Jumat, 16 Januari 2009

Susahnya Menjadi Orang Jujur

Oleh Rosadi Jamani

Secara manusiawi, orang pasti sangat senang dengan orang jujur. Apalagi perusahaan, paling senang mempekerjakan orang jujur. Biarlah kemampuan kerja (saat sebelum kerja) jelek, yang penting dia jujur. Tidak ada artinya mempekerjakan orang tidak jujur walau dia memiliki keahlian hebat. Cuma, saat ini sangat sulit mencari orang jujur. Bahkan, sudah langka.
Percayakah anda aparat hukum bekerja jujur ketika memproses para terdakwa? Percayakan anda aparat birokrat bekerja jujur melayani rakyat? Apakah seorang kepala daerah jujur terhadap semua ucapannya? Silakan jawab sendiri.
Pada saat penerimaan CPNS awal Desember 2009 lalu, saya bertemu dengan kawan. Saya tahu kawan saya itu taat beragama. Salat lima waktu tidak pernah tinggal. Istrinya juga seorang salehan, pakai jilbab, aktif di pengajian dan juga seorang guru ngaji. Rumah tangganya selalu diwarnai hal-hal religius. Saat ketemu, dia menceritakan bahwa istrinya sedang test CPNS.
“Saya lagi ngantarkan istri ikut test CPNS,” katanya. Diapun menceritakan apa tujuan istrinya mengikuti test tersebut. Istrinya memang tidak bekerja selama ini, hanya seorang ibu rumah tangga. Sementara kawan saya itu hanya seorang pekerja swasta. Soal gaji memang tidak mencukupi. Apabila istrinya lulus test sebagai CPNS paling tidak ikut meringankan beban keluarga. Dia sangat berharap istrinya bisa lulus.
“Saya berharap istri bisa lulus. Kalau ada channel atau koneksi, tolonglah bantu agar istri saya bisa lulus. Soal harga, saya siap berapa saja yang penting istri saya lulus,” pinta kawan saya itu dengan serius.
Saya kaget dan tidak menyangka kawan itu minta bantuan seperti itu. Saya bilang sama dia bahwa saya tidak memiliki channel atau koneksi yang bisa meluluskan istrinya. Saya hanyalah seorang wartawan yang memang banyak kenalan dengan para pejabat. Tapi, bukan berarti bisa membantu meluluskan peserta test CPNS. Setelah mendengar ucapan saya itu, dia seperti tidak percaya dan kembali menegaskan soal harga.
“Saya serius, nih! Entekan banyak channel dengan pejabat, tolonglah bantu istri saya agar bisa lulus. Berapapun saya siap menyediakannya. Kalau orang berani Rp 20 juta, saya siap di atas itu,” tegasnya.
Sekali lagi saya tegaskan bahwa saya tidak bisa membantu. Persoalan test CPNS bukan ruang lingkup saya, melainkan pekerjaannya panitia CPNS di bawah kendali Badan Kepegawaian Daerah. Apalagi test tersebut dijamin tidak ada titipan, percaloan, joki dan serta segala penyimpangan. Justru panitia menjamin test itu objektif. Karena sistem penilaian menggunakan komputer. Hanya peserta dengan nilai tertinggi bisa lulus. Saya coba jelaskan persoalan itu, tapi dia seperti tidak percaya. Dia masih mencurigai test CPNS itu tidak ada bedanya dengan yang sudah-sudah, syarat KKN. Saya coba jelaskan berkali-kali, akhirnya dia pasrah. “Okelah kalau begitu, saya minta doakan saja agar istri saya bisa lulus,” harapnya. Saya bilang, “Ya, saya akan doakan agar Allah memberikan kelulusan kepada istri ente. Tapi, kalau tidak lulus jangan kecewa, itu berarti bukan rezeki. Kalau lulus, itu berarti doa dikabulkan, alhamdulillah”.
Setelah lama ngobrol, diapun pamit. Diapun berlalu di hadapan saya. Begitu dia berlalu, hati saya berkata, tidak disangka, kawan saya yang sangat religius siap mengeluarkan uang berapa saja agar istrinya lulus. Itu berarti dia siap melakukan suap agar istrinya yang solehah itu bisa menjadi abdi negara. Itu berarti juga dia telah menggadaikan keimanannya demi istri lulus PNS. Betapa mudahnya orang menggadaikan sebuah kejujuran demi menjadi abdi negara.
Coba bayangkan, kalau istrinya lulus dengan hasil suap Rp 20 juta. Uang tersebut didapatkan dengan menjual segala barang berharga yang didapatkannya dengan cara halal. Tanah puluhan hektare hasil warisan orang tua dijual hanya untuk melakukan suap. Perbuatan demikian jelas dilarang agama terutama Islam. Orang yang melakukan suap dan menerima hasil suap sama-sama dibenci Allah dan ganjarannya adalah tempat paling mengerikan di neraka.
Kalau niat awal sudah tercemar dosa (suap), tentu output dari niat tersebut juga berakhir dengan ganjaran dosa. Gaji yang diterima dari pekerjaan hasil suap, berarti kotor, tidak halal. Jika gaji itu dijadikan makanan, maka sari makanan itu adalah hasil suap yang kotor. Lalu, sari makanan itu mengalir ke seluruh tubuh dan menjadi darah daging. Kemudian, darah itu mengalir kepada anak keturunan. Begitu seterusnya. Akibat dari semua itu, bisa mencemari perilaku dari sebuah keluarga.
Apakah anda pernah mendengar anak seorang pejabat tinggi ternyata pelaku maksiat? Apakah anda pernah melihat seorang pejabat semakin tua bukannya insaf, tapi malah semakin jauh dari Tuhan? Orang-orang seperti ini biasanya memakan makanan tidak halal, bersumber dari hasil suap atau disuap atau memakan hak orang lain. Pastinya orang tersebut tidak jujur pada diri sendiri dan Tuhan.
Orang yang di mata kita jujur belum bisa dijamin kejujurannya. Kadang orang sangat mudah untuk berbuat tidak jujur apabila ingin sebuah jabatan. Orang bisa mengorbankan apa saja apabila ingin sebuah kedudukan walaupun harus menempuh jalan tidak terpuji. Manusia memang makhluk Tuhan paling lemah (bukan seksi, ya). Mudah terombang-ambing, mudah terpengaruh. Hanya satu yang bisa membuat manusia kuat yakni kekuatan hati (teguh pendirian). Orang yang teguh pendirian (istiqomah, konsisten) pastilah orang jujur. Dia tidak mudah untuk dirayu dengan jabatan, kedudukan, kilauan hijau rupiah maupun pesona nafsu. Apakah ada manusia seperti ini sekarang? Saya yakin masih ada. Cuma, sangat langka.
Kisah teman saya di atas itu, hanyalah contoh kecil betapa mudah orang menggadaikan arti sebuah kejujuran. Masih banyak contoh lagi yang kadang kita hampir tidak percaya. Banyak orang di kepalanya pakai kopiah haji (orang yang sudah naik haji) tidak jujur atas gelar hajinya. Sebagai contoh, banyak koruptor dijebloskan KPK atau kejaksaan yang rata-rata menyandang titel haji. Mereka itu adalah manusia tidak jujur pada diri sendiri dan Tuhan.
Sungguh sangat berbahaya apabila kita dikelililingi orang tidak jujur. Sudah tidak ada yang dipercaya, yang ada hanya kecurigaan. Di dalam pemerintah bisa-bisa tidak harmonis karena sudah tidak ada aparat yang dipercaya. Di dalam tubuh partai politik bisa-bisa saling sikut-sikutan karena sudah tidak ada lagi yang bisa dipegang omongannya. Begitu juga dalam perusahaan, bisa-bisa bangkrut karena tidak ada lagi orang bisa pegang amanah. Kalau semua itu tidak terjadi, berarti dalam institusi atau lembaga itu masih ada orang jujur.
Memang menjadi orang jujur sangat sulit. Risiko terbesar sulit mendapatkan kedudukan atau jabatan tinggi. Soalnya, orang jujur tidak suka menggunakan cara kotor, main suap, main preman, suka gosok, cari muka, nepotisme, kolusi apalagi korupsi. Dia hidup bersahaja, menerima apa adanya. Hidup di dunia hanyalah sementara. Masih ada kehidupan lain (akhirat) yang sangat mencintai orang jujur. Mari kita berusaha menjadi orang jujur, paling tidak untuk diri kita sendiri. (rosadi@equator-news.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar