Oleh Rosadi Jamani
Sejumlah partai telah berkomitmen untuk tidak memakai mengindahkan Undang-Undang Pemilu soal 30 plus satu. Caleg yang mendapatkan suara 30 persen suara otomatis menjadi Dewan. Apabila tidak tercapai, dikembalikan ke nomor urut. Aturan ini tidak laku buat sejumlah partai. Mereka lebih senang membuat aturan sendiri soal penetapan seorang caleg menjadi Dewan. Caleg yang mendapatkan suara terbanyak, dialah yang berhak duduk menjadi Dewan, tidak peduli berapapun nomornya.
Alasan memilih sistem suara terbanyak, karena seluruh caleg dari nomor urut satu sampai ke bawah akan bekerja optimal. Soalnya, masing-masing caleg memiliki peluang sama untuk menjadi anggota legislatif. Ini membuat mesin partai menjadi hidup, karena semua pada bergairah. Dengan bergairahnya para caleg mencari simpati rakyat ini, membuat perolehan suara meningkat, dan partai bisa menempatkan wakilnya sebanyak mungkin di lembaga legislatif.
Berbeda dengan partai yang mengikuti petuah UU Pemilu itu. Yang bergerak paling caleg nomor urut satu. Sementara untuk nomor di bawahnya akan malas dan mengandalkan sepenuhnya pada sepak terjang nomor urut satu. Kondisi ini membuat mesin partai bergerak lamban dan akan sulit mendominasi perolehan suara.
Begitu kira-kira analisis politik sebagian orang. Partai yang menerapkan suara terbanyak akan banyak meraih kursi di parlemen. Sementara partai tidak menerapkan suara terbanyak, akan sulit besar dan minim menempatkan wakilnya di legislatif. Tapi, benarkah analisis seperti itu?
Pada Sabtu (14/12/2008), dua orang kawan dari Arang Limbung Sungai Raya bertamu ke rumah. Kebetulan kawan saya itu adalah caleg nomor urut enam salah satu partai besar di Indonesia. Awal pembicaraan, biasa soal keluarga dan pekerjaan. Lalu, pembicaraan menyerempet ke persoalan politik berkaitan semakin dekatnya Pemilu legislatif 2009. Yang menjadi topik utama, persoalan suara terbanyak. Persoalan ini sebenarnya sudah lama, namun kali ini lebih asyik dan perspektif yang berbeda.
“Saya memang seorang caleg. Partai saya menggunakan sistem suara terbanyak. Kata orang, partai dengan suara terbanyak akan banyak dapat kursi di Dewan. Soalnya, semua caleg bergerak mencari simpati rakyat,” jelas kawan saya itu.
Tapi, menurut kawan saya itu, analisis seperti itu salah. Dia justru memprediksi partai yang menerapkan suara terbanyak suaranya akan anjlok. Partai yang tetap mengikuti UU Pemilu justru akan banyak meraih kursi di lembaga legislatif. Lho, kok demikian?
“Kita tidak bisa menafikan, kampanye terbuka dengan mendatangkan artis, pawai besar-besar masih memiliki pengaruh besar. Kampanye terbuka ini pasti akan dilakukan partai yang mengikuti undang-undang,” paparnya.
Bagi partai yang menerapkan suara terbanyak, tidaklagi menggelar kampanye terbuka. Mereka hanya menggelar kampanye dialogis dan simpatik secara pribadi. “Kalau partai suara terbanyak ini menggelar kampanye terbuka, lantas siapa sponsornya. Sebab, sudah tidak ada lagi dana kolektif. Semua pasti memikirkan diri sendiri. Kemudian, kampanye seperti itu, massa ramai itu diarahkan untuk memilih siapa. Ini yang saya katakan suara terbanyak bisa menjadi boomerang buat partai itu sendiri,” tukasnya.
Saya kaget mendengarkan penjelasan itu. Saya tidak menyangka, kawan yang hanya tamat SMA itu memiliki analisis politik yang tidak kalah jauh dari mereka peraih gelar S2. Saya mencoba memahami penjelasan kawan itu.
Kampanye terbuka oleh partai pada Pemilu didanai secara berjemaah. Di situ pasti ada dana kas partai yang dimainkan. Tapi, yang lebih dominan adalah sumbangan dari seluruh caleg. Yang paling besar nyumbang biasanya caleg nomor urut satu. Atau, caleg yang sangat berkompeten dan berkepentingan dari kampanye terbuka itu. Misalnya, ada caleg nomor satu untuk DPR RI dan DPRD Provinsi ingin menggelar kampanye di Kabupaten Sambas. Para caleg di tingkat atas itu melakukan koordinasi dengan caleg DPRD kabupaten. Tujuannya, menggelar kampanye besar-besar secara terbuka melibatkan seluruh kader dan simpatisan partai.
Digelarlah rapat untuk membiayai seluruh kampanye itu. Ada yang siap mendatangkan artis top dari Jakarta. Ada yang siap membayar biaya band, konsumsi, angkutan truk, snack, petugas keamanan, dan sebagainya. Dalam satu kampanye terbuka itu bisa memakan uang di atas 50-an juta, bahkan ratusan juta. Dalam rapat menentukan biaya ini, caleg untuk DPR RI pasti akan memberikan sumbangan lebih besar. Begitu juga caleg DPRD Provinsi. Tidak ketinggalan caleg DPRD kabupaten juga ikut nyumbang. Mereka siap berapa saja untuk memberikan sumbangan.
Kenapa mereka siap, karena para caleg itu memiliki kepentingan besar dengan kehadiran ribuan massa. Semua caleg itu akan diuntungkan, terutama yang nomor urut satu. Mereka nyumbang uang dalam jumlah besar tidak keberatan, karena suara massa itu hampir dipastikan memilih dirinya. Kalaupun tidak, muara akhir suara itu kepada nomor urut satu.
Sementara untuk partai suara terbanyak, para caleg (terutama nomor urut satu) pasti akan berpikir dua kali untuk menggelar kampanye terbuka. Soalnya, para caleg yang ada di atas panggung tidak mungkin caleg nomor satu sendirian. Sponsor kampanye yang butuh dana sangat besar itu, tidak mungkin caleg nomor urut satu sendiri menanggungnya. Kalaupun kampanye terbuka tetap digelar dengan sponsor pribadi, misalnya yang patungan dana dari caleg nomor satu DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten. Berarti hanya tiga orang caleg saja. Dengan tiga orang caleg itu, bisa memanfaatkan ribuan massa itu untuk memilih secara berjenjang. Satu massa bisa memilih tiga caleg sekaligus. Cara ini mungkin bisa dilakukan, dengan catatan tidak boleh caleg (selain tiga itu) hadir dalam lokasi kampanye.
Tapi, rasanya tidak mungkin, kampanye terbuka hanya digelar untuk tiga caleg saja. Di sinilah persoalannya sistem suara terbanyak. Caleg lain (nomor urut di bawah nomor satu) sangat senang apabila ada kampanye seperti itu. Mereka ikut nimbrung di tengah kerumunan massa mencari simpati. Mereka tidak perlu nyumbang. Akibatnya, konsentrasi massa untuk memilih siapa di arena kampanye juga terpecah. Dipastikan semua caleg akan berlomba mencari simpati di tengah kehadiran ribuan massa itu.
Kira-kira demikian analisis kawan saya itu soal partai yang menggunakan sistem suara terbanyak. Seandainya seluruh partai menggunakan sistem suara terbanyak, dia memastikan tidak ada lagi kampanye terbuka. Yang ada hanya kampanye dialogis yang digelar secara pribadi oleh caleg. Yang ada hanya aktivitas caleg membantu masyarakat secara pribadi. Di satu sisi memang sistem suara terbanyak bisa menghapuskan kampanye terbuka yang kadang banyak merugikan masyarakat itu. Namun, di sisi lain, kemeriahan Pemilu legislatif menjadi berkurang. Pesta demokrasi tidak lagi semeriah seperti tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada lagi artis ibukota tampil di hadapan ribuan kader atau simpatisan partai. Kalaupun ada, caleg itu benar-benar memiliki kekayaan di atas rata-rata.
Inilah evolusi demokrasi yang setiap tahunnya mengalami perubahan. Saya yakin evolusi itu akan menuju sebuah titik kesempurnaan demokrasi. Pada akhirnya, sistem demokrasi benar-benar mengantarkan rakyat pada sebuah pilihan terbaik untuk memilih seorang kepala daerah atau wakil rakyat. (rosadi@equator-news.com)
Jumat, 16 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar