Oleh Rosadi Jamani
Suara terbanyak dalam menentukan calon legislatif (caleg) duduk di kursi Dewan masih asyik untuk dibahas. Soalnya, mulai Januari ini seluruh caleg mulai start serius melancarkan aksi simpatik ke masyarakat. Mereka mulai berlomba-lomba tebar pesona. Lihat saja aksi pemasangan baliho yang memampang wajah caleg, hampir tidak ada lagi tempat kosong yang luput dari tempelan wajah calon wakil rakyat. Ada foto caleg dengan setelan jas eksekutif, padahal mungkin baru kali itu si caleg memakai setelan jas itu. Caleg seperti itu ingin menggambarkan dirinya seorang caleg yang hebat, intelek dan orang hebat.
Ada juga foto caleg dengan songkok putih, pakai serban dan baju Muslim. Dia ingin menggambarkan bahwa dia adalah seorang religius yang dekat dengan Tuhan. Dekat dengan Tuhan berarti dekat juga dengan rakyat. Ada juga begaye dengan kepalan tangan kanan ke atas. Caleg ini ingin menggambarkan dirinya orang yang tegas dan siap memberantas segala ketidakadilan. Ada juga dengan begaye bak foto model (caleg perempuan), mirip seperti artis. Mukanya berseri dengan resolusi foto tingkat tinggi. Caleg perempuan ini menggambarkan dirinya sebagai sosok yang cantik tapi penuh perhatian dengan rakyat.
Ada juga begaye biasa-biasa saja. Baju kaus, redup mata seperti orang baru berfoto, ekspresi wajah serius. Caleg ini ingin menggambarkan dirinya sebagai sosok caleg yang sederhana tapi merakyat. Ada juga begaye dengan pakaian dinas partainya. Sepertinya caleg ini ingin mengajak kader dan simpatisan partai memilih dirinya.
Belum lagi simbol yang ditampilkan ikut memberikan gambaran khas soal foto caleg di baliho itu. Ada menampilkan simbol bahasa etnis, sebagai contoh, “Kalau ade orang kite, ngape pileh orang lain” Kata ini ingin mengajak etnis Melayu memilih dirinya yang berasal dari Melayu. Begitu juga etnis Tionghoa, selalu menampilkan simbol tulisan Tionghoa. Demikian juga etnis Dayak, banyak menampilkan simbol etnisnya. Belum lagi simbol agama juga dibawa-bawa. Bahkan, ada caleg tega menjadikan ayat Kursi sebagai bahan kampanye. Ayat Kursi yang cukup sacral bagi umat Islam ditata sedemikian rupa, lalu di tengahnya foto caleg dengan berpakaian jas dan memakai peci hitam.
Itu semua buah dari sistem suara terbanyak atau proporsional terbuka murni. Persaingan politik sudah tidak lagi antar partai, melainkan antar caleg. Bahkan, sesama internal partai, calegnya akan bersaing sekuat tenaga, belum lagi dengan caleg partai lain. Bisa dipastikan, Pemilu legislatif yang digelar April depan akan seru dan mendebarkan. Semua caleg pasti all out atau habis-habisan, mengeluarkan seluruh jurus yang dimiliki, termasuk jurus duit.
Tiga hari lalu, saya bertemu dengan kawan di salah satu apotek di Jalan Tanjungpura Pontianak. Kawan saya itu kebetulan anggota Dewan salah satu daerah di Kalbar. Sekitar setahun saya tidak pernah dengan kawan itu. Begitu ketemu, kami sempat kangen-kangenan, bercerita soal aktivitas kerja dan keluarga.
Karena dia seorang Dewan, saya menanyakan bagaimana menghadapi Pemilu 2009, apakah menjadi caleg lagi? “Saya tetap maju di Pemilu 2009 ini. Cuma, saya sekarang sudah pindah partai, tidak lagi partai yang telah mengantarkan saya menjadi Dewan,” jawab kawan saya itu.
“Partai yang lama sudah tidak lagi memakai saya, terpaksa pindah partai. Kebetulan ada kawan sesama Dewan dengan partai berbeda menawarkan saya posisi yang bagus, lalu saya terima. Jadi, sekarang saya menjadi caleg dengan nomor urut satu,” tambahnya.
Saya bertanya, apakah bisa terpilih lagi menjadi Dewan? Kawan saya itu ragu, dan merasa tidak optimis bisa kembali terpilih. Dia merasakan, Pemilu 2004 dengan 2009 sangat jauh berbeda. “Kalau masih menggunakan nomor urut, saya optimis terpilih. Tapi, dengan suara terbanyak, saya menjadi pesimis,” katanya.
Kenapa pesimis, Dewan-kan banyak duitnya? “Kata orang memang demikian, Dewan banyak duit. Tapi, orang tidak tahu seperti apa kebutuhan Dewan. Duitnya memang banyak, tapi kebutuhannya jauh lebih banyak lagi,” jawabnya.
“Pada Pemilu 2004 lalu, saya menyiapkan sekitar Rp 150 juta. Syukur bisa terpilih, itu karena saya dapat nomor urut satu. Pemilu 2009 ini, tidak bisa lagi Rp 150 juta, itu terlalu kecil. Bisa Rp 200 juta lebih untuk bisa duduk menjadi Dewan, dan itupun belum bisa dijamin walaupun saya berada di nomor urut satu,” ceritanya.
Hal yang tidak dijadikan jaminan adalah pilihan masyarakat yang tidak bisa ditebak. “Masyarakat kadang di depan kita sangat manis, siap memilih saat Pemilu. Sikap manis warga itu hanya untuk mendapatkan duit dari kita. Saya pernah nyumbang semen untuk pembangunan gereja di sebuah desa. Kalau diuangkan, semen itu harganya mencapai Rp 2 juta. Saya sumbang dengan harapan warga di desa itu paling tidak separuh memilih saya. Ternyata, saat penghitungan suara, hanya dua orang memilih saya. Saya berpikir, berarti Rp 1 juta sama dengan satu suara,” kisah kawan saya itu.
Walaupun dia bisa duduk menjadi Dewan, itu karena bantuan dari caleg yang berada di bawahnya. “Saya bisa duduk menjadi Dewan karena bantuan suara dari kawan-kawan caleg di bawah. Padahal, saya hanya mendapatkan 234 suara saja. Karena, saya nomor urut satu, jadi suara caleg di bawah digabungkan dan akhirnya menjadikan saya seorang legislator. Sementara Pemilu 2009 menggunakan suara terbanyak, saya menjadi pesimis. Soalnya, semua caleg memiliki peluang sama,” ulasnya.
Kalau diperhatikan, orang sekelas anggota Dewan saja tidak pede bisa kembali memenangkan pertarungan di Pemilu 2009, apalagi caleg yang modal pas-pasan atau modal nekat. Apalagi caleg yang hanya pandai tebar pesona di perempatan jalan atau di sepanjang pinggir jalan. Di sini juga mengindikasikan bahwa untuk bisa menduduki kursi caleg membutuhkan perjuangan keras, tidak bisa asal-asalan.
Seorang caleg mulai Januari ini tidak bisa lagi santai atau ongkang-ongkang kaki di rumah. Semua harus turun ke lapangan untuk mendekati dan mendapatkan kepercayaan masyarakat. Jika masih ada yang nyantai, tidak mau turun menyambangi masyarakat, atau masih asyik ngopi di warung kopi, jangan berharap bisa dipilih masyarakat. Sebab, caleg yang sungguh-sungguh berjuang untuk merebut simpati warga saja belum bisa dijamin menjadi legislator, apalagi yang hanya berpangku tangan.
Menaklukkan hati masyarakat sangat sulit untuk diprediksi. Apalagi di saat sekarang ini, masyarakat semakin cerdas dan sangat sulit dipengaruhi dengan materi (uang, baju kaus). Apalagi kalau hanya sekadar pemasangan baliho di pinggir jalan. Bahkan, masyarakat akan memanfaatkan momen Pemilu ini untuk meraup keuntungan. Mereka bisa saja menjual hak suaranya ke sejumlah caleg untuk mendapatkan uang. Satu per satu caleg didatangi untuk menawarkan suara dengan kompensasi uang. Satu caleg bisa didapatkan Rp 100 ribu atau lebih, tentu sebuah keuntungan. Apalagi kalau 10 caleg atau 20 caleg, bisa mendapatkan uang lebih banyak lagi.
Untuk merebut hati masyarakat tidak bisa lagi “jual kecap” . “Saya siap memperjuangkan aspirasi bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian. Saya berjanji tidak akan korupsi, saya berjanji untuk memperjuangkan jalan aspal di kampung kita,” teriak seorang caleg. Setelah menebar janji itu, lalu permisi dengan hormat kepada masyarakat dan berpesan untuk memilih dirinya pada 9 April. Hanya permisi saja, tidak memberikan kompensasi berupa materi kepada masyarakat, pasti masyarakat itu akan mencibir. “Walah, datang-datang hanya janji saja. Kalau hanya janji, kami sudah bosan. Kalau datang ke kampung ini, mestinya bagikan baju kaus atau nyumbang semen untuk masjid,” cibir masyarakat.
Suara terbanyak membuat seluruh hidup caleg semakin hidup. Apalagi kalau caleg itu putra asli daerah dari Daerah Pemilihan (Dapil)-nya. Sebab, peluang untuk terpilih sangat besar. Caleg putra asli daerah ini akan semakin hidup. Kecuali caleg itu orang luar atau dari etnis minoritas di Dapil itu. Misalnya, di Dapil 1 didominasi etnis A, yang berpeluang menjadi Dewan di Dapil itu pastilah caleg dari etnis A. Sementara etnis B yang minoritas, akan sulit mendapatkan suara dari etnis A yang mayoritas.
Dengan suara terbanyak tersebut, tidak ada lagi orang luar yang mewakili Kalbar di Senayan. Tidak ada lagi orang Pontianak yang mewakili Kabupaten Sambas di DPRD Kalbar. Tidak ada lagi orang Ngabang yang mewakili Kecamatan Sengah Temila di DPRD Landak. Semua akan mewakili daerahnya masing-masing. Saatnya bagi caleg untuk bergerilya untuk menaklukkan hati warganya sendiri. (rosadi@equator-news.com)
Jumat, 16 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar