Sabtu, 24 Januari 2009

Modus Operandi Menguras Kocek Caleg

Oleh Rosadi Jamani
Sistem suara terbanyak membuat sebagian besar calon legislatif (caleg) memiliki semangat 45 menarik simpati pemilih. Apa saja dipertaruhkan demi sebuah kursi empuk di lembaga legislatif. Kuatnya tekad calon wakil rakyat ini mendapatkan kursi empuk itu, dijadikan sejumlah orang untuk meraih keuntungan.
Pada Kamis, 15 Januari lalu, saya ingin ketemu kawan-kebetulan anggota Dewan-di Kantor DPRD Kalbar. Di gedung megah itu, saya harus menunggu kawan itu, karena dia ada sedikit kesibukan. Ketika menunggu, saya menemui dua orang warga berasal dari salah satu desa di Kabupaten Kubu Raya. Salah satu warga itu membawa map. Keduanya juga sedang menunggu anggota Dewan yang juga caleg. Iseng-iseng saya bertanya kepada mereka, kira-kira apa tujuan ketemu anggota Dewan.
“Kami mau nyerahkan proposal untuk pembangunan gang. Kami ingin ketemu Bapak…. (maaf tidak disebutkan nama Dewan). Kami ingin ngajukan proposal ini, mudah-mudahan beliau bantu,” jawab warga itu sambil menunjukkan map merah.
Saya bertanya kembali, kenapa harus anggota Dewan itu yang diajukan proposal? Mereka menjawab, karena Dewan itu adalah caleg daerah pemilihan (dapil) daerah mereka. Sangat wajar apabila mereka minta bantuan pembangunan gang kepada Dewan itu.
“Sekalian kami menguji, apakah Dewan itu mau berkorban untuk desa kami atau tidak. Apabila tidak nyumbang, kami satu desa akan rekomendasikan dia untuk tidak dipilih. Cari lagi caleg lain di dapil kami. Kalau satu caleg bisa nyumbang lima sak semen saja, gang kami pasti segera dibeton. Sementara caleg di dapil kami jumlahnya lebih dari 50 orang,” papar mereka.
Fakta tersebut menceritakan sebuah modus operandi masyarakat untuk menguras kocek caleg. Masyarakat sangat pandai memanfaatkan momen menjelang Pemilu untuk mendapatkan sumbangan dari caleg. Dalam kasus seperti itu, caleg manapun akan luluh dan pasti memberikan sumbangan. Kecuali, caleg itu memang pesimis menang di Pemilu nanti. Bagi caleg yang optimis menang, permohonan seperti itu pasti dikabulkan. Lalu, dikelola dengan baik. Maksudnya, ketika memberikan bantuan semen, dilakukan lewat sebuah acara khusus di desa tersebut dengan mengundang seluruh masyarakatnya.
Cara tersebut lazim dilakukan. Kadang caleg sangat bising yang namanya proposal tersebut. Salah satu bentuk kebisingan caleg, ganti nomor hand phone atau tidak ngangkat panggilan yang namanya tidak terekam, tidak mau terima tamu yang tidak dikenal. Dulu, sangat mudah ditemui, tiba-tiba menjadi sulit. Ada saja kesibukan yang dibuat. Caleg seperti ini sangat banyak. Tujuan menghindar dari orang tak dikenal adalah jangan sampai uangnya terkuras. Maklum saja, setiap orang yang ingin bertemu, selalu ujungnya uang. Paling tidak ongkos bensin Rp 20 ribu.
Modus lain, memanfaatkan kedatangan caleg ke dapil. Seorang caleg berkunjung ke salah satu desa. Masyarakat desa itu tahu bahwa kedatangan caleg itu minta dukungan. Ini peluang besar untuk mendapatkan uang. Caleg itu didekati lalu diajak ngobrol di warung atau rumah makan. Di warung itu caleg diyakinkan bahwa warga di desa itu siap memilihnya dengan catatan harus siap nyumbang. Sambil ngobrol, sambil makan sepuasnya, ngambil rokok sebanyak-banyaknya. Dalam kondisi seperti ini, caleg biasanya tidak berdaya, mau saja apa yang dikatakan warga desa itu. Paling sedikit Rp 2 juta bisa melayang ketika itu. Jangan heran apabila banyak caleg enggan masuk ke desa, karena takut “ditodong” seperti itu. Dia akan baru masuk kampung apabila dekat hari H (9 April) untuk melakukan money politic.
Selanjutnya, modus pengerahan massa. Caleg ingin mengumpulkan masyarakat di sebuah balai pertemuan. Maksudnya untuk sosialisasi atau memperkenalkan diri ke masyarakat desa itu. Orang yang disuruh akan memanfaatkan momen ini untuk mencari keuntungan. Diajukanlah dana untuk sewa truk, ongkos bensin, biaya makan, dan lain sebagainya. Dana yang diajukan itu bukan harga sebenarnya. Sewa truk biasanya hanya Rp 300 ribu, menjadi Rp 500 ribu. Begitu juga dengan harga yang lain seperti pemberian ongkos bensin, satu orang dianggarkan Rp 20 ribu, tapi dalam amplop hanya Rp 10 ribu. Sisanya masuk kantong panitia.
Apalagi kalau pengerahan massa itu secara terbuka, makin enak untuk menguras kocek caleg. Semuanya serba uang. Untuk ngangkut warga dari sebuah desa, itu semua harus pakai duit. Sewa truk, yang pakai motor dikasih ongkos bensin, massa yang didatangkan harus dikasih uang dan makan serta baju kaus. Cuma, cara ini sepertinya akan sulit dilakukan dengan sistem suara terbanyak. Caleg lebih memilih melakukan dialogis di kampung-kampung.
Selanjutnya, modus akal bulus tim sukses. Saya contohkan, saat Pilwako Pontianak, ada calon walikota yang memiliki uang lebih dibandingkan calon lainnya. Uang mengalir seperti air dari kantongnya. Seluruh tim sukses dibekali dengan uang puluhan juta serta fasilitas. Dengan harapan, tim sukses ini bergerak merayu masyarakat sampai ke pelosok lurah. Kenyataannya pada saat pengumuman suara, calon yang telah menghabiskan uang miliaran rupiah itu suaranya sangat mengecewakan. Uang yang dikeluarkan tidak sebanding dengan perolehan suaranya. Bahkan, lebih unggul dengan calon yang uangnya pas-pasan. Contoh ini memperlihatkan bahwa yang sukses bukan calon, melainkan tim suksesnya.
Modus serupa banyak terjadi dengan caleg yang memiliki tim sukses. Di hadapan caleg, tim sukses ngomongnya meyakinkan, siap merayu pemilih dalam jumlah ribuan. Dengan catatan, caleg harus menyiapkan uang dalam jumlah besar. Seluruh ongkos mulai dari uang bensin, rokok, uang saku, uang pulsa, uang makan, dana operasional turun ke kampung, dan sebagainya harus disiapkan. Begitu uang didapat, dalam pikiran tim sukses, bagaimana uang tersebut masuk kantong terlebih dahulu. Sisanya, baru ke pemilih. Kepada caleg, jangan terlalu percaya dengan apa yang dikatakan tim sukses. Apalagi kalau itu menyangkut uang.
Itulah sejumlah modus operandi masyarakat menguras kocek caleg. Mungkin masih banyak cara lain, tapi secara umum seperti itulah gambarannya. Menjelang Pemilu 9 April yang tinggal 75 hari lagi merupakan momen paling empuk untuk menguras kocek caleg. Masyarakat yang pandai memanfaatkan momen ini pasti akan mendapatkan keuntungan melimpah. Dalam situasi ini juga caleg akan mudah dirayu. Biasanya pelit, dalam situasi ini caleg biasanya menjadi orang pemurah. Dulu, sangat sulit traktir makan, sekarang ajak saja makan di rumah makan atau restoran ternama, pasti mau. Dulu, tidak pernah ngasih uang bensin, sekarang tiba-tiba dengan mudah merogoh koceknya mengeluarkan lembaran Rp 20 ribu sampai Rp 50 ribu. Dulu, tidak pernah nyumbang, sekarang tiba-tiba menjadi orang dermawan.
Cuma, saya hanya sedikit memberikan nasihat khususnya kepada caleg, kalau nyumbang itu untuk keperluan masyarakat banyak, seperti pembuatan jalan, jembatan, rumah ibadah, tidak ada salahnya untuk diakomodir. Dari pada membuat baliho atau atribut kampanye dengan uang puluhan juta, yang manfaatnya tidak dirasakan masyarakat, lebih baik mengakomodir sumbangan untuk kepentingan umum. Kalau pun tidak duduk di kursi empuk dewan, paling tidak sumbangan itu telah membantu masyarakat. Dan, masyarakatpun pasti selalu mengenang caleg itu dengan image positif. (Silakan komentari lewat email: rosadi@equator-news.com atau ke http://renunganpelangi.blogspot.com)

1 komentar: