Senin, 19 Januari 2009

Menyambut Tahun Baru Imlek

Rosadi Jamani
Apa bedanya Imlek (tahun baru Tionghoa) dengan 1 Muharam, Naik Dango, Tahun Baru Masehi? Dilihat dari teropong budaya, semua itu tidak ada bedanya. Siapapun tidak boleh melarangnya. Melarang perayaan tersebut sama artinya menciptakan permusuhan.
Kita masih ingat di zaman Orde Baru, merayakan Imlek dilarang oleh pemerintah. Pemerintah zaman itu ingin meniadakan budaya etnis Tionghoa itu. Walaupun dilarang, etnis Tionghoa tetap melakukan perayaan, walaupun secara sederhana. Akhirnya pemerintah mencabut larangan itu dan sekarang setiap tahun Imlek beserta Cap Go Meh-nya boleh digelar. Soalnya, tidak ada pihak yang dirugikan. Apalagi negara, justru perayaan itu mendatangkan keuntungan besar. Bagi masyarakat juga demikian. Kota menjadi ramai. Hotel banyak penuh. Pedagang Kaki Lima panen keuntungan. Demikian juga tukang parkir, sopir, penjaga toko, dan sebagainya akan mendapatkan berkah dari perayaan Imlek dan Cap Go Meh.
Tiba-tiba ada segelintir masyarakat dari etnis berbeda, menolak perayaan Imlek dan Cap Go Meh dengan alasan yang tidak jelas. Coba kalau kita balik, bagaimana kalau even budaya etnis tersebut dilarang, pasti timbul pemberontakan. Mereka pasti tidak terima. Kok, even budaya dilarang untuk dirayakan.
Dalam agama Islam, selalu diingatkan bahwa perbedaan itu adalah rahmat. Keberagamaan etnis, budaya dan seni adalah sebuah berkah. Jika perbedaan itu dikelola dengan baik, akan mendatangkan keindahan. Seperti halnya pelangi. Semua orang pasti mengatakan pelangi itu indah, karena penuh dengan warna-warni. Demikian juga Kalbar, dilihat indah dan menawan apabila semua perbedaan itu ditata dengan baik. Semua etnis yang ada di Kalbar saling hormat menghormati, pasti akan memancarkan sebuah keindahan, kedamaian dan kekeluargaan.
Perbedaan ini adalah fakta. Semua etnis penghuni daerah ini mesti mengakui bahwa ada banyak perbedaan. Etnis Melayu jelas beda dengan Dayak, begitu juga sebaliknya. Etnis Tionghoa jelas beda dengan etnis Jawa, begitu sebaliknya. Harus juga dicatat, Kalbar aman dan tenteram seperti saat ini karena semua etnis saling hormat menghormati. Coba kalau ada etnis tidak menghormati etnis lain, yang muncul bukan kedamaian, tapi kengerian.
Kita belum bisa melupakan bagaimana sakit Kalbar ketika terjadi konflik Dayak vs Madura. Kita belum bisa melupakan bagaimana sakitnya hidup ketika terjadi konflik Melayu vs Dayak. Saat itu, orang takut keluar rumah. Banyak mobil tidak berani melintas di jalan raya. Banyak orang memilih berdiam di rumah dari pada harus keluyuran.
Sementara di luar rumah, kita melihat banyak orang menenteng berbagai senjata tajam. Dari raut muka orang tersebut hanyalah ada nafsu membunuh.
Ketika malam hari, suasana sangat hening. Tidak ada lagi suara anak-anak bermain di luar rumah. Yang terdengar hanya bunyi jangkrik serta suara orang sedang ronda malam. Suasana sangat mencekam. Tidak ada yang indah dalam suasana seperti itu.
Konflik tersebut semestinya menjadi pelajaran berharga dari seluruh etnis yang ada di Kalbar ini. Kita yakin, setiap warga yang mengaku penduduk Kalbar, tidak ingin terjadi konflik antaretnis. Semua ingin kedamaian dan ketenteraman. Semua ingin hidup normal tanpa terusik oleh siapapun.
Kembali pada Imlek dan Cap Go Meh, sangat naif apabila ada segelintir orang mencoba untuk melarangnya. Tindakan tersebut sama halnya menciptakan api permusuhan. Wali Kota Pontianak beserta aparat keamanan telah memberikan izin. Namun, kenapa masih ada suara sumbang yang melarang budaya itu untuk dirayakan. Sepertinya, ada orang risih dan merasa keamanan serta stabilitas etnisnya terganggu. Perlu adanya pemahaman dan penyadaran akan pentingnya budaya saling hormat menghormati.
Mari kita rawat perbedaan dan kelola dengan baik agar terlihat indah dan mendapatkan keuntungan. Jangan kita jadikan perbedayaan budaya untuk bahan berkonflik. Kita yakin, semua ingin Kalbar ini aman, tertib, aman dan tenteram. Mari kita hargai budaya kita serta orang lain.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar