Sabtu, 17 Januari 2009

Motif Pemilih Dalam Menentukan Pilihan

Rosadi Jamani
Saat ini hampir seluruh caleg turun gunung. Mereka tidak lagi duduk di atas menara gading. Mereka bergerilya masuk kampung keluar kampung untuk mendapatkan simpati rakyat. Mereka mulai berperang sesama caleg demi mendapatkan sebuah kursi empuk.
Dua hari lalu, saya ingin sarapan bubur ayam. Kebetulan dekat rumah ada warung jualan bubur ayam itu. Warungnya kecil dan sederhana. Tapi, pukul 08.00 bubur di warung pasti sudah habis. Laris manis. Begitu sampai di warung itu, saya kaget, banyak tempelan attribute caleg. Tidak muat di dalam warung, attribute caleg sampai luber keluar.
Saya bertanya kepada ibu yang menjual bubur itu, “Caleg yang pasang baliho itu apakah permisi dengan ibu?”
“Mereka memang permisi pasang baliho di warung saya ini. Cuma, ada yang permisi saja, tapi ada juga permisi sambil ngasih duit. Tapi, kebanyakan hanya permisi, itu saja,” jawab ibu penjual bubur ayam.
“Bahkan, di antara caleg itu sering ke rumah. Cuma, tidak pernah ngasih duit. Jadi, saat caleg itu ke rumah, kita iye-iyekan aja ape yang dikatakannye,” ujarnya sambil menunjuk foto caleg di baliho.
Ibu itupun mengambilkan saya semangkuk bubur. Setelah itu, saya mesti menambahkan kecap manis, sambal dan jeruk nipis. Ketika saya menambahkan kecap manis itu, si ibu nyeletuk, “Seperti itulah para caleg yang datang ke gang kite ini, banyak jual kecap manis alias hanya pandai ngomong. Cobalah kalau datang kasih kite duit, jangan hanya jual kecap manis” Mendengar kalimat itu saya kaget. Ternyata rakyat kecil yang warungnya sering dijadikan tempelan muka caleg itu risih juga. Dia risih karena caleg yang numpang beken di warungnya tidak memberikan kompensasi.
Saya penasaran, lantas bertanya, “Di antara caleg yang nempel foto dan baliho itu, siapa yang akan ibu pilih?” Dia menjawab, dia tidak akan memilih caleg yang tidak memberinya kompensasi. “Yang saya pilih tentu yang memberi duit. Yang hanya jual kecap manis, untuk apa dipilih,” jawabnya.
Ibu penjual bubur tersebut adalah sekian ratus ribu pemilih yang akan memilih caleg di Pemilu 9 April dengan caranya sendiri. Caleg yang ngasih duit, itulah kemungkinan yang akan dipilihnya. Yang tidak pernah ngasih, hanya jual kecap manis dan air liur, tidak akan dipilihnya. Inilah topik kita pada edisi kali ini, motif pemilih dalam menentukan pilihan.
Berbagai alasan pemilih menentukan pilihan dalam setiap pesta demokrasi. Berdasarkan hasil pengamatan dan penelusuran saya kepada sejumlah warga, ada beberapa alasan warga menentukan pilihan kepada caleg. Berikut ini hasilnya:
Pertama, kedekatan emosional. Kedekatan ini bisa karena hubungan partai. Misalnya, pengurus, kader dan simpatisan partai pastilah memilih caleg dari partainya sendiri. Pengurus PDIP pasti memilih caleg dari PDIP juga, tidak mungkin yang dipilih caleg Golkar. Partai merupakan jalur utama untuk mendapatkan pemilih. Itu sebabnya, banyak caleg menggunakan attribute partai dengan harapan semua pengurus, kader dan simpatisan partainya memilih dirinya.
Menggunakan jalur partai jauh lebih mudah ketimbang menggunakan jalur lain. Soalnya sama-sama satu visi dan misi. Hampir dipastikan pengurus, kader dan simpatisan partai memilih caleg dari partainya sendiri. Kalaupun ada yang memilih caleg partai lain, itu namanya accident. Cuma, kalau hanya mengandalkan pengurus, kader dan simpatisan partai, jumlahnya sangat terbatas. Apalagi kalau partai itu baru. Kecuali partai besar, pasti mengoptimalkan mesin partai untuk menggerakkan pemilih dari pengurus, kader dan simpatisannya.
Kedekatan emosional lainnya adalah keluarga. Caleg pasti punya keluarga seperti istri, suami, anak, ayah, ibu, paman, kakek, kakak, adik, abang, sepupu dekat, sepupu jauh. Setiap caleg pasti melakukan pendekatan keluarga untuk dipilih. Cara ini sangat lazim dan merupakan upaya pertama dalam mencari dukungan pemilih.
Kemudian, kedekatan emosional teman atau sahabat. Itu bisa berupa teman waktu sekolah, teman kerja, teman satu gang, teman satu kampung, teman satu asrama, teman satu keturunan, teman se marga, teman satu suku, teman satu agama, dan sebagainya. Pemilih pasti mempertimbangkan berbagai teman itu. Namun, di antara teman itu, teman dekatlah yang pasti dipilih.
Dalam kasus ini, saya ada cerita. Untuk urusan memilih wakil rakyat, kepala daerah dan presiden, kawan satu kuliah sering diskusi dengan istrinya. “Pemilu nanti, kita milih siapa, ya?” tanya kawan ke istrinya. “Iya, ya…kita mau milih siapa, di sini (Pontianak Timur tempat tinggal kawan, red) tak ada satupun caleg dari keluarga kita. Siapa ya?” tanya balik istrinya sambil berpikir.
“Saya usul, bagaimana kalau kita milih….? (maaf tidak disebutkan nama calegnya, red). Dia (si caleg, red) pernah bantu kita saat ada kegiatan 17 Agustus dulu. Dari pada milih caleg tak jelas, lebih baik kita pilih dia. Sayang juga suara tak disalurkan,” katanya ke istri.
Istrinya menjawab, setuju. Dari pada suara mubazir, lebih baik disalurkan kepada kawan yang pernah membantu. “Lalu, untuk tingkat provinsi dan pusatnya, pilih siapa? Kebetulan dari keluarga kita juga tak ada jadi caleg,” ujarnya. “Iya, ya…memang tak ada. Untuk sementara kita tunggu aja nanti, siapa tahu ada kawan yang pernah membantu kita ada jadi caleg,” jawabnya.
Sampai saat ini kawan dan istrinya masih belum punya pilihan untuk tingkat provinsi, pusat maupun Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Bagi mereka, alasan pertama untuk memilih karena keluarga. Alasan itu, karena mereka memang bukan pengurus, simpatisan atau kader partai. Jika tidak ada keluarga, cari teman. Rasanya tidak mungkin dari sekian ribu caleg tidak ada teman. Paling tidak teman itu pernah kenal walaupun tidak akrab-akrab amat.
Kedekatan emosional inilah yang sering menjadi alasan pemilih untuk menentukan pilihan. Sekarang, tinggal caleg untuk mengefektifkan kedekatan emosional ini. Apabila ini dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin bisa mendapatkan pemilih dalam jumlah besar.
Kedua, hati nurani. Seperti apa pemilih memilih dengan alasan hati nurani, secara spesifik sulit diukur. Namun, secara garis besar, bisa saya gambarkan, penggunaan hati nurani adalah memilih caleg berdasarkan analisis pikiran. Pemilih hati nurani ini tidak mendasarkan pemilih karena etnis, agama, kawan, teman atau materi. Tapi, dia memilih berdasarkan kemampuan si caleg (figure). Tidak peduli caleg itu dari luar, putra daerah, keluarga, teman, lain agama, lain suku, dia hanya memilih caleg itu karena kualitas, pintar, hebat, punya track record bagus, sering berbuat untuk rakyat. Cuma, sulit mencari pemilih seperti ini. Kemudian, memilih caleg yang berkualitas juga sulit. Umumnya pemilih memilih karena alasan kedekatan emosional.

Ketiga, materi. Memilih karena caleg telah memberikan materi seperti uang, baju kaus, kalender, sumbangan dan sebagainya. Hampir semua (jelas tidak semua) caleg menggunakan cara ini untuk menaklukkan pemilih. Inilah yang dinamakan money politic. Banyak pemilih menentukan pilihan ini berdasarkan pemberian materi ini. Money politic inilah yang sering membuat suasana pesta demokrasi keruh. Jujur diakui, masih banyak pemilih sangat mudah ditaklukkan dengan pemberian materi. Itu sebabnya, banyak caleg masih menggunakan jurus serangan fajar (ngasih uang sebelum nyoblos-nanti contreng). Apalagi masyarakat di kampung atau dusun, mereka berpikirnya sangat sederhana. “Caleg A telah ngasih kita uang. Sekarang saja dia sudah ngasih, apalagi nanti sudah duduk jadi Dewan, pasti lebih banyak lagi. Dari pada milih si B, datang-datang hanya jual omongan, minta doa restu saja, pelit. Sekarang saja dia pelit, apalagi sudah duduk, pasti lupa dengan kita”.
Dari tiga motif di atas, menurut saya, hanya dua motif pemilih memilih caleg, yaitu kedekatan emosional dan materi. Untuk hati nurani sulit diukur dan sulit mencari sosok pemilihnya. Namun, kedekatan emosional-lah yang paling dominan. Butuh sekian tahun lagi motif hati nurani bisa dominan di negeri ini. (silakan beri tanggapan lewat email: rosadi@equator-news.com atau ke http://renunganpelangi.blokspot.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar