Rosadi Jamani
Jenis banjir itu beraneka ragam. Ada banjir karena hujan. Ada banjir karena air pasang (rob). Banjir banding, banjir kiriman, banjir tahunan, dan sebagainya. Semua itu tidak mengenakan bagi siapapun. Perlu dicatat, tidak ada satupun manusia bisa mengadang atau menunda atau menstop datangnya banjir. Teknologi apapun tidak akan mampu menghentikan banjir.
Cuma, kita tidak bisa melupakan pepatah orang tua kita dulu, jika takut banjir jangan buat rumah di pinggir sungai. Jika takut pasang laut, jangan buat rumah di tepi pantai. Pepatah ini umurnya sudah ratusan tahun, namun ada baiknya kita mengingat kembali makna di balik ungkapan tersebut.
Ungkapan itu mengandung perintah implisit agar kita jangan membuat rumah yang sudah pasti di daerah itu kena banjir (dataran rendah). Kalaupun masih nekat ingin membuat rumah di dataran rendah, harus dipikirkan seperti apa bentuk rumah agar tidak kena banjir. Coba perhatikan rumah zaman dulu, pasti tinggi tongkatnya. Bahkan, kolong rumah bisa untuk anak-anak bermain atau melakukan aktivitas keluarga. Itu artinya, orang dulu benar-benar mengamalkan pepatah tersebut.
Saat ini, banyak orang justru tidak mengindahkan pepatah tersebut. Senang membuat rumah di pinggir rumah dengan konstruksi minimalis. Dia tahu bahwa di pinggir sungai itu sangat rawan banjir, tapi konstruksi rumahnya sama dengan rumah di dataran tinggi. Rata-rata tongkat rumah di pinggir sungai tingginya antara satu sampai dua meter. Sementara banjir bisa mencapai empat meter atau lebih. Ketika air bah muncul, hanya bisa pasrah. Di balik kepasrahan itu semestinya otak berfungsi, bagaimana tahun depan tidak kena banjir lagi.
Harus diingat, bencana sebenarnya bisa melahirkan teknologi bagi manusia yang berpikir. Banyak teknologi yang telah diciptakan manusia terispirasi dari bencana. Sebagai contoh, bencana gempa bumi melahirkan teknologi rumah tahan gempa. Tsanami banyak melahirkan ilmuwan yang bisa mendeteksi gelombang laut raksasa itu. Banjir melahirkan berbagai teknologi kapal, pembuatan bendungan. Tanah longsor melahirkan ilmu pembuatan konstruksi jalan yang tahan longsor. Tidak hanya melahirkan teknologi, melainkan juga ilmu. Itu untuk mereka yang mau berpikir.
Kembali ke persoalan bencana banjir yang sering terjadi. Coba perhatikan, kebanyakan banjir itu menimpa daerah yang pemukimannya rendah. Lihat lagi lebih dekat, kebanyakan rumah di daerah yang rendah itu, tongkat rumahnya antara satu sampai dua meter saja. Bahkan, ada yang setengah meter dari permukaan tanah. Kalau ditimpa banjir, siapa yang mesti disalahkan. Apakah Tuhan yang ada di sana?
Perlu juga diingat, setiap bencana itu bukan serta merta itu murka dari Tuhan. Bisa saja itu adalah hasil dari perbuatan manusia juga. Dalam agama Islam, Allah mengatakan, telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan ulah tangan manusia. Jangan dikira setiap bencana itu muncul dari Tuhan, tapi tolong dicek, apa penyebab bencana itu muncul.
Kalau dikatakan banjir disebabkan oleh manusia, orang pasti mengatakan iya. Kalau dikatakan banjir pasang (rob) yang menghantam daerah pesisir disebabkan manusia, orang pasti mengatakan, benar. Semua bencana disebabkan oleh ulah manusia. Kenapa harus manusia? Lantas siapa lagi yang pantas disalahkan, apakah para binatang? Jelas tidak mungkin.
Jika bencana itu disebabkan manusia, berarti manusia juga yang dapat mengatasi banjir itu. Caranya, cari sumber banjir itu. Hutan yang menjadi penyerap air hujan banyak dibabat mesti direhabilitasi dan dihijaukan kembali. Banjir pasang (rob) yang diakibatkan pemanasan global mesti dilawan dengan menghentikan efek rumah kaca, menghilangkan emisi dengan cara penghijauan.
Kemudian, bagi yang membuat rumah di dataran rendah, lebih baik pindah ke dataran tinggi, atau membangun kembali rumah dengan tongkat lebih tinggi. Kita berharap, bencana yang melanda di sejumlah daerah di Kalbar itu bisa membuat kita berpikir. Bukan membuat kita pasrah.*
Jumat, 16 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar