Jumat, 16 Januari 2009

Tunjukkan Sikap Siap Kalah

Rosadi Jamani
Biasanya, para kandidat yang bertarung di even pemilihan kepala daerah (Pilkada) membuat kesepakatan siap kalah dan siap menang saat dimulainya kampanye. Dengan penuh percaya diri para kandidat itu meneken kesepakatan di atas prasasti. Penandatanganan prasasti itu disaksikan seluruh pendukung dan masyarakat. Semua yang hadir menyaksikan penandatanganan itu optimis Pilkada berjalan lancar. Soalnya, semua sudah berkomitmen siap kalah dan siap menang.
Tapi, begitu Pilkada berlangsung, komitmen ternyata banyak kandidat tidak siap kalah. Padahal, pada saat penandatanganan prasasti dengan gagahnya mengatakan, siap kalah. Kalau yang menang, sudah pasti sangat-sangat siap. Yang menjadi persoalan adalah yang tidak siap kalah, justru sering melanggar komitmennya. Anehnya, sudah kalah lalu menyalahkan penyelenggara Pilkada, menyalahkan kandidat menang. Pokoknya, tidak ada pihak yang benar, semua salah di mata orang yang tidak siap kalah itu. Pada akhirnya, komitmen siap kalah dan siap menang saat dimulainya kampanye, mubazir.
Harus diakui, siapapun orangnya dalam sebuah kompetisi sangat berat menerima kekalahan. Apalagi dalam kompetisi itu berlangsung seru dan seimbang. Hanya orang-orang berjiwa besar saja yang siap menerima kekalahan. Tapi, pada umumnya para kandidat dalam momen Pilkada umumnya tidak siap kalah. Sebagai bukti, setelah pencoblosan, tidak ada satupun kandidat kalah mengucapkan selamat kepada yang menang. Sebaliknya, justru mengorek-ngorek kesalahan dari pihak menang untuk digugat. Menggerakkan massa (pendukung) minta Pilkada diulang, atau dinyatakan Pilkada banyak pelanggaran, banyak kecurangan, penuh dengan money politic, dan sebagainya. Padahal, kalau dia dalam posisi menang, apakah juga berbuat demikian. Bahkan, dia diam seribu bahasa dan menyatakan upaya yang dilakukannya untuk meraih kemenangan dengan cara jujur dan sportif.
Kemarin (15/12/08), rakyat Kabupaten Kubu Raya dan Sanggau memilih calon bupati dan wakil bupatinya. Pemilihan itu merupakan putaran kedua. Untuk Kubu Raya, tampil sebagai finalis, pasangan Sujiwo-Okto menghadapi Muda-Andreas. Sementara Sanggau, saling bertarung, pasangan Yansen-Abdullah menghadapi Setima-Paolus. Secara resmi memang belum ada keputusan siapa yang akan memenangkan pertarungan super seru itu. Namun, hitungan-hitungan non formal, sudah bisa ditebak siapa menjadi pemenang di kompetisi panas itu.
Kita berharap, yang pasti menerima kekalahan, ingat dengan komitmen awalnya, siap kalah. Inilah saatnya membuktikan komitmen tersebut. Inilah saatnya menunjukkan sebagai seorang pemimpin yang berjiwa besar. Tidak ada artinya ngotot menyatakan kemenangan yang diraih saingannya penuh dengan kecurangan. Apalagi kalau tuduhan itu hanya dugaan, isu, tapi faktanya tidak demikian. Dari pada ngotot tidak ada hasil, lebih baik mengucapkan selamat atas kemenangan lawan.
Dengan mengakui kemenangan lawan itu jauh lebih terhormat, dari pada kalah justru marah-marah tak tentu pasal. Banyak manfaat apabila kandidat kalah secara terhormat mengakui kemenangan lawan. Sudah pasti, akan terjadi sebuah persahabatan atau kemitraan. Kandidat kalah bisa memberikan dukungan kepada kandidat menang untuk melangsungkan pembangunan. Potensi yang dimiliki kandidat kalah bisa dialihkan untuk membantu si pemenang. Walaupun kalah, tapi masih aktif membangun daerah.
Tapi, lain halnya apabila sudah kalah lalu mencak-mencak menuding si pemenang banyak melakukan kecurangan. Akan terjadi disharmonisasi antara si kalah dan si pemenang. Potensi si kalah sangat sulit untuk disalurkan buat si pemenang. Begitu si pemenang akan gengsi untuk merangkul orang yang tidak menjelek-jeleknya reputasinya. Yang rugi, jelas si kalah. Sudah kalah, banyak kerugian ditanggung, tapi tidak mendapatkan porsi yang luas untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Bisa-bisa karier politiknya tamat alias masuk kotak, karena rakyat tidak lagi bersimpati.
Kita ingin lihat, seperti apa sikap kandidat setelah tahu dia menerima kekalahan. Apakah dia akan mencak-mencak, marah-marah, stress, menjadi orang pemurung, mengucilkan diri, atau bersikap biasa-biasa. Jika ada kandidat seperti itu, berarti dia bukan seorang pemimpin berjiwa besar, dan sangat wajar apabila tidak dipilih rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar