Sampai saat ini kawan dan istrinya masih belum punya pilihan untuk tingkat provinsi, pusat maupun Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Bagi mereka, alasan pertama untuk memilih karena keluarga. Alasan itu, karena mereka memang bukan pengurus, simpatisan atau kader partai. Jika tidak ada keluarga, cari teman. Rasanya tidak mungkin dari sekian ribu caleg tidak ada teman. Paling tidak teman itu pernah kenal walaupun tidak akrab-akrab amat.
Kedekatan emosional inilah yang sering menjadi alasan pemilih untuk menentukan pilihan. Sekarang, tinggal caleg untuk mengefektifkan kedekatan emosional ini. Apabila ini dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin bisa mendapatkan pemilih dalam jumlah besar.
Kedua, hati nurani. Seperti apa pemilih memilih dengan alasan hati nurani, secara spesifik sulit diukur. Namun, secara garis besar, bisa saya gambarkan, penggunaan hati nurani adalah memilih caleg berdasarkan analisis pikiran. Pemilih hati nurani ini tidak mendasarkan pemilih karena etnis, agama, kawan, teman atau materi. Tapi, dia memilih berdasarkan kemampuan si caleg (figure). Tidak peduli caleg itu dari luar, putra daerah, keluarga, teman, lain agama, lain suku, dia hanya memilih caleg itu karena kualitas, pintar, hebat, punya track record bagus, sering berbuat untuk rakyat. Cuma, sulit mencari pemilih seperti ini. Kemudian, memilih caleg yang berkualitas juga sulit. Umumnya pemilih memilih karena alasan kedekatan emosional.
Ketiga, materi. Memilih karena caleg telah memberikan materi seperti uang, baju kaus, kalender, sumbangan dan sebagainya. Hampir semua (jelas tidak semua) caleg menggunakan cara ini untuk menaklukkan pemilih. Inilah yang dinamakan money politic. Banyak pemilih menentukan pilihan ini berdasarkan pemberian materi ini. Money politic inilah yang sering membuat suasana pesta demokrasi keruh. Jujur diakui, masih banyak pemilih sangat mudah ditaklukkan dengan pemberian materi. Itu sebabnya, banyak caleg masih menggunakan jurus serangan fajar (ngasih uang sebelum nyoblos-nanti contreng). Apalagi masyarakat di kampung atau dusun, mereka berpikirnya sangat sederhana. “Caleg A telah ngasih kita uang. Sekarang saja dia sudah ngasih, apalagi nanti sudah duduk jadi Dewan, pasti lebih banyak lagi. Dari pada milih si B, datang-datang hanya jual omongan, minta doa restu saja, pelit. Sekarang saja dia pelit, apalagi sudah duduk, pasti lupa dengan kita”.
Dari tiga motif di atas, menurut saya, hanya dua motif pemilih memilih caleg, yaitu kedekatan emosional dan materi. Untuk hati nurani sulit diukur dan sulit mencari sosok pemilihnya. Namun, kedekatan emosional-lah yang paling dominan. Butuh sekian tahun lagi motif hati nurani bisa dominan di negeri ini. (silakan beri tanggapan lewat email: rosadi@equator-news.com atau ke http://renunganpelangi.blokspot.com)
Saat ini hampir seluruh caleg turun gunung. Mereka tidak lagi duduk di atas menara gading. Mereka bergerilya masuk kampung keluar kampung untuk mendapatkan simpati rakyat. Mereka mulai berperang sesama caleg demi mendapatkan sebuah kursi empuk.
Dua hari lalu, saya ingin sarapan bubur ayam. Kebetulan dekat rumah ada warung jualan bubur ayam itu. Warungnya kecil dan sederhana. Tapi, pukul 08.00 bubur di warung pasti sudah habis. Laris manis. Begitu sampai di warung itu, saya kaget, banyak tempelan attribute caleg. Tidak muat di dalam warung, attribute caleg sampai luber keluar.
Saya bertanya kepada ibu yang menjual bubur itu, “Caleg yang pasang baliho itu apakah permisi dengan ibu?”
“Mereka memang permisi pasang baliho di warung saya ini. Cuma, ada yang permisi saja, tapi ada juga permisi sambil ngasih duit. Tapi, kebanyakan hanya permisi, itu saja,” jawab ibu penjual bubur ayam.
“Bahkan, di antara caleg itu sering ke rumah. Cuma, tidak pernah ngasih duit. Jadi, saat caleg itu ke rumah, kita iye-iyekan aja ape yang dikatakannye,” ujarnya sambil menunjuk foto caleg di baliho.
Ibu itupun mengambilkan saya semangkuk bubur. Setelah itu, saya mesti menambahkan kecap manis, sambal dan jeruk nipis. Ketika saya menambahkan kecap manis itu, si ibu nyeletuk, “Seperti itulah para caleg yang datang ke gang kite ini, banyak jual kecap manis alias hanya pandai ngomong. Cobalah kalau datang kasih kite duit, jangan hanya jual kecap manis” Mendengar kalimat itu saya kaget. Ternyata rakyat kecil yang warungnya sering dijadikan tempelan muka caleg itu risih juga. Dia risih karena caleg yang numpang beken di warungnya tidak memberikan kompensasi.
Saya penasaran, lantas bertanya, “Di antara caleg yang nempel foto dan baliho itu, siapa yang akan ibu pilih?” Dia menjawab, dia tidak akan memilih caleg yang tidak memberinya kompensasi. “Yang saya pilih tentu yang memberi duit. Yang hanya jual kecap manis, untuk apa dipilih,” jawabnya.
Ibu penjual bubur tersebut adalah sekian ratus ribu pemilih yang akan memilih caleg di Pemilu 9 April dengan caranya sendiri. Caleg yang ngasih duit, itulah kemungkinan yang akan dipilihnya. Yang tidak pernah ngasih, hanya jual kecap manis dan air liur, tidak akan dipilihnya. Inilah topik kita pada edisi kali ini, motif pemilih dalam menentukan pilihan.
Berbagai alasan pemilih menentukan pilihan dalam setiap pesta demokrasi. Berdasarkan hasil pengamatan dan penelusuran saya kepada sejumlah warga, ada beberapa alasan warga menentukan pilihan kepada caleg. Berikut ini hasilnya:
Pertama, kedekatan emosional. Kedekatan ini bisa karena hubungan partai. Misalnya, pengurus, kader dan simpatisan partai pastilah memilih caleg dari partainya sendiri. Pengurus PDIP pasti memilih caleg dari PDIP juga, tidak mungkin yang dipilih caleg Golkar. Partai merupakan jalur utama untuk mendapatkan pemilih. Itu sebabnya, banyak caleg menggunakan attribute partai dengan harapan semua pengurus, kader dan simpatisan partainya memilih dirinya.
Menggunakan jalur partai jauh lebih mudah ketimbang menggunakan jalur lain. Soalnya sama-sama satu visi dan misi. Hampir dipastikan pengurus, kader dan simpatisan partai memilih caleg dari partainya sendiri. Kalaupun ada yang memilih caleg partai lain, itu namanya accident. Cuma, kalau hanya mengandalkan pengurus, kader dan simpatisan partai, jumlahnya sangat terbatas. Apalagi kalau partai itu baru. Kecuali partai besar, pasti mengoptimalkan mesin partai untuk menggerakkan pemilih dari pengurus, kader dan simpatisannya.
Kedekatan emosional lainnya adalah keluarga. Caleg pasti punya keluarga seperti istri, suami, anak, ayah, ibu, paman, kakek, kakak, adik, abang, sepupu dekat, sepupu jauh. Setiap caleg pasti melakukan pendekatan keluarga untuk dipilih. Cara ini sangat lazim dan merupakan upaya pertama dalam mencari dukungan pemilih.
Kemudian, kedekatan emosional teman atau sahabat. Itu bisa berupa teman waktu sekolah, teman kerja, teman satu gang, teman satu kampung, teman satu asrama, teman satu keturunan, teman se marga, teman satu suku, teman satu agama, dan sebagainya. Pemilih pasti mempertimbangkan berbagai teman itu. Namun, di antara teman itu, teman dekatlah yang pasti dipilih.
Dalam kasus ini, saya ada cerita. Untuk urusan memilih wakil rakyat, kepala daerah dan presiden, kawan satu kuliah sering diskusi dengan istrinya. “Pemilu nanti, kita milih siapa, ya?” tanya kawan ke istrinya. “Iya, ya…kita mau milih siapa, di sini (Pontianak Timur tempat tinggal kawan, red) tak ada satupun caleg dari keluarga kita. Siapa ya?” tanya balik istrinya sambil berpikir.
“Saya usul, bagaimana kalau kita milih….? (maaf tidak disebutkan nama calegnya, red). Dia (si caleg, red) pernah bantu kita saat ada kegiatan 17 Agustus dulu. Dari pada milih caleg tak jelas, lebih baik kita pilih dia. Sayang juga suara tak disalurkan,” katanya ke istri.
Istrinya menjawab, setuju. Dari pada suara mubazir, lebih baik disalurkan kepada kawan yang pernah membantu. “Lalu, untuk tingkat provinsi dan pusatnya, pilih siapa? Kebetulan dari keluarga kita juga tak ada jadi caleg,” ujarnya. “Iya, ya…memang tak ada. Untuk sementara kita tunggu aja nanti, siapa tahu ada kawan yang pernah membantu kita ada jadi caleg,” jawabnya.
Sampai saat ini kawan dan istrinya masih belum punya pilihan untuk tingkat provinsi, pusat maupun Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Bagi mereka, alasan pertama untuk memilih karena keluarga. Alasan itu, karena mereka memang bukan pengurus, simpatisan atau kader partai. Jika tidak ada keluarga, cari teman. Rasanya tidak mungkin dari sekian ribu caleg tidak ada teman. Paling tidak teman itu pernah kenal walaupun tidak akrab-akrab amat.
Kedekatan emosional inilah yang sering menjadi alasan pemilih untuk menentukan pilihan. Sekarang, tinggal caleg untuk mengefektifkan kedekatan emosional ini. Apabila ini dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin bisa mendapatkan pemilih dalam jumlah besar.
Kedua, hati nurani. Seperti apa pemilih memilih dengan alasan hati nurani, secara spesifik sulit diukur. Namun, secara garis besar, bisa saya gambarkan, penggunaan hati nurani adalah memilih caleg berdasarkan analisis pikiran. Pemilih hati nurani ini tidak mendasarkan pemilih karena etnis, agama, kawan, teman atau materi. Tapi, dia memilih berdasarkan kemampuan si caleg (figure). Tidak peduli caleg itu dari luar, putra daerah, keluarga, teman, lain agama, lain suku, dia hanya memilih caleg itu karena kualitas, pintar, hebat, punya track record bagus, sering berbuat untuk rakyat. Cuma, sulit mencari pemilih seperti ini. Kemudian, memilih caleg yang berkualitas juga sulit. Umumnya pemilih memilih karena alasan kedekatan emosional.
Ketiga, materi. Memilih karena caleg telah memberikan materi seperti uang, baju kaus, kalender, sumbangan dan sebagainya. Hampir semua (jelas tidak semua) caleg menggunakan cara ini untuk menaklukkan pemilih. Inilah yang dinamakan money politic. Banyak pemilih menentukan pilihan ini berdasarkan pemberian materi ini. Money politic inilah yang sering membuat suasana pesta demokrasi keruh. Jujur diakui, masih banyak pemilih sangat mudah ditaklukkan dengan pemberian materi. Itu sebabnya, banyak caleg masih menggunakan jurus serangan fajar (ngasih uang sebelum nyoblos-nanti contreng). Apalagi masyarakat di kampung atau dusun, mereka berpikirnya sangat sederhana. “Caleg A telah ngasih kita uang. Sekarang saja dia sudah ngasih, apalagi nanti sudah duduk jadi Dewan, pasti lebih banyak lagi. Dari pada milih si B, datang-datang hanya jual omongan, minta doa restu saja, pelit. Sekarang saja dia pelit, apalagi sudah duduk, pasti lupa dengan kita”.
Dari tiga motif di atas, menurut saya, hanya dua motif pemilih memilih caleg, yaitu kedekatan emosional dan materi. Untuk hati nurani sulit diukur dan sulit mencari sosok pemilihnya. Namun, kedekatan emosional-lah yang paling dominan. Butuh sekian tahun lagi motif hati nurani bisa dominan di negeri ini. (silakan beri tanggapan lewat email: rosadi@equator-news.com atau ke http://renunganpelangi.blokspot.com)
Jumat, 16 Januari 2009
Test Diulang atau Tidak Diulang
Rosadi Jamani
Sejak pemerintah mengumumkan hasil test CPNS, besoknya muncul aksi unjuk rasa dari peserta yang tidak lulus. Mereka menuding test yang dilakukan pemerintah penuh manipulasi dan kecurangan (tidak semua daerah). Hari-hari berikut selalu ada aksi peserta tidak lulus menggelar unjuk rasa. Ada yang ditanggapi, tapi ada juga yang dianggap angin lalu.
Hanya Kabupaten Kubu Raya yang menanggapi tuntutan peserta tidak lulus di mana DPRD langsung membentuk Panitia Khusus (Pansus). Bahkan, Pansus ini sudah bekerja dan berhasil mengumpulkan sejumlah bukti kecurangan dan manipulasi. Sayang, Pansus sampai saat ini belum juga mengumumkan seperti apa hasil kerja mereka itu. Satu hal menarik dari tuntutan CPNS tidak lulus adalah meminta test CPNS diulang.
Mendengar test minta diulang, ternyata mengusik kegembiraan peserta CPNS lulus. Test ulang sama saja membuat kelulusan yang sudah di tangan bisa melayang. Lalu, pada 13 Januari kemarin, sekitar 60 orang CPNS lulus menggelar unjuk rasa tandingan di Gedung DPRD Kubu Raya. Tuntutan mereka, jangan ada test ulang. Alasannya, tidak semua peserta CPNS lulus melakukan kecurangan. Banyak di antara mereka yang mengikuti dengan penuh kejujuran (murni), tidak main sogok, tidak melakukan penitipan atau main belakang. Kalau peserta CPNS lulus ada melakukan kecurangan, silakan coret. Tapi, jangan test ulang.
Terjadilah tuntutan bertolak belakang. Peserta tidak lulus minta test ulang, sementara yang lulus menentang dan minta jangan diulang. Sekarang, bola panas itu ada di tangan Pansus. Apa yang diputuskan Pansus nanti akan menjawab dua tuntutan tersebut. Pansus tinggal melakukan satu langkah lagi, yakni berkoordinasi dengan Menteri Pendayaan Aparatur Negara (Menpan). Tentunya dalam koordinasi tersebut akan diserahkan bukti-bukti kecurangan yang telah diperoleh. Apa yang dikatakan Menpan tentu itulah yang akan diucapkan Pansus di hadapan dua kubu tersebut. Jawabannya bisa saja test CPNS itu diulang. Tapi, bisa saja tidak diulang dengan catatan, CPNS lulus tapi bermasalah itu saja yang dicoret. Sementara formasi yang dicoret itu dibiarkan kosong. Karena, tidak mungkin melakukan test CPNS ulang hanya untuk mengisi formasi kosong.
Mari kita bicara seandainya. Seandainya Pansus dan pemerintah memutuskan test CPNS Kubu Raya diulang dengan berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan. Bagi kubu CPNS lulus itu adalah sebuah kemenangan besar. Tidak sia-sia urat leher mengembang saat orasi di Kantor Bupati dan Dewan. Tidak sia-sia berjemur berjam-jam saat menggelar unjuk rasa. Itu artinya juga Dewan dan Pemerintah berpihak kepada tuntutan mereka.
Keputusan test ulang pasti membawa konsekuensi luas. Panitia yang selama ini menjadi penyelenggara test pasti akan diganti. Tentunya diganti dengan pegawai yang dianggap jujur. Apabila panitia masih dilakukan orang sama, pasti akan menimbulkan penolakan dari peserta. Kemudian, akan terjadi proses pemeriksaan soal secara terbuka atau transparan. Tidak ada lagi proses pemeriksaan yang katanya pakai komputer itu ditutup-tutupi. Begitu juga memindahkan nilai dari komputer ke dalam bentuk pengumuman (ketik ulang) juga dilakukan secara transparan. Jangan sampai di saat ketik ulang itu terjadi salah ketik atau disengaja memasukkan nama-nama peserta yang sudah dipesan lulus. Dengan adanya transparansi itu, kita yakin tidak ada satupun peserta CPNS sangsi. Mereka pasti puas walaupun tidak lulus. Mereka akan gembira ria tentunya bagi yang lulus. Bangga bisa menyingkirkan ratusan orang. Sayang, itu hanya seandainya.
Seandainya test tidak diulang. Lalu, seperti apa solusinya, mau diapakan segala bukti kecurangan, mau diapakan segala bentuk manipulasi? Atau, cukup mencoret peserta lulus yang terbukti melakukan kecurangan. Tapi, apakah mudah membuktikan CPNS melakukan kecurangan itu. Pasti akan terjadi perlawanan fisik bahkan hukum dari CPNS yang dianggap bermasalah itu (jika memang ada). Atau, pemerintah meminta kepada yang tidak lulus menempuh jalur hukum. Biarlah pengadilan memutuskan agar ada kekuatan hukum tetap. Jalan ini pasti akan panjang dan berliku.
Kita rasa, solusi tidak melakukan test ulang itu pasti akan menimbulkan reaksi lebih keras lagi dari CPNS tidak lulus. Soalnya, semangat perjuangan mereka selama ini sudah terbukti dan teruji, dan tidak bisa dianggap main-main. Mereka bisa menempuh segala cara agar test diulang. Test ulang bukan tidak bisa, dan ini pernah dilakukan di Kabupaten Sambas. Kita tunggu saja seperti apa nanti keputusan Pansus, apakah diulang atau tidak diulang.
Sejak pemerintah mengumumkan hasil test CPNS, besoknya muncul aksi unjuk rasa dari peserta yang tidak lulus. Mereka menuding test yang dilakukan pemerintah penuh manipulasi dan kecurangan (tidak semua daerah). Hari-hari berikut selalu ada aksi peserta tidak lulus menggelar unjuk rasa. Ada yang ditanggapi, tapi ada juga yang dianggap angin lalu.
Hanya Kabupaten Kubu Raya yang menanggapi tuntutan peserta tidak lulus di mana DPRD langsung membentuk Panitia Khusus (Pansus). Bahkan, Pansus ini sudah bekerja dan berhasil mengumpulkan sejumlah bukti kecurangan dan manipulasi. Sayang, Pansus sampai saat ini belum juga mengumumkan seperti apa hasil kerja mereka itu. Satu hal menarik dari tuntutan CPNS tidak lulus adalah meminta test CPNS diulang.
Mendengar test minta diulang, ternyata mengusik kegembiraan peserta CPNS lulus. Test ulang sama saja membuat kelulusan yang sudah di tangan bisa melayang. Lalu, pada 13 Januari kemarin, sekitar 60 orang CPNS lulus menggelar unjuk rasa tandingan di Gedung DPRD Kubu Raya. Tuntutan mereka, jangan ada test ulang. Alasannya, tidak semua peserta CPNS lulus melakukan kecurangan. Banyak di antara mereka yang mengikuti dengan penuh kejujuran (murni), tidak main sogok, tidak melakukan penitipan atau main belakang. Kalau peserta CPNS lulus ada melakukan kecurangan, silakan coret. Tapi, jangan test ulang.
Terjadilah tuntutan bertolak belakang. Peserta tidak lulus minta test ulang, sementara yang lulus menentang dan minta jangan diulang. Sekarang, bola panas itu ada di tangan Pansus. Apa yang diputuskan Pansus nanti akan menjawab dua tuntutan tersebut. Pansus tinggal melakukan satu langkah lagi, yakni berkoordinasi dengan Menteri Pendayaan Aparatur Negara (Menpan). Tentunya dalam koordinasi tersebut akan diserahkan bukti-bukti kecurangan yang telah diperoleh. Apa yang dikatakan Menpan tentu itulah yang akan diucapkan Pansus di hadapan dua kubu tersebut. Jawabannya bisa saja test CPNS itu diulang. Tapi, bisa saja tidak diulang dengan catatan, CPNS lulus tapi bermasalah itu saja yang dicoret. Sementara formasi yang dicoret itu dibiarkan kosong. Karena, tidak mungkin melakukan test CPNS ulang hanya untuk mengisi formasi kosong.
Mari kita bicara seandainya. Seandainya Pansus dan pemerintah memutuskan test CPNS Kubu Raya diulang dengan berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan. Bagi kubu CPNS lulus itu adalah sebuah kemenangan besar. Tidak sia-sia urat leher mengembang saat orasi di Kantor Bupati dan Dewan. Tidak sia-sia berjemur berjam-jam saat menggelar unjuk rasa. Itu artinya juga Dewan dan Pemerintah berpihak kepada tuntutan mereka.
Keputusan test ulang pasti membawa konsekuensi luas. Panitia yang selama ini menjadi penyelenggara test pasti akan diganti. Tentunya diganti dengan pegawai yang dianggap jujur. Apabila panitia masih dilakukan orang sama, pasti akan menimbulkan penolakan dari peserta. Kemudian, akan terjadi proses pemeriksaan soal secara terbuka atau transparan. Tidak ada lagi proses pemeriksaan yang katanya pakai komputer itu ditutup-tutupi. Begitu juga memindahkan nilai dari komputer ke dalam bentuk pengumuman (ketik ulang) juga dilakukan secara transparan. Jangan sampai di saat ketik ulang itu terjadi salah ketik atau disengaja memasukkan nama-nama peserta yang sudah dipesan lulus. Dengan adanya transparansi itu, kita yakin tidak ada satupun peserta CPNS sangsi. Mereka pasti puas walaupun tidak lulus. Mereka akan gembira ria tentunya bagi yang lulus. Bangga bisa menyingkirkan ratusan orang. Sayang, itu hanya seandainya.
Seandainya test tidak diulang. Lalu, seperti apa solusinya, mau diapakan segala bukti kecurangan, mau diapakan segala bentuk manipulasi? Atau, cukup mencoret peserta lulus yang terbukti melakukan kecurangan. Tapi, apakah mudah membuktikan CPNS melakukan kecurangan itu. Pasti akan terjadi perlawanan fisik bahkan hukum dari CPNS yang dianggap bermasalah itu (jika memang ada). Atau, pemerintah meminta kepada yang tidak lulus menempuh jalur hukum. Biarlah pengadilan memutuskan agar ada kekuatan hukum tetap. Jalan ini pasti akan panjang dan berliku.
Kita rasa, solusi tidak melakukan test ulang itu pasti akan menimbulkan reaksi lebih keras lagi dari CPNS tidak lulus. Soalnya, semangat perjuangan mereka selama ini sudah terbukti dan teruji, dan tidak bisa dianggap main-main. Mereka bisa menempuh segala cara agar test diulang. Test ulang bukan tidak bisa, dan ini pernah dilakukan di Kabupaten Sambas. Kita tunggu saja seperti apa nanti keputusan Pansus, apakah diulang atau tidak diulang.
Suara Terbanyak
Rosadi Jamani
Ternyata, Mahkamah Konstitusi (MK) lebih aspiratif dibandingkan wakil rakyat di Senayan. Buktinya, sistem nomor urut yang diusung pemerintah dan wakil rakyat itu dimentahkan MK dengan menetapkan suara terbanyak untuk penentuan anggota legislatif. Keputusan tersebut menandakan politik Indonesia memasuki sistem proporsional terbuka murni.
Sistem suara terbanyak kental dengan kedaerahan. Dengan sistem itu, orang luar akan sulit menjadi wakil rakyat bagi suatu daerah. Misalnya, orang Jakarta akan sulit mendapatkan dukungan suara dari Kalbar untuk duduk di Senayan. Berbahagialah orang Kalbar asli yang menjadi caleg untuk DPR RI. Mereka kemungkinan besar tertawa ketika menghadapi persaingan dengan orang luar yang bernafsu jadi wakil Kalbar.
Bukan rahasia lagi, banyak caleg dari Jakarta yang mencoba mengadu nasib di Kalbar. Umumnya mereka mendapatkan nomor strategis, nomor urut satu. Dengan bekal nomor urut itu, mereka sudah banyak memasang wajah di setiap penjuru kota ini. Muka berseri dan mulut penuh senyum dengan slogan yang memikat. Lewat foto di baliho mereka berusaha merebut hati orang Kalbar.
Muncul pertanyaan, apakah orang Sambas atau Putussibau akan memilih orang Jakarta itu? Sebagai orang Kalbar pasti tidak akan memilih caleg yang berasal dari luar daerahnya. Orang Kalbar pastilah memilih wakil rakyat yang lahir di Kalbar. Inilah efek paling sederhana dari sistem suara terbanyak itu. Dulu, orang Kalbar yang berada di nomor urut tiga ke bawah lesu darah. Sekarang, mereka seperti mendapatkan angin surga setelah keputusan MK tersebut. Semangat mereka kembali muncul dan siap bertarung untuk merebut suara dari orangnya sendiri.
Begitu juga dengan caleg untuk DPRD Kalbar. Orang Pontianak telah mematok Daerah Pemilihan (Dapil), misalnya Landak akan sulit dipilih oleh orang Landak sendiri. Orang Landak pastilah akan memilih orangnya sendiri. Begitu juga sebaliknya, orang Landak ingin mempertaruhkan nasib di Dapil Kabupaten Pontianak-Kubu Raya akan sulit mendapatkan dukungan dari dua kabupaten itu.
Sama halnya untuk DPRD Kabupaten, caleg kelahiran Sekadau (misalnya) mengambil Dapil Kecamatan Belitang Hilir tentunya sulit mendapatkan dukungan warga Belitang Hilir. Orang Belitang Hilir pasti memilih caleg dari daerahnya sendiri, bukan dari Sekadau. Di sinilah letak keunggulan sistem proporsional terbuka murni, orang luar akan sulit menjadi wakil rakyat dari daerah orang lain. Sementara caleg dari asli daerah akan memiliki peluang besar menjadi wakil rakyat dari daerahnya sendiri.
Dengan sistem suara terbanyak itu akan menimbulkan persaingan tinggi di tingkat caleg secara pribadi. Pertarungan tidak lagi pada partai politik, melainkan pada kapasitas pribadi. Caleg yang selama ini menjadi figure, misalnya sebagai pembina kelompok pengajian, majelis taklim, pembina pemuda, kelompok tani, atau orang yang ditokohkan (bukan menokohkan diri) berpeluang besar untuk terpilih sebagai wakil rakyat. Apalagi tokoh tersebut memiliki uang yang banyak, untuk bisa terpilih sebagai wakil rakyat sangat besar.
Sebaliknya, caleg yang selama ini berusaha menokohkan diri, tiba-tiba dekat dengan rakyat, tiba-tiba menjadi seorang dermawan, akan sulit terpilih. Sebab, masyarakat saat ini sudah semakin cerdas. Mereka tahu, mana caleg yang layak dipilih mewakili mereka, dan mana caleg yang tidak layak dicontreng. Tipikal caleg yang menokohkan diri tersebut jumlah sangat banyak. Bahkan, mereka saat ini giat mengampanyekan wajah dan nomor urutnya di tengah masyarakat.
Masyarakat pemilih mesti waspada terhadap caleg yang menokohkan diri. Jangan terlalu dipercayai omongan dan tingkah lakunya. Omongan mereka umumnya manis dan membawa angin surga. Satu hal yang mesti diperhatikan masyarakat pemilih, carilah caleg yang selama ini banyak berbuat untuk masyarakat. Kita yakin pasti ada caleg seperti itu. Mereka layak menjadi wakil rakyat.
Pada akhirnya, caleg memang berjuang keras untuk merebut suara masyarakat. Tapi, masyarakat sendiri yang akan menentukan pilihannya. Sistem suara terbanyak memberikan kesempatan kepada putra daerah untuk menjadi wakil rakyat bagi daerahnya sendiri.
Ternyata, Mahkamah Konstitusi (MK) lebih aspiratif dibandingkan wakil rakyat di Senayan. Buktinya, sistem nomor urut yang diusung pemerintah dan wakil rakyat itu dimentahkan MK dengan menetapkan suara terbanyak untuk penentuan anggota legislatif. Keputusan tersebut menandakan politik Indonesia memasuki sistem proporsional terbuka murni.
Sistem suara terbanyak kental dengan kedaerahan. Dengan sistem itu, orang luar akan sulit menjadi wakil rakyat bagi suatu daerah. Misalnya, orang Jakarta akan sulit mendapatkan dukungan suara dari Kalbar untuk duduk di Senayan. Berbahagialah orang Kalbar asli yang menjadi caleg untuk DPR RI. Mereka kemungkinan besar tertawa ketika menghadapi persaingan dengan orang luar yang bernafsu jadi wakil Kalbar.
Bukan rahasia lagi, banyak caleg dari Jakarta yang mencoba mengadu nasib di Kalbar. Umumnya mereka mendapatkan nomor strategis, nomor urut satu. Dengan bekal nomor urut itu, mereka sudah banyak memasang wajah di setiap penjuru kota ini. Muka berseri dan mulut penuh senyum dengan slogan yang memikat. Lewat foto di baliho mereka berusaha merebut hati orang Kalbar.
Muncul pertanyaan, apakah orang Sambas atau Putussibau akan memilih orang Jakarta itu? Sebagai orang Kalbar pasti tidak akan memilih caleg yang berasal dari luar daerahnya. Orang Kalbar pastilah memilih wakil rakyat yang lahir di Kalbar. Inilah efek paling sederhana dari sistem suara terbanyak itu. Dulu, orang Kalbar yang berada di nomor urut tiga ke bawah lesu darah. Sekarang, mereka seperti mendapatkan angin surga setelah keputusan MK tersebut. Semangat mereka kembali muncul dan siap bertarung untuk merebut suara dari orangnya sendiri.
Begitu juga dengan caleg untuk DPRD Kalbar. Orang Pontianak telah mematok Daerah Pemilihan (Dapil), misalnya Landak akan sulit dipilih oleh orang Landak sendiri. Orang Landak pastilah akan memilih orangnya sendiri. Begitu juga sebaliknya, orang Landak ingin mempertaruhkan nasib di Dapil Kabupaten Pontianak-Kubu Raya akan sulit mendapatkan dukungan dari dua kabupaten itu.
Sama halnya untuk DPRD Kabupaten, caleg kelahiran Sekadau (misalnya) mengambil Dapil Kecamatan Belitang Hilir tentunya sulit mendapatkan dukungan warga Belitang Hilir. Orang Belitang Hilir pasti memilih caleg dari daerahnya sendiri, bukan dari Sekadau. Di sinilah letak keunggulan sistem proporsional terbuka murni, orang luar akan sulit menjadi wakil rakyat dari daerah orang lain. Sementara caleg dari asli daerah akan memiliki peluang besar menjadi wakil rakyat dari daerahnya sendiri.
Dengan sistem suara terbanyak itu akan menimbulkan persaingan tinggi di tingkat caleg secara pribadi. Pertarungan tidak lagi pada partai politik, melainkan pada kapasitas pribadi. Caleg yang selama ini menjadi figure, misalnya sebagai pembina kelompok pengajian, majelis taklim, pembina pemuda, kelompok tani, atau orang yang ditokohkan (bukan menokohkan diri) berpeluang besar untuk terpilih sebagai wakil rakyat. Apalagi tokoh tersebut memiliki uang yang banyak, untuk bisa terpilih sebagai wakil rakyat sangat besar.
Sebaliknya, caleg yang selama ini berusaha menokohkan diri, tiba-tiba dekat dengan rakyat, tiba-tiba menjadi seorang dermawan, akan sulit terpilih. Sebab, masyarakat saat ini sudah semakin cerdas. Mereka tahu, mana caleg yang layak dipilih mewakili mereka, dan mana caleg yang tidak layak dicontreng. Tipikal caleg yang menokohkan diri tersebut jumlah sangat banyak. Bahkan, mereka saat ini giat mengampanyekan wajah dan nomor urutnya di tengah masyarakat.
Masyarakat pemilih mesti waspada terhadap caleg yang menokohkan diri. Jangan terlalu dipercayai omongan dan tingkah lakunya. Omongan mereka umumnya manis dan membawa angin surga. Satu hal yang mesti diperhatikan masyarakat pemilih, carilah caleg yang selama ini banyak berbuat untuk masyarakat. Kita yakin pasti ada caleg seperti itu. Mereka layak menjadi wakil rakyat.
Pada akhirnya, caleg memang berjuang keras untuk merebut suara masyarakat. Tapi, masyarakat sendiri yang akan menentukan pilihannya. Sistem suara terbanyak memberikan kesempatan kepada putra daerah untuk menjadi wakil rakyat bagi daerahnya sendiri.
Toleransi Beragama
Rosadi Jamani
Istilah toleransi memang tenar di zaman Orde Baru. Dengan doktrin Pancasila, toleransi beragama benar-benar digalakkan. Walaupun sekarang istilah itu jarang dimunculkan, namun secara substansial, toleransi masih kita rasakan saat ini.
Sebagai bukti, ketika umat Kristiani merayakan Natal (kemarin, 25 Desember), umat lain mengunjungi umat Kristiani. Mereka mengucapkan selamat natal dan tahun baru. Kunjungan umat lain ini sebagai bentuk penghormatan bagi seluruh umat Kristiani. Ini juga sebagai bukti nyata bahwa toleransi beragama masih tinggi di daerah ini. Tidak hanya momen Natal, momen seperti Idulfitri, Imlek atau perayaan agama lain akan terlihat budaya saling kunjung mengunjungi. Hormat menghormati antarpemeluk agama ini begitu sangat kental. Tidak ada sungkan, tidak enak ketika kita mengunjungi umat yang sedang merayakan agamanya. Kondisi ini sangat positif dan patut untuk selalu ditingkatkan.
Cuma, kita tidak bisa menafikan bahwa ada orang lain yang sangat exclusive. Mengaku agamanya yang paling benar. Karena exclusive itu membuatnya ogah untuk mengunjungi saudaranya beragama lain. Karena exclusive, dia membuat tembok pemisah dengan pengikut ajaran lain. Orang-orang seperti ini ada di sekitar kita, dan biasanya selalu menyebarkan kebencian, kecurigaan dan semangat permusuhan. Kita patut waspada terhadap orang-orang seperti ini. Sebab, itu merupakan ancaman terhadap toleransi beragama di daerah yang kita cintai ini.*
Istilah toleransi memang tenar di zaman Orde Baru. Dengan doktrin Pancasila, toleransi beragama benar-benar digalakkan. Walaupun sekarang istilah itu jarang dimunculkan, namun secara substansial, toleransi masih kita rasakan saat ini.
Sebagai bukti, ketika umat Kristiani merayakan Natal (kemarin, 25 Desember), umat lain mengunjungi umat Kristiani. Mereka mengucapkan selamat natal dan tahun baru. Kunjungan umat lain ini sebagai bentuk penghormatan bagi seluruh umat Kristiani. Ini juga sebagai bukti nyata bahwa toleransi beragama masih tinggi di daerah ini. Tidak hanya momen Natal, momen seperti Idulfitri, Imlek atau perayaan agama lain akan terlihat budaya saling kunjung mengunjungi. Hormat menghormati antarpemeluk agama ini begitu sangat kental. Tidak ada sungkan, tidak enak ketika kita mengunjungi umat yang sedang merayakan agamanya. Kondisi ini sangat positif dan patut untuk selalu ditingkatkan.
Cuma, kita tidak bisa menafikan bahwa ada orang lain yang sangat exclusive. Mengaku agamanya yang paling benar. Karena exclusive itu membuatnya ogah untuk mengunjungi saudaranya beragama lain. Karena exclusive, dia membuat tembok pemisah dengan pengikut ajaran lain. Orang-orang seperti ini ada di sekitar kita, dan biasanya selalu menyebarkan kebencian, kecurigaan dan semangat permusuhan. Kita patut waspada terhadap orang-orang seperti ini. Sebab, itu merupakan ancaman terhadap toleransi beragama di daerah yang kita cintai ini.*
Perwira Polisi Divonis Tiga Tahun
Rosadi Jamani
Hukum telah ditegakkan. Aparat polisi yang notabene penegak hukum kalau bersalah tetap dihukum. Sebagai contoh, tiga perwira polisi, masing-masing mantan Kapolres Ketapan AKBP Akhmad Sun’an SH, mantan Kasat Reskrim Polres Ketapang AKP M Kadhapy Marpaung SIk dan mantan Kapos Polair Ketapang Iptu Agus Lutfiardi. Ketiganya terbukti terlibat ilegal logging (IL) dan divonis tiga tahun penjara dan denda Rp 5 juta.
Divonisnya para perwira itu mudah-mudahan pertanda positif bagi penegakan hukum di negeri ini. Mungkin baru inilah pengadilan berhasil menyidangkan perwira polisi. Soalnya, selama ini yang banyak disidangkan paling polisi berpangkat rendah. Polisi yang tidak memiliki power atau kata orang polisi umpan peluru. Kita berikan aplaus buat para hakim yang berhasil menjatuhkan vonis buat para petinggi polisi itu. Ini artinya tidak pandang bulu.
Cuma, kalau kita lihat ke belakang, kasus IL banyak terjadi di sejumlah daerah terutama yang kayunya masih banyak. Kayu IL dengan mudahnya hilir mudik di jalan raya dan sungai. Hutan lebat pada gundul. Anehnya, tidak satupun aparat polisi yang melihat. Kalaupun ada yang melihat, dibiarkan begitu saja. Lebih aneh lagi, tidak satupun perwira polisi terlibat IL. Semua aman dan bersih.
Sementara kasus tiga perwira polisi di Ketapang itu ditangkap karena ikut bermain dengan para cukong kayu. Polda Kalbar tidak berhasil mengungkapnya. Tapi, Kapolri sendiri turun baru bisa menangkapi para perusak hutan itu. Coba kalau Kapolri tidak turun ketika itu, apakah para perwira itu bisa dijebloskan ke penjara? Publik pasti menjawab pesimis.
Mungkin di sinilah letak persoalannya, adanya komitmen kuat dari pemimpin tertinggi, hukum bisa ditegakkan. Selama pemimpin tidak ada komitmen atau malah menjadikan hukum sebagai komoditas, yakinlah supremasi hukum hanya mimpi. Atau, hukum hanya menjadi bulan-bulanan orang-orang kecil.
Sebagai contoh lagi, Presiden SBY sangat komitmen memberantas korupsi. Pengaruhnya, banyak para pejabat maupun anggota Dewan yang dijebloskan ke penjara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Walaupun belum optimal, tapi paling tidak indeks persepsi pemberantasan korupsi Indonesia setiap tahunnya meningkat. Apalagi nanti ada KPK di setiap daerah, dipastikan indeks tersebut akan meningkat lagi.
Jadi, semua perlu komitmen pemimpin tertinggi dalam sebuah institusi. Hukum bisa ditegakkan apabila ada keseriusan dari tiga lembaga hukum yakni polisi, kejaksaan dan pengadilan. Kalau di dalam lembaga itu, para pemimpinnya tidak memiliki komitmen jelas untuk penegakan hukum, dipastikan hukum akan menjadi komoditas untuk mendapatkan keuntungan. Sebaliknya, jika para pemimpin lembaga hukum itu komitmen, upaya penegakan hukum pasti dirasakan masyarakat.
Bagaimana caranya agar seorang pemimpin memiliki komitmen? Sangat sulit untuk menjawabnya. Sebab, komitmen ini datang dari dalam hati. Yang namanya hati sangat mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Komitmen itu lahir dari sebuah kesadaran mendalam akan tanggung jawab. Pemimpin yang baik pasti sadar akan tanggung jawab dan tugasnya sebagai seorang pemimpin. Seorang pemimpin, terutama dalam pemerintahan tidak boleh mengkhianati rakyat, tidak boleh mengkomersialisasikan hukum, tidak menyalahgunakan wewenang. Jika kesadaran akan tanggung jawab ini tertanam dalam diri pribadi seorang pemimpin, berarti dia memiliki tanggung jawab.
Harus diakui, pengaruh materi sangat kuat untuk memengaruhi komitmen seorang pemimpin. Apalagi pemimpin itu memiliki pengaruh luas di masyarakat. Orang bisa memberikan apa saja asalkan mendapatkan kepercayaan pemimpin itu. Jangan heran apabila banyak pemimpin menerima suap, karena tidak memiliki komitmen, lupa terhadap tanggung jawabnya.
Tiga perwira polisi yang dijebloskan ke penjara itu membuktikan bahwa Kapolri ketika itu memiliki komitmen. Kapolri sadar akan tanggung jawabnya sebagai pembina seluruh anggotanya yang tersebar di Indonesia. Kita berharap, kejadian itu menyadarkan seluruh pemimpin kita agar memiliki komitmen kuat untuk penegakan hukum, menyejahterakan rakyat dan menciptakan keharmonisan.
Hukum telah ditegakkan. Aparat polisi yang notabene penegak hukum kalau bersalah tetap dihukum. Sebagai contoh, tiga perwira polisi, masing-masing mantan Kapolres Ketapan AKBP Akhmad Sun’an SH, mantan Kasat Reskrim Polres Ketapang AKP M Kadhapy Marpaung SIk dan mantan Kapos Polair Ketapang Iptu Agus Lutfiardi. Ketiganya terbukti terlibat ilegal logging (IL) dan divonis tiga tahun penjara dan denda Rp 5 juta.
Divonisnya para perwira itu mudah-mudahan pertanda positif bagi penegakan hukum di negeri ini. Mungkin baru inilah pengadilan berhasil menyidangkan perwira polisi. Soalnya, selama ini yang banyak disidangkan paling polisi berpangkat rendah. Polisi yang tidak memiliki power atau kata orang polisi umpan peluru. Kita berikan aplaus buat para hakim yang berhasil menjatuhkan vonis buat para petinggi polisi itu. Ini artinya tidak pandang bulu.
Cuma, kalau kita lihat ke belakang, kasus IL banyak terjadi di sejumlah daerah terutama yang kayunya masih banyak. Kayu IL dengan mudahnya hilir mudik di jalan raya dan sungai. Hutan lebat pada gundul. Anehnya, tidak satupun aparat polisi yang melihat. Kalaupun ada yang melihat, dibiarkan begitu saja. Lebih aneh lagi, tidak satupun perwira polisi terlibat IL. Semua aman dan bersih.
Sementara kasus tiga perwira polisi di Ketapang itu ditangkap karena ikut bermain dengan para cukong kayu. Polda Kalbar tidak berhasil mengungkapnya. Tapi, Kapolri sendiri turun baru bisa menangkapi para perusak hutan itu. Coba kalau Kapolri tidak turun ketika itu, apakah para perwira itu bisa dijebloskan ke penjara? Publik pasti menjawab pesimis.
Mungkin di sinilah letak persoalannya, adanya komitmen kuat dari pemimpin tertinggi, hukum bisa ditegakkan. Selama pemimpin tidak ada komitmen atau malah menjadikan hukum sebagai komoditas, yakinlah supremasi hukum hanya mimpi. Atau, hukum hanya menjadi bulan-bulanan orang-orang kecil.
Sebagai contoh lagi, Presiden SBY sangat komitmen memberantas korupsi. Pengaruhnya, banyak para pejabat maupun anggota Dewan yang dijebloskan ke penjara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Walaupun belum optimal, tapi paling tidak indeks persepsi pemberantasan korupsi Indonesia setiap tahunnya meningkat. Apalagi nanti ada KPK di setiap daerah, dipastikan indeks tersebut akan meningkat lagi.
Jadi, semua perlu komitmen pemimpin tertinggi dalam sebuah institusi. Hukum bisa ditegakkan apabila ada keseriusan dari tiga lembaga hukum yakni polisi, kejaksaan dan pengadilan. Kalau di dalam lembaga itu, para pemimpinnya tidak memiliki komitmen jelas untuk penegakan hukum, dipastikan hukum akan menjadi komoditas untuk mendapatkan keuntungan. Sebaliknya, jika para pemimpin lembaga hukum itu komitmen, upaya penegakan hukum pasti dirasakan masyarakat.
Bagaimana caranya agar seorang pemimpin memiliki komitmen? Sangat sulit untuk menjawabnya. Sebab, komitmen ini datang dari dalam hati. Yang namanya hati sangat mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Komitmen itu lahir dari sebuah kesadaran mendalam akan tanggung jawab. Pemimpin yang baik pasti sadar akan tanggung jawab dan tugasnya sebagai seorang pemimpin. Seorang pemimpin, terutama dalam pemerintahan tidak boleh mengkhianati rakyat, tidak boleh mengkomersialisasikan hukum, tidak menyalahgunakan wewenang. Jika kesadaran akan tanggung jawab ini tertanam dalam diri pribadi seorang pemimpin, berarti dia memiliki tanggung jawab.
Harus diakui, pengaruh materi sangat kuat untuk memengaruhi komitmen seorang pemimpin. Apalagi pemimpin itu memiliki pengaruh luas di masyarakat. Orang bisa memberikan apa saja asalkan mendapatkan kepercayaan pemimpin itu. Jangan heran apabila banyak pemimpin menerima suap, karena tidak memiliki komitmen, lupa terhadap tanggung jawabnya.
Tiga perwira polisi yang dijebloskan ke penjara itu membuktikan bahwa Kapolri ketika itu memiliki komitmen. Kapolri sadar akan tanggung jawabnya sebagai pembina seluruh anggotanya yang tersebar di Indonesia. Kita berharap, kejadian itu menyadarkan seluruh pemimpin kita agar memiliki komitmen kuat untuk penegakan hukum, menyejahterakan rakyat dan menciptakan keharmonisan.
Saatnya Menunggu Realisasi Janji Siip
Rosadi Jamani
Pada 22 Desember 2008 kemarin merupakan puncak dari kemenangan pasangan Sutarmidji-Paryadi (Siip). Keduanya dilantik sebagai Walikota dan Wakil Walikota Pontianak periode 2008-2013 oleh Gubernur Kalbar Drs Cornelis MH di Pontianak Convention Centre (PCC). Ratusan orang menjadi saksi pelantikan penguasa baru Kota Khatulistiwa itu.
Sejak pelantikan itu dan mulai hari ini Sutarmidji dan Paryadi mulai menjalankan roda pemerintahan. Di tangan keduanya arah Kota Pontianak dikendalikan. Mau hitam atau putih kota ini, mereka yang akan tentukan. Bagi seluruh pendukung Siip saat Pilkada lalu, pasti memberikan tepuk tangan karena jagonya telah resmi memimpin kota ini. Sementara bagi pendukung kandidat yang kalah hanya bisa menonton dan gigit jari. Namun, pelantikan itu bukan persoalan kalah dan menang. Pelantikan itu adalah untuk kemenangan Kota Pontianak. Pilkada hanya proses untuk menentukan pemimpin. Ketika pemimpin itu sudah meraih kemenangan, berarti dia akan memimpin seluruh warga yang ada di Kota Pontianak.
Kita berikan ucapan selamat buat Siip atas pelantikannya. Perlu diingat, pelantikan itu baru langkah awal membangun kota ini. Mulai hari ini, Siip sudah harus fokus memikirkan masyarakat Kota Pontianak untuk lebih baik lagi. Pekerjaan mereka dipastikan akan sangat berat. Soalnya, dunia sedang dilanda krisis keuangan global. Terjadi penurunan iklim pertumbuhan ekonomi. Daya beli masyarakat semakin rendah. Pekerjaan semakin sulit. Sementara persoalan sosial semakin beragama dan bervariasi.
Di tengah situasi seperti ini, Sutarmidji dan Paryadi tidak bisa lagi ongkang-ongkang kaki menikmati hasil kemenangannya. Di luar Kantor Walikota, ribuan warga sedang menunggu realisasi janji mereka. Kita yakin, janji mereka yang telah diumbar saat kampanye tidak mudah dilupakan masyarakat. Dan, masyarakat saat ini menunggu janji tersebut.
Untuk sementara, masyarakat memang harus bersabar. RAPBD 2009 sedang dibahas. Lagian, Siip juga pasti sedang melakukan konsolidasi dan koordinasi di internal pemerintahan dulu. Selain itu, mereka juga akan menata aparatur yang kredibel, sehaluan dan sepaham dengan visi dan misi mereka. Jika di internal sudah bisa dibereskan, barulah mereka melancarkan realisasi janji mereka.
Pembangunan Kota Pontianak merupakan barometer bagi pembangunan kabupaten/kota lainnya di Kalbar. Maju mundurnya Kalbar ini bisa dilihat dari kemajuan Kota Pontianak. Karena, Kota Pontianak adalah ibukota Provinsi Kalbar, dalam menggarap pembangunan mesti lebih baik dari daerah lain.
Kalau di daerah lain banyak terjadi penyimpangan pengerjaan proyek, Kota Pontianak boleh ada penyimpangan. Kalau di daerah lain sering terjadi korupsi, di kota ini tidak boleh hidup para koruptor. Di daerah lain sektor pendidikan tidak digarap serius, Kota Pontianak harus maksimal. Pokoknya, di sektor apapun, Kota Pontianak mesti lebih baik, unggul dan andal. Untuk itulah, Sutarmidji dan Paryadi harus bekerja lebih baik dan lebih maju dari daerah lain.
Seandainya, dalam perjalanan ke depan pembangunan Kota Pontianak justru melempem, tidak lebih baik dari saat ini, berarti ada yang tidak beres dari kepemimpinan Siip. Sebaliknya, jika terjadi kemajuan signifikan, berarti Siip telah berhasil merealisasikan janji-janji.
Kita memang belum tahu seperti apa jadinya Kota Pontianak di bawah kepemimpinan Siip. Jadi, untuk sementara ini kita mesti bersabar menunggu realisasi janji mereka. Kita berdoa dan berharap agar apa yang telah dijadikan benar-benar bisa direalisasikan.
Pada 22 Desember 2008 kemarin merupakan puncak dari kemenangan pasangan Sutarmidji-Paryadi (Siip). Keduanya dilantik sebagai Walikota dan Wakil Walikota Pontianak periode 2008-2013 oleh Gubernur Kalbar Drs Cornelis MH di Pontianak Convention Centre (PCC). Ratusan orang menjadi saksi pelantikan penguasa baru Kota Khatulistiwa itu.
Sejak pelantikan itu dan mulai hari ini Sutarmidji dan Paryadi mulai menjalankan roda pemerintahan. Di tangan keduanya arah Kota Pontianak dikendalikan. Mau hitam atau putih kota ini, mereka yang akan tentukan. Bagi seluruh pendukung Siip saat Pilkada lalu, pasti memberikan tepuk tangan karena jagonya telah resmi memimpin kota ini. Sementara bagi pendukung kandidat yang kalah hanya bisa menonton dan gigit jari. Namun, pelantikan itu bukan persoalan kalah dan menang. Pelantikan itu adalah untuk kemenangan Kota Pontianak. Pilkada hanya proses untuk menentukan pemimpin. Ketika pemimpin itu sudah meraih kemenangan, berarti dia akan memimpin seluruh warga yang ada di Kota Pontianak.
Kita berikan ucapan selamat buat Siip atas pelantikannya. Perlu diingat, pelantikan itu baru langkah awal membangun kota ini. Mulai hari ini, Siip sudah harus fokus memikirkan masyarakat Kota Pontianak untuk lebih baik lagi. Pekerjaan mereka dipastikan akan sangat berat. Soalnya, dunia sedang dilanda krisis keuangan global. Terjadi penurunan iklim pertumbuhan ekonomi. Daya beli masyarakat semakin rendah. Pekerjaan semakin sulit. Sementara persoalan sosial semakin beragama dan bervariasi.
Di tengah situasi seperti ini, Sutarmidji dan Paryadi tidak bisa lagi ongkang-ongkang kaki menikmati hasil kemenangannya. Di luar Kantor Walikota, ribuan warga sedang menunggu realisasi janji mereka. Kita yakin, janji mereka yang telah diumbar saat kampanye tidak mudah dilupakan masyarakat. Dan, masyarakat saat ini menunggu janji tersebut.
Untuk sementara, masyarakat memang harus bersabar. RAPBD 2009 sedang dibahas. Lagian, Siip juga pasti sedang melakukan konsolidasi dan koordinasi di internal pemerintahan dulu. Selain itu, mereka juga akan menata aparatur yang kredibel, sehaluan dan sepaham dengan visi dan misi mereka. Jika di internal sudah bisa dibereskan, barulah mereka melancarkan realisasi janji mereka.
Pembangunan Kota Pontianak merupakan barometer bagi pembangunan kabupaten/kota lainnya di Kalbar. Maju mundurnya Kalbar ini bisa dilihat dari kemajuan Kota Pontianak. Karena, Kota Pontianak adalah ibukota Provinsi Kalbar, dalam menggarap pembangunan mesti lebih baik dari daerah lain.
Kalau di daerah lain banyak terjadi penyimpangan pengerjaan proyek, Kota Pontianak boleh ada penyimpangan. Kalau di daerah lain sering terjadi korupsi, di kota ini tidak boleh hidup para koruptor. Di daerah lain sektor pendidikan tidak digarap serius, Kota Pontianak harus maksimal. Pokoknya, di sektor apapun, Kota Pontianak mesti lebih baik, unggul dan andal. Untuk itulah, Sutarmidji dan Paryadi harus bekerja lebih baik dan lebih maju dari daerah lain.
Seandainya, dalam perjalanan ke depan pembangunan Kota Pontianak justru melempem, tidak lebih baik dari saat ini, berarti ada yang tidak beres dari kepemimpinan Siip. Sebaliknya, jika terjadi kemajuan signifikan, berarti Siip telah berhasil merealisasikan janji-janji.
Kita memang belum tahu seperti apa jadinya Kota Pontianak di bawah kepemimpinan Siip. Jadi, untuk sementara ini kita mesti bersabar menunggu realisasi janji mereka. Kita berdoa dan berharap agar apa yang telah dijadikan benar-benar bisa direalisasikan.
Bencana Banjir
Rosadi Jamani
Jenis banjir itu beraneka ragam. Ada banjir karena hujan. Ada banjir karena air pasang (rob). Banjir banding, banjir kiriman, banjir tahunan, dan sebagainya. Semua itu tidak mengenakan bagi siapapun. Perlu dicatat, tidak ada satupun manusia bisa mengadang atau menunda atau menstop datangnya banjir. Teknologi apapun tidak akan mampu menghentikan banjir.
Cuma, kita tidak bisa melupakan pepatah orang tua kita dulu, jika takut banjir jangan buat rumah di pinggir sungai. Jika takut pasang laut, jangan buat rumah di tepi pantai. Pepatah ini umurnya sudah ratusan tahun, namun ada baiknya kita mengingat kembali makna di balik ungkapan tersebut.
Ungkapan itu mengandung perintah implisit agar kita jangan membuat rumah yang sudah pasti di daerah itu kena banjir (dataran rendah). Kalaupun masih nekat ingin membuat rumah di dataran rendah, harus dipikirkan seperti apa bentuk rumah agar tidak kena banjir. Coba perhatikan rumah zaman dulu, pasti tinggi tongkatnya. Bahkan, kolong rumah bisa untuk anak-anak bermain atau melakukan aktivitas keluarga. Itu artinya, orang dulu benar-benar mengamalkan pepatah tersebut.
Saat ini, banyak orang justru tidak mengindahkan pepatah tersebut. Senang membuat rumah di pinggir rumah dengan konstruksi minimalis. Dia tahu bahwa di pinggir sungai itu sangat rawan banjir, tapi konstruksi rumahnya sama dengan rumah di dataran tinggi. Rata-rata tongkat rumah di pinggir sungai tingginya antara satu sampai dua meter. Sementara banjir bisa mencapai empat meter atau lebih. Ketika air bah muncul, hanya bisa pasrah. Di balik kepasrahan itu semestinya otak berfungsi, bagaimana tahun depan tidak kena banjir lagi.
Harus diingat, bencana sebenarnya bisa melahirkan teknologi bagi manusia yang berpikir. Banyak teknologi yang telah diciptakan manusia terispirasi dari bencana. Sebagai contoh, bencana gempa bumi melahirkan teknologi rumah tahan gempa. Tsanami banyak melahirkan ilmuwan yang bisa mendeteksi gelombang laut raksasa itu. Banjir melahirkan berbagai teknologi kapal, pembuatan bendungan. Tanah longsor melahirkan ilmu pembuatan konstruksi jalan yang tahan longsor. Tidak hanya melahirkan teknologi, melainkan juga ilmu. Itu untuk mereka yang mau berpikir.
Kembali ke persoalan bencana banjir yang sering terjadi. Coba perhatikan, kebanyakan banjir itu menimpa daerah yang pemukimannya rendah. Lihat lagi lebih dekat, kebanyakan rumah di daerah yang rendah itu, tongkat rumahnya antara satu sampai dua meter saja. Bahkan, ada yang setengah meter dari permukaan tanah. Kalau ditimpa banjir, siapa yang mesti disalahkan. Apakah Tuhan yang ada di sana?
Perlu juga diingat, setiap bencana itu bukan serta merta itu murka dari Tuhan. Bisa saja itu adalah hasil dari perbuatan manusia juga. Dalam agama Islam, Allah mengatakan, telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan ulah tangan manusia. Jangan dikira setiap bencana itu muncul dari Tuhan, tapi tolong dicek, apa penyebab bencana itu muncul.
Kalau dikatakan banjir disebabkan oleh manusia, orang pasti mengatakan iya. Kalau dikatakan banjir pasang (rob) yang menghantam daerah pesisir disebabkan manusia, orang pasti mengatakan, benar. Semua bencana disebabkan oleh ulah manusia. Kenapa harus manusia? Lantas siapa lagi yang pantas disalahkan, apakah para binatang? Jelas tidak mungkin.
Jika bencana itu disebabkan manusia, berarti manusia juga yang dapat mengatasi banjir itu. Caranya, cari sumber banjir itu. Hutan yang menjadi penyerap air hujan banyak dibabat mesti direhabilitasi dan dihijaukan kembali. Banjir pasang (rob) yang diakibatkan pemanasan global mesti dilawan dengan menghentikan efek rumah kaca, menghilangkan emisi dengan cara penghijauan.
Kemudian, bagi yang membuat rumah di dataran rendah, lebih baik pindah ke dataran tinggi, atau membangun kembali rumah dengan tongkat lebih tinggi. Kita berharap, bencana yang melanda di sejumlah daerah di Kalbar itu bisa membuat kita berpikir. Bukan membuat kita pasrah.*
Jenis banjir itu beraneka ragam. Ada banjir karena hujan. Ada banjir karena air pasang (rob). Banjir banding, banjir kiriman, banjir tahunan, dan sebagainya. Semua itu tidak mengenakan bagi siapapun. Perlu dicatat, tidak ada satupun manusia bisa mengadang atau menunda atau menstop datangnya banjir. Teknologi apapun tidak akan mampu menghentikan banjir.
Cuma, kita tidak bisa melupakan pepatah orang tua kita dulu, jika takut banjir jangan buat rumah di pinggir sungai. Jika takut pasang laut, jangan buat rumah di tepi pantai. Pepatah ini umurnya sudah ratusan tahun, namun ada baiknya kita mengingat kembali makna di balik ungkapan tersebut.
Ungkapan itu mengandung perintah implisit agar kita jangan membuat rumah yang sudah pasti di daerah itu kena banjir (dataran rendah). Kalaupun masih nekat ingin membuat rumah di dataran rendah, harus dipikirkan seperti apa bentuk rumah agar tidak kena banjir. Coba perhatikan rumah zaman dulu, pasti tinggi tongkatnya. Bahkan, kolong rumah bisa untuk anak-anak bermain atau melakukan aktivitas keluarga. Itu artinya, orang dulu benar-benar mengamalkan pepatah tersebut.
Saat ini, banyak orang justru tidak mengindahkan pepatah tersebut. Senang membuat rumah di pinggir rumah dengan konstruksi minimalis. Dia tahu bahwa di pinggir sungai itu sangat rawan banjir, tapi konstruksi rumahnya sama dengan rumah di dataran tinggi. Rata-rata tongkat rumah di pinggir sungai tingginya antara satu sampai dua meter. Sementara banjir bisa mencapai empat meter atau lebih. Ketika air bah muncul, hanya bisa pasrah. Di balik kepasrahan itu semestinya otak berfungsi, bagaimana tahun depan tidak kena banjir lagi.
Harus diingat, bencana sebenarnya bisa melahirkan teknologi bagi manusia yang berpikir. Banyak teknologi yang telah diciptakan manusia terispirasi dari bencana. Sebagai contoh, bencana gempa bumi melahirkan teknologi rumah tahan gempa. Tsanami banyak melahirkan ilmuwan yang bisa mendeteksi gelombang laut raksasa itu. Banjir melahirkan berbagai teknologi kapal, pembuatan bendungan. Tanah longsor melahirkan ilmu pembuatan konstruksi jalan yang tahan longsor. Tidak hanya melahirkan teknologi, melainkan juga ilmu. Itu untuk mereka yang mau berpikir.
Kembali ke persoalan bencana banjir yang sering terjadi. Coba perhatikan, kebanyakan banjir itu menimpa daerah yang pemukimannya rendah. Lihat lagi lebih dekat, kebanyakan rumah di daerah yang rendah itu, tongkat rumahnya antara satu sampai dua meter saja. Bahkan, ada yang setengah meter dari permukaan tanah. Kalau ditimpa banjir, siapa yang mesti disalahkan. Apakah Tuhan yang ada di sana?
Perlu juga diingat, setiap bencana itu bukan serta merta itu murka dari Tuhan. Bisa saja itu adalah hasil dari perbuatan manusia juga. Dalam agama Islam, Allah mengatakan, telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan ulah tangan manusia. Jangan dikira setiap bencana itu muncul dari Tuhan, tapi tolong dicek, apa penyebab bencana itu muncul.
Kalau dikatakan banjir disebabkan oleh manusia, orang pasti mengatakan iya. Kalau dikatakan banjir pasang (rob) yang menghantam daerah pesisir disebabkan manusia, orang pasti mengatakan, benar. Semua bencana disebabkan oleh ulah manusia. Kenapa harus manusia? Lantas siapa lagi yang pantas disalahkan, apakah para binatang? Jelas tidak mungkin.
Jika bencana itu disebabkan manusia, berarti manusia juga yang dapat mengatasi banjir itu. Caranya, cari sumber banjir itu. Hutan yang menjadi penyerap air hujan banyak dibabat mesti direhabilitasi dan dihijaukan kembali. Banjir pasang (rob) yang diakibatkan pemanasan global mesti dilawan dengan menghentikan efek rumah kaca, menghilangkan emisi dengan cara penghijauan.
Kemudian, bagi yang membuat rumah di dataran rendah, lebih baik pindah ke dataran tinggi, atau membangun kembali rumah dengan tongkat lebih tinggi. Kita berharap, bencana yang melanda di sejumlah daerah di Kalbar itu bisa membuat kita berpikir. Bukan membuat kita pasrah.*
Uang Bukan Segalanya
Rosadi Jamani
Sejarah telah mencatat bahwa kekuatan uang tidak begitu menentukan dalam sebuah kompetisi Pilkada. Pada Pilkada Kubu Raya dan Sanggau mengindikasikan persoalan itu di mana uang bukan faktor penentu. Pemenang Pilkada (walaupun belum ditetapkan KPU) tapi pemenangnya sudah bisa ditebak. Di mana pemenangnya bukanlah kandidat yang bergelimang harta. Kandidat yang dipastikan menang itu hanyalah mengandalkan modal pas-pasan alias modal nekat.
Hati nuranilah yang paling menentukan. Rakyat semakin cerdas untuk memilih siapa yang pantas menjadi pemimpinnya. Uang melimpah yang dihamburkan ternyata tidak menggoyahkan pemilih untuk menentukan pilihannya. Kampanye, ambil uangnya, jangan coblos orangnya seperti benar-benar terwujud di dua Pilkada itu. Orang senang ketika kandidat membagikan uang, membagikan semen, nyumbang masjid, ngasih ribuan baju kaus, ngasih beras, susu dan minyak goreng. Tapi, soal pilihan itu urusan lain. Hati yang menentukan. Yang tahu isi hati seseorang hanyalah diri sendiri dan Tuhan.
Bisa dicontohkan, ada sebuah desa agak jauh dari kota. Pada saat kampanye, ada kandidat wara-wiri di desa tersebut membagikan baju kaus, beras, minyak goreng, mentega dan susu. Setiap rumah mendapatkan paket pangan itu. Orang yang mendapatkan paket itu sangat senang. Apalagi di tengah kesulitan ekonomi saat ini, membuat pemberian itu begitu berharga. Orang yang memberikan paket itu berpesan, pada saat pencoblosan nanti pilih kandidat yang memberikan paket pangan itu. Yang menerima pasti menganggukkan kepala, tanda akan mencoblos si pemberi pangan.
Setelah si kandidat pergi, muncul tokoh masyarakat yang omongannya didengar oleh warga desa itu dengan mengampanyekan kandidat lain. Dia bilang, jangan terpengaruh oleh pemberian pangan itu. Lihat siapa sebenarnya orang yang telah memberikan pangan itu. Apakah kalian rela dipimpin oleh orang luar? Apakah kalian rela dipimpin oleh entis…Lagian, uang untuk membeli pangan itu bukanlah uang pribadinya, melainkan uang rakyat yang dikorup. Untuk itu, pilihlah orang kita sendiri, orang jujur dan tidak korupsi. Omongan si tokoh masyarakat tersebut cukup ampuh. Apalagi dilakukan secara door to door dan secara kekeluargaan. Pada saat pencoblosan, ternyata orang yang telah memberikan pangan itu kalah telak oleh kandidat yang tidak pernah masuk ke desa itu.
Contoh seperti itu banyak terjadi di desa-desa. Betapa uang yang dihamburkan salah seorang kandidat tidak mampu menaklukkan hati masyarakat. Justru yang menentukan di sini adalah kepiawaian dalam kampanye. Orang yang piawai, pandai meyakinkan masyarakat dalam menentukan pilihan merupakan kunci sukses kandidat yang modal nekat itu. Dibilang kepada tim sukses dan pemilih bahwa mereka tidak punya uang melimpah. Kalau mau daerah maju tanpa harus memakan uang rakyat, mari berjuang bersama. Tapi, kalau mau daerah tumbuh subur korupsi, pilihlah kandidat yang banyak duit. Soalnya, begitu dia naik sebagai kepala daerah, yang pasti dipikirkannya adalah mengembalikan modal. Setahun atau dua tahun untuk mengembalikan modal. Tahun ketiga dan keempat untuk menumpuk kekayaan, dan sisanya untuk rakyat. Apakah kalian mau dipimpin seperti itu. Omongan seperti ini sering kita didengar di arena kampanye. Ternyata sangat ampuh mempengaruhi masyarakat pemilih. Begitulah dinamika dalam kampanye Pilkada, selalu ada cara paling mudah untuk memengaruhi masyarakat, singkat tapi langsung kena ke hati.
Selain itu, satu hal lagi yang paling menentukan adalah figure. Figure merupakan kapasitas yang dimiliki seorang kandidat. Dalam menentukan nilai figure itu bisa dari etnis, agama, pengalaman, pendidikan, kedekatan dengan masyarakat, perilaku, moralitas dan terakhir jasa. Kalau semua itu include dalam diri pribadi seorang kandidat, dia akan mudah mendapatkan simpati rakyat.
Boleh saja si kandidat memiliki banyak uang, tapi dia tidak memiliki jasa di masyarakat. Ini juga penilaian minus bagi pemilih. Bisa saja si kandidat memegang jabatan tinggi di pemerintaha, tapi di mata masyarakat dia adalah etnis minoritas. Bisa saja kandidat memiliki pendidikan tinggi, tapi di mata masyarakat dia tidak bermoral, itu juga catatan minus pemilih. Jadi, jika ingin menjadi kandidat kepala daerah, perlu diperhitungkan adalah kapasitas figure. Jika hanya mengandalkan uang dan pendidikan itu belum jaminan. Banyak faktor lain yang mesti diperhatikan.
Sejarah telah mencatat bahwa kekuatan uang tidak begitu menentukan dalam sebuah kompetisi Pilkada. Pada Pilkada Kubu Raya dan Sanggau mengindikasikan persoalan itu di mana uang bukan faktor penentu. Pemenang Pilkada (walaupun belum ditetapkan KPU) tapi pemenangnya sudah bisa ditebak. Di mana pemenangnya bukanlah kandidat yang bergelimang harta. Kandidat yang dipastikan menang itu hanyalah mengandalkan modal pas-pasan alias modal nekat.
Hati nuranilah yang paling menentukan. Rakyat semakin cerdas untuk memilih siapa yang pantas menjadi pemimpinnya. Uang melimpah yang dihamburkan ternyata tidak menggoyahkan pemilih untuk menentukan pilihannya. Kampanye, ambil uangnya, jangan coblos orangnya seperti benar-benar terwujud di dua Pilkada itu. Orang senang ketika kandidat membagikan uang, membagikan semen, nyumbang masjid, ngasih ribuan baju kaus, ngasih beras, susu dan minyak goreng. Tapi, soal pilihan itu urusan lain. Hati yang menentukan. Yang tahu isi hati seseorang hanyalah diri sendiri dan Tuhan.
Bisa dicontohkan, ada sebuah desa agak jauh dari kota. Pada saat kampanye, ada kandidat wara-wiri di desa tersebut membagikan baju kaus, beras, minyak goreng, mentega dan susu. Setiap rumah mendapatkan paket pangan itu. Orang yang mendapatkan paket itu sangat senang. Apalagi di tengah kesulitan ekonomi saat ini, membuat pemberian itu begitu berharga. Orang yang memberikan paket itu berpesan, pada saat pencoblosan nanti pilih kandidat yang memberikan paket pangan itu. Yang menerima pasti menganggukkan kepala, tanda akan mencoblos si pemberi pangan.
Setelah si kandidat pergi, muncul tokoh masyarakat yang omongannya didengar oleh warga desa itu dengan mengampanyekan kandidat lain. Dia bilang, jangan terpengaruh oleh pemberian pangan itu. Lihat siapa sebenarnya orang yang telah memberikan pangan itu. Apakah kalian rela dipimpin oleh orang luar? Apakah kalian rela dipimpin oleh entis…Lagian, uang untuk membeli pangan itu bukanlah uang pribadinya, melainkan uang rakyat yang dikorup. Untuk itu, pilihlah orang kita sendiri, orang jujur dan tidak korupsi. Omongan si tokoh masyarakat tersebut cukup ampuh. Apalagi dilakukan secara door to door dan secara kekeluargaan. Pada saat pencoblosan, ternyata orang yang telah memberikan pangan itu kalah telak oleh kandidat yang tidak pernah masuk ke desa itu.
Contoh seperti itu banyak terjadi di desa-desa. Betapa uang yang dihamburkan salah seorang kandidat tidak mampu menaklukkan hati masyarakat. Justru yang menentukan di sini adalah kepiawaian dalam kampanye. Orang yang piawai, pandai meyakinkan masyarakat dalam menentukan pilihan merupakan kunci sukses kandidat yang modal nekat itu. Dibilang kepada tim sukses dan pemilih bahwa mereka tidak punya uang melimpah. Kalau mau daerah maju tanpa harus memakan uang rakyat, mari berjuang bersama. Tapi, kalau mau daerah tumbuh subur korupsi, pilihlah kandidat yang banyak duit. Soalnya, begitu dia naik sebagai kepala daerah, yang pasti dipikirkannya adalah mengembalikan modal. Setahun atau dua tahun untuk mengembalikan modal. Tahun ketiga dan keempat untuk menumpuk kekayaan, dan sisanya untuk rakyat. Apakah kalian mau dipimpin seperti itu. Omongan seperti ini sering kita didengar di arena kampanye. Ternyata sangat ampuh mempengaruhi masyarakat pemilih. Begitulah dinamika dalam kampanye Pilkada, selalu ada cara paling mudah untuk memengaruhi masyarakat, singkat tapi langsung kena ke hati.
Selain itu, satu hal lagi yang paling menentukan adalah figure. Figure merupakan kapasitas yang dimiliki seorang kandidat. Dalam menentukan nilai figure itu bisa dari etnis, agama, pengalaman, pendidikan, kedekatan dengan masyarakat, perilaku, moralitas dan terakhir jasa. Kalau semua itu include dalam diri pribadi seorang kandidat, dia akan mudah mendapatkan simpati rakyat.
Boleh saja si kandidat memiliki banyak uang, tapi dia tidak memiliki jasa di masyarakat. Ini juga penilaian minus bagi pemilih. Bisa saja si kandidat memegang jabatan tinggi di pemerintaha, tapi di mata masyarakat dia adalah etnis minoritas. Bisa saja kandidat memiliki pendidikan tinggi, tapi di mata masyarakat dia tidak bermoral, itu juga catatan minus pemilih. Jadi, jika ingin menjadi kandidat kepala daerah, perlu diperhitungkan adalah kapasitas figure. Jika hanya mengandalkan uang dan pendidikan itu belum jaminan. Banyak faktor lain yang mesti diperhatikan.
Angin Segar Pemberantasan Korupsi
Rosadi Jamani
Kalbar sudah lama menjadi surganya para koruptor. Para pejabat tinggi di daerah ini tanpa sungkan-sungkan untuk menilep uang rakyat. Mereka tidak takut gertak sambal kepolisian ataupun kejaksaan. Soalnya, mereka lebih banyak takutnya. Sebagai bukti, sejumlah pejabat yang jelas-jelas sebagai tersangka, sampai saat ini tidak jelas seperti apa proses hukumnya. Sampai-sampai masyarakat lupa atau apatis apabila ada kasus korupsi menimpa pejabat tinggi.
Pada 16 Desember 2008 lalu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), M Jasin mengunjungi Kalbar. Di hadapan para wartawan, dia melaporkan, sekitar 400-an kasus dugaan korupsi asal Kalbar sudah dilaporkan ke KPK. Itu artinya, laporan tersebut akan diproses. Siap-siap para koruptor yang selama ini memandang remeh hukum tidak akan berkutik lagi. Jangan-jangan mulai bekemas untuk mengamankan diri atau harta benda.
Bisa dibayangkan ada 400-an kasus dugaan korupsi yang telah dilaporkan masyarakat ke KPK. Itu artinya ada sekitar 400-an koruptor berkeliaran di luar sana. Kali ini mereka bakalan wajah mereka tidak lagi secerah di tahun ini atau tahun sebelumnya. Diperkirakan tahun 2009 seiring semakin gencarnya pemerintah menumpas gerombolan penilep uang rakyat, mereka itu akan diseret ke meja hijau. Perlu diingat, reputasi KPK sampai saat ini masih tinggi. Diperkirakan untuk tahun berikutnya, sepak terjang KPK tidak hanya di ibukota melainkan melebarkan sayap ke daerah.
Wacana untuk mendirikan KPK di seluruh provinsi semakin menguat. Itu artinya, gerak para koruptor semakin sempit. Daerah juga tidak lagi menjadi lahan basah untuk menghabisi uang negara yang bersumber dari jerih payah rakyat. Cuma, kita sepertinya harus menunggu action tersebut.
Kenapa KPK mesti turun ke daerah? Itu sebuah indikasi jelas bahwa lembaga kejaksaan dan kepolisian tidak piawai menggarap kasus korupsi. Dua lembaga itu lebih cocok menggarap kriminal biasa. Kasus korupsi apa yang telah digarap dua lembaga hukum itu yang bisa memuaskan masyarakat. Kalaupun ada kasus korupsi yang sempat divonis, lihat dulu siapa pelakunya. Paling pegawai biasa, bukan pejabat tinggi.
Masyarakat sudah lama mendambakan KPK untuk hadir di Kalbar. Karena, hanya lembaga itulah satu-satunya yang masih dipercaya masyarakat untuk memberantas para tikus-tikus berbadan gemuk itu. Kejaksaan yang semestinya bisa memainkan peran penting dalam pemberantasan korupsi, justru di mata masyarakat jauh dari harapan. Yang terjadi, malah masyarakat banyak kecewa dengan kejaksaan dalam pemberantasan korupsi.
Korupsi sudah lama mendarah daging di dalam tubuh pemerintahan. Sangat sulit untuk dihapuskan selama lembaga hukum tidak serius memberantasnya. Sebagai bukti korupsi sudah mendarah daging, ajukan saja proposal untuk sebuah kegiatan besar dengan nilai Rp 50 juta. Apabila proposal diterima, yakinlah dana yang diterima panitia tidak utuh Rp 50 juta, melainkan di bawah itu. Bisa-bisa tinggal Rp 40 juta saja. Ke mana Rp 10 jutanya. Taruhlah di dalam Rp 10 juta itu ada uang untuk bayar pajak, tapi tidak mungkin sampai sebesar itu. Kita yakin, dana yang dipotong itu adalah untuk kepala dinas, kepala bagian, dan orang yang mengurus pencairan dana tersebut.
Apabila panitia yang semestinya menerima Rp 50 juta tidak menuruti pemotongan oleh kepala dinas, yakinlah di tahun akan datang, proposalnya tidak diterima. Aksi pemotongan dana ini sudah hal lumrah di dalam dunia birokrasi. Jangan heran, apabila ada sebuah kegiatan yang menggunakan dana APBD, tidak sesuai dengan realitasnya. Dananya besar tapi realisasi kegiatan tidak mencerminkan dana yang besar itu.
Praktik pemotongan anggaran ini salah satu praktik korupsi yang sulit untuk diberantas. Apabila diperiksa, semua sesuai prosedur. Tidak ada satupun uang keluar yang tidak bukti kuitansinya. Semua ada tanda tangan dan cap stempel.
Kita berharap KPK cepat melebarkan sayap ke daerah. Dengan harapan tidak ada lagi aksi pemotongan anggaran dan mark up anggaran. Para penilep uang rakyat sudah saatnya untuk dibasmi. Mereka telah menyengsarakan rakyat. *
Kalbar sudah lama menjadi surganya para koruptor. Para pejabat tinggi di daerah ini tanpa sungkan-sungkan untuk menilep uang rakyat. Mereka tidak takut gertak sambal kepolisian ataupun kejaksaan. Soalnya, mereka lebih banyak takutnya. Sebagai bukti, sejumlah pejabat yang jelas-jelas sebagai tersangka, sampai saat ini tidak jelas seperti apa proses hukumnya. Sampai-sampai masyarakat lupa atau apatis apabila ada kasus korupsi menimpa pejabat tinggi.
Pada 16 Desember 2008 lalu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), M Jasin mengunjungi Kalbar. Di hadapan para wartawan, dia melaporkan, sekitar 400-an kasus dugaan korupsi asal Kalbar sudah dilaporkan ke KPK. Itu artinya, laporan tersebut akan diproses. Siap-siap para koruptor yang selama ini memandang remeh hukum tidak akan berkutik lagi. Jangan-jangan mulai bekemas untuk mengamankan diri atau harta benda.
Bisa dibayangkan ada 400-an kasus dugaan korupsi yang telah dilaporkan masyarakat ke KPK. Itu artinya ada sekitar 400-an koruptor berkeliaran di luar sana. Kali ini mereka bakalan wajah mereka tidak lagi secerah di tahun ini atau tahun sebelumnya. Diperkirakan tahun 2009 seiring semakin gencarnya pemerintah menumpas gerombolan penilep uang rakyat, mereka itu akan diseret ke meja hijau. Perlu diingat, reputasi KPK sampai saat ini masih tinggi. Diperkirakan untuk tahun berikutnya, sepak terjang KPK tidak hanya di ibukota melainkan melebarkan sayap ke daerah.
Wacana untuk mendirikan KPK di seluruh provinsi semakin menguat. Itu artinya, gerak para koruptor semakin sempit. Daerah juga tidak lagi menjadi lahan basah untuk menghabisi uang negara yang bersumber dari jerih payah rakyat. Cuma, kita sepertinya harus menunggu action tersebut.
Kenapa KPK mesti turun ke daerah? Itu sebuah indikasi jelas bahwa lembaga kejaksaan dan kepolisian tidak piawai menggarap kasus korupsi. Dua lembaga itu lebih cocok menggarap kriminal biasa. Kasus korupsi apa yang telah digarap dua lembaga hukum itu yang bisa memuaskan masyarakat. Kalaupun ada kasus korupsi yang sempat divonis, lihat dulu siapa pelakunya. Paling pegawai biasa, bukan pejabat tinggi.
Masyarakat sudah lama mendambakan KPK untuk hadir di Kalbar. Karena, hanya lembaga itulah satu-satunya yang masih dipercaya masyarakat untuk memberantas para tikus-tikus berbadan gemuk itu. Kejaksaan yang semestinya bisa memainkan peran penting dalam pemberantasan korupsi, justru di mata masyarakat jauh dari harapan. Yang terjadi, malah masyarakat banyak kecewa dengan kejaksaan dalam pemberantasan korupsi.
Korupsi sudah lama mendarah daging di dalam tubuh pemerintahan. Sangat sulit untuk dihapuskan selama lembaga hukum tidak serius memberantasnya. Sebagai bukti korupsi sudah mendarah daging, ajukan saja proposal untuk sebuah kegiatan besar dengan nilai Rp 50 juta. Apabila proposal diterima, yakinlah dana yang diterima panitia tidak utuh Rp 50 juta, melainkan di bawah itu. Bisa-bisa tinggal Rp 40 juta saja. Ke mana Rp 10 jutanya. Taruhlah di dalam Rp 10 juta itu ada uang untuk bayar pajak, tapi tidak mungkin sampai sebesar itu. Kita yakin, dana yang dipotong itu adalah untuk kepala dinas, kepala bagian, dan orang yang mengurus pencairan dana tersebut.
Apabila panitia yang semestinya menerima Rp 50 juta tidak menuruti pemotongan oleh kepala dinas, yakinlah di tahun akan datang, proposalnya tidak diterima. Aksi pemotongan dana ini sudah hal lumrah di dalam dunia birokrasi. Jangan heran, apabila ada sebuah kegiatan yang menggunakan dana APBD, tidak sesuai dengan realitasnya. Dananya besar tapi realisasi kegiatan tidak mencerminkan dana yang besar itu.
Praktik pemotongan anggaran ini salah satu praktik korupsi yang sulit untuk diberantas. Apabila diperiksa, semua sesuai prosedur. Tidak ada satupun uang keluar yang tidak bukti kuitansinya. Semua ada tanda tangan dan cap stempel.
Kita berharap KPK cepat melebarkan sayap ke daerah. Dengan harapan tidak ada lagi aksi pemotongan anggaran dan mark up anggaran. Para penilep uang rakyat sudah saatnya untuk dibasmi. Mereka telah menyengsarakan rakyat. *
Takut Bertepuk Sebelah Tangan
Rosadi Jamani
Kisah tragedi pembantaian lima warga Balai Karangan Sanggau oleh Polis Diraja Malaysia (PDRM), belum berakhir. Sejumlah lembaga sudah bangun dari tidurnya. Berbagai macam reaksi muncul. Ada bereaksi dengan penuh emosional, marah-marah, memaki-maki bahkan kabarnya ada yang melakukan sweeping terhadap warga Malaysia.
Ada juga bereaksi dengan mengedepankan rasional dengan cara melakukan diplomasi. Meminta keterangan resmi dari pihak Konsulat Malaysia terhadap kronologis peristiwa tersebut. Melakukan upaya hukum dengan melakukan identifikasi motif pembunuhan. Tapi, ada juga bereaksi biasa-biasa saja, tidak peduli. Bodo amat!
Semakin hari aksi tersebut semakin menaikkan emosi sejumlah elemen masyarakat Kalbar. Anehnya, pihak Malaysia tidak bereaksi. Bahkan, pemerintah Indonesia secara kenegaraan juga demikian. Atau, jangan-jangan malah tidak tahu atau tidak mau tahu. Rakyat Kalbar yang mulai emosi itu jangan-jangan dipandang sebelah mata atau dianggap angin lalu.
Seandainya, rakyat Kalbar marah dengan menangkapi warga Malaysia berkeliaran di Pasar Sudirman atau mal-mal di Pontianak, atau lagi asyik ngurus kebun kelapa sawit. Mereka yang ditangkap dijadikan sandera dengan jaminan pemerintah Malaysia harus minta maaf. Atau menyekap warga Malaysia agar pemerintahan mau bertanggung jawab terhadap insiden itu. Kemudian, hubungan kedua negara tegang, terjadilah penutupan kedutaan dan konsulat kedua negara.
Atau, lebih seru lagi terjadilah ketegangan militer di kedua negara. Malaysia mengerahkan ribuan tentaranya di perbatasan Entikong, Jagoi Babang, Sajingan, Badau, Senaning. Mereka siap siaga dengan peralatan perang canggihnya. Demikian juga tentara Indonesia dikerahkan di perbatasan dengan segala peralatan tempur. Tinggal menunggu komando Jakarta, akan terjadi perang terbuka.
Lalu, apa yang diharapkan dari situasi tegang seperti itu. Apa yang bisa dinikmati rakyat Kalbar apabila memang terjadi ketegangan kedua negara. Jangan-jangan yang malah rugi besar adalah kita sendiri. Sementara pihak Malaysia tetap tersenyum. Kalau ada pihak yang dirugikan, mungkin tidak seberapa. Buntut dari persoalan itu, akan ada ribuan tenaga kerja asal Kalbar yang akan dipulangkan. Itu artinya bencana sosial siap menimpa Kalbar. Belum lagi kerugian bisnis dari ribuan orang pedagang asal Kalbar yang telah lama menjalin perdagangan dengan Sarawak. Apakah kita siap menghadapi bencana sosial itu?
Sementara dari pihak Sarawak yang tidak terlalu menggantungkan diri pada Kalbar, pasti tetap tenang. Mereka bisa dengan mudah menjalin kerja sama dengan negara lain. Kalau pintu lintas batas ditutup, justru yang banyak dirugikan adalah rakyat Kalbar sendiri, bukan dari negeri jiran itu.
Tapi, itu hanya sekadar seandainya. Alhamdulillah, itu belum terjadi. Tidak ada ketegangan militer. Tidak ada ketegangan diplomatik. Tidak ada ketegangan yang mengancam renggangnya hubungan RI-Malaysia. Mudah-mudahan itu tidak terjadi.
Kita memang prihatin terhadap aksi penembakan itu. Namun, keprihatinan kita tidak lantas harus menutup akal sehat. Pasti ada cara elegan dan terhormat untuk menyelesaikan persoalan yang sarat dengan emosi itu.
Kita tidak ingin gara-gara persoalan ini justru mengorbankan kepentingan yang lebih besar lagi. Silakan tim kuasa hukum atau para diplomat kita untuk menyelesaikannya. Jika kasus itu memang sarat dengan rekayasa, atau murni aksi kriminal, biarkan pemerintah menyelesaikannya. Tidak perlu ada elemen lagi (organisasi kemasyarakat-ormas) yang menjadi pahlawan kesiangan. Tidak perlu aksi elemen lain yang senang mengobarkan perang. Kita tidak perlu meragukan upaya pemerintah atau tim kuasa hukum korban untuk menyelesaikan kasus ini.
Kita hanya berharap pihak PDRM minta maaf dan memenjarakan aparatnya apabila penembakan itu memang salah. Serta, berjanji tidak melakukan perbuatan itu lagi. Namun, jika aksi itu memang murni sebagai perbuatan kriminal, kita juga harus legowo. Di negara manapun, aksi kriminal tidak bisa dibenarkan.
Kisah tragedi pembantaian lima warga Balai Karangan Sanggau oleh Polis Diraja Malaysia (PDRM), belum berakhir. Sejumlah lembaga sudah bangun dari tidurnya. Berbagai macam reaksi muncul. Ada bereaksi dengan penuh emosional, marah-marah, memaki-maki bahkan kabarnya ada yang melakukan sweeping terhadap warga Malaysia.
Ada juga bereaksi dengan mengedepankan rasional dengan cara melakukan diplomasi. Meminta keterangan resmi dari pihak Konsulat Malaysia terhadap kronologis peristiwa tersebut. Melakukan upaya hukum dengan melakukan identifikasi motif pembunuhan. Tapi, ada juga bereaksi biasa-biasa saja, tidak peduli. Bodo amat!
Semakin hari aksi tersebut semakin menaikkan emosi sejumlah elemen masyarakat Kalbar. Anehnya, pihak Malaysia tidak bereaksi. Bahkan, pemerintah Indonesia secara kenegaraan juga demikian. Atau, jangan-jangan malah tidak tahu atau tidak mau tahu. Rakyat Kalbar yang mulai emosi itu jangan-jangan dipandang sebelah mata atau dianggap angin lalu.
Seandainya, rakyat Kalbar marah dengan menangkapi warga Malaysia berkeliaran di Pasar Sudirman atau mal-mal di Pontianak, atau lagi asyik ngurus kebun kelapa sawit. Mereka yang ditangkap dijadikan sandera dengan jaminan pemerintah Malaysia harus minta maaf. Atau menyekap warga Malaysia agar pemerintahan mau bertanggung jawab terhadap insiden itu. Kemudian, hubungan kedua negara tegang, terjadilah penutupan kedutaan dan konsulat kedua negara.
Atau, lebih seru lagi terjadilah ketegangan militer di kedua negara. Malaysia mengerahkan ribuan tentaranya di perbatasan Entikong, Jagoi Babang, Sajingan, Badau, Senaning. Mereka siap siaga dengan peralatan perang canggihnya. Demikian juga tentara Indonesia dikerahkan di perbatasan dengan segala peralatan tempur. Tinggal menunggu komando Jakarta, akan terjadi perang terbuka.
Lalu, apa yang diharapkan dari situasi tegang seperti itu. Apa yang bisa dinikmati rakyat Kalbar apabila memang terjadi ketegangan kedua negara. Jangan-jangan yang malah rugi besar adalah kita sendiri. Sementara pihak Malaysia tetap tersenyum. Kalau ada pihak yang dirugikan, mungkin tidak seberapa. Buntut dari persoalan itu, akan ada ribuan tenaga kerja asal Kalbar yang akan dipulangkan. Itu artinya bencana sosial siap menimpa Kalbar. Belum lagi kerugian bisnis dari ribuan orang pedagang asal Kalbar yang telah lama menjalin perdagangan dengan Sarawak. Apakah kita siap menghadapi bencana sosial itu?
Sementara dari pihak Sarawak yang tidak terlalu menggantungkan diri pada Kalbar, pasti tetap tenang. Mereka bisa dengan mudah menjalin kerja sama dengan negara lain. Kalau pintu lintas batas ditutup, justru yang banyak dirugikan adalah rakyat Kalbar sendiri, bukan dari negeri jiran itu.
Tapi, itu hanya sekadar seandainya. Alhamdulillah, itu belum terjadi. Tidak ada ketegangan militer. Tidak ada ketegangan diplomatik. Tidak ada ketegangan yang mengancam renggangnya hubungan RI-Malaysia. Mudah-mudahan itu tidak terjadi.
Kita memang prihatin terhadap aksi penembakan itu. Namun, keprihatinan kita tidak lantas harus menutup akal sehat. Pasti ada cara elegan dan terhormat untuk menyelesaikan persoalan yang sarat dengan emosi itu.
Kita tidak ingin gara-gara persoalan ini justru mengorbankan kepentingan yang lebih besar lagi. Silakan tim kuasa hukum atau para diplomat kita untuk menyelesaikannya. Jika kasus itu memang sarat dengan rekayasa, atau murni aksi kriminal, biarkan pemerintah menyelesaikannya. Tidak perlu ada elemen lagi (organisasi kemasyarakat-ormas) yang menjadi pahlawan kesiangan. Tidak perlu aksi elemen lain yang senang mengobarkan perang. Kita tidak perlu meragukan upaya pemerintah atau tim kuasa hukum korban untuk menyelesaikan kasus ini.
Kita hanya berharap pihak PDRM minta maaf dan memenjarakan aparatnya apabila penembakan itu memang salah. Serta, berjanji tidak melakukan perbuatan itu lagi. Namun, jika aksi itu memang murni sebagai perbuatan kriminal, kita juga harus legowo. Di negara manapun, aksi kriminal tidak bisa dibenarkan.
Tunjukkan Sikap Siap Kalah
Rosadi Jamani
Biasanya, para kandidat yang bertarung di even pemilihan kepala daerah (Pilkada) membuat kesepakatan siap kalah dan siap menang saat dimulainya kampanye. Dengan penuh percaya diri para kandidat itu meneken kesepakatan di atas prasasti. Penandatanganan prasasti itu disaksikan seluruh pendukung dan masyarakat. Semua yang hadir menyaksikan penandatanganan itu optimis Pilkada berjalan lancar. Soalnya, semua sudah berkomitmen siap kalah dan siap menang.
Tapi, begitu Pilkada berlangsung, komitmen ternyata banyak kandidat tidak siap kalah. Padahal, pada saat penandatanganan prasasti dengan gagahnya mengatakan, siap kalah. Kalau yang menang, sudah pasti sangat-sangat siap. Yang menjadi persoalan adalah yang tidak siap kalah, justru sering melanggar komitmennya. Anehnya, sudah kalah lalu menyalahkan penyelenggara Pilkada, menyalahkan kandidat menang. Pokoknya, tidak ada pihak yang benar, semua salah di mata orang yang tidak siap kalah itu. Pada akhirnya, komitmen siap kalah dan siap menang saat dimulainya kampanye, mubazir.
Harus diakui, siapapun orangnya dalam sebuah kompetisi sangat berat menerima kekalahan. Apalagi dalam kompetisi itu berlangsung seru dan seimbang. Hanya orang-orang berjiwa besar saja yang siap menerima kekalahan. Tapi, pada umumnya para kandidat dalam momen Pilkada umumnya tidak siap kalah. Sebagai bukti, setelah pencoblosan, tidak ada satupun kandidat kalah mengucapkan selamat kepada yang menang. Sebaliknya, justru mengorek-ngorek kesalahan dari pihak menang untuk digugat. Menggerakkan massa (pendukung) minta Pilkada diulang, atau dinyatakan Pilkada banyak pelanggaran, banyak kecurangan, penuh dengan money politic, dan sebagainya. Padahal, kalau dia dalam posisi menang, apakah juga berbuat demikian. Bahkan, dia diam seribu bahasa dan menyatakan upaya yang dilakukannya untuk meraih kemenangan dengan cara jujur dan sportif.
Kemarin (15/12/08), rakyat Kabupaten Kubu Raya dan Sanggau memilih calon bupati dan wakil bupatinya. Pemilihan itu merupakan putaran kedua. Untuk Kubu Raya, tampil sebagai finalis, pasangan Sujiwo-Okto menghadapi Muda-Andreas. Sementara Sanggau, saling bertarung, pasangan Yansen-Abdullah menghadapi Setima-Paolus. Secara resmi memang belum ada keputusan siapa yang akan memenangkan pertarungan super seru itu. Namun, hitungan-hitungan non formal, sudah bisa ditebak siapa menjadi pemenang di kompetisi panas itu.
Kita berharap, yang pasti menerima kekalahan, ingat dengan komitmen awalnya, siap kalah. Inilah saatnya membuktikan komitmen tersebut. Inilah saatnya menunjukkan sebagai seorang pemimpin yang berjiwa besar. Tidak ada artinya ngotot menyatakan kemenangan yang diraih saingannya penuh dengan kecurangan. Apalagi kalau tuduhan itu hanya dugaan, isu, tapi faktanya tidak demikian. Dari pada ngotot tidak ada hasil, lebih baik mengucapkan selamat atas kemenangan lawan.
Dengan mengakui kemenangan lawan itu jauh lebih terhormat, dari pada kalah justru marah-marah tak tentu pasal. Banyak manfaat apabila kandidat kalah secara terhormat mengakui kemenangan lawan. Sudah pasti, akan terjadi sebuah persahabatan atau kemitraan. Kandidat kalah bisa memberikan dukungan kepada kandidat menang untuk melangsungkan pembangunan. Potensi yang dimiliki kandidat kalah bisa dialihkan untuk membantu si pemenang. Walaupun kalah, tapi masih aktif membangun daerah.
Tapi, lain halnya apabila sudah kalah lalu mencak-mencak menuding si pemenang banyak melakukan kecurangan. Akan terjadi disharmonisasi antara si kalah dan si pemenang. Potensi si kalah sangat sulit untuk disalurkan buat si pemenang. Begitu si pemenang akan gengsi untuk merangkul orang yang tidak menjelek-jeleknya reputasinya. Yang rugi, jelas si kalah. Sudah kalah, banyak kerugian ditanggung, tapi tidak mendapatkan porsi yang luas untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Bisa-bisa karier politiknya tamat alias masuk kotak, karena rakyat tidak lagi bersimpati.
Kita ingin lihat, seperti apa sikap kandidat setelah tahu dia menerima kekalahan. Apakah dia akan mencak-mencak, marah-marah, stress, menjadi orang pemurung, mengucilkan diri, atau bersikap biasa-biasa. Jika ada kandidat seperti itu, berarti dia bukan seorang pemimpin berjiwa besar, dan sangat wajar apabila tidak dipilih rakyat.
Biasanya, para kandidat yang bertarung di even pemilihan kepala daerah (Pilkada) membuat kesepakatan siap kalah dan siap menang saat dimulainya kampanye. Dengan penuh percaya diri para kandidat itu meneken kesepakatan di atas prasasti. Penandatanganan prasasti itu disaksikan seluruh pendukung dan masyarakat. Semua yang hadir menyaksikan penandatanganan itu optimis Pilkada berjalan lancar. Soalnya, semua sudah berkomitmen siap kalah dan siap menang.
Tapi, begitu Pilkada berlangsung, komitmen ternyata banyak kandidat tidak siap kalah. Padahal, pada saat penandatanganan prasasti dengan gagahnya mengatakan, siap kalah. Kalau yang menang, sudah pasti sangat-sangat siap. Yang menjadi persoalan adalah yang tidak siap kalah, justru sering melanggar komitmennya. Anehnya, sudah kalah lalu menyalahkan penyelenggara Pilkada, menyalahkan kandidat menang. Pokoknya, tidak ada pihak yang benar, semua salah di mata orang yang tidak siap kalah itu. Pada akhirnya, komitmen siap kalah dan siap menang saat dimulainya kampanye, mubazir.
Harus diakui, siapapun orangnya dalam sebuah kompetisi sangat berat menerima kekalahan. Apalagi dalam kompetisi itu berlangsung seru dan seimbang. Hanya orang-orang berjiwa besar saja yang siap menerima kekalahan. Tapi, pada umumnya para kandidat dalam momen Pilkada umumnya tidak siap kalah. Sebagai bukti, setelah pencoblosan, tidak ada satupun kandidat kalah mengucapkan selamat kepada yang menang. Sebaliknya, justru mengorek-ngorek kesalahan dari pihak menang untuk digugat. Menggerakkan massa (pendukung) minta Pilkada diulang, atau dinyatakan Pilkada banyak pelanggaran, banyak kecurangan, penuh dengan money politic, dan sebagainya. Padahal, kalau dia dalam posisi menang, apakah juga berbuat demikian. Bahkan, dia diam seribu bahasa dan menyatakan upaya yang dilakukannya untuk meraih kemenangan dengan cara jujur dan sportif.
Kemarin (15/12/08), rakyat Kabupaten Kubu Raya dan Sanggau memilih calon bupati dan wakil bupatinya. Pemilihan itu merupakan putaran kedua. Untuk Kubu Raya, tampil sebagai finalis, pasangan Sujiwo-Okto menghadapi Muda-Andreas. Sementara Sanggau, saling bertarung, pasangan Yansen-Abdullah menghadapi Setima-Paolus. Secara resmi memang belum ada keputusan siapa yang akan memenangkan pertarungan super seru itu. Namun, hitungan-hitungan non formal, sudah bisa ditebak siapa menjadi pemenang di kompetisi panas itu.
Kita berharap, yang pasti menerima kekalahan, ingat dengan komitmen awalnya, siap kalah. Inilah saatnya membuktikan komitmen tersebut. Inilah saatnya menunjukkan sebagai seorang pemimpin yang berjiwa besar. Tidak ada artinya ngotot menyatakan kemenangan yang diraih saingannya penuh dengan kecurangan. Apalagi kalau tuduhan itu hanya dugaan, isu, tapi faktanya tidak demikian. Dari pada ngotot tidak ada hasil, lebih baik mengucapkan selamat atas kemenangan lawan.
Dengan mengakui kemenangan lawan itu jauh lebih terhormat, dari pada kalah justru marah-marah tak tentu pasal. Banyak manfaat apabila kandidat kalah secara terhormat mengakui kemenangan lawan. Sudah pasti, akan terjadi sebuah persahabatan atau kemitraan. Kandidat kalah bisa memberikan dukungan kepada kandidat menang untuk melangsungkan pembangunan. Potensi yang dimiliki kandidat kalah bisa dialihkan untuk membantu si pemenang. Walaupun kalah, tapi masih aktif membangun daerah.
Tapi, lain halnya apabila sudah kalah lalu mencak-mencak menuding si pemenang banyak melakukan kecurangan. Akan terjadi disharmonisasi antara si kalah dan si pemenang. Potensi si kalah sangat sulit untuk disalurkan buat si pemenang. Begitu si pemenang akan gengsi untuk merangkul orang yang tidak menjelek-jeleknya reputasinya. Yang rugi, jelas si kalah. Sudah kalah, banyak kerugian ditanggung, tapi tidak mendapatkan porsi yang luas untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Bisa-bisa karier politiknya tamat alias masuk kotak, karena rakyat tidak lagi bersimpati.
Kita ingin lihat, seperti apa sikap kandidat setelah tahu dia menerima kekalahan. Apakah dia akan mencak-mencak, marah-marah, stress, menjadi orang pemurung, mengucilkan diri, atau bersikap biasa-biasa. Jika ada kandidat seperti itu, berarti dia bukan seorang pemimpin berjiwa besar, dan sangat wajar apabila tidak dipilih rakyat.
Langganan:
Postingan (Atom)