Jumat, 16 Januari 2009

Proporsional Terbuka Membuat Can Orang Luar Tertutup

Oleh Rosadi Jamani

Pada saat pendaftaran Daftar Caleg Sementara (DCS) ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada partai politik ribut soal penentuan nomor urut. Ngamuk tak tentu rudu. Bakar bendera, menghancurkan fasilitas partai, petentang-petenteng. Semua mengaku seolah pengurus partai paling berjasa yang berhak mendapatkan nomor urut satu. Aksi sok jago tersebut sudah tidak ada artinya.
Belum lama ini, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan penghapusan penentuan anggota Dewan menggunakan sistem nomor urut. Sebagai gantinya, MK menyetujui penggunaan sistem suara terbanyak. Dengan adanya keputusan ini, nomor urut sudah tidak menentukan lagi. Nomor urut tidak lebih sebagai penghias surat suara. Yang justru paling menentukan bagaimana meraih suara sebanyak mungkin. Sebab, suara terbanyak itulah yang bisa melenggangkan seorang caleg menuju rumah rakyat.
Keputusan MK tersebut dalam ilmu politik dinamakan sistem proporsional terbuka murni. Pamor partai sudah tidak begitu menentukan. Yang menentukan adalah figure caleg. Kapasitas seorang calon wakil rakyat itu yang banyak bermain dalam kancah politik 9 April 2009 depan. Apa imbas paling ditakutkan dari sistem suara terbanyak itu?
Saya mencatat ada tiga imbas yang akan dirasakan para politikus terhadap sistem suara terbanyak. Pertama, polikus dari luar daerah tidak akan laku. Suara terbanyak atau proporsional terbuka murni sangat kental dengan kedaerahan (daerah sentries). Hanya caleg asli dari Daerah Pemilihan (Dapil) itu sendiri yang akan terpilih. Sangat kecil peluang (can) orang luar untuk terpilih dari Dapil yang bukan daerah kelahirannya.
Sebagai contoh, khusus untuk caleg DPR RI dapil Kalbar, banyak caleg nomor urut satu diserobot orang-orang Jakarta (Pusat). Mereka dengan gagahnya menampilkan foto di sepanjang jalan yang ada di Kalbar ini. Kemungkinan besar, orang-orang luar yang bermuka manis siap menjadi wakil rakyat Kalbar itu tidak terpilih.
Jujur saja, apakah saya yang orang Sambas ini akan memilih orang Jakarta yang tidak diketahui seperti apa track record-nya, seperti apa pekerjaannya, pendidikan, keluarga, keturunan, rumah dan sebagainya. Saya pasti memilih orang asli Kalbar. Saya yakin, pembaca juga demikian. Tidak mungkin orang Kapuas Hulu memilih orang-orang Jakarta untuk menjadi wakil rakyat Kalbar di Senayan. Begitu juga orang Sintang, Sekadau, Landak, Singkawang, Kubu Raya, Bengkayang dan Sanggau.
Orang asli Kalbar yang selama ini banyak mendapatkan nomor urut bawah sangat diuntungkan dengan keputusan MK tersebut. Walaupun mendapatkan nomor tiga (misalnya) tidak ada masalah. Sebab, peluang untuk terpilih sangat terbuka. Sebab, orang asli Kalbar pasti mendapatkan pilihan. Paling tidak dari istri, anak, orang tua, saudara dekat, saudara jauh, kawan, mertua, paman, sepupu, dan sebagainya.
Itu kalau untuk caleg DPR-RI. Begitu juga caleg untuk Provinsi (DPRD Kalbar), orang dari kabupaten lain (orang luar) sulit mendapatkan pemilih di negeri orang lain. Misalnya, orang Pontianak menjadi caleg di Dapil Kapuas Hulu-Sintang-Melawi peluangnya sangat kecil untuk terpilih. Tentulah orang asli dari tiga wilayah itu yang berpeluang besar menjadi wakil rakyat. Begitu untuk tingkat kabupaten/kota, orang luar juga akan sulit terpilih. Contoh, orang Kecamatan Ngabang Kabupaten Landak mengadu nasib di Dapil 2 Kecamatan Sengah Temila-Sebangki akan sulit terpilih. Tentulah orang di dua kecamatan itu lebih memilih orangnya sendiri ketimbang orang luar.
Saya tertarik dengan sebuah ungkapan, “Kalau ade orang kitte, ngape pileh orang lain. Pilehnya orang kitte sendiri” Saya ketemu ungkapan itu di sebuah baliho milik seorang caleg di Dapil Pontianak Kota. Saya perkirakan maksud caleg tersebut bertujuan mengajak orang untuk memilih caleg yang berasal dari Pontianak Kota. Bisa juga saya artikan, ungkapan itu mengajak orang Pontianak Kota untuk memilih berdasarkan etnis dan agama. Banyak etnis minoritas di Kota Pontianak yang menempati posisi nomor satu. Dengan ungkapan itu, ingin menyadarkan etnis mayoritas untuk memilih caleg yang berasal dari etnisnya sendiri. Ini adalah sebuah fenomena dan efek dari sistem suara terbanyak. Isu etnis, putra daerah dan agama akan menjadi komoditas politik yang tidak bisa dihindarkan. Dalam kondisi ini, isu pembangunan tidak akan laku. Orang pasti bertanya, caleg itu dari mana, etnis yang apa, agamanya apa?
Dua hari lalu saya bertemu kawan satu angkatan saat masih kuliah. Sekarang dia adalah seorang caleg di Kabupaten Pontianak. Ketika mendengar keputusan MK itu, dia bukannya senang, malah sedikit emosi. Maklum kawan saya itu adalah caleg nomor satu, tapi Dapil yang dipilihnya adalah Kabupaten Pontianak. Sementara dia sendiri orang Pontianak. Anak dan istri serta keluarga besarnya ada di Kota Pontianak. Dia menyadari keputusan MK itu tidak menguntungkan baginya. Dia sadar peluang untuk terpilih akan sangat kecil. Padahal, sebelum ada keputusan MK itu, dia sangat bersemangat.
“Terus terang, dengan adanya keputusan MK itu, semangat saya menjadi turun. Apa yang bisa saya harapkan, tidak ada lagi. Sebab, peluang untuk duduk tidak lagi nomor satu, melainkan nomor urut berapa saja, peluangnya sama,” kesal kawan saya itu sambil mengisap rokok mild-nya.
“Kalau saya orang Mempawah mungkin masih ada harapan. Sementara saya orang Pontianak, di mana keluarga besar juga semuanya ada di Kota Pontianak. Peluang orang memilih saya paling dari kawan dekat saja. Saya jadi malas untuk turun ke Mempawah lagi,” tambah kawan saya itu.
Dalam posisi seperti ini juga, kekuatan uang juga tidak lagi begitu menentukan. Memang, uang memegang peranan penting, tapi bukan segalanya. Orang luar walaupun duitnya melimpah akan sangat sulit dipilih warga. Jadi, caleg yang berpeluang besar untuk terpilih syaratnya, putra asli dari Dapil yang dipilihnya, memiliki track record baik di tengah masyarakat dan memiliki banyak uang. Jika tiga syarat ini dimiliki seorang caleg, saya yakin dia akan terpilih. Apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, akan sulit terpilih. Duit banyak, tapi jelek di mata masyarakat, tidak akan dipilih. Bagus di mata masyarakat, tapi tidak memiliki uang, hanya pandai “jual kecap” saja juga sulit dipilih. Memiliki uang, track record bagus, tapi orang luar, juga dipertimbangkan orang untuk tidak dipilih.
Imbas kedua, partai akan menjadi “barang rongsokan”. Maksudnya, menjadi pengurus partai tidak lagi diperebutkan orang. Dengan sistem suara terbanyak, banyak partai ditinggalkan pengurusnya. Buat apa capek-capek ngurus partai, toh… akhirnya peluang untuk menjadi wakil rakyat sangat kecil. Hampir tidak ada bedanya pengurus partai dengan yang bukan. Ke depan orang cukup menjadi anggota partai politik, tidak mau menjabat ketua atau sekretaris. Sebab, antara anggota dan ketua sama-sama memiliki peluang sama untuk terpilih sebagai wakil rakyat. Dengan menjadi anggota, bisa konsentrasi penuh untuk melakukan pendekatan dengan masyarakat. Sementara ketua partai, sibuk ngurus partai yang kadang-kadang penuh intrik dan konflik, sehingga semakin jauh dengan masyarakat.
Imbas ketiga, ini soal keterwakilan 30 persen di legislatif. Dengan adanya keputusan MK, seolah-olah menghapus undang-undang yang mengharuskan setiap partai mengajukan 30 persen caleg perempuan. Dengan demikian, peluang caleg perempuan yang berada di nomor satu, menjadi tidak berarti. Saya perkirakan, dengan keputusan MK itu, perempuan yang menjadi Dewan sangat sedikit. Apalagi banyak caleg perempuan yang dipaksakan daftar sekadar memenuhi syarat partai. Tentulah caleg perempuan seperti ini memiliki peluang kecil dibandingkan lawan jenisnya.
Inilah dunia politik kita. Setiap lima tahun selalu ada hal baru. Kadang-kadang hal baru itu mengejutkan. Saya hanya menggarisbawahi bahwa Pemilu untuk memilih wakil rakyat. Yang memilih di sini adalah rakyat. Rakyat pasti memilih orang yang dekat dengan mereka. Lakukan pendekatan yang baik pada masyarakat sekaligus berikan pencerahan politik pada mereka. (rosadi@equator-news.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar