Jumat, 16 Januari 2009

Takut Bertepuk Sebelah Tangan

Rosadi Jamani

Kisah tragedi pembantaian lima warga Balai Karangan Sanggau oleh Polis Diraja Malaysia (PDRM), belum berakhir. Sejumlah lembaga sudah bangun dari tidurnya. Berbagai macam reaksi muncul. Ada bereaksi dengan penuh emosional, marah-marah, memaki-maki bahkan kabarnya ada yang melakukan sweeping terhadap warga Malaysia.
Ada juga bereaksi dengan mengedepankan rasional dengan cara melakukan diplomasi. Meminta keterangan resmi dari pihak Konsulat Malaysia terhadap kronologis peristiwa tersebut. Melakukan upaya hukum dengan melakukan identifikasi motif pembunuhan. Tapi, ada juga bereaksi biasa-biasa saja, tidak peduli. Bodo amat!
Semakin hari aksi tersebut semakin menaikkan emosi sejumlah elemen masyarakat Kalbar. Anehnya, pihak Malaysia tidak bereaksi. Bahkan, pemerintah Indonesia secara kenegaraan juga demikian. Atau, jangan-jangan malah tidak tahu atau tidak mau tahu. Rakyat Kalbar yang mulai emosi itu jangan-jangan dipandang sebelah mata atau dianggap angin lalu.
Seandainya, rakyat Kalbar marah dengan menangkapi warga Malaysia berkeliaran di Pasar Sudirman atau mal-mal di Pontianak, atau lagi asyik ngurus kebun kelapa sawit. Mereka yang ditangkap dijadikan sandera dengan jaminan pemerintah Malaysia harus minta maaf. Atau menyekap warga Malaysia agar pemerintahan mau bertanggung jawab terhadap insiden itu. Kemudian, hubungan kedua negara tegang, terjadilah penutupan kedutaan dan konsulat kedua negara.
Atau, lebih seru lagi terjadilah ketegangan militer di kedua negara. Malaysia mengerahkan ribuan tentaranya di perbatasan Entikong, Jagoi Babang, Sajingan, Badau, Senaning. Mereka siap siaga dengan peralatan perang canggihnya. Demikian juga tentara Indonesia dikerahkan di perbatasan dengan segala peralatan tempur. Tinggal menunggu komando Jakarta, akan terjadi perang terbuka.
Lalu, apa yang diharapkan dari situasi tegang seperti itu. Apa yang bisa dinikmati rakyat Kalbar apabila memang terjadi ketegangan kedua negara. Jangan-jangan yang malah rugi besar adalah kita sendiri. Sementara pihak Malaysia tetap tersenyum. Kalau ada pihak yang dirugikan, mungkin tidak seberapa. Buntut dari persoalan itu, akan ada ribuan tenaga kerja asal Kalbar yang akan dipulangkan. Itu artinya bencana sosial siap menimpa Kalbar. Belum lagi kerugian bisnis dari ribuan orang pedagang asal Kalbar yang telah lama menjalin perdagangan dengan Sarawak. Apakah kita siap menghadapi bencana sosial itu?
Sementara dari pihak Sarawak yang tidak terlalu menggantungkan diri pada Kalbar, pasti tetap tenang. Mereka bisa dengan mudah menjalin kerja sama dengan negara lain. Kalau pintu lintas batas ditutup, justru yang banyak dirugikan adalah rakyat Kalbar sendiri, bukan dari negeri jiran itu.
Tapi, itu hanya sekadar seandainya. Alhamdulillah, itu belum terjadi. Tidak ada ketegangan militer. Tidak ada ketegangan diplomatik. Tidak ada ketegangan yang mengancam renggangnya hubungan RI-Malaysia. Mudah-mudahan itu tidak terjadi.
Kita memang prihatin terhadap aksi penembakan itu. Namun, keprihatinan kita tidak lantas harus menutup akal sehat. Pasti ada cara elegan dan terhormat untuk menyelesaikan persoalan yang sarat dengan emosi itu.
Kita tidak ingin gara-gara persoalan ini justru mengorbankan kepentingan yang lebih besar lagi. Silakan tim kuasa hukum atau para diplomat kita untuk menyelesaikannya. Jika kasus itu memang sarat dengan rekayasa, atau murni aksi kriminal, biarkan pemerintah menyelesaikannya. Tidak perlu ada elemen lagi (organisasi kemasyarakat-ormas) yang menjadi pahlawan kesiangan. Tidak perlu aksi elemen lain yang senang mengobarkan perang. Kita tidak perlu meragukan upaya pemerintah atau tim kuasa hukum korban untuk menyelesaikan kasus ini.
Kita hanya berharap pihak PDRM minta maaf dan memenjarakan aparatnya apabila penembakan itu memang salah. Serta, berjanji tidak melakukan perbuatan itu lagi. Namun, jika aksi itu memang murni sebagai perbuatan kriminal, kita juga harus legowo. Di negara manapun, aksi kriminal tidak bisa dibenarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar