Jumat, 16 Januari 2009

Kejujuran

Rosadi Jamani
Pejabat atau aparat pemerintah bermental jujur sepertinya sangat langka. Kata orang, sangat sulit mencari orang jujur saat ini. Kalau mencari orang penipu, pembohong, pembual, penilep sangat mudah. Itu sebabnya, lembaga hukum seperti kejaksaan gencar menumbuhkembangkan kejujuran di kalangan pelajar dan aparat pemerintah. Sebagai contoh, didirikannya kantin kejujuran. Pendirian kantin tersebut untuk mengecek sekolah atau instansi pemerintah apakah banyak ditemukan orang jujur atau tidak.
Untuk mengukur kejujuran ala kejaksaan adalah dengan menggelar dagangan dalam sebuah kantin. Di dalam kantin itu tidak ada penjaga atau pengawas. Orang mau belanja tinggal ambil dan membayar cukup memasukkan uang yang telah disediakan. Bagi orang yang jujur mengikuti aturan main di dalam kantin itu. Sementara yang tidak jujur, mengabaikan aturan. Barang dagangan diambil, lalu dia tidak menaruh uang di tempat yang ditentukan. Dia keluar dari kantin lalu menyantap barang yang diambil itu tanpa rasa bersalah. Bahkan, dia bisa tertawa terbahak-bahak di hadapan temannya. Mungkin dia menyatakan rasa bangga telah mengambil barang di kantin tanpa membayar. Maklum, tidak ada penjaga dan pengawas. Inilah gaya mendidik kejujuran dilakukan kejaksaan.
Kita ingin bertanya, apakah si penyelenggara (kejaksaan) itu sudah jujur? Apakah para jaksa yang menuntut para penjahat, koruptor, penipu sudah jujur? Hanya pihak kejaksaan sendiri bisa menjawab. Sementara masyarakat walaupun tidak bisa menjawab secara pas, tapi bisa memberikan penilaian terhadap kinerja kejaksaan. Masyarakat bisa menilai seperti apa sepak terjang selama ini. Kasus penyegelan Kantor Kejaksaan Negeri di Sanggau 5 Desember 2008 lalu, apakah itu buah dari kejujuran atau sebaliknya?
Kata orang lagi, jangan mendidik orang jujur kalau kita sendiri tidak jujur. Jujur itu lahir dalam hati. Kalau hati kotor, penuh keserakahan, penuh ambisi, sangat sulit menerapkan kejujuran. Jujur itu tertanam lewat sebuah kesadaran panjang. Kesadaran itu bisa dari mengamalkan nilai agama. Bisa juga kesadaran dari keprihatinan sosial. Kalau jujur di manapun dia berada tetap jujur. Ditaruh di jabatan basah atau kering tetap jujur. Sebaliknya, kalau orang atau aparat bermental penilep (tidak jujur) di manapun dia diletakkan, walaupun pengawasan super ketat, dia pasti mencari akal untuk melakukan penilepan. Sebagai contoh, di Departemen Hukum dan HAM di Jakarta, pembuat hukum, orang di dalamnya paham betul sangsi hukum, tetap saja banyak ditemukan penilep uang rakyat. Bank Indonesia (BI) yang pengawasan keuangannya super ketat, tetap saja bisa ditilep oleh orang-orang tidak jujur. Kejaksaan sendiri yang menganjurkan kejujuran, justru banyak jaksa tingginya dijebloskan ke penjara. Para penilep itu tahu betul apa akibat dari menilep uang suap, menilep uang rakyat. Mereka juga tahu ada pengawasan ketat terhadap uang negara. Tapi, itu semua diabaikan. Yang ada di otaknya adalah kekayaan dan kemewahan. Kata penilep, jujur hanya membuat hidup miskin.
Kita memang apresiasi kepada kejaksaan yang berusaha menanamkan kejujuran. Alangkah apresiasinya kita lagi, kalau kejujuran itu dimulai dari kejaksaan sendiri. Jangan orang diminta jujur, sementara di dalam kejaksaan sendiri justru tidak ditemukan kejujuran. Sebab, selama ini belum ada jaminan jaksa bebas dari praktik suap. Kita juga mendapatkan jaminan setiap kasus korupsi melibat pejabat tinggi diproses secara serius. Kita juga belum mendapatkan garansi bahwa orang-orang yang ada di kejaksaan jujur.
Walaupun sulit mencari orang jujur, tapi bukan berarti tidak ada lagi orang jujur. Kita yakin orang yang bekerja di kantor pemerintah dan swasta ada yang jujur. Memang, orang-orang jujur kebanyakan tidak menonjol kariernya. Mereka lebih senang hidup apa adanya. Bagi orang jujur, buat apa sebuah kemewahan dan kemegahan nama kalau itu didapat dari sebuah konspirasi kotor, sebuah korupsi berjemaah, hasil sikut sana sikut sini. Orang jujur biasanya tersisih. Lebih enak makan hasil keringat sendiri dari pada makan hak orang lain.
Kita yakin masih ada orang jujur. Penjahat kelas kakap saja butuh orang jujur. Untuk mengamankan hasil jerih payah menjahati orang itu pastilah dipegang orang jujur (bendahara). Coba kalau bendaharanya tidak jujur, bisa-bisa hasil kejahatannya amblas. Mari kita jujur dimulai dari diri sendiri. Jika kita sudah jujur pada diri sendiri, barulah mengajak istri, anak dan orang lain untuk jujur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar