Jumat, 16 Januari 2009

Hati Nurani vs Uang

Rosadi Jamani
Pilkada Kubu Raya dan Sanggau digelar dua putaran akibat tidak satupun kandidat mencapai perolehan suara 30 persen plus satu. Finalis yang melenggang di ronde kedua itu harus kembali mengeluarkan tenaga, pikiran dan dana ekstra untuk bisa meraih kemenangan. Inilah pertarungan paling (the real battle) berat, menentukan sekaligus menegangkan. Salah strategis sedikit saja bisa berakibat fatal. Strategi mesti jitu. Pengemasan isu mesti cerdas. Taktik harus licin dan lihai. Di sini dibutuhkan orang ahli strategi menguasai belantara perpolitikan.
Cuma, ada dua kekuatan yang pasti mengemuka dalam setiap pesta demokrasi. Kekuatan itu bisa dikatakan menentukan. Kekuatan itu adalah hati nurani dan finansial (uang). Kekuatan hati nurani mengajak masyarakat menggunakan akal sehat untuk menentukan pilihan. Sementara kekuatan uang mengajak masyarakat dengan memberikan berbagai materi, misalnya amplop dalamnya uang pecahan Rp 10 ribu, 15 ribu, 20 ribu sampai 50 ribu. Ada juga pemberian materi berupa baju kaus, beras, minyak goreng, semen, dan sebagainya.
Kekuatan mana paling menentukan? Sangat sulit untuk memastikannya. Sebab, dua kekuatan itu memiliki fakta riil pernah memenangkan Pilkada. Pada Pilkada sebelumnya, ada kandidat meraih kemenangan karena kekuatan finansial yang dimiliki. Tapi, ada juga kekuatan hati nurani menentukan.
Khusus untuk Pilkada Kubu Raya dan Sanggau ronde kedua, sepertinya dua kekuatan itu kembali dipertaruhkan. Ada kandidat yang hanya mengandalkan hati nurani rakyat (pemilih). Sementara ada juga yang mengandalkan kekuatan uang untuk memengaruhi rakyat. Kandidat yang mengandalkan hati nurani adalah yang memiliki kemampuan keuangan terbatas. Untuk menjalankan mesin politik kebanyakan dilakukan dengan iuran, patungan, mengandalkan sumbangan dari pihak yang bersimpati. Bahkan, mengandalkan modal nekat. Tim sukses dan relawan bekerja hanya dibekali dengan semangat. Bagi mereka, bekerja dulu, soal hasil itu belakangan.
Bagi yang mengandalkan kekuatan uang, semua pekerjaan dihargai dengan uang. Untuk menempel stiker di gang-gang saja harus dibayar. Apalagi pasang iklan di semua media, telah disiapkan dana besar. Tim sukses dari tingkat kabupaten sampai kecamatan disiapkan berbagai fasilitas. Bahkan, ada yang dikasih handphone, sejumlah uang dan sepeda motor. Mesin politik bergerak dari atas sampai ke bawah karena uang. Jangankan tim sukses yang sangat diperhatikan, para pemilih juga kadang dikasih uang. Semuanya diukur dengan uang. Tidak ada hati nurani di sini. Yang ada hanyalah uang.
Semuanya itu adalah bagian dari dinamika politik dalam sebuah pesta demokrasi. Jangan terlalu berharap dalam sebuah permainan politik bisa berlangsung jujur dan adil. Harus diingat dunia politik itu penuh dengan strategi kotor, saling menjatuhkan, penuh intrik dan keculasan. Coba perhatikan betapa panasnya Pilkada Kubu Raya akibat isu agama yang ditiupkan. Siapapun orangnya pasti akan marah apabila agama dibawa-bawa dalam dunia politik. Banyak orang tersinggung dan marah, tapi mau menyalahkan siapa. Itu semua bagian dari strategi dan taktik untuk menjatuhkan lawan.
Kemudian, di Pilkada Sanggau, betapa panasnya soal isu etnis. Etnis yang dominan di mana tidak ada satupun wakilnya di posisi nomor satu berusaha melakukan manuver untuk menjatuhkan salah satu kandidat. Lalu, isu dugaan korupsi salah satu kandidat juga dibawa-bawa dengan menyegel Kantor Kejaksaan Negeri Sanggau. Suasana politik yang memang panas semakin panas. Semua orang pasti sudah memperkirakan ke mana sasaran tembak dari aksi tersebut. Pada akhirnya, itu semua bagian dari strategi dan taktik untuk menjatuhkan lawan politik. Itulah dinamika politik.
Dalam pertarungan di dunia politik, orang yang defensive (bertahan), hanya bisa menangkis serangan lawan akan sangat sulit menang. Se-kukuh apapun benteng pertahanan kalau hanya bisa bertahan, pasti akan hancur juga. Jika tidak ingin hancur akibat serangan lawan, harus memberikan perlawanan. Harus berani juga melancarkan attack (serangan). Tapi, tidak asal main serang. Setiap lawan pasti punya kelemahan dan kekurangan. Seranglah kelemahan dan kekurangan itu untuk menjatuhkan lawan. Tapi, dalam setiap aksi penyerangan mesti memerhatikan koridor hukum dan norma agama. Jika itu dilakukan, pertarungan asyik ditonton, seimbang, seru dan mendebarkan. Pemenang akan mendapatkan tepuk tangan. Yang kalah akan dibesarkan hatinya. Ending dari sebuah peperangan pun berakhir dengan manis. Mudah-mudahan itu terjadi!

1 komentar: