Jumat, 16 Januari 2009

Hanya Bisa Menuntut

Rosadi Jamani
Setiap 10 November, jutaan orang di seluruh dunia memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM). Di Kalbar sendiri, hari tersebut juga diperingati. Umumnya lembaga yang memperingati hari tersebut bukan pemerintah, melainkan mahasiswa dan kalangan buruh. Mahasiswa merasa terpanggil untuk memperingati Hari HAM karena banyak orang di sekitarnya korban pelanggaran HAM. Sementara buruh adalah pihak yang sering jadi korban pelanggaran HAM.
Peringatan Hari HAM ala mahasiswa dan buruh tidak dengan menggelar upacara bendera di halaman. Mereka peringati hari tersebut dengan menggelar unjuk rasa. Mereka mendatangi kantor gubernur membentangkan berbagai kebijakan yang melanggar HAM. Juga pawai di jalan dan orasi di tempat umum.
“Banyak pelanggaran HAM yang terjadi dari sisi pendidikan, sosial maupun ekonomi. Penggusuran, kurangnya anggaran pendidikan serta Surat Keputusan Bersama empat menteri mengenai buruh, itu semua termasuk pelanggaran HAM” tuntutan mahasiswa kepada pemerintah.(Equator, 11/12/08).
Apa yang dibeberkan mahasiswa itu cukup mengejutkan. Versi mereka, ternyata persoalan dana pendidikan kurang juga termasuk pelanggaran HAM. Penggusuran terhadap pedagang kaki lima (PKL) juga kategori pelanggaran HAM. SKB empat menteri yang merugikan buruh, juga masuk pelanggaran HAM. Benarkah demikian?
Kita hanya tahu, yang masuk pelanggaran HAM apabila ada orang tidak berdosa (sipil) dibunuh aparat. Sebagai contoh kasus pelanggaran HAM di Timor Timur (ketika masih provinsi di Indonesia), banyak tentara membunuh rakyat sipil. Pelakunya diadili dan dijebloskan ke penjara. Kasus mariner membunuh warga sipil di Alas Telogo, pelakunya diadili dan dimasukkan ke balik jeruji. Untuk kasus dunia, tentara Serbia yang membunuhi rakyat Bosnia, pelaku dan otak di balik aksi keji itu ditangkap dan dicap sebagai pejahat perang. Kira-kira demikian persepsi umum soal HAM yang ada di masyarakat.
Jika memang benar, anggaran pendidikan kurang, penggusuran, SKB empat menteri kategori pelanggaran HAM, berarti pihak yang mengeluarkan kebijakan itu (pemerintah pusat atau daerah) adalah pelanggar HAM. Kenapa mahasiswa atau buruh tidak melaporkan ke Komnas HAM agar para pembuat kebijakan itu bisa diadili dan dijebloskan ke penjara. Dengan diadili dan dijebloskan ke penjara agar tidak ada lagi kebijakan yang melanggar HAM.
Sebelumnya, Komnas HAM Kalbar melansir, banyak pelanggaran HAM terkait dengan persoalan tanah. Banyak masyarakat mengadu karena wilayah mereka tiba-tiba diserobot pihak perusahaan perkebunan. Banyak tanah rakyat tiba-tiba kepemilikan berubah menjadi tanah pemerintah atau swasta.
Jika memang banyak pelanggaran HAM, tapi kenapa para pelanggar HAM itu tidak ada yang diadili atau dijebloskan ke penjara. Kalau di jalan raya, banyak pelanggar lalu lintas, tapi banyak juga yang ditilang polisi. Persoalan pelanggaran lalu lintas ini jelas hukumnya. Sementara pelanggaran HAM, banyak pelanggarnya, tapi tidak satupun yang diadili. Kita berpikir, ada yang tidak beres dalam hukum di negara ini.
Dulu ada wacana agar pemerintah mendirikan pengadilan khusus untuk pelanggar HAM. Sayang, wacana itu tinggal wacana. Seandainya, pengadilan HAM itu ada, mungkin para mahasiswa dan buruh setelah melakukan unjuk rasa langsung lapor ke kejaksaan agar pihak yang membuat kebijakan diadili di pengadilan HAM. Tujuannya, agar segala tuduhan dan tuntutan jelas ujung. Setiap pelanggar HAM, apakah itu pemerintah (pembuat kebijakan) atau aparat militer harus mendapatkan ganjaran atas perbuatannya. Kita tidak ingin, tuduhan bertumpuk sementara itu semua hanya menjadi omongan sesaat. Setelah unjuk rasa, habis juga cerita si pelanggar HAM.
Kita sangat memimpikan di negara ini ada pengadilan khusus untuk pelanggaran HAM. Agar semua tuduhan terhadap pelanggaran HAM bisa dibuktikan di pengadilan. Agar para buruh dan PKL yang selama ini pihak paling menderita bisa mengetahui siapa orang yang telah menyengsarakan hidup mereka. Kita tidak ingin berbagai tuntutan dan tuduhan hilang begitu saja tanpa bekas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar