Jumat, 16 Januari 2009

Berpolitik Menurut Cara Machiavelli

Oleh Rosadi Jamani

Bagi yang pernah mempelajari ilmu politik pasti pernah membaca pemikiran Machiavelli. Dialah seorang pemikir dan praktisi politik yang hidup antara tahun 1467-1527. Machiavelli lahir di Florence Italia. Walaupun sudah lama meninggal, pemikiran Machiavelli masih hidup sampai sekarang. Bukunya, The Prince merupakan buku wajib yang mesti dibaca bagi mahasiswa ilmu politik.
Apa yang menarik dari pemikiran Machiavelli? “Seorang penguasa boleh melakukan kekejaman dan menggunakan cara binatang hendaknya dilakukan tidak terlalu sering. Setelah melakukan tindakan itu, ia harus bisa mencari simpati dan dukungan rakyatnya dan selalu berjuang demi kebahagiaan mereka” (Suhelmi, 2004:134).
Dalam buku The Prince, Machiavelli juga menyatakan, perlunya penguasa mempelajari sifat-sifat terpuji dan yang tidak terpuji. Dia harus berani melakukan tindakan tidak terpuji-kejam, bengis, khianat, kikir-asalkan itu baik bagi negara dan kekuasaannya. Untuk mencapai tujuan, cara apapun bisa digunakan. Oleh karena itu, penguasa tidak perlu takut untuk tidak dicintai, asalkan ia tidak dibenci rakyat (op cit, 137). Dalam buku yang sama, Machiavelli juga menyatakan, seorang penguasa bisa menjadi singa di satu saat dan menjadi rubah di saat lainnya. Kemudian, seorang penguasa harus pandai menggunakan sifat manusia dan sifat binatang. Menggunakan salah satu cara berkuasa tanpa cara lainnya, tidak akan berhasil (Ibid).
Sekilas kalau dibaca pemikiran Machiavelli membuat bulu kuduk berdiri. Machiavelli menganjurkan menggunakan cara-cara licik, kejam, tidak berperikemanusiaan dalam dunia politik. Machiavelli menganjurkan untuk menggunakan segala cara untuk meraih kekuasaan. Bahkan, dalam bukunya tersebut disebutkan, jika sudah meraih kekuasaan, seluruh lawan politik harus dimusnahkan. Jangan sampai dikasih hidup. Mengasih hidup itu sama saja membiarkan benih-benih ancaman berkembang biak.
Pemikiran Machiavelli pernah diadopsi atau diamalkan oleh Musolini dan Hitler. Keduanya merupakan penjahat perang yang menyebabkan terjadinya Perang Dunia II. Lalu, apa hubungan Machiavelli dengan politik di Kalbar? Hubungan secara tidak langsung memang tidak ada. Tapi, melihat penerapan ajarannya ada dilakukan oleh para politisi di daerah ini. Ajaran Machiavelli biasanya dapat dirasakan apabila mendekati pesta demokrasi. Memang tidak semua politisi menggunakan cara politik ala Machiavelli, tapi di antaranya ada yang menganut ajaran tersebut.
Apa bukti ada politisi menggunakan gaya Machiavelli? Menggunakan isu Suku Agama Ras dan Antargolongan (SARA) adalah cara Machiavelli. Pemerintah telah melarang dalam dunia politik tidak boleh menggunakan isu SARA. Kenapa dilarang? Sebab, SARA sangat sensitif untuk terjadinya konflik di tengah masyarakat. Banyak konflik di negara ini diakibatkan SARA. Kalbar sendiri sudah beberapa kali terjadi konflik berdarah akibat SARA. Kita belum bisa melupakan konflik etnis Dayak vs Madura yang terjadi kurang lebih tujuh kali. Berapa banyak korban jiwa melayang. Berapa banyak orang kehilangan harta benda. Berapa banyak orang diliputi trauma mendalam.
Kita juga belum bisa melupakan konflik berdarah Melayu Sambas vs Madura. Ribuan korban melayang sia-sia. Harta benda hangus. Trauma konflik masih dirasakan sampai sekarang. Upaya damai sampai sekarang belum juga terwujud. Konflik tersebut menjadi catatan hitam paling besar di negeri ini. Akibatnya, sampai saat ini Kalbar masih dicap sebagai zona merah, daerah konflik. Akar konflik tersebut tidak sepenuhnya hilang. Sewaktu-waktu konflik berdarah bisa saja terjadi apabila ada politisi menggunakan isu SARA sebagai komoditas politik. Ternyata, masih ada orang bermain-main dengan isu SARA tersebut. Apakah mereka tidak pernah merasakan betapa susahnya hidup dalam suasana konflik. Tidak ada yang enak. Yang ada hanyalah ketakutan.
Isu SARA semakin terasa menjelang Pilkada Kubu Raya dan Sanggau putaran kedua. Di dua daerah tersebut, orang tidak lagi ngomongin visi, misi dan program kerja kandidat. Justru yang ramai dibicarakan adalah agama dan etnis. Dua hal itulah yang selalu diumbar dan dipropagandakan ke masyarakat. Kita memang tidak habis pikir orang-orang yang memainkan isu sensitif tersebut. Apakah mereka tidak pernah melihat catatan hitam konflik di daerah ini? Apakah mereka tidak pernah memikirkan dampak diakibatkan memainkan isu tersebut?
Sepertinya, orang yang pandai memainkan isu SARA tahun betul ajaran Machiavelli, membolehkan menggunakan cara apa saja untuk meraih kemenangan. Cara mereka memainkannya juga hebat dan licik. Sangat sulit untuk dideteksi, siapa sebenarnya pelaku di balik itu semua. Tahu-tahunya, propaganda SARA muncul begitu saja di tengah masyarakat. Masyarakat kaget tapi tidak bisa menangkap siapa pelaku di balik itu semua. Ketika dituduhkan langsung ke pemain Pilkada, dengan enteng dijawab, pihaknya tidak ada melakukan propaganda SARA. Justru itu bisa saja dilakukan lawan politik untuk menjatuhkan martabat dan popularitasnya. Licik seperti belut itulah ajaran Machiavelli yang coba diterapkan salah satu pemain di Pilkada.
Beberapa waktu lalu saya ketemu kawan dengan salah satu anggota tim kandidat yang melaju di putaran kedua. Kawan saya itu sebenarnya kecewa dengan kandidatnya, karena dia merasa dibuang di tengah jalan. Padahal, di awal-awal pencalonan, dirinya termasuk bagian penting memuplikasikan kandidat itu di seluruh media ternama di daerah ini. Walaupun kecewa, dia tetap mendukung kandidat tersebut. Cuma, tidak lagi seperti di awal. Sekarang, dia menunggu, apabila diperlukan, dia siap turun. Kalaupun tidak diperlukan, dia jadi penonton saja.
Ketika itu saya tanya soal maraknya isu SARA diumbar menjelang ronde kedua Pilkada. Dia menjawab, isu tersebut memang dimunculkan sedemikian rupa. Tujuannya, untuk menarik simpati rakyat. Dia mengakui, isu SARA memang tidak boleh diumbar. Namun, kalau mengharapkan jalan konvensional, mengikuti jalur politik yang telah ditentukan undang-undang, akan sulit menang. Istilah dia, kalau bermain jujur dan fair play, akan sulit menang. Salah satu cara paling efektif dan memungkinkan untuk menang adalah mempropagandakan isu SARA.
“Kami memang sengaja memunculkan isu SARA. Karena, cara ini memang dirasakan efektif untuk mempengaruhi masyarakat agar memilih kandidat kami. Cuma, isu SARA itu kami bungkus rapi dan sangat sulit dideteksi oleh siapapun pelaku sebenarnya,” cerita kawan saya itu.
Saya sempat menarik napas. Ternyata, isu SARA itu memang sengaja dimunculkan semata-mata untuk melemahkan popularitas kandidat lawan politik. Semenjak itu, saya berpikir bahwa gaya dan cara Machiavelli diterapkan di Pilkada Kubu Raya dan Sanggau. Bagaimana cara mengatasi itu semua? Tidak ada cara lain, seluruh pemuka agama harus bersatu mengumandangkan sikap netral, tidak boleh terlibat langsung dalam kegiatan politik. Selain itu, menyerukan kepada seluruh umat maupun praktisi politik untuk tidak mengobral isu agama untuk meraih simpati rakyat. Bagi orang-orang yang ingin haus kekuasaan, cara-cara Machiavelli tersebut bukan lagi zamannya. Rakyat sekarang sudah semakin cerdas menentukan pemimpin layak dipilih atau tidak. Kita berharap, Pilkada putaran kedua 15 Desember 2008 tidak menimbulkan konflik horizontal. (rosadi@equator-news.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar