Oleh Rosadi Jamani
Ada nama pejabat penuh dengan deretan titel akademis. Saya contohkan, Ir Rosadi Jamani, SH MH MSi MBA MSc (sengaja pakai nama sendiri agar tidak ada tersinggung). Bagi wartawan, menulis nama pejabat dengan deretan titel itu kadang risih. Risihnya, kalau tak ditulis salah, ditulis takut ada gelar yang ketinggalan. Sebab, ada pejabat yang marah kalau salah satu titel tak ditulis dengan mengatakan, “Kamu tahu ndak, gelar yang didapat itu tidak mudah, butuh waktu dan uang yang besar” Orang marah gelarnya tidak ditulis, tapi apakah dia marah ketika orang mempertanyakan apa relevansi gelar itu dengan jabatan yang dimilikinya?
Fenomena orang mencari gelar akademis sudah marak sejak tahun 2000. Kita masih belum bisa melupakan istilah gelar Gang Siam. Gelar itu bisa dibeli. Cukup dengan uang Rp 12 juta bisa dapat gelar doktor. Pakai wisuda lagi, tuh! Bahkan, si pemilik gelar memiliki foto wisuda yang dipajang di ruang tengah rumahnya. Kenyataannya, dia tidak pernah kuliah, tiba-tiba di depan namanya ada gelar hebat. Kadang marah apabila tidak ditulis gelarnya itu.
Sampai sekarang, fenomena itu belum hilang. Orang masih berbondong-bondong mencari gelar. Cuma, tidak ada lagi Gang Siam. Mereka juga harus kuliah. Untuk mendapatkan gelar S2 di Pontianak orang mesti kuliah setiap Sabtu dan Minggu. Ada juga kuliahnya malam hari. Pesertanya bukan orang biasa. Melainkan para pejabat, anggota Dewan, pengusaha kaya, politisi dan sebagainya.
Dari rumah izin sama istri, mau kuliah ke Pontianak. Tiba di Pontianak, memang ikut kuliah, mendengarkan ceramah dosen di depan kelas. Tapi, dia tidak mencatat hanya mendengar. Ketika dosen memberikan tugas pembuatan makalah, bukan dia yang mengerjakan melainkan orang lain. Dia hanya mengeluarkan uang antara Rp 100 ribu atau lebih untuk satu makalah. Persoalan uang bagi seorang pejabat itu bukanlah masalah. Berapapun harganya satu makalah tidak menjadi persoalan, yang penting tugas selesai.
Habis kuliah, tiba saatnya untuk membuat tesis. Kita ingin bertanya, apakah ada waktu orang sekelas pejabat tinggi membuat tesis yang tebalnya minimal 100 lembar itu? Apakah ada waktu seorang anggota Dewan yang super sibuk untuk membuat karya ilmiah yang memerlukan penelitian mendalam di lapangan? Saya berkeyakinan, 80 persen para pejabat tinggi yang mengambil kuliah S2 di Pontianak ini tidak menulis sendiri tesisnya melainkan ngupah orang lain. Jika demikian halnya, muncul pertanyaan, apa bedanya gelar Gang Siam dengan gelar yang didapatkan dengan kuliah Sabtu dan Minggu itu? Silakan pembaca menyimpulkan. Namun, perlu saya garis bawahi, memang tidak semua para pejabat atau anggota Dewan yang kuliah Sabtu dan Minggu mengerjakan tesis ngupah orang lain. Ada juga yang memang mengerjakan sendiri, tapi jumlahnya sangat minim.
Kebanyakan hanya mengejar gelar, tapi tidak ilmunya. Ada berpendapat, “Untuk apalagi ilmu. Saya sudah tua. Yang saya perlukan adalah gelar. Gelar itu nantinya akan digunakan untuk naik jabatan. Kalau tidak pakai gelar sulit mendapatkan jabatan penting di pemerintahan”. Jadi, gelar yang diincar hanya untuk sebuah jabatan kalau dia seorang pejabat. Kalau dia seorang anggota Dewan, hanya untuk dibilang hebat di mata masyarakat. Kalau dia seorang pengusaha, agar tidak mudah diremehkan oleh siapapun.
Sebenarnya untuk meraih gelar S2 sangat sulit, butuh perjuangan keras. Perjuangan pertama harus lulus TOEFEL (baca tupel), test Bahasa Inggris dengan listening (mendengar), structure (struktur kalimat) dan writing (menulis). Saya pernah mengikuti test ini saat mau kuliah di S2 Untan. Kurang lebih 100-an peserta mengikuti test tersebut. Syukur alhamdulillah, saya dan teman asal Bengkayang lulus test tersebut. Sementara yang lainnya, tidak lulus. Bangga juga bisa lulus tupel yang baru pertama kali saya ikuti. Saya akui test tersebut sangat sulit. Apalagi yang waktu di sekolah Bahasa Inggris-nya angka lima ke bawah, jauh lebih sulit lagi. Bahkan, ada kawan saya waktu test tersebut, kebetulan duduk di depan saya, lebih duluan keluar ruangan, sementara soal belum selesai dibacakan. Soal yang dibacakan lewat tape recorder itu belum selesai, dia sudah keluar duluan. Saya tanya kenapa keluar duluan? “Apa yang mau diisi, semuanya soal saya tidak tahu. Dari pada pusing, lebih baik keluar, toh hasilnya tetap tidak lulus,” kata kawan saya itu. Memang benar, dia tidak lulus. Sekarang, dia telah menyandang gelar S2 dan sama-sama wisudanya.
Kalau secara jujur (ikut prosedur) sangat sulit mendapatkan sertifikat tupel. Anehnya, begitu mendekat ujian tesis, banyak para pejabat yang rata-rata sudah kepala lima mendapatkan sertifikat tersebut. Kenapa saya katakan demikian, karena dia bisa ikut ujian. Untuk bisa ujian tesis harus lulus tufel dulu. Sampai sekarang saya masih berpikir, apakah para pejabat itu benar-benar lulus tufel? Atau, jangan-jangan…. Saya kadang suuzzon (berprasangka buruk). Tapi, ini adalah realitas di perguruan tinggi kita. Saya hanya tidak berharap, jangan sampai ada mahasiswa S2 meraih gelar tidak dengan jerih payahnya sendiri. Saya berharap seluruh mahasiswa, tidak peduli dia pejabat, anggota dewan, pengusaha yang sudah kepala lima (umur di atas 50 tahun) tetap harus diperlakukan seperti mahasiswa lainnya. Mereka harus menulis makalah sendiri, harus mengerjakan sendiri tesisnya. Walau berat, tapi itulah tantangan menuntut ilmu. Ilmu yang didapatkan dengan hasil kerja sendiri jauh lebih nikmat dari pada harus ngupah orang lain. Gelar yang didapat dengan ngupah orang lain, pasti tidak memberikan berkah. Ilmu yang didapat tidak ada pengaruhnya bagi pekerjaan dan orang lain. Jabatan bisa saja didapat dari gelar yang didapatkan, tapi jabatan itu tidak memberikan pengaruh bagi masyarakat.
Kita ingin buktikan, sudah berapa banyak para pejabat yang memiliki gelar panjang. Tapi, apakah gelar itu memberikan pengaruh pada kinerjanya agar lebih baik. Justru banyak pejabat dengan titel panjang itu kualitasnya jauh di bawah orang yang mendapat gelar S1.
Sekitar tiga hari lalu, kawan saya seorang anggota Dewan menelepon. Dia sedikit curhat soal pemerintahan di daerahnya. Dia tidak habis pikir, banyak pejabat di daerahnya memiliki gelar panjang, tapi kualitas kerja bukannya meningkat malah turun. Dia mencontohkan, ngurus RAPBD saja setiap tahun molor. “Ke mana gelar yang panjang itu? Masa’ ngurus RAPBD saja molor setiap tahun!” kata kawan saya itu dengan nada kesal.
“Semestinya, pejabat yang memiliki kelebihan gelar itu mencerminkan kualitas lebih dengan pejabat yang tidak memiliki gelar. Gelar panjang harus memiliki wawasan luas dari orang lain. Orang akan sangat hormat apabila gelar panjang itu dibarengi dengan wawasan luas. Sebaliknya, orang akan menertawai orang memiliki gelar panjang, tapi disuruh berpidato saja tidak bisa, disuruh buat konsep pembangunan saja tak mampu,” ujar kawan yang kebetulan salah satu pimpinan Dewan.
Tulisan ini sebagai ungkapan kekesalan saya terhadap mereka yang mendapatkan gelar tapi dengan ngupah orang lain. Seluruh perguruan tinggi yang menyelenggarakan S2, diminta untuk lebih selektif terhadap pembuatan makalah dan tesis. Bagaimana caranya, tesis yang dibuat itu murni hasil jerih payah sendiri, bukan made in orang lain. Saya lebih setuju, tesis dibuat sendiri walaupun hasilnya jelek, dari pada bagus tapi dibuatkan orang lain dengan harga berkisar Rp 5 sampai 7 juta. Mudah-mudahan lewat tulisan pendek ini bisa menyadarkan saudara-saudara kita yang sedang kuliah untuk tidak membuat karya ilmiah dengan ngupah orang lain.*
Jumat, 16 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar