Rosadi Jamani
Sejarah telah mencatat bahwa kekuatan uang tidak begitu menentukan dalam sebuah kompetisi Pilkada. Pada Pilkada Kubu Raya dan Sanggau mengindikasikan persoalan itu di mana uang bukan faktor penentu. Pemenang Pilkada (walaupun belum ditetapkan KPU) tapi pemenangnya sudah bisa ditebak. Di mana pemenangnya bukanlah kandidat yang bergelimang harta. Kandidat yang dipastikan menang itu hanyalah mengandalkan modal pas-pasan alias modal nekat.
Hati nuranilah yang paling menentukan. Rakyat semakin cerdas untuk memilih siapa yang pantas menjadi pemimpinnya. Uang melimpah yang dihamburkan ternyata tidak menggoyahkan pemilih untuk menentukan pilihannya. Kampanye, ambil uangnya, jangan coblos orangnya seperti benar-benar terwujud di dua Pilkada itu. Orang senang ketika kandidat membagikan uang, membagikan semen, nyumbang masjid, ngasih ribuan baju kaus, ngasih beras, susu dan minyak goreng. Tapi, soal pilihan itu urusan lain. Hati yang menentukan. Yang tahu isi hati seseorang hanyalah diri sendiri dan Tuhan.
Bisa dicontohkan, ada sebuah desa agak jauh dari kota. Pada saat kampanye, ada kandidat wara-wiri di desa tersebut membagikan baju kaus, beras, minyak goreng, mentega dan susu. Setiap rumah mendapatkan paket pangan itu. Orang yang mendapatkan paket itu sangat senang. Apalagi di tengah kesulitan ekonomi saat ini, membuat pemberian itu begitu berharga. Orang yang memberikan paket itu berpesan, pada saat pencoblosan nanti pilih kandidat yang memberikan paket pangan itu. Yang menerima pasti menganggukkan kepala, tanda akan mencoblos si pemberi pangan.
Setelah si kandidat pergi, muncul tokoh masyarakat yang omongannya didengar oleh warga desa itu dengan mengampanyekan kandidat lain. Dia bilang, jangan terpengaruh oleh pemberian pangan itu. Lihat siapa sebenarnya orang yang telah memberikan pangan itu. Apakah kalian rela dipimpin oleh orang luar? Apakah kalian rela dipimpin oleh entis…Lagian, uang untuk membeli pangan itu bukanlah uang pribadinya, melainkan uang rakyat yang dikorup. Untuk itu, pilihlah orang kita sendiri, orang jujur dan tidak korupsi. Omongan si tokoh masyarakat tersebut cukup ampuh. Apalagi dilakukan secara door to door dan secara kekeluargaan. Pada saat pencoblosan, ternyata orang yang telah memberikan pangan itu kalah telak oleh kandidat yang tidak pernah masuk ke desa itu.
Contoh seperti itu banyak terjadi di desa-desa. Betapa uang yang dihamburkan salah seorang kandidat tidak mampu menaklukkan hati masyarakat. Justru yang menentukan di sini adalah kepiawaian dalam kampanye. Orang yang piawai, pandai meyakinkan masyarakat dalam menentukan pilihan merupakan kunci sukses kandidat yang modal nekat itu. Dibilang kepada tim sukses dan pemilih bahwa mereka tidak punya uang melimpah. Kalau mau daerah maju tanpa harus memakan uang rakyat, mari berjuang bersama. Tapi, kalau mau daerah tumbuh subur korupsi, pilihlah kandidat yang banyak duit. Soalnya, begitu dia naik sebagai kepala daerah, yang pasti dipikirkannya adalah mengembalikan modal. Setahun atau dua tahun untuk mengembalikan modal. Tahun ketiga dan keempat untuk menumpuk kekayaan, dan sisanya untuk rakyat. Apakah kalian mau dipimpin seperti itu. Omongan seperti ini sering kita didengar di arena kampanye. Ternyata sangat ampuh mempengaruhi masyarakat pemilih. Begitulah dinamika dalam kampanye Pilkada, selalu ada cara paling mudah untuk memengaruhi masyarakat, singkat tapi langsung kena ke hati.
Selain itu, satu hal lagi yang paling menentukan adalah figure. Figure merupakan kapasitas yang dimiliki seorang kandidat. Dalam menentukan nilai figure itu bisa dari etnis, agama, pengalaman, pendidikan, kedekatan dengan masyarakat, perilaku, moralitas dan terakhir jasa. Kalau semua itu include dalam diri pribadi seorang kandidat, dia akan mudah mendapatkan simpati rakyat.
Boleh saja si kandidat memiliki banyak uang, tapi dia tidak memiliki jasa di masyarakat. Ini juga penilaian minus bagi pemilih. Bisa saja si kandidat memegang jabatan tinggi di pemerintaha, tapi di mata masyarakat dia adalah etnis minoritas. Bisa saja kandidat memiliki pendidikan tinggi, tapi di mata masyarakat dia tidak bermoral, itu juga catatan minus pemilih. Jadi, jika ingin menjadi kandidat kepala daerah, perlu diperhitungkan adalah kapasitas figure. Jika hanya mengandalkan uang dan pendidikan itu belum jaminan. Banyak faktor lain yang mesti diperhatikan.
Jumat, 16 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar