Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selalu menjadi rujukan kejaksaan maupun Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) untuk menyeret para koruptor ke pengadilan. Tidak heran apabila banyak pejabat takut bila BPK datang memeriksa. Ketika diaudit BPK, tidak ada boleh ada penyimpangan dana negara. Semua harus berdasarkan undang-undang.
Tapi, bagaimana bila BPK yang justru melakukan penyimpangan? Sebagai contoh, BPK Perwakilan Pontianak membeli dua mobil tanpa proses tender. Padahal, setiap belanja barang yang menggunakan uang negara mesti melalui tender. Sementara BPK yang selama ini termasuk lembaga paling ditakuti, justru melanggar aturan tersebut. Untung saja, lembaga tersebut mengakui kesalahannya. BPK mengaku ceroboh. Cuma, hanya sekadar mengakui kesalahan. Mungkin saja dengan mengakui itu semua, kesalahan yang mereka perbuat bisa diampuni.
Indonesia adalah negara hukum. Siapapun sama di mata hukum. Tidak ada lembaga superior di negeri ini. Siapa saja yang melanggar aturan, tetap harus dihukum. Di mata hukum, tidak ada sanksi hukum bisa dihilangkan cukup dengan minta maaf. Jika melanggar, proses hukum mesti ditegakkan.
BPK telah mencoreng kredibilitasnya sendiri. Bisa dibayangkan seperti apa persepsi masyarakat terhadap lembaga ini, si tukang audit keuangan justru seenaknya melanggar aturan. Kita yakin, masyarakat pasti banyak mencibir, image BPK yang selama ini sangat disegani menjadi luntur. Jika kasus ini tidak ada tindakan hukum, itu berarti BPK kebal hukum, bisa seenaknya menabrak aturan di negeri ini.
Jika begitu halnya, pemerintahan daerah (Pemda) yang selama ini menjadi bulan-bulanan audit BPK, bisa juga menjadikan kasus itu sebagai teladan penting. Pemda bisa saja membeli mobil ke show room yang banyak terdapat di Pontianak tanpa harus melewati tender. Bawa duit segepok, masuk show room, mobil tinggal dipilih mana yang bagus, dapat yang bagus, lalu dibayar cash, dan terakhir minta kuitansi pembayaran. Kuitansi tersebut tinggal diserahkan ke bendahara untuk dipertanggungjawabkan. Sederhana, tidak berbelit-belit dan cepat. Maunya kita semua pasti demikian jika ingin belanja barang.
Tapi, perlu diketahui, membelanjakan uang negara tidak bisa sesederhana seperti itu. Ada aturan yang mesti dilalui. Setiap belanja barang di atas Rp 100 juta, mesti ada proses tender atau lelang. Proses tender, lalu diumumkan pemenang, si pemenang mesti melengkapi seluruh persyaratan administrasi. Setelah lengkap, lalu diverifikasi. Kemudian, barulah barang bisa disiapkan. Pemda juga mesti menyiapkan uangnya. Proses itu semua memerlukan waktu berbulan-bulan. Tidak bisa seminggu, mobil bisa ada. Inilah aturan yang mesti ditegakkan. Tujuannya, agar proses pengadaan barang tidak melanggar aturan. Ketika itu diaudit BPK, pasti tidak ada temuan penyimpangan, semua berdasarkan prosedur. Lama, bertele-tele, perlu cost tinggi. Tapi, inilah prosedur yang mesti dilalui apabila pengadaan barang yang menggunakan uang negara.
Sementara BPK, melanggar prosedur yang berbelit-belit itu. Dengan melanggar aturan tersebut, BPK yang mestinya hanya dapat satu mobil, tapi bisa dua mobil. Dilihat dari efisiensi anggaran, apa yang telah dilakukan BPK itu jelas sangat menguntungkan. Tapi, dari segi hukum, apa yang telah dilakukan BPK itu jelas melanggar aturan. Di sini yang menjadi persoalan.
BPK tidak bisa mengedepankan alasan efisiensi. BPK semestinya tetap mengikuti prosedur hukum soal pengadaan barang. Walaupun mengikuti prosedur itu menyebabkan cost tinggi. Inilah hukum. Hukum tidak peduli apakah itu cost tinggi atau murah.
Setidaknya kasus ini menjadi pelajaran berharga buat pemerintah. Hikmah yang bisa ditarik dari peristiwa ini, dengan anggaran untuk satu mobil, tapi di tangan BPK bisa menjadi dua mobil. BPK ingin membuktikan bahwa proses tender itu terlalu banyak menyedot anggaran pemerintah yang tidak perlu. Ke depan, aturan tender pengadaan barang mesti disempurnakan. Tujuannya, agar uang negara yang dikeluarkan benar-benar efisien, dan tidak dijadikan momen untuk mencari keuntungan pribadi.*
Kamis, 22 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar